• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEFEK KOAGULASI PADA PASIEN THALASEMIA β MAYOR DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TESIS. OLEH : dr. Eduward Situmorang NIM :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DEFEK KOAGULASI PADA PASIEN THALASEMIA β MAYOR DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TESIS. OLEH : dr. Eduward Situmorang NIM :"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

DEFEK KOAGULASI PADA PASIEN THALASEMIA β MAYOR DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

TESIS

OLEH :

dr. Eduward Situmorang NIM : 157041065

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK SPESIALIS PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

DEFEK KOAGULASI PADA PASIEN THALASEMIA β MAYOR DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang Patologi Klinik/M.Ked (Clin-Path) pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

dr. Eduward Situmorang NIM : 157041065

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK SPESIALIS PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)
(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkat kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di bidang Patologi Klinik/M.Ked(Clin.Path) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Selama penulis mengikuti pendidikan dan proses penyelesaian penelitian, penulis banyak menerima bimbingan, petunjuk, bantuan dan pengarahan serta dorongan baik moril dan materil dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan tesis ini.

Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan masukan serta kritikan yang berharga dari semua pihak sehingga tesis ini bisa bermanfaat dimasa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenanlah penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Yth, Rektor Universitas Sumatera Utara, Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan dan menerima saya untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di bidang Patologi Klinik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik.

(6)

2. Yth, Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan di Program Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Bidang Patologi Klinik.

3. Yth, Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), Sp.M(K) selaku Ketua Program Studi Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikankesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan di Program Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Bidang Patologi Klinik.

4. Yth. Prof. Dr. Adi Koesoema Aman, Sp.PK-KH sebagai pembimbing I saya yang telah bersusah payah dan bersedia meluangkan waktu dan pikirannya setiap saat dalam memberikan banyak bimbingan, petunjuk, pengarahan dan bantuan mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakan penelitian sampai selesainya tesis ini. Semoga semua kebaikan beliau dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

5. Yth. Prof. Dr. Hj. Bidasari Lubis, Sp.A(K) sebagai pembimbing II dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, yang sudah bersedia menyediakan waktu dan memberikan banyak bimbingan, petunjuk, pengarahan dan bantuan mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakan penelitian sampai selesainya tesis ini.

(7)

6. Yth. dr. Ricke Loesnihari, M.Ked (Clin-Path), Sp.PK-K, sebagai Ketua Departemen Patologi Klinik FK USU dimana beliau telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan, bantuan dan dorongan selama dalam pendidikan dan dalam melaksanakan penelitian ini sampai selesai.

7. Yth, dr. Malayana Rahmita Nasution, M.Ked (Clin Path), Sp.PK, sebagai Sekretaris Departemen Patologi Klinik FK USU yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan.

8. Yth, dr. Jelita Siregar, M.Ked(ClinPath), Sp.PK-K, sebagai Sekretaris Program Studi di Departemen Patologi Klinik FK USU, yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan dan memotivasi selama saya mengikuti pendidikan.

9. Yth. Prof. Dr. dr. Ratna Akbari Ganie, Sp.PK-KH, beliau juga telah banyak membimbing, mengarahkan dan memotivasi saya sejak awal pendidikan sampai selesai.

10. Yth, Prof. dr. Herman Hariman, PhD, Sp.PK-KH, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan dan didalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

11. Yth, Prof. Dr. Burhanuddin Nasution, Sp.PK-KN,KGEH, yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan.

(8)

12. dr. Zulfikar Lubis, Sp.PK-K, dr. Muzahar DMM, Sp.PK, dr. Tapisari Tambunan, Sp.PK-K, dr. Nelly Elfrida Samosir, Sp.PK-K, dr Ida Adhayanti, Sp.PK, dr. Ranti Permatasari, Sp.PK-K, dr. Nindia Sugih Arto, M.Ked (Clin Path), Sp.PK, dr Dewi Indah Sari Siregar, M.Ked (ClinPath), Sp.PK, dr. Almaycano Ginting, M. Kes, M. Ked (Clin Path), Sp.PK dan semua guru-guru saya yang telah banyak memberikan, nasehat, arahan dan dukungan selama saya mengikuti pendidikan.

13. Yth kepada PT. Setia Anugrah Medika, yang telah mendukung selama penelitian sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan lancar.

14. Ucapan terimakasih saya ucapkan kepada seluruh teman-teman sejawat Pendidikan Magister Bidang Patologi Klinik pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, para analis, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.

Kepada orang tua yang saya hormati dan sayangi Drs. Derhana Situmorang, dan (Alm) Tiar. R. Simbolon. Terimakasih atas semua doa dan bantuan yang diberikan selama saya menjalankan pendidikan dan penelitian ini.

Kepada istri saya dr. Riama Margaretha Sitanggang, M. Ked (Ped), Sp.A serta kedua anak saya Ribka Regina Nediva Situmorang dan Raden Arkin Timothy Putra Situmorang yang selalu memberikan perhatian, semangat, dorongan, dan pengorbanan selama menyelesaikan penelitian ini.

(9)

Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, 15 Oktober 2018 Penulis

dr. Eduward Situmorang

(10)

DAFTAR ISI

Lembaran Pengesahan ... iii

Lembar Penetapan Ujian………. iv

Ucapan Terimakasih ………... v

Daftar Isi... x

Daftar Gambar ... xiii

Daftar Tabel……… xiv

Daftar Singkatan... xv

Lampiran ……… xvi

Abstrak ………... xvii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Hipotesis Penelitian ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.4.1. Tujuan Umum ... 4

1.4.2. Tujuan Khusus ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 5

1.5.1. Bagi Peneliti ... 5

1.5.2. Di Bidang Pelayanan Masyarakat ... 5

1.5.3. Di Bidang Pengembangan Penelitian ... 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

(11)

2.1. Thalasemia ... 6

2.1.1. Definisi ... 6

2.1.2. Epidemiologi ... 7

2.1.3. Klasifikasi Thalasemia-β ……….. 9

2.1.4. Patofisiologi Pada Thalasemia β Mayor ... 13

2.1.5. Diagnosis Thalasemia-β ... 18

2.2. Defek Koagulasi pada Thalasemia β Mayor ... 22

2.2.1 Epidemiologi ………. 22

2.2.2 Patofisiologi ………. 23

2.3. Sistem Pembekuan Darah……… 26

2.4 Alat Ukur Gangguan Koagulasi ……….. 31

2.4.1 Prothrombin Time ( PT )……… 31

2.4.2. Activated Partial Thromboplastin Time (aPTT) ... 33

2.4.3. Thrombin Time (TT) ………. 34

2.5 Iron overload pada Thalasemia………... 35

2.6 Kerangka Konsep ………... 38

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 39

3.1. Desain Penelitian ... 39

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 39

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian... 40

3.4. Perkiraan Besar Sampel ……… 40

3.5 Kriteria Penelitian ... 41

(12)

3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan Informed Consent ……. 42

3.7 Etika Penelitian ... 42

3.8. Bahan, Cara Kerja, dan Alur Penelitian ... 42

3.8.1. Bahan ... 42

3.8.2. Cara Kerja ... 42

3.8.2.1 Pemeriksaan Hematologi………... 44

3.8.2.2 Pemeriksaan PT, APTT, TT..……….. 46

3.8.3 Alur Penelitian ………. 49

3.9. Identifikasi Variabel... 50

3.10.Definisi Operasional ... 50

3.11 Pengelolaan dan Analisa Data ………. 52

BAB 4. HASIL ... 53

BAB 5. PEMBAHASAN ... 59

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

6.1. Kesimpulan ... 65

6.2. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Klasifikasi Thalasemia...……… 12 Gambar 2.2 Patofisiologi Thalasemia β .………. 15 Gambar 2.3 Diagnostik Thalasemia β dan Hemoglobinopati………. 22 Gambar 2.4 Peranan Eritrosit, Trombosit dan Faktor Koagulan...…. 26 Gambar 2.5 Proses Koagulasi …………...………. 30 Gambar 3.1 Grafik Quality Control (QC) Darah Lengkap….………. 46 Gambar 3.2 Diagram alur penelitian ….………. 49

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kontrol PT dengan LOT No 10232381...………. 48

Tabel 3.2 Kontrol aPTT dengan LOT No 10322371...…. ………... 48

Tabel 3.3 Kontrol TT dengan LOT No 10402334...………. 48

Tabel 4.1.Karakteristik umum ...……….. 54

Tabel 4.2 Rerata PT,aPTT, dan TT pada anak dengan Thalasemia β Mayor dibandingkan dengan anak tidak Thalasemia. ………….. 55

Tabel 4.3 Rerata PT, aPTT, dan TT pada Thalasemia β Mayor yang sering mendapat transfusi darah dan tidak sering ...………... 56

Tabel 4.4 Rerata PT, aPTT, dan TT pada Thalasemia β Mayor dengan kadar feritin ≥ 2500 ng/ml dan < 2500 ng/ml ...………... 57

(15)

DAFTAR SINGKATAN aPTT : activated partial thromboplastin time AT III : Antithrombin III

fl : Femtoliter g/dL : gram per desiliter

Hb : Hemoglobin

HMWK : high molecular weight kininogen

HPLC : high performance liquid chromatography

ICSH : International Committe for Standardization in Haematology INR : Internasional Normalized Ratio

LPI : Labile plasma iron mg/dL : milligram per desiliter MCV : Mean Corpuscular Volume MCH : Mean Corpuscular Hemoglobin

NTDT : Non- Transfusion Dependent Thalassemia NTBI : Non-transferrin bound iron

pg : Pikogram

PK : pre kalikrein

RES : Reticuloendotelial System ROS : reactive oxygen species RDW : Red cell Distribution Width PT : prothrombin time

TT : Thrombin time

(16)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian Lampiran 2 Formulir Persetujuan Setelah Penjelasan

Lampiran 3 Lembar Pengumpulan Data

Lampiran 4 Surat Persetujuan Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan FK –USU

Lampiran 5 Surat Izin Meneliti dari Instansi Penelitian dan Pengembangan RSUP H. Adam Malik

Lampiran 6 Tabulasi Data Penelitian Lampiran 7 Analisa Data

Lampiran 8 Daftar Riwayat Hidup

(17)

COAGULATION DEFECTS IN β THALASSEMIA MAJOR PATIENT AT HAJI ADAM MALIK HOSPITAL MEDAN

Eduward Situmorang1, Adi Koesoema Aman1, Bidasari Lubis2 Clinical Pathology Department1, Pediatric Department2 Medical Faculty University of Sumatera Utara, Medan-Indonesia.

ABSTRACT

Background: The prognosis of β Thalassemia Major patient is getting better in the last few decades, but there are some complications that occur in Thalassemia patient. A prolongation in prothrombin time and activated partial thromboplastin time, a decrease in coagulation factors such as C protein S protein, and antithrombin III are found in β Thalassemia Major patient.

Method : This is a cross sectional study performed in Haji Adam Malik Hospital from April to August 2018. Patient data consist of eryhtrocyte index, coagulation paramaters, serum iron, and fertitin taken from 20 patients before transfussion.

The difference relationship between coagulation parameters had been analysed with Independent Sample Test.

Result : From 20 patient, number of patient with infrequent transfussion are 4 people, and with frequent transfussion are 16 people. The laboratory evaluation showed that mean level of haemoglobin, MCV, and MCH in case group are lower than in control group (7,02 vs 13,0 g/dL; 72,6 vs 77,9 fl; 23,8 vs 25,5 pg) . The same thing in trombocyte level in a case group (279,75 103/uL) are lower than in control group (323,10 103/uL). The analysis shows a significant prothrombin time differences between case and control group that is p=0,00 (p<0,05), and aPTT p=

0,00 (p< 0,05).

Conclusion : There are a significant differences in prothrombin time and aPTT between case and control group, and also there is a significant difference in prothrombin time level between pasien with frequent and infrequent transfussion.

Keywords: Major β Thalassemic, Coagulation, Prothrombin Time, Activated Partial Thromboplastin Time.

(18)

DEFEK KOAGULASI PADA PASIEN THALASEMIA β MAYOR DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

Eduward Situmorang1, Adi Koesoema Aman1, Bidasari Lubis2 Departemen Patologi Klinik1, Departemen Ilmu Kesehatan Anak2 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan-Indonesia.

ABSTRAK

Latar belakang: Prognosis anak penderita Thalasemia β semakin membaik dalam beberapa dekade terakhir, namun beberapa komplikasi terjadi pada pasien Thalasemia. Pemanjangan prothrombin time dan partial thromboplastin time, berkurangnya kadar faktor-faktor koagulasi seperti protein C, protein S, dan Antithrombin III (AT III) terjadi pada pasien Thalasemia β mayor.

Metode : Penelitian ini adalah studi analitik potong lintang yang dilaksanakan di RSUP H. Adam Malik pada bulan April sampai Agustus 2018. Data pasien berupa indeks eritrosit, parameter koagulasi, serum iron dan feritin, diambil pada saat pasien datang untuk transfusi. Data kelompok kontrol berupa indeks eritrosit dan parameter koagulasi. Hubungan antara perbedaan parameter koagulasi dianalisa dengan Independent Sample Test.

Hasil : Dari 20 pasien, jumlah pasien dengan frekuensi transfusi yang jarang adalah 4 orang. Jumlah pasien dengan frekuensi yang sering adalah 16 orang. Dari rata-rata indeks eritrosit maka terlihat kadar hemoglobin, MCV, dan MCH pada pasien Thalasemia lebih rendah daripada kontrol (7,02 vs 13,0 g/dL; 72,6 vs 77,9 fl; 23,8 vs 25,5 pg) . Begitu pula dengan nilai trombosit kelompok pasien lebih rendah yaitu 279,75 103/uL dibandingkan 323,10 103/uL. Terdapat perbedaan signifikan antara waktu prothrombin pasien dan kontrol yaitu p=0,001 (p<0,05), dan perbedaan aPTT yaitu p= 0,001 (p< 0,05). Juga terdapat perbedaan signifikan antara PT yaitu p=0,001 (p<0,05) dan rerata APTT yaitu p= 0,001 (p< 0,05) pada pasien thalasemia β Mayor yang memiliki nilai feritin ≥2500 ng/ml di bandingkan

<2500 ng/ml.

Kesimpulan : Terdapat perbedaan signifikan masa prothrombin (PT) dan aPTT antara pasien Thalasemia β Mayor dengan control, terdapat perbedaan rerata PT antara pasien dengan frekuensi transfusi sering dan frekuensi transfusi tidak sering.

Kata kunci: Thalassemia β Mayor, Coagulation, Prothrombin Time, Activated Partial Thromboplastin Time.

(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Thalasemia adalah kelainan darah yang diturunkan secara autosomal resesif, banyak ditemukan pada negara Asia Tenggara.(Sirachainan,2016) Thalasemia merupakan masalah besar di negara-negara di sekitar Laut Mediterania, Timur Tengah, India, Pakistan, Asia Tenggara, Rusia Selatan, dan Cina. Frekuensi pembawa thalasemia alfa (α) terentang dari Afrika ke Mediterania, Timur Tengah, Asia Timur dan Tenggara (Atmakusuma dan Setyaningsih, 2014). Sedangkan untuk pembawa thalasemia beta (β) tertinggi dilaporkan di Maladewa (18%), Siprus (14%), Sardinia (10,3%) dan Asia Tenggara (3-5%).(Lanni, 2002)

Menurut edaran Kementerian Kesehatan tahun 2007 mengenai jumlah pasien Thalasemia di Indonesia, prevalensi nasional Thalasemia mencapai 1,5 per 1.000 penduduk, dengan 11 provinsi yang memiliki prevalensi lebih besar dari rata- rata nasional adalah Aceh (13,4%), Kepulauan Riau (3,0%), Sumatera Selatan (5,4%), Lampung (0,1%), Jakarta (12,3%), Kalimantan Barat (0,1%), Gorontalo (3,1%), Sulawesi Utara (0,1%), Maluku (1,9%), NTB (2,6%) dan Papua Barat (2,2%).

Data yang diperoleh dari rekam medik di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2004-2005 ditemukan penderita Thalasemia rawat inap sebanyak 35 orang, pada tahun 2006- 2008 sebanyak 120 orang, pada tahun 2009-2010 sebanyak 160

(20)

orang dan pada tahun 2011- april 2014 sebanyak 113 orang. Data terakhir jumlah pasien Thalasemia one-day care mulai dari bulan Agustus 2016 sampai Mei 2017 berjumlah 370 pasien. Fakta ini mendukung thalasemia sebagai salah satu penyakit turunan yang terbanyak.

Berdasarkan hasil penelitian di Yayasan Thalasemia Indonesia terdapat 90,6% pasien merupakan pasien thalasemia β mayor, 7,8% pasien thalasemia β minor, dan 1, 6% pasien thalasemia β intermedia (Lanni, 2002)

Thalasemia β mayor menunjukan klinis yang jelas yaitu anemia berat akibat dari eritropoesis yang tidak efektif. Gambaran klinis yang jelas ini menyebabkan penderita thalasemia β mayor harus segera diperiksa ke pelayanan kesehatan dan lebih cepat didiagnosis. (Lanni, 2002) Manifestasi yang muncul pada masa anak-anak dapat terjadi anemia yang berat, ikterus, pertumbuhan terhambat, aktivitas menurun dan sering tidur. Hepatosplenomegali dengan tanda awal dari wajah thalasemia biasanya ditemukan. (Rachmilewitz, 2011) Dengan beratnya gejala anemia yang timbul, maka pada pasien thalasemia β mayor terdapat kondisi ketergantungan terhadap transfusi sebagai bagian utama dari terapinya atau memiliki ketergantungan terhadap transfusi darah agar dapat meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia kelangsungan hidup sehingga digolongkan ke dalam kelompok Transfusion Dependent Thalassemia (TDT). (Cappellini, 2014) Prognosis anak penderita Thalasemia β semakin membaik dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini disebabkan oleh kemajuan di dunia kedokteran dalam pemberian transfusi, terapi kelasi besi, dan transplantasi sum sum tulang.(Abosdera, 2016).

(21)

Morbiditas akibat timbunan besi lainnya adalah gangguan hati, perdarahan, gangguan kelenjar hormon terutama kelenjar gonad, tiroid, paratiroid, dan pankreas sehingga muncul gejala seperti pertumbuhan fisik yang terhambat, tidak adanya tanda-tanda seks sekunder, infertilitas, diabetes melitus, tulang keropos.( Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Thalasemia, 2018)

Beberapa studi pada literatur menyebutkan terjadinya hiperkoagulablitas dan perdarahan pada pasien Thalasemia β mayor. Insidensi kejadian tromboemboli pada Thalasemia β mayor bervariasi antara 0.9-4.0% pada beberapa studi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Michaeli J et. al melaporkan prevalensi terjadinya trombosis pada pasien talasemia sebanyak 4 % (Giordano, 1998). Namun terdapat beberapa studi yang juga melaporkan terjadinya kecenderungan perdarahan pada Thalasemia β mayor.( Chikkara, 2016) Pemanjangan prothrombin time dan partial thromboplastin time, berkurangnya kadar faktor-faktor koagulasi seperti protein C, protein S, dan Antithrombin III (AT III) terjadi pada pasien Thalasemia β mayor.

Mekanisme terjadinya trombosis telah banyak diteliti namun mekanisme tendensi terjadinya perdarahan masih sepenuhnya belum dapat dijelaskan. (Faraj, 2016)

Studi di Bahgdad pada tahun 2016 melaporkan terdapat trombositopenia dan pemanjangan prothrombin time (PT) serta activated partial thromboplastin time (aPTT) pada pasien Thalasemia β mayor. (Faraj, 2016) Di India pada tahun 2006 melaporkan hal yang sama yaitu terdapatnya trombositopenia, pemanjangan prothrombin time (PT) serta activated partial thromboplastin time (aPTT) sebesar 40.7% dan 46.3% pada pasien Thalasemia β mayor. (Naithani, 2006)

(22)

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu apakah terjadi defek koagulasi pada anak yang menderita Thalasemia β mayor . 1.3 Hipotesis

Terdapat defek koagulasi pada anak yang menderita Thalasemia β mayor.

1.4 Tujuan penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui kejadian defek koagulasi yang terjadi pada pasien Thalasemia β mayor.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik dari subjek penelitian di RSUP Haji Adam Malik Medan

2. Membuktikan defek koagulasi pada pasien thalasemia β mayor, pasien thalasemia β mayor yang sering mendapatkan transfusi darah, dan pasien thalassemia β mayor yang memiliki kadar feritin ≥ 2500 ng/ml dengan mengetahui nilai prothrombin time (PT), activated partial prothrombin time (aPTT), dan nilai Thrombin time (TT) sebagai alat ukur .

(23)

1.5 Manfaat penelitian

1. Bagi Peneliti: Penelitian ini diharapkan dapat di pakai sebagai sarana untuk melatih cara berpikir dan membuat suatu penelitian berdasarkan metodologi yang baik dan benar dalam proses pendidikan.

2. Di bidang pelayanan masyarakat : Untuk meningkatkan pengetahuan terhadap komplikasi yang dapat terjadi pada pasien penderita Thalasemia β mayor.

3. Di bidang pengembangan penelitian : Untuk memberikan masukan kepada Departemen Patologi Klinik FK USU terkait hal-hal yang berhubungan dengan kelainan koagulasi pada anak penderita Thalasemia β mayor. Dan di harapkan kedepannya dapat digunakan sebagai alat ukur pembantu klinisi untuk memprediksi akan terjadinya suatu defek koagulasi pada anak penderita Thalasemia β mayor.

(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Thalasemia 2.1.1 Definisi

Thalasemia adalah kelainan darah kongenital yang ditandai dengan adanya defisiensi parsial/ komplit sintesis rantai α atau β.(Chhikara,2016) Ketidakseimbangan rantai globin menyebabkan hemolisis dan gangguan eritropoesis. Thalasemia diturunkan secara autosomal resesif yang menyebabkan anemia hemolitik karena penurunan atau berhentinya sintesa rantai polipeptida globin.(Muncie, 2009) ( Sacher,2004)

Nama Thalasemia berasal dari gabungan dua kata Yunani yaitu thalassa yang berarti lautan dan haima (darah). Perkataan Thalassa digunakan karena gangguan darah ini pertama kali ditemukan pada pasien yang berasal dari negara- negara sekitar Mediterranean. Istilah Thalassemia sekarang digunakan pada kelompok hemoglobinopati yang diklasifikasi berdasarkan rantai globin spesifik dimana sintesisnya terganggu. Nama Mediterranean anemia yang diperkenalkan oleh Whipple sebenarnya tidak tepat karena kondisi ini bisa ditemukan di mana saja dan setengah tipe thalassemia biasanya endemik pada daerah geografi tertentu.(Galanello, 2010), (Weatherall, 2012), (Rachmilewitz, 2011)

(25)

Pada tahun 1925, Thomas Cooley yang merupakan dokter anak di Detroit, menemukan beberapa tipe anemia yang dijumpai pada anak-anak yang berketurunan Itali. Dia menemukan banyak eritrosit berinti pada darah perifer yang awalnya disangka sebagai anemia eritroblastik. Tidak lama kemudian dia mendapati erythroblastemia adalah tidak spesifik dan berdasar pada gangguan yang ditemuinya. Meskipun menyadari terdapat gangguan genetik, tetapi dia gagal untuk menyelusuri orang tua dari anak-anak yang kelihatan sehat. Penyakit ini kemudian dinamakan sesuai dengan namanya, yaitu Anemia Cooley. Di Eropa pada tahun yang sama, Riette menjumpai anak-anak Itali dengan anemia hipokromik dan mikrositik yang tidak bisa diterangkan. Wintrobe dan rekan sekerjanya di USA juga melaporkan anemia ringan pada kedua orang tua anak yang mempunyai anemia Cooley.(Galanello, 2010)

Anemia ini serupa dengan anemia yang dijelaskan oleh Rietter di Itali.

Hanya setelah itu anemia berat Cooley dikenal pasti sebagai bentuk homozigot dari anemia ringan hipokromik dan mikrositik. Bentuk berat anemia ini dilabel sebagai Thalasemia dan dikategori menjadi Thalasemia minor dan mayor. ( Weatherall, 2012)

2.1.2 Epidemiologi

Kira-kira 5% populasi dunia mempunyai varian dari globin tetapi hanya 1,7%

mempunyai alpha dan beta thalasemia trait. Efek thalasemia pada pria dan wanita adalah sama dan terjadi kira kira 4,4 dari setiap 10.000 kelahiran hidup. Penyebaran

(26)

penyakit thalasemia dimulai dari Mediterrania, Timur Tengah, India Burma dan daerah sabuk thalasemia (Cina bagian Selatan, Thailand, semenanjung Malaysia, kepulauan Pasifik dan Indonesia).( Muncie, 2009)

Thalasemia tersebar luas di seluruh negara Asia Tenggara, serangkaian penelitian di Indonesia oleh Wahidiyat et al. (1987), Sofro et al. (1985), Untario et al. (1986), Untario (1988) dan Sofro (1995) mengungkapkan bahwa kejadian β thalasemia bervariasi antara 4,5 dan 7,8%. Adanya frekuensi yang luar biasa dari varian β thalasemia dan HbE. Di Indonesia penyakit thalasemia merupakan kelainan genetik yang banyak ditemukan, oleh karena Indonesia termasuk dalam daerah sabuk thalasemia. Menurut penelitian Sofro frekuensi pembawa gen thalasemia berkisar antara 3-8% (1995). Dan dilaporkan juga pada tahun 2002 oleh Lanni dkk, pada 17 populasi di Indonesia menunjukkan prevalensi carrier yang bervariasi yaitu 0 - 10%. Apabila dianggap presentase pembawa sifat thalasemia di Indonesia adalah 5%, tingkat kelahiran adalah 20% dan populasi adalah 200 juta sehingga akan ada 2.500 bayi yang homozigot setiap tahun di Indonesia. ( Ganie, 2003 )

Insiden tertinggi (10%) dari β thalasemia terlihat di Sumatera bagian tengah dan selatan, dengan terendah (0%) di bagian tengah dan utara Sulawesi. Tingkat menengah yang ditemukan di selatan Sulawesi, Kalimantan , Lombok, Ambon dan Flores. Begitu juga distribusi HbE adalah sama frekuensi tertinggi adalah pulau Sabu (25%), Sumbawa (8%) dan Madura dan di Jawa Timur (10%) di selatan Nusantara. Di tempat lain, frekuensi bervariasi antara 0 dan 5%. Frekuensi rata-rata keseluruhan untuk β thalasemia dan HbE masing-masing adalah 3,7% dan 2,7%.

(27)

Mengingat bahwa penduduk Indonesia pada saat ini mendekati 200 juta dan diproyeksikan mencapai 265 juta pada tahun 2025 jelas bahwa homozigot thalassemia β dan HbE β thalasemia menimbulkan masalah besar kesehatan masyarakat. ( Higgs, 2001 )

2.1.3 Klasifikasi Thalasemia-β

Thalasemia-β umumnya terdapat di daerah Mediterania, di anak benua India di Asia Tenggara dan umumnya pada orang-orang keturunan Afrika. (Bain, 2006b), (Rozenberg, 2011) Dimana mutasi thalasemia-β dibagi menjadi dua Kategori:

Thalasemia-β⁰ (beta zero) dan Thlassemia-β⁺ (beta plus). (Bain, 2006b) Bentuk ini lebih heterogen dibandingkan thalasemia α, tetapi untuk kepentingan klinis umumnya dibedakan antara thalasemia β⁰ dan thalasemia β⁺.

Pada β⁰ thalasemia tidak dibentuk rantai globin sama sekali, sedangkan β⁺

thalasemia terdapat pengurangan (10-50%) dari pada produksi rantai globin β tersebut. Maka akan terjadi penurunan produksi hemoglobin dan ketidak seimbangan rantai globin. Ini akan mengarah pada penurunan dari volume hemoglobin (MCH) dan volume eritrosit (MCV). (Pignatti, 2009) Pembagian selanjutnya adalah kadar HbA2 yang normal baik pada β0 maupun β+- thalasemia dalam bentuk heterozigotnya. Bentuk homozigot dari β0 atau campuran antara β0 dengan β+ -thalasemia yang berat akan menimbulkan gejala klinis yang berat yang memerlukan tranfusi darah sejak permulaan kehidupannya. Tapi kadang kadang

(28)

bentuk campuran ini memberi gejala klinis ringan dan disebut thalasemia intermedia.( Higgs, 2001 ),(Pignatti, 2009)

Berdasarkan fenotipnya thalasemia β dapat dibagi menjadi :

1. β-Thalasemia minor (trait) terjadi oleh karena ketidak seimbangan sintesa rantai globin-β. Dimana pada β-thalasemia minor (trait) tidak mengalami anemia yang berat, tetapi pada pemeriksaan darah lengkap di jumpai ( MCV ≤ 80 fl ) dan ( MCH ≤ 27 pg ) anemia mikrositer hipokrom. Pemeriksaan hemoglobin elektroforesis di jumpai adanya peningkatan HbA2 ( >3,5% ) (Long, 2014) Dalam membuat diagnosis β-thalasemia trait, harus mengesampingkan adanya penyakit kekurangan zat besi, yang dapat mengubah kenaikan kadar HbA2. HbF juga dapat terlihat, tergantung pada mutasi genetik yang mendasarinya. Manifestasi klinis thalasemia-β minor biasanya ringan dan umumnya pasien memiliki kualitas hidup yang baik. Anemia secara klinis tidak signifikan dan tidak memerlukan perlakuan khusus, kadang-kadang dilaporkan adanya splenomegaly, perubahan tulang ringan, ulkus pada kaki atau cholelithiasis. (Rachmilewitz, 2011) Kedua orang tua yang memiliki pembawa sifat β-thalasemia, maka akan melahirkan anak-anak 25% normal, 25% β- thalasemia mayor dan 50% β-thalasemia trait. (Rachmilewitz, 2011), (Bain, 2006)

2. Thalasemia-β Intermedia merupakan genetik dari kelompok ini mungkin memiliki homozigot thalasemia-δβ atau homozygous atau heterozygous thalasemia β⁰ dan atau mutasi thalasemia-β⁺ Pada thalasemia intermedia mengalami anemia hemolitik yang sedang, dengan mempertahankan Hb >7 g/dl

(29)

tanpa dukungan transfusi. Dalam penggunaan transfusi dibagi thalasemia-β intermedia dari thalasemia-β mayor. Ketika kebutuhan transfusi mencapai > 8 unit pertahun maka diklasifikasikan sebagai thalasemia-β mayor. Gejala klinis yang tampak pada thalasemia intermedia biasanya terjadi pada umur 2 - 4 tahun dengan gejala berupa anemia, hiperbilirubinemia, dan hepatospleenomegali.

Memiliki pertumbuhan yang lebih baik. Pada beberapa anak thalasemia intermedia, walaupun Hb > 7 g/dl dapat mengalami kegagalan dalam pertumbuhan ,kurus yang tidak dapat kembali seperti semula kecuali apabila dilakukan transfusi reguler sebelum umur 6 atau 7 tahun. (Rachmilewitz, 2011), (Bernard, 2009)

3. β Thalasemia Mayor selalu disebut anemia Cooley, anemia Mediterranean dan anemia Jaksch menunjukkan bentuk penyakit yang homozigot ataupun yang heterozigot dengan gejala anemia berat (1-7 g/dL), hemolisis dan inefektif eritropoesis yang berat. Manifestasi yang muncul pada masa anak-anak dapat terjadi anemia yang berat, ikterus, pertumbuhan terhambat, aktivitas menurun dan sering tidur. Hepatosplenomegaly dengan tanda awal dari wajah thalasemia biasanya ditemukan. (Rachmilewitz, 2011) Pada pemeriksaan hapusan darah tepi dijumpai poikilositosis, mikrositosis, hipokrom, target sel, basophilic stipling dan retikulositosis dengan peningkatan Nucleated Red cells.

(Rozenberg, 2011)

Thalasemia berdasarkan keparahan klinis dan kebutuhan transfusinya dapat diklasifikasikan secara fenotip menjadi dua kelompok yaitu:

(30)

- Transfusion Dependent Thalassemia (TDT)

Pasien TDT membutuhkan transfusi darah secara reguler untuk bertahan hidup dan tanpa mendapatkan transfusi yang adekuat, mereka akan mengalami berbagai komplikasi dan harapan hidup yang pendek. Kategori ini mencakup pasien thalasemia β mayor, HbE/ thalasemia β berat, transfusion dependent HbH disease atau HbH hydrops atau HbBart’s hydrops yang bertahan hidup.

(Taher, 2013)

- Non- Transfusion Dependent Thalassemia (NTDT)

Pasien NTDT tidak membutuhkan transfusi darah reguler untuk bertahan hidup namun hanya sewaktu-waktu bila dibutuhkan akibat kondisi klinis tertentu atau untuk masa waktu yang terbatas. Kelompok ini melingkupi pasien thalasemia β intermedia, HbE/thalasemia β ringan atau sedang dan HbH. (Taher, 2013)

Gambar 2.1. Klasifikasi Thalasemia Berdasarkan Fenotip dan Kebutuhan Transfusi Darah (Cappellini, 2014)

(31)

2.1.4 Patofisiologi Pada Thalasemia β Mayor

Berkurangnya produksi beta globin pada β Thalasemia mengakibatkan ketidakseimbangan rasio rantai alpha dan beta. Rantai alpha bebas tidak dapat berikatan dengan hemoglobin. Abnormalitas perkembangan kematangan sel darah merah terdapat pada dua fenomena , yaitu: .(Sorensen, 1990), (Yuan, 1994), (Advani, 1992)

- Eritropoesis yang inefektif

Eritropoesis yang inefektif disebabkan berkurangnya produksi sel darah merah di sumsum tulang akibat apoptosis sel dan hemolisis prekursor sel darah merah. Pada Thalasemia beta , hal ini disebabkan oleh hematopoesis ekstrameduler (produksi sel darah merah diluar sumsum tulang seperti hati dan limpa ).

- Hemolisis

Hemolisis sel darah merah pada Thalasemia beta terutama terjadi pada ekstravaskular, termasuk fagositosis sel darah merah abnormal di sistem retikuloendotelial.

Sel darah merah pada Thalasemia beta adalah mikrositik dan hipokromik akibat berkurangnya produksi hemoglobin. Bentuk abnormal sel darah merah dapat terlihat pada sediaan apus darah tepi, termasuk sel target, teardrop cell (datrocytes), bentuk fragmen (schistocytes), dan burr cells (echinocytes). Abnormalitas bentuk ini disebabkan oleh efek pada membran sel darah merah dan hematopoesis ekstrameduler. Sel darah merah berinti juga dapat ditemukan, terutama stelah splenektomi.(Sorensen, 1990), (Yuan, 1994), (Advani, 1992)

(32)

Nilai retikulosit dapat meningkat namun juga sering menurun tergantung derajat anemia, hal ini disebabkan meningkatnya destruksi sel darah merah dan menurunnya produksi sel darah merah yang efektif. .(Sorensen, 1990)

Ketidakseimbangan Sintesis rantai globin

Defek utama pada thalasemia β adalah penurunan atau ketiadaan produksi rantai globin β yang secara relatif menyebabkan kelebihan rantai globin . Konsekuensi langsung dari hal tersebut adalah berkurangnya produksi hemoglobin dan imbalans sintesa rantai-rantai globin. Penurunan produksi hemoglobin lebih jelas pada thalasemia β trait sehingga terjadi penurunan Hb dan MCV namun dengan efek klinis yang minimal. Sedangkan imbalans produksi rantai globin lebih menonjol terjadi pada thalasemia β mayor, dimana kondisi tersebut sangat mempengaruhi sel precursor eritorid yang mengakibatkan dektruksi premature di sumsum tulang maupun ekstramedula yang disebut sebagai eritropoesis inefektif dan menjadi kekhasan bagi thalasemia β mayor. (Cappellini, 2014)

Tingkat ketidakseimbangan rantai globin ditentukan oleh mutasi pada gen β. β0 diartikan sebagai ketiadaan produksi rantai globin β pada alel yang bersangkutan. Sedangkan β+ diartikan sebagai alel yang secara parsial masih memproduksi rantai globin β (kira-kira 10 %). Pada β++ penurunan produksi rantai globin β sangat minimal. Hingga saat ini, telah dilaporkan 200 jenis mutasi yang terjadi pada pasien thalasemia β. (Caocci, 2012)

(33)

Gambar 2.2. Patofisiologi Thalasemia β (Cappellini, 2014)

Kerusakan membran/ sitoskeletal dan dehidrasi sel

Prekursor sel darah merah yang normal meliputi spectrin, band 4.1, dan band 3.

Pada Thalasemia beta, susunan protein tersebut tidak teratur dan terputus, terutama pada area agregat rantai alpha dan tahap awal perkembangan eritroid. (Aljurf, 1996) Abnormalitas sitoskeletal ini diduga disebabkan oleh kerusakan oksidan, baik pada rantai globin yang terikat atau langsung pada protein membran sitoskeletal atau integral, dibuktikan dengan hilangnya thiols bebas pada rantai globin dan protein membran lainnya. (Advani, 1992) Oksidasi adalah proses normal pada sel darah merah ( hemoglobin teroksidasi menjadi methemoglobin sebanyak 0.5 sampai 3 % setiap hari). Pada Thalasemia , rantai alpha dan beta rentan mengalami oksidasi yang membentuk hemikrom yang termodifikasi.

(34)

Hemikrom ini dapat membentuk reactive oxygen species (ROS) yang dapat mengoksidasi protein membran dan lipid. (Filosa, 2005)

Abnormalitas pada prekursor eritroid mengakibatkan terjadinya apoptosis pada sumsum tulang, sedangkan abnormalitas pada sel darah merah mengakibatkan rigidity, meningkatnya ekpresi phosphatidylserine (PS), dan neoantigen. Hal ini menyebabkan meningkatnya hemolisis, terutama pada sistem retikuloendotelial.

(Olivieri, 1992)

Eritropoesis Inefektif

Eritropoesis inefektif pada Thalasemia beta disebabkan oleh berkembangnya simpanan prekursor eritroid dan destruksi prematur prekursor di sumsum tulang.

Pada Thalasemia beta mayor, kematian sel intrameduler prekursor sel darah merah adalah sebesar 60 sampai 75%. ( Centis, 2000)

Karakteristik eritropoesis inefektif meliputi ekspasi sel progenitor eritroid dan percepatan diferensiasi yang diikuti dengan berhentinya proses maturasi dan apoptosis pada tahap polychromatophilic erytroblast. Ekspansi eritroid bersamaan dengan meningkatnya kadar eritropoetin, dapat dilemahkan dengan adanya sitokin inflamasi GDF11. GDF11 adalah sitokin yang membantu ekspansi pada sel progenitor eritroid. (Centis, 2000) . Respon pertama terhadap eritropoesis inefektif dan anemia adalah peningkatan produksi eritropoetin yang menyebabkan hyperplasia eritroid yang jelas sehingga mengakibatkan munculnya kelainan bentuk tulang tengkorak kepala, tulang wajah dan tulang panjang (Rachmilewitz,

(35)

2011), osteoporosis, dan terkadang massa ekstramedular dan berkontribusi dalam menyebabkan splenomegali.

Mekanisme apoptosis prekursor eritroid meliputi heat shock protein yaitu HSP 70 oleh rantai alpha globin pada sitoplasma prekursor sel darah merah, yang mengakibatkan kematian sel dan kegagalan maturasi. Meningkatnya kerentanan prekursor eritroid Thalasemia beta terhadap fagositosis makrofag di sumsum tulang telah diteliti. (Centis, 2000)

Hemolisis

Mekanisme hemolisis berkaitan dengan rantai alpha yang berlebihan, yang akan mengagregasi dan presipitasi , dan merusak membran sel darah merah. Sel darah merah menjadi lebih rigid, membuat pergerakan di dalam pembuluh darah dan sistem RES menjadi tidak baik. (Schrier, 1989)

Deformabilitas

Deformabilitas ( fleksibilitas) merupakan hal penting agar sel darah merah dapat melewati sirkulasi kapiler dan sinusoid limpa dan hati. Deformabilitas bergantung kepada rasio permukaan dan volume sel darah merah, viskositas sitoplasmik yang rendah, dan viskoelastisitas membran. Sel darah merah yang deformabilitasnya tidak baik akan terperangkap dan dihancurkan oleh makrofag di limpa dan hati.

(Schrier, 1989)

Pada Thalasemia beta, sel darah merah lebih padat dan dehidrasi, terutama pada penderita yang telah splenektomi. Sel darah merah juga menjadi lebih rigid, walau rasio permukaan terhadap volume normal. (Schrier, 1989)

(36)

Usia sel darah merah berkurang

Usia sel darah merah ada Thalasemia beta lebih pendek dibandingkan dengan non- Thalasemia. Hal ini disebabkan oleh aktivitas makrofag dan fagositosis di sistem RES. Sinyal terhadap makrofag dalam mengidentifikasi sel darah merah pada Thalasemia telah banyak diteliti:

- Fosfolipid membran seperti phosphatidylserine (PS) dikenali makrofag sebagai sinyal untuk fagositosis. Pada Thalasemia, membran yang rusak akibat kerusakan oksidatif sehingga PS terekspos. (Allen, 1988)

- Anti-RBC autoantibodies juga dapat terbentuk akibat protein membran abnormal yang terekspos. Autoreactive IgG telah ditemukan pada permukaan sel darah merah Thalasemia. (Galili, 1983)

- Rantai alpha globin yang teroksidasi berikatan dengan membran dan mempengaruhi struktur serta deformabilitasnya. (Traeger, 1996)

- Meningkatnya produksi sitokin, terutama tumor necrosis factor, mengaktivasi monosit dan makrofag yang sehingga menjadi lebih phagocytic. (Meliconi, 1992) 2.1.5 Diagnosis Thalasemia-β

Diagnosis thalassemia ditegakkan berdasarkan : 1. Anamnese

Keluhan timbul karena anemia: pucat, gangguan nafsu makan, gangguan tumbuh kembang dan perut membesar karena pembesaran lien dan hati. Pada umumnya keluhan ini mulai timbul pada usia 6 bulan Dalam

(37)

mendiagnosa thalassemia sangat penting mengetahui tentang riwayat penderita dan keluarga, karena ada beberapa populasi dengan ras etnik tertentu memiliki frekuensi yang tinggi untuk jenis gen abnormal thalassemia. . ( Sacher, 2004 )

2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik penderita thalassemia dapat dijumpai adanya : . ( Sacher, 2004 )

 tanda pucat yang menunjukkan adanya anemia,

 ikterus

 adanya pembesaran organ seperti splenomegali, hepatomegali, yang menyebabkan perut membesar.

 Skeletal formation.

3. Pemeriksaan Laboratorium :

Dengan pemeriksaan FBC (Full Blood Count) dapat dilihat nilai eritrosit rerata seperti Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean corpuscular hemoglobin (MCH), Red Blood Cell Distribution Width (RDW). (Ganie, 2003). Pada penderita thalasemia β heterozigot biasanya nilai MCV dan MCH rendah (mikrositer hipokrom) dan dengan atau tanpa anemia. Apusan darah tepi memperlihatkan hipokrom mikrositer namun tidak terlalu berat, dan eritroblas jarang ditemukan. Thalasemia β intermedia menunjukkan nilai Hb 7- 10 g/dL, MCV 50-80 dan MCH 16- 24 pg. Sedangkan pada pasien thalasemia β mayor saat skrening sering memperlihatkan gambaran

(38)

apusan darah tepi berupa hipokromik dengan mikrositosis, anisositosis, poikilositosis ( tear drop cell, ovalosit), sel target, basofilik stippling dan sel darah merah berinti dapat dijumpai sesuai dengan keparahan anemianya. Hb biasanya kurang dari 7 g/dl dengan MCS 50-70 fl, dan MCH 12-20 pg.

Retikulosit count sangat meningkat. Perhitungan Platelet dan sel darah putih biasanya meningkat, dan serum bilirubin juga meningkat. (Cappellini, 2014) (Khalilullah, 2011)

Selain pemeriksaan FBC dalam mendiagnosa β-Thalasemia sangat penting dilakukan pemeriksaan kuantitasi dari HbA2, sehingga diperlukan presisi yang baik dalam metode kuantitasi HbA2. Ada beberapa metode dalam pemeriksaan HbA2 yaitu Hemoglobin elektroforesis dengan media sellulose asetat, kromatografi kolom mikro, high performance liquid chromatography (HPLC) dan elektroforesis kapiler. International Committe for Standardization in Haematology (ICSH) menganjurkan metode terpilih dengan kromatografi mikro kolom karena memiliki ketelitian yang baik dengan CV < 4%. Elektroforesis kapiler (CE) mampu membedakan hemoglobin E (HbE) dari HbA2, sehingga dapat membedakan dengan baik kuantifikasi HbA2 pada pasien dengan HbE. (Wickrema, 2009)

Manusia dewasa memiliki darah normal yang terdiri dari fraksi hemoglobin HbA, HbF, dan HbA2. HbA merupakan komponen mayor dari fraksi hemoglobin α2β2, dengan kadarnya 96,8% - 97,8%, sedangkan komponen minor terdiri dari rantai globin α2ϒ2 (HbF) dengan kadar <0,5%, dan α2δ2 (HbA2) dengan kadarnya 2,2% - 3,2%. (Wickrema, 2009)

(39)

Peningkatan Hemoglobin A2 merupakan parameter yang paling signifikan dalam mengidentifikasi β-thalasemia. Distribusi HbA2 pada 200 orang sehat dengan menggunakan alat elekroforesis dengan media celulosa acetate diperoleh HbA2 berkisar 1,5 - 3,2%. Cutoff yang banyak digunakan peneliti sebagai batas atas HbA2 pada populasi sehat adalah 3,2%, dan digunakan juga selama penelitian ini untuk studi perbandingan. (Kohne, 2012)

Analisa hemoglobin dengan pemeriksaan hemoglobin elektroforesis dengan menilai kadar HbA2 dan kadar HbF. Kuantitasi HbA2 yang meningkat > 3,2% mengidentifikasi suatu β-thalasemia trait.. (Kohne, 2012)Analisa hemoglobin dengan metode mikrokapiler elektroforesis. Pada pasien thalasemia β mayor, hasil Hb elektroforesis setelah usia 12-16 bulan memperlihatkan nilai Hb A2 , Hb F, atau keduanya meningkat atau bahkan hanya memperlihatkan Hb F dan Hb A2 saja (tanpa Hb A). Pasien dengan gen β +-thalasemia memiliki Hb A tetapi mengalami peningkatan pada Hb F dan Hb A2. Diagnosis β -thalasemia mayor sebaiknya juga diperkuat dengan temuan β -thalasemia minor pada kedua orang tua penderita.

(Khalilullah, 2011)

Umumnya, dengan melakukan pemeriksaan molekuler berbasis PCR, mutasi pada gen rantai glodin β dapat ditemukan. Metode lain yang sering dilakukan adalah dot blot analysis atau primer-specific amplification yang memiliki primer-primer spesifik terhadap mutasi yang sering terjadi pada populasi thalasemia. (Khalilullah, 2011)

(40)

Gambar 2.3 Gambaran Diagnostik Thalasemia β dan Hemoglobinopati (Cappellini, 2014)

2.2 Defek Koagulasi pada Thalasemia β Mayor 2.2.1 Epidemiologi

Beberapa studi pada literatur menyebutkan terjadinya hiperkoagulablitas dan perdarahan pada pasien Thalasemia β mayor. Insidensi kejadian tromboemboli pada Thalasemia β mayor bervariasi antara 0.9-4.0% pada beberapa studi. Namun terdapat beberapa studi yang juga melaporkan terjadinya kecenderungan perdarahan pada Thalasemia β mayor.(Chhikara, 2016)

(41)

Penelitian di India tahun 2005 menunjukkan 33.3% pasien Thalasemia mengalami trombositopenia. Hal yang sama didapatkan pada studi oleh Ibrahim dkk tahun 1999 yaitu sebesar 30.7%. Studi di Israel tahun 1978 menunjukkan jumlah trombosit yang normal pada pasien Thalasemia yang tidak dilakukan splenektomi. (Naithani, 2006)

2.4.2 Patofisiologi

Beberapa faktor terlibat dalam patofisiologi defek koagulasi pada penderita Thalasemia β mayor termasuk penumpukan daripada besi, abnormaltitas membran sel darah merah, defisiensi beberapa protein kaskade koagulasi dan sistem fibrinolisis, kerusakan oksidatif akibat hemoglobin bebas, peningkatan aktivasi dan agregasi trombosit, aktivasi endotel dan leukosit. Beberapa studi meneliti kecenderungan terjadi perdarahan seperti epistaksis, lebam pada kulit atau terjadi tromboemboli dengan tempat predileksi terjadinya mikrotrombus adalah sistem saraf pusat, paru, dan pembuluh darah pulmonal (Chhikara, 2016)

Terjadinya trombosis atau perdarahan tergantung kepada keseimbangan antara kaskade koagulasi dan sistem fibrinolisis. Studi di India pada tahun 2016 melaporkan dari 50 kasus Thalasemia terdapat pemanjangan PT dan APTT sebanyak 18% dan 30%. Berkurangnya aktivitas Protein C (PC) terdapat pada 50%

kasus dan protein S (PS) pada 54% kasus. (Chhikara, 2016)

Abnormalitas minor mekanisme koagulasi pada pasien yang mengalami perdarahan termasuk pemanjangan masa protrombin dan berkurangnya kadar faktor I, II, VI, IX, dan IX. Berkurangnya kadar antikoagulan disebabkan oleh

(42)

menurunnya fungsi hati akibat jumlah besi yang berlebihan yang disebabkan oleh transfusi darah secara berulang. Jumlah besi dalam setiap unit darah adalah 200- 250 mg. Jumlah besi yang terdeposit di dalam tubuh sebanyak 4 gr, dan jumlah kehilangan zat besi sebanyak 1 – 2 mg maka bila dilakukan transfusi darah setiap dua minggu, jumlah besi akan menumpuk di dalam tubuh. Sel darah merah kemudian akan dihancurkan oleh reticulo-endothelial system (RES) terutama pada limpa, maka penumpukan besi akan lebih banyak mempengaruhi limpa, lalu pada sel hati. (eldor, 1978)

Intramacrophagic iron akan dilepaskan secara progresif kedalam aliran darah untuk mencapai sumsum tulang yang akan memproduksi sel-sel darah merah baru. Pada proses pelepasan ini, plasma transferrin akan meningkat secara cepat mencapai hampir 100% (normal dibawah 45%), hal ini akan memunculkan plasma non-transferrin bound iron (NTBI) dimana akan diikat oleh sel-sel parenkim hati menyebabkan penumpukan besi di hati. (Brissot, 2014) Labile plasma iron (LPI) adalah bentuk besi yang dapat membentuk reactive oxygen species (ROS). ROS dapat merusak membrane sel lipid dan inti sel. Kerusakan ini menyebabkan menurunnya produksi dari protrombin, factor V dan factor VII, PTC, PTA, dan fibrinogen. Komplikasi kerusakan hati jangka panjang yaitu resiko terjadinya fibrosis dan sirosis. Derajat kerusakan hati dapat diperiksa dengan pemeriksaan fungsi hati atau pembekuan darah. (Hilgatner, 1963)

Diseritropoesis merupakan mekanisme lain yang penting dalam menyebabkan terjadinya penumpukan besi. Penurunan produksi hormon hepsidin

(43)

oleh hati akan menyebabkan gangguan aktivitas cellular iron exporter (ferroportin) yang mengakibatkan penyerapan besi meningkat. (Brissot, 2014),

Terdapat hipotesis mengenai perdarahan pada pasien Thalasemia β mayor tidak hanya disebabkan oleh defek pada faktor koagulasi namun juga defek pada fungsi trombosit. Beberapa studi juga telah menunjukkan secara in vitro di dalam flow chamber ditemukan bahwa eritrosit pada pasien talasemia β mayor memiliki kohesi yang lebih besar dari pada normal, sehingga cenderung terbentuk aggregat yang besar, roeleaux yang susah dipisahkan, namun fenomena ini berkurang bila eritrosit talasemia dicampurkan dengan eritrosit normal. Hal ini menunjukkan pasien talasemia yang tidak menjalani transfusi secara reguler, memiliki resiko lebih besar untuk terjadinya trombosis (Capellini, 2014). Penelitian di Israel tahun 1978 menunjukkan bahwa perdarahan yang terjadi pada pasien Thalasemia β mayor lebih disebabkan karena gangguan agregasi trombosit tanpa adanya pemanjangan masa protrombin. (eldor, 1978) Laporan lain menemukan bahwa terjadi penurunan signifikan dari kemampuan agregasi trombosit dalam merespon berbagai agonis.

Mungkin hal ini juga lah yang menyebabkan terjadinya tendensi pendarahan ringan pada thalasemia, dimana kondisi ini diduga merupakan hasil dari kondisi hiperkoagulasi dan penurunan fungsi trombosit yang didapat (acquired) akibat trombosit yang terus menerus diaktifkan in vivo. Bukti untuk kondisi ini didukung oleh peningkatan signifikan dari jumlah agregat trombosit yang bersirkulasi, terutama pada pasien thalasemia post splenektomi dengan jumlah platelet yang tinggi. Efek yang menguntungkan dari penggunaan aspirin pada pasien thalasemia post splenektomi yang mengalami hipoksemia tanpa adanya tanda gagal jantung

(44)

atau infeksi pulmonal menjadi bukti yang mendukung hipotesa ini. Selain manifestasi pada sistem saraf pusat berupa sakit kepala, kejang ataupun hemiparese, hiperkoagulasi pada pasien thalasemia β mayor juga sering mengakibatkan trombosis pada arteri pulmonal dan DVT (Eldor, 1989)

Gambar 2.4. Peranan Eritrosit, Trombosit dan Faktor Koagulan Terhadap Status Hiperkoagulasi Pasien Talasemia β Mayor (Eldor, 2002)

2.3 Sistem Pembekuan Darah

Hemostasis merupakan proses kompleks yang berlangsung secara terus menerus dalam mencegah kehilangan darah secara spontan, serta menghentikan perdarahan akibat kerusakan sistem pembuluh darah. Setiap kerusakan endotel pembuluh darah merupakan rangsangan yang poten untuk pembentukan bekuan

(45)

darah. Proses yang terjadi secara lokal apabila terdapat kerusakan pada pembuluh darah, akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah sehingga aliran darah ke pembuluh darah yang rusak berkurang, membatasi kehilangan darah yang berlebihan dan memberi kesempatan untuk perbaikan pembuluh darah.

(Deloughery, 2004) (Lisyani, 2006) Kemudian trombosit akan berkumpul dan melekat pada bagian pembuluh darah yang rusak untuk membentuk sumbat trombosit. Faktor pembekuan darah yang diaktifkan akan membentuk benang- benang fibrin yang akan membuat sumbat trombosit menjadi non-permeable sehingga perdarahan dapat dihentikan.(Lisyani, 2006)

Terdapat beberapa mekanisme kontrol dari proses hemostasis antara lain sifat antikoagulan dari sel endotel normal,adanya inhibitor faktor koagulan aktif dalam sirkulasi dan produksi enzim fibrinolitik untuk melarutkan bekuan.

(Deloughery, 2004)

Proses hemostasis dibagi atas beberapa tahapan, yaitu hemostasis primer yang dimulai dengan aktivasi trombosit hingga terbentuknya sumbat trombosit.

Hemostasis sekunder dimulai dengan aktivitasi koagulasi hingga terbentuknya bekuan fibrin yang menggantikan sumbat trombosit. Hemostasis tertier dimulai dengan diaktifkannya sistem fibrinolisis sampai terjadinya perbaikan pada daerah yang mengalami kerusakan setelah perdarahan berhenti.(Lisyani, 2006)

Proses pembekuan darah dimulai melalui dua jalur yaitu jalur intrinsik yang dicetuskan oleh aktivasi kontak dan melibatkan F.XII, F.XI, F.IX, F.VIII, high molecular weight kininogen (HMWK), platelet factor 3 (PF.3), pre kalikrein (PK) dan ion kalsium, serta jalur ekstrinsik yang dicetuskan oleh tromboplastin jaringan

(46)

dan melibatkan faktor VII, ion kalsium. Rangkaian reaksi koagulasi ini akan membentuk thrombin dan mengubah fibrinogen menjadi benang-benang fibrin yang tidak larut. Fibrin sebagai hasil akhir dari proses pembekuan darah akan menstabilkan sumbatan trombosit.(Deloughery, 2004)

Dalam garis besar proses pembekuan darah berjalan melalui 3 tahap:

(Perdamaian, 2014)

1) Pembentukan tromboplastin

2) Perubahan protrombin menjadi trombin 3) Perubahan fibrinogen menjadi fibrin

Jalur intrinsik meliputi fase kontak dan pembentukan kompleks aktivator F.X. Adanya kontak antara F.XII dengan permukaan asing seperti serat kolagen akan menyebabkan aktivasi F.XII menjadi F XIIa. Dengan adanya kofaktor HMWK, F.XIIa akan mengubah prekalikrein menjadi kalikrein yang akan meningkatkan aktivasi F.XII. Di samping itu kalikrein akan mengaktifkan F.VII menjadi F.VIIa pada jalur ekstrinsik, mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin pada sistem fibrinolitik, serta mengubah kininogen menjadi kinin yang berperan dalam reaksi inflamasi. Jadi aktivasi F.XII disamping mencetuskan pembekuan darah baik jalur intrinsik maupun jalur ekstrinsik, juga mencetuskan sistem fibrinolitik dan kinin.(Lisyani, 2006)

Reaksi selanjutnya pada jalur intrinsik adalah aktivasi F.XI menjadi F.XIa oleh F.XIIa dengan HMWK sebagai kofaktor. F.XIa dengan adanya ion kalsium akan mengubah F.IX menjadi F.IXa. Reaksi terakhir pada jalur intrinsik adalah interkasi non enzimatik antara F.IXa, PF.3, F.VIII dan ion kalsium membentuk

(47)

kompleks yang akan mengaktifkan F.X. Walaupun F.IXa dapat mengaktifkan F.X, tetapi dengan adanya PF.3, F.VIII dan ion kalsium maka reaksi ini akan dipercepat.

(Lisyani, 2006)

Jalur ekstrinsik terdiri dari reaksi tunggal dimana F.VII akan diaktifkan menjadi F.VIIa dengan adanya ion kalsium dan tromboplastin jaringan yang dikeluarkan oleh pembuluh darah yang luka. Akhir-akhir ini terbukti bahwa aktivasi F.VII menjadi F.VIIa dapat terjadi dengan adanya kalikrein. Hal ini membuktikan adanya hubungan antara jalur intrinsik dengan jalur ekstrinsik. Selanjutnya F.VIIa yang terbentuk akan mengaktifkan F.X menjadi F.Xa.(Lisyani, 2006)

Jalur bersama meliputi pembentukan prothrombin converting complex (protrombinase), aktivasi protrombin dan pembentukan fibrin. Reaksi pertama pada jalur bersama adalah perubahan F.X menjadi F.Xa oleh adanya kompleks yang terbentuk pada jalur intrinsik dan atau F.VIIa dari jalur ekstrinsik. F.Xa bersama F.V, PF.3 dan ion kalsium membentuk prothrombin converting complex yang akan mengubah protrombin menjadi trombin. Trombin merupakan enzim proteolitik yang mempunyai beberapa fungsi yaitu mengubah fibrinogen menjadi fibrin, mengubah F.XIII menjadi F.XIIIa, meningkatkan aktivitas F.V dan F.VIII, merangsang reaksi pelepasan dan agregasi trombosit.(Lisyani, 2006)

Pada reaksi selanjutnya trombin akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin monomer. Seperti kita ketahui fibrinogen terdiri dari 3 pasang rantai polipeptida yaitu 2 alfa, 2 beta dan 2 gama. Trombin akan memecah rantai alfa dan beta pada N-terminal

(48)

menjadi fibrinopeptida A, B dan fibrin monomer. Fibrin monomer akan segera mengalami polimerasi untuk membentuk fibrin polimer. Mula-mula fibrin polimer yang terbentuk bersifat tidak stabil karena mudah larut oleh adanya zat tertentu seperti urea, sehingga disebut fibrin polimer soluble. Dengan adanya F.XIIIa dan ion kalsium, maka fibrin polimer soluble akan diubah menjadi fibrin polimer insoluble karena terbentuk ikatan silang antara 2 rantai gama dari fibrin monomer yang bersebelahan. Aktivasi F.XIII menjadi F.XIIIa terjadi dengan adanya trombin.

(Lisyani, 2006)

Gambar 2.5 Proses Koagulasi (Deloughery, 2004)

(49)

2.4 Alat Ukur Gangguan Koagulasi 2.4.1 Prothrombin Time ( PT )

Prothrombin time (PT) mengukur faktor-faktor koagulasi yang berperan di jalur ekstrinsik dan jalur bersama. PT lebih sensitif terhadap faktor-faktor koagulasi yang tergantung pada vitamin K ( F II, VII, IX, dan X). Pemeriksaan ini dilakukan dengan menambahkan ion Calsium dan tromboplastin/ faktor jaringan (murni atau rekombinan) pada plasma sitrat. Penambahan ini akan menimbulkan rangsangan yang kuat bagi aktivasi F VI atau jalur bersama. (dalimunthe, 2015) Selain itu juga dapat dipakai untuk memantau efek antikoagulan oral karena golongan obat tersebut menghambat pembentukan faktor pembekuan protrombin, VII, IX, dan X (Shlebak, 2007).

Hasil PT dapat sangat bervariasi, tergantung pada jenis tromboplastin yang digunakan. Tromboplastin murni biasanya memberikan nilai normal antara 10-14 detik, yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan recombinant tissue factor.

Ketika PT digunakan untuk memantau pasien yang mendapat terapi warfarin (antikoagulan oral), maka sensitivitas tromboplastin sangat penting dan bertanggung jawab terhadap pemanjangan PT. Keadaan ini menyebabkan berkembangnya standarisasi metode untuk menginterpretasi hasil PT, yaitu Internasional Normalized Ratio (INR). (dalimunthe, 2015) Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan bila ke dalam plasma yang diinkubasi pada suhu 37°C, ditambahkan reagens tromboplastin jaringan dan ion kalsium (Kitchen, 2009).

(50)

Prothrombin time (PT) juga akan memanjang bila terdapat heparin dalam jumlah yang besar di sirkulasi, dan yang lebih jarang ditemukan adalah adanya circulating inhibitor, penurunan kadar fibrinogen <100 mg/dL, atau adanya molekul fibrinogen abnormal atau fragmen di sirkulasi. Terakhir, PT akan memanjang bila bahan pemeriksaan disimpan terlalu lama sebelum diperiksa karena terjadi degradasi faktor-faktor koagulasi. (dalimunthe, 2015) (Shlebak, 2007).

Pemeriksaan ini mengukur waktu yang diperlukan untuk terjadinya bekuan pada plasma yang ditambahkan Calsium (recalcified plasma) dengan adanya konsentrasi tromboplastin yang optimal. Tes ini terutama bertujuan mengukur efisiensi jalur ekstrinsik dalam membentuk protrombin, namun pemeriksaan ini juga tergantung pada keadaan F V, F VII, F X dan konsentrasi fibrinogen plasma.

Pemanjangan PT dapat ditemukan pada keadaan-keadaan: (dalimunthe, 2015) - Pemberian obat antikoagulan oral ( antagonis vitamin K).

- Penyakit hati, terutam obstructive jaundice.

- Defisiensi vitamin K.

- Koagulasi intravaskular diseminata (KID).

- Defisiensi atau defek F VII, F V, F X, protrombin , namun keadaan ini jarang ditemukan.

(51)

2.4.2 Activated Partial Thromboplastin Time (aPTT)

Pemeriksaan ini memeriksa faktor-faktor koagulasi jalur intrinsik dan jalur bersama ( F XII, XI, IX, VIII, X, V dan II). Pada pemeriksaan ini, plasma sitrat diaktivasi dengan bahan-bahan contact surface seperti Kaolin, ditambah ion Calsium dan fosfolipid. Tergantung pada reagens yang digunakan, nilai aPTT umumnya berkisar antara 25-38 detik. Klinisi harus familiar dengan nilai normal pemeriksaan koagulasi di masing-masing laboratorium. (dalimunthe, 2015), (Shlebak, 2007).

Pemeriksaan aPTT dapat memanjang pada defisiensi faktor-faktor koagulasi yang berperan dalam jalur intrinsik dan jalur bersama, adanya circulating inhibitor atau kelainan fibrinogen. Biasanya defisiensi faktor relatif berat, kadarnya di bawah 30-40% dari nilai normal, defisiensi berbagai faktor sekaligus, akan menyebabkan aPTT sangat memanjang. (Shlebak, 2007).

Pemeriksaan ini mengukur waktu yang diperlukan untuk terjadinya bekuan pada plasma setelah aktivasi faktor kontak dengan penambahan fosfolipid dan CaCl2, tanpa penambahan tromboplastin. Tes ini terutama bertujuan mengukur efisiensi jalur intrinsik. Pemeriksaan ini tidak hanya tergantung pada faktor kontak, F VIII dan F IX, namun juga dipengaruhi oleh F X, F V, protrombin, dan fibrinogen.

Pemeriksaan ini sensitif terhadap adanya circulating anticoagulants (inhibitor) dan heparin. Pemanjangan aPTT dapat ditemukan pada keadaan-keadaan: (dalimunthe, 2015) (Kitchen, 2009).

- Koagulasi intravaskular diseminata (KID).

- Penyakit hati

(52)

- Transfusi masif dengan plasma depleted red blood cells

- Pemberian atau kontaminasi dengan antikoagulan (heparin atau antikoagulan lainnya).

- Adanya circulating anticoagulants ( inhibitor) - Defisiensi protein koagulasi selaian F VII.

2.4.3 Thrombin Time (TT)

Pemeriksaan TT mengukur tahap akhir jalur bersama, yaitu perubahan fibrinogen menjadi fibrin. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menambahkan larutan trombin bovin yang encer pada plasma sitrat. Tergantung pada larutan trombin yang digunakan, nilai trombin TT dapat berkisar antara 9-35 detik. Thrombin time akan memanjang pada pasien dengan kadar fibrinogen yang rendah atau adanya kelainan molekul fibrinogen atau adanya inhibitor FDP dengan konsentrasi yang tinggi.

Sehingga pemeriksaan TT ini merupakan indikator yang sensitif untuk DIC dan kelainan hati. Sebagai tambahan, adanya heparin di sirkulasi, walaupun dalam jumlah sangat sedikit, dapat membuat TT sangat memanjang karena secara langsung akan menghambat trombin yang ditambahkan. Bila terdapat heparin, heparin insensitive reptilase time , dapat menggantikan TT untuk menentukan kadar dan fungsi fibrinogen. (Kitchen, 2009).

Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan pada suhu 37ºC bila ke dalam plasma ditambahkan reagens trombin (Rahajuningsih, 2012).Thrombin time akan memanjang pada keadaan: (dalimunthe, 2015) (Kitchen, 2009).

- Hipofibrinogenemia

(53)

- Peningkatan FDP

- Adanya unfractionated heparin - Disfibrinogenemia

- Hipoalbuminemia - Paraproteinemia

2.5. Iron overload pada Thalasemia

Pada thalasemia, penimbunan besi tidak hanya dijumpai di sel retikuloendotelial (sel kupffer) tetapi juga di parenkim hati (hepatosit), yang menandakan adanya peningkatan absorpsi besi di usus dan transfusi darah berulang.( Tavill, 1993)

Untuk mengatasi penimbunan besi pada penderita yang mendapat transfusi berulang diperlukan zat kelasi besi. Zat kelasi besi yang banyak dipakai saat ini adalah desferoxamine (desferal). Dosis desferal umumnya 25-50 mg/kg/hari secara subkutan atau intravena selama 5 hari per minggu terus-menerus pada penderita yang sering ditransfusi. Selain desferal, terdapat pula obat alternatif kelasi besi yang

diberikan secara per oral, yaitu deferiprone dengan dosis 50-100 mg/kg/hari.

(Bridges, 1993; Bonkovsky, 1996; Subbagian hematologi, 1997; Oliviery, 1997).

Kemampuan besi untuk terlibat dalam reaksi redoks dapat mengakibatkan toksisitas. Keadaan ini biasanya terjadi apabila kapasitas penyimpanan besi terlampaui. Besi yang bersifat katalisator aktif dapat mengakibatkan kerusakan oksidasi pada lipid, protein dan asam nukleat . Penimbunan besi yang kronis, mengakibatkan transferin plasma menjadi jenuh dengan besi sehingga sejumlah besi tidak diikat oleh transferin (nontransferin bound iron). Non-transferin bound

(54)

iron (NTBI) ini selanjutnya mengalami ambilan (uptake) yang cepat oleh hati berkisar 70%.(Brisott, 1985; Wright, 1986) Pada keadaan penimbunan besi, ambilan ini diduga ikut berperan dalam proses kerusakan hati karena NTBI bersifat toksik akibat zat oksigen reaktif yang dihasilkannya.( Hershko, 1978; Bonkovsky, 2000)

Selain itu pada keadaan penimbunan besi, senyawa radikal bebas seperti superoksid radikal (O2-) menyebabkan pelepasan besi dari feritin sehingga besi terdapat dalam bentuk ion fero (Fe2+). (McCord, 1998) Dengan terdapatnya zat-zat reduktan seperti superoksid dan hidrogen peroksida, maka besi dalam bentuk NTBI (non-transferin bound iron) atau besi yang dilepaskan dari feritin berperan dalam pembentukan senyawa hidroksil radikal (OH-) melalui reaksi fenton.( Bacon, 1996;

McCord, 1998; Bonkovsky, 1996) Selanjutnya senyawa hidroksil radikal ini menyebabkan peroksidasi lipid, yang mengakibatkan kerusakan membran dan terbentuknya bermacam macam produk peroksida yang reaktif dan bersifat toksik.

Hemokromatosis kelenjar endokrin pada penderita Thalasemia merupakan salah satu faktor penyebab gangguan pertumbuhan. Faktor lain yang menyebabkan gangguan pertumbuhan yaitu hipoksia jaringan akibat anemia dan nafsu makan yang menurun. Nutrisi yang optimal sangat penting untuk kasus thalassemia sebagai modalitas dalam pengobatan jangka panjang dan untuk mencegah gangguan gizi, gangguan pertumbuhan, perkembangan pubertas terlambat, dan defisiensi imun yang mungkin berhubungan dengan malnutrisi sekunder.( Fuchs, 1997) Asupan nutrisi yang seimbang, mengandung vitamin, serta pemberian suplemen kalsium dan vitamin D yang adekuat, dapat meningkatkan densitas tulang

Referensi

Dokumen terkait

Imee.S.Surbakti yang sedang menjalani pendidikan dokter spesialis patologi klinik di FK USU, ingin menjelaskan kepada Ibu-ibu tentang penelitian yang akan saya

Pada hari ini, saya dr.Dian Effrida, saat ini sedang menjalani pendidikan Dokter Spesialis patologi Klinik FK USU, ingin menjelaskan kepada bapak/ibu tentang penelitian yang akan

Rr Achirini Wahyu Ramadhani, saat ini sedang menjalani Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik di FK USU, ingin menjelaskan kepada bapak/ibu tentang penelitian yang akan

Yanni, saat ini sedang menjalani pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik FK USU, ingin menjelaskan kepada bapak/ibu tentang penelitian yang akan saya lakukan berjudul kadar

Selamat pagi/siang Bapak/Ibu. Nama saya dr. Shilvanna Litania, PPDS Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU, saat ini sedang melakukan penelitian yang

Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai Perilaku Profesional Dokter Spesialis di ruang rawat inap penyakit dalam RSUP H Adam Malik Medan dalam memberikan pelayanan, untuk itu

Spesialis Patologi Klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Ucapan terimakasih juga kepada Rektor Fakultas

Kepala Departemen / staf Patologi Anatomi FK USU / RSUP H adam Malik Medan, yang telah memberikan bimbingan kepada saya selama menjalani stase asisten di Departemen tersebut, Saya