• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi deskriptif tingkat kemandirian emosional siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015 dan implikasinya terhadap usulan topik-topik bimbingan klasikal.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi deskriptif tingkat kemandirian emosional siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015 dan implikasinya terhadap usulan topik-topik bimbingan klasikal."

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI DESKRIPTIF TINGKAT KEMANDIRIAN EMOSIONAL SISWA KELAS IX SMP N 2 MLATI SLEMAN YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2014/2015 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KLASIKAL

Chintya Sekar Septesa Dani Universitas Sanata Dharma

2014

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat kemandirian emosional siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015 dan membuat usulan topik-topik bimbingan klasikal.

Subjek penelitian adalah siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015 yang berjumlah 107 orang. Instrumen penelitian berupa kuesioner yang mengungkap kemandirian emosional yang terbagi dalam empat aspek, yaitu tidak mengidealkan orang tua,

dapat memandang orang tua sebagai orang dewasa lainnya, bergantung kepada dirinya sendiri dan merasa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Teknik analisis data yang digunakan adalah kategorisasi tingkat kemandirian emosional siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015 berdasarkan kriteria Azwar. Terdapat lima tingkat kemandirian emosional siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015 yaitu: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa: ada 4 (3, 74%) siswa yang tergolong memiliki tingkat kemandirian emosional yang sangat tinggi, 68 (63, 55%) siswa tergolong memiliki tingkat kemandirian emosional yang tinggi, 35 (32, 71%) siswa tergolong memiliki tingkat kemandirian emosional yang sedang, dan tidak ada (0%) siswa yang tergolong memiliki tingkat kemandirian emosional yang rendah dan sangat rendah.

(2)

ABSTRACT

DESKRIPTIVE STUDY LEVEL OF EMOTIONAL AUTONOMY OF THE NINETH GRADE STUDENTS AT 2 MLATI JUNIOR HIGH SCHOOL SLEMAN YOGYAKARTA

IN 2014/2015 ACADEMIC YEAR AND ITS IMPLICATION TOWARDS THE SUGGESTED TOPICS CLASSICAL GUIDANCE

Chintya Sekar Septesa Dani Sanata Dharma University

2014

This research aims to obtain a description of level of emotional autonomy of the nineth grade students at 2 Mlati Junior High School Sleman Yogyakarta in 2014/2015 academic year and its implication towards the suggested topics classical guidance.

The subject of this research is nineth grade students at 2 Mlati Junior High School Sleman Yogyakarta in 2014/2015 academic year, consisting of 107 students. The research instrument used is in the from of a quetionnaire that describes the emotional autonomy which was devided into four aspects, namely de-idealized, parents as people, nondependency and individuated. The technique of data analysis used is category of the level of emotional autonomy of the nineth grade students at 2 Mlati Junior High School Sleman Yogyakarta in 2014/2015 academic year based on Azwar’s criteria. There are five levels of students level of emotional autonomy, namely very high, high, moderate, low and very low.

The result shows that: 4 (3, 74%) students have very high level of emotional autonomy, 68 (63, 55%) students have high level of emotional autonomy, 35 (32, 71%) students have moderate level of emotional autonomy, and no one (0%) student have low and very high level of emotional autonomy.

(3)

SISWA KELAS IX SMP N 2 MLATI SLEMAN YOGYAKARTA

TAHUN AJARAN 2014/2015 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KLASIKAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun Oleh:

CHINTYA SEKAR SEPTESA DANI NIM: 101114020

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

STUDI DESKRIPTIF TINGKAT KEMANDIRIAN EMOSIONAL

SISWA KELAS IX SMP N 2 MLATI SLEMAN YOGYAKARTA

TAHUN AJARAN 2014/2015 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KLASIKAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

CHINTYA SEKAR SEPTESA DANI NIM: 101114020

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(5)

Studi Deskriptif Tingkat Kemandirian Emosional Siswa Kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015 dan Implikasinya terhadap

Usulan Topik-Topik Bimbingan Klasikal

Oleh:

Chintya Sekar Septesa Dani NIM: 101114020

Telah disetujui oleh:

Pembimbing

(6)

SKRIPSI

Studi Deskriptif Tingkat Kemandirian Emosional Siswa Kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015 dan Implikasinya terhadap

Usulan Topik-Topik Bimbingan Klasikal

Dipersiapkan dan ditulis oleh: Chintya Sekar Septesa Dani

NIM: 101114020

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 18 Desember 2014 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Dr. Gendon Barus, M. Si ……….

Sekretaris : Juster Donal Sinaga, M. Pd ………..

Anggota : Dr. Gendon Barus, M. Si ………..

Anggota : Dr. M. M Sri Hastuti, M. Si ………..

Anggota : Dra. M. J Retno Priyani, M. Si ………..

Yogyakarta, 18 Desember 2014

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Dekan,

(7)

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang

telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan

kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula)

kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang

bersyukur”

(QS. Al Imran: 145)

Dari Abu Hurairah- Nashr berkata; yaitu dari Rasulullah SAW beliau bersabda:

“Berbaik sangka merupakan (pertanda) baiknya ibadah”

Kupersembahkan skripsi ini untuk:

Kedua orang tuaku tercinta; mama Sri Mulyani dan papa Enget Yulianto

Adikku tersayang Sabda Girijati

Program Studi Bimbingan dan Konseling USD

Sahabat-sahabat BK 2010 A

Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sleman Yogyakarta

(8)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 18 Desember 2014

(9)

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Chintya Sekar Septesa Dani NIM : 101114020

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Studi Deskriptif Tingkat Kemandirian Emosional Siswa Kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015 dan Implikasinya terhadap Usulan Topik-Topik Bimbingan Klasikal

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempulikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap menantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 18 Desember 2014

(10)

ABSTRAK

STUDI DESKRIPTIF TINGKAT KEMANDIRIAN EMOSIONAL SISWA KELAS IX SMP N 2 MLATI SLEMAN YOGYAKARTA TAHUN AJARAN

2014/2015 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KLASIKAL

Chintya Sekar Septesa Dani Universitas Sanata Dharma

2014

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat kemandirian emosional siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015 dan membuat usulan topik-topik bimbingan klasikal.

Subjek penelitian adalah siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015 yang berjumlah 107 orang. Instrumen penelitian berupa kuesioner yang mengungkap kemandirian emosional yang terbagi dalam empat aspek, yaitu tidak mengidealkan orang tua, dapat memandang orang tua sebagai orang dewasa lainnya, bergantung kepada dirinya sendiri dan merasa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Teknik analisis data yang digunakan adalah kategorisasi tingkat kemandirian emosional siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015 berdasarkan kriteria Azwar. Terdapat lima tingkat kemandirian emosional siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015 yaitu: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa: ada 4 (3, 74%) siswa yang tergolong memiliki tingkat kemandirian emosional yang sangat tinggi, 68 (63, 55%) siswa tergolong memiliki tingkat kemandirian emosional yang tinggi, 35 (32, 71%) siswa tergolong memiliki tingkat kemandirian emosional yang sedang, dan tidak ada (0%) siswa yang tergolong memiliki tingkat kemandirian emosional yang rendah dan sangat rendah.

(11)

DESKRIPTIVE STUDY LEVEL OF EMOTIONAL AUTONOMY OF THE NINETH GRADE STUDENTS AT 2 MLATI JUNIOR HIGH SCHOOL SLEMAN YOGYAKARTA IN 2014/2015 ACADEMIC YEAR AND ITS IMPLICATION TOWARDS THE SUGGESTED TOPICS CLASSICAL

GUIDANCE

Chintya Sekar Septesa Dani Sanata Dharma University

2014

This research aims to obtain a description of level of emotional autonomy of the nineth grade students at 2 Mlati Junior High School Sleman Yogyakarta in 2014/2015 academic year and its implication towards the suggested topics classical guidance.

The subject of this research is nineth grade students at 2 Mlati Junior High School Sleman Yogyakarta in 2014/2015 academic year, consisting of 107 students. The research instrument used is in the from of a quetionnaire that describes the emotional autonomy which was devided into four aspects, namely de-idealized, parents as people, nondependency and individuated. The technique of data analysis used is category of the level of emotional autonomy of the nineth grade students at 2 Mlati Junior High School Sleman Yogyakarta in 2014/2015 academic year based on

Azwar’s criteria. There are five levels of students level of emotional autonomy, namely very high, high, moderate, low and very low.

The result shows that: 4 (3, 74%) students have very high level of emotional autonomy, 68 (63, 55%) students have high level of emotional autonomy, 35 (32, 71%) students have moderate level of emotional autonomy, and no one (0%) student have low and very high level of emotional autonomy.

(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayahNya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang

berjudul Studi Deskriptif Tingkat Kemandirian Emosional Siswa Kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015 dan Implikasinya Terhadap Usulan Topik-Topik Bimbingan Klasikal.

Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Pendidikan di FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penelitian

ini dapat terselesaikan berkat bantuan, dukungan, saran-saran dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rohandi, Ph. D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma.

2. Dr. Gendon Barus, M. Si., selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling

Universitas Sanata Dharma.

3. R. H. Dj. Sinurat, M. A., selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan

petunjuk, pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Rini Trimurti, M. Pd., selaku Kepala SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta yang

telah memberikan izin kepada peneliti untuk mengadakan penelitian.

5. Sukemi, S. Pd., selaku Koordinator BK di SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta

(13)

kerjasama saat pelaksanaan penelitian.

7. Sri Mulyani dan Enget Yulianto; kedua orangtua yang selalu memberikan cinta,

kasih sayang, doa dan dukungan.

8. Sabda Girijati; adik yang selalu memberi semangat dan dukungan.

9. Keluarga besar R. Dulhadi dan keluarga besar Saguh S atas semua dukungannya.

10.Keluarga baru di Yogyakarta; Budhe, Pakdhe, Mbak Neri, Mbak Raras, Mbak

Dita yang selalu membantu penulis selama di Yogya.

11.Angela Rosari, Erni Kristi, Bernadeta, Yunni PS, Aneke, Rima, Prisca, Peni

Cristanti, Andria, Christian Hendra, Josaphat Joko, Anang Cahyono, Yosef Tri

yang selalu memberi semangat dan terima kasih atas persahabatan ini.

12.Teman-teman BK 2010 A yang selalu memberikan dukungan dan selalu kompak.

13.Keluarga baru kost “Mushala”; Mbak Ani, Mbak Wulan, Dek Nining, Dek

Wahyu, Dek Putri, Dek Dyah yang selalu memberi semangat.

14.Mitra Perpustakaan Paingan USD; Mbak Odil, Mbak Nasa, Mbak Prima, Mbak

Nisa, Mbak Anna, Mbak Lana, Mbak Rea, Mbak Tika, Mbak Lala, Mbak Herlina,

Mas Hani, Mas Fandra, Mas Yoha, Mas Agung, Iwan, Remma, Nia, Tata, Istri, Yovi, Erni, Agnes yang selalu memberi motivasi.

15.Semua rekan dan pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu; terima kasih

dukungannya.

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiiiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

(15)

E. Definisi Operasional Variabel ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7

A. Kemandirian ... 7

1. Pengertian Kemandirian ... 7

2. Aspek-Aspek Kemandirian... 8

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandiri... 9

B. Emosi ... 12

1. Arti Emosi... 12

2. Macam-Macam Emosi... 13

C. Kemandirian Emosional ... 14

D. Masa Remaja ... 18

1. Pengertian Masa Remaja ... 18

2. Karakteristik Masa Remaja ... 19

E. Bimbingan Klasikal ... 21

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 23

A. Jenis Penelitian ... 23

B. Subjek Penelitian ... 23

C. Instrumen Penelitian ... 24

D. Teknik Pengumpulan Data ... 31

(16)

BAB IV HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN DAN USULAN TOPIK-

TOPIK BIMBINGAN KLASIKAL………. 34

A. Tingkat Kemandirian Emosional Para Siswa Kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015………. 34 B. Pembahasan ... . 36

C. Usulan Topik-Topik Bimbingan Klasikal yang Sesuai untuk Meningkatkan Kemandirian Emosional Para Siswa Kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta yang Kemandirian Emosionalnya Masih Rendah... 38

BAB V PENUTUP ... 44

A. Kesimpulan ... 44

B. Saran... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 46

(17)

Halaman

Tabel 1: Rincian Jumlah Siswa Kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015 ... 24

Tabel 2: Hasil Penghitungan Koefisien Korelasi Item Instrumen Penelitian ... 28

Tabel 3: Kriteria Guilford ... 29

Tabel 4: Kisi-Kisi Kuesioner Kemandirian Emosional Siswa Kelas IX Setelah Uji Coba ... 30

Tabel 5: Norma Kategorisasi ... 33

Tabel 6: Tingkat Kemandirian Emosional Para Siswa Kelas IX SMP N 2

Mlati Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015 ... 35

Tabel 7: Penggolongan Item Kemandirian Emosional Para Siswa Kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015

Berdasarkan Tinggi Rendahnya Skor ... 39

Tabel 8: Item-Item Kuesioner Kemandirian Emosional Para Siswa Kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015 yang Menunjukkan bahwa Kemandirian Emosional Siswa Rendah dan Sedang ... 41

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1: Hasil Penghitungan Taraf Validitas dan Reliabilitas

Kuesioner Uji Coba ... 49

Lampiran 2: Kuesioner Siswa ... 54

Lampiran 3: Tabulasi Data Penelitian... 58

Lampiran 4: Satuan Pelayanan Bimbingan Klasikal ... 64

(19)

PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional variabel.

A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia terlahir dalam kondisi yang tidak berdaya dan akan

tergantung pada orang tua atau orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

waktu tertentu. Seiring berlalunya waktu dan perkembangan selanjutnya, seorang

anak perlahan-lahan akan melepaskan diri dari ketergantungannya pada orangtua

dan belajar untuk mandiri. Hal ini merupakan suatu proses alamiah yang dialami

oleh semua makhluk hidup (Mutadin: 2002).

Pada masa remaja, terdapat tugas perkembangan yang harus diselesaikan

antara lain mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa

lainnya. Remaja yang mencapai kemandirian emosional mampu mengembangkan

kasih sayang terhadap orang tua, menunjukkan perasaan hormat terhadap orang

tua dan orang dewasa lainnya serta membina ikatan emosional terhadap lawan

jenis (Prayitno, 2006: 45). Remaja terkadang harus menentang, berdebat,

bertarung pendapat dan mengkritik dengan pedas sikap-sikap orang tua dalam

mencapai kemandirian emosional. Hal ini menyebabkan konflik berkepanjangan

sehingga timbul sikap pertentangan dan hubungan yang semakin jauh antara

(20)

Di tengah berbagai gejolak perubahan yang terjadi di masa remaja, banyak

remaja yang mengalami kekecewaan dan rasa frustrasi mendalam terhadap orang

tua. Akibatnya remaja yang bersangkutan tidak memiliki motivasi belajar,

kehilangan gairah untuk sekolah dan tidak jarang justru berakhir dengan drop out

dari sekolah (Mutadin: 2002).

Mencermati kenyataan tersebut, dibutuhkan dukungan dan dorongan dari

keluarga serta lingkungan di sekitarnya untuk dapat mencapai kemandirian

emosional. Guru pembimbing juga mempunyai peran yang besar dalam proses

pembentukan kemandirian emosional siswanya. Guru pembimbing diharapkan

dapat memberikan kesempatan pada siswa agar dapat mengembangkan

kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil keputusan

mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar mempertanggungjawabkan segala

perbuatannya. Dengan demikian siswa akan dapat mengalami perubahan dari

keadaan yang sepenuhnya tergantung pada orang tua menjadi mandiri.

Jika kemandirian emosional tidak dicapai, hal ini bisa saja dapat

menghambat perkembangan psikologis remaja di masa mendatang (Mutadin:

2002). Apabila remaja masih bergantung pada orang tuanya dan belum memiliki

kemandirian yang sesuai dengan usianya, remaja akan mengalami kesulitan

membangun hubungan heteroseksual, mengejar pekerjaan dengan rasa percaya

diri atau mendapatkan identitas diri yang jelas (Conger: 1991 dalam Permana,

(21)

dirinya selalu merasa enak, mereka terlihat kurang kompeten, kurang percaya diri,

kurang berhasil dalam belajar dan bekerja dibanding dengan remaja yang

mencapai kebebasan emosional.

Perkembangan kemandirian emosional pada remaja merupakan salah satu

isu yang sama penting dan menarik untuk diuji secara serius. Pentingnya kajian

secara serius terhadap isu perkembangan kemandirian remaja didasarkan pada

pertimbangan bahwa bagi remaja, pencapaian kemandirian merupakan dasar

untuk menjadi orang dewasa. Kemandirian dapat mendasari orang dewasa dalam

menentukan sikap, mengambil keputusan dengan tepat, serta keajegan dalam

menentukan dan melakukan prinsip-prinsip kebenaran dan kebaikan. Pentingnya

kemandirian dimiliki oleh remaja juga tampak dari komitmen profesi bimbingan

dan konseling yang menyarankan bahwa bimbingan dan konseling pada jalur

pendidikan formal adalah bimbingan dan konseling yang memandirikan (Ditjen

PMPTK 2007 dalam Budiman: 2012). Guru pembimbing hendaknya mampu

membuat program yang relevan untuk mengembangkan kemandirian siswa,

karena bimbingan dan konseling di sekolah juga berfungsi dalam memandirikan

siswanya.

Banyak siswa yang masih tergantung kepada orang tua dalam

memutuskan sesuatu dan siswa merasa cemas dan takut jika ia tidak mengikuti

(22)

Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015 pada kelas IX. Untuk itu guru

pembimbing perlu mampu menyajikan topik-topik bimbingan yang sesuai untuk

mengembangkan kemandirian emosional siswa. Hal ini perlu dilakukan karena

para siswa juga perlu mampu mengembangkan kemandirian emosionalnya

sebagai bekal menghadapi tantangan dan tugas perkembangan di masa dewasa.

Maka diperlukanlah sebuah penelitian untuk menjawab seberapa tinggi tingkat

kemandirian emosional siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Yogyakarta tahun ajaran

2014/2015 guna mendukung perkembangannya sebagai pribadi.

B. Rumusan Masalah

Penelitan ini difokuskan untuk mengetahui tingkat kemandirian emosional

siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015. Pertanyaan

yang dijawab adalah sebagai berikut:

1. Seberapa tinggi tingkat kemandirian emosional siswa kelas IX SMP N 2 Mlati

Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015?

2. Topik-topik bimbingan klasikal mana yang sesuai untuk membantu siswa

kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta yang masih tergolong rendah

(23)

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui tingkat kemandirian emosional siswa kelas IX SMP N 2 Mlati

Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015.

2. Merumuskan topik-topik bimbingan klasikal yang sesuai untuk meningkatkan

kemandirian emosional siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta,

yang masih termasuk rendah.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Sekolah:

a. Sebagai bahan informasi dan refleksi bagi tenaga pendidik mengenai

tingkat kemandirian emosional siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman

Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015.

b. Sebagai bahan informasi dan refleksi bagi konselor dalam memberikan

topik-topik bimbingan klasikal yang berkaitan dengan kemandirian

emosional.

2. Peneliti:

a. Sebagai bahan informasi bagi peneliti tentang tingkat kemandirian

emosional pada siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun

(24)

b. Dapat mengetahui topik-topik bimbingan klasikal yang relevan untuk

mengembangkan kemandirian emosional siswa.

E. Definisi Operasional Variabel

1. Kemandirian adalah kemampuan orang tanpa tergantung pada orang lain.

2. Kemandirian emosional siswa adalah kemampuan siswa untuk tidak

tergantung pada orang lain dengan tidak mengidealkan orang tuanya, dapat

memandang orang tua sebagai orang dewasa lainnya, bergantung kepada

dirinya sendiri, danbertanggung jawab atas dirinya sendiri.

3. Bimbingan klasikal adalah bimbingan yang akan diberikan guru BK kepada

(25)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini berisi uraian tentang kemandirian, emosi, kemandirian emosional,

remaja dan bimbingan klasikal.

A. Kemandirian

1. Pengertian Kemandirian

Kemandirian berasal dari kata “autonomy” yaitu kesanggupan untuk berdiri sendiri dengan keberanian dan tanggung jawab atas segala tingkah

laku sebagai manusia dewasa dalam melaksanakan kewajibannya guna

memenuhi kebutuhannya sendiri (Kartono, 1990 dalam Rini, 2012: 62-63).

Orang yang mandiri adalah individu yang mampu mengekspresikan dirinya

secara bebas tanpa adanya kontrol dari luar (Kartono, 1999 dalam Yessica,

2008: 8).

Mu’tadin (2002) juga mengatakan bahwa kemandirian mengandung

pengertian suatu keadaan dimana seorang individu memiliki hasrat untuk

bersaing demi kebaikan dirinya, mampu mengambil keputusan dan berusaha

untuk mengatasi masalah yang dihadapi, memiliki kepercayaan diri dalam

mengerjakan tugas-tugasnya dan bertanggung jawab terhadap apa yang

dilakukannya. Djiwandono (2002: 102-103) mengatakan bahwa dengan

mengajarkan kemandirian remaja dibantu untuk memenuhi kebutuhannya.

Jadi kemandirian merupakan kemampuan orang untuk tidak tergantung pada

(26)

Kemandirian penting dimiliki remaja dan harus dicapai dalam proses perkembangan remaja. Steinberg (2002: 288) menjelaskan bahwa “for most adolescents, establishing a sense of autonomy is as important a part of becoming an adult as is establishing a sense of identity. Becoming an autonomous person –a self governing person- is one of the fundamental tasks of the adolescent years”.

Steinberg (2002: 290) menyatakan bahwa terdapat tiga jenis

kemandirian remaja, yaitu kemandirian emosional, kemandirian tingkah laku

dan kemandirian nilai. Kemandirian emosional adalah kemampuan orang

untuk tidak tergantung pada orang tua dengan tidak mengidealkan orang

tuanya, dapat memandang orang tua sebagai orang dewasa lainnya,

bergantung kepada dirinya sendiri, dan bertanggung jawab atas dirinya

sendiri. Kemandirian tingkah laku adalah kemampuan seorang dalam

membuat keputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannya

secara bertanggungjawab. Kemandirian nilai merupakan kemampuan untuk

menentukan mana yang benar dan mana yang salah, apa yang penting dan apa

yang tidak penting.

2. Aspek-Aspek Kemandirian

Havighurst (Mu’tadin: 2002) menyatakan bahwa kemandirian terdiri

dari beberapa aspek yaitu:

a. Emosi: aspek ini merupakan kemampuan mengontrol emosi dan tidak

(27)

b. Ekonomi: aspek ini merupakan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak

bergantung kepada kebutuhan ekonomi pada orang tua.

c. Intelektual: aspek ini merupakan kemampuan untuk mengatasi berbagai

masalah yang dihadapi.

d. Sosial: aspek ini merupakan kemampuan untuk mengadakan interaksi

dengan orang lain dan tidak bergantung atau menunggu aksi dari orang

lain.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kemandirian

(Masrun dkk: 1986, dalam Listyaningrum, 2007: 26) adalah sebagai berikut:

a. Usia

Sarwono (2009, dalam Listyaningrum, 2007: 26) mengatakan bahwa

anak-anak terutama pada fase pertama perkembangannya berada dalam

keadaan yang selalu tergantung dan selalu meminta tolong pada orang

tuanya. Tanpa ada pertolongan, anak tidak dapat melanjutkan hidupnya.

Semakin anak berkembang menuju arah kedewasaan, sifat

menggantungkan diri pada orang lain semakin berkurang dan akhirnya

dapat berdiri sendiri.

b. Jenis kelamin

Penelitian yang dilakukan Masrun (1986, Listyaningrum, 2007: 26)

(28)

kelamin. Sesuai dengan peranannya, laki-laki diharapkan menjadi kuat,

mandiri, agresif, mampu memanipulasi lingkungan, berprestasi serta dapat

membuat keputusan. Dalam kehidupan sosial, laki-laki diharapkan mampu

berkompetisi, tegas dan dominan, sedangkan perempuan diharapkan lebih

tergantung, sensitif dan keibuan.

c. Pendidikan

Pendidikan adalah proses pengubahan sika dan tata laku

seseorang/kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui

upaya pngajaran dan pelatihan (KBBI 4). Dengan belajar, seseorang dapat

memajukan dirinya sendiri sehingga orang yang bersangkutan memiliki

keinginan memutuskan sesuatu secara tepat tanpa bergantung pada orang

lain.

d. Perlakuan orang tua

Cara orang tua membiasakan anak untuk bertindak mandiri pada usia

awal, telah banyak mempengaruhi kemandiriannya pada masa remaja dan

dewasa. Jika sejak kecil orang tua sudah membiasakan anak untuk

bersikap mandiri, membiasakan anak untuk memenuhi kebutuhannya

sendiri, memberi dorongan, pujian terhadap sikap mandiri anak, maka

(29)

e. Intelegensi

Intelegensi membuat individu cenderung menetapkan tujuan tertentu

sehingga individu akan semakin memiliki inisiatif dalam menentukan

tujuan dan tidak mudah dipengaruhi orang lain. Semakin cerdas

seseorang, semakin mandiri ia dalam menentukan keputusan.

f. Urutan kelahiran

Anak dengan urutan kelahiran tertentu dalam keluarga cenderung

memiliki kepribadian yang khas. Hurlock (1980, Listyaningrum, 2007:

26) menyatakan bahwa orang tua dan saudara cenderung memberi

perlakuan pada anak sulung, anak tengah, anak bungsu maupun anak

tunggal serta anak kembar secara berbeda-beda. Demikian pula

harapan-harapan yang diberikan kepada masing-masing anak, sehingga

kemandirian yang dimiliki anak pun berbeda-beda.

g. Interaksi sosial

Kemampuan seorang remaja dalam berinteraksi dengan lingkungan

sosial dengan melakukan penyesuaian diri yang baik akan mendukung

perilaku bertanggung jawab, mempunyai perasaan aman dan mampu

menyelesaikan permasalahan dengan tidak mudah menyerah akan

mendukung tingkah laku untuk mandiri (Hurlock: 1980, dalam

(30)

B. Emosi

1. Arti Emosi

Akar kata emosi adalah movere, kata kerja bahasa latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e-“ untuk memberi arti

“bergerak menjauh” (Goleman, 2007:7). Oxford English Dictionary

mendefinisikan emosi sebagai “setiap kegiatan atau pergolakan pikiran,

perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap”

(Goleman, 2007: 411).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 4) emosi diartikan

sebagai keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan,

kesedihan, keharuan, kecintaan). Emosi adalah cara bersikap dari tubuh

karena berada dalam kondisi tertentu (Sartre: 2002). Emosi juga didefinisikan

sebagai reaksi penilaian (positif dan negatif) yang kompleks dari sistem syaraf

seseorang terhadap rangsangan dari luar atau dari dalam dirinya sendiri

(Sarwono, 2009: 124). King (2010) menjelaskan bahwa emosi (emotion) adalah perasaan atau afeksi yang dapat melibatkan rangsangan fisiologis,

pengalaman disadari dan ekspresi perilaku.

Perbedaan antara emosi dan perasaan tidak dapat dinyatakan dengan

tegas, karena keduanya merupakan suatu kelangsungan kualitatif yang tidak

(31)

disimpulkan emosi adalah suatu perasaan yang sedemikian intensif sehingga

timbul perubahan fisiologis dan dorongan untuk berperilaku tertentu.

2. Macam-Macam Emosi

Menurut Goleman (2007: 411) ada beberapa golongan emosi yaitu:

a. Amarah: beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati,

terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, tindak kekerasan,

benci.

b. Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri,

kesepian, ditolak dan putus asa.

c. Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, waspada, sedih, tidak

tenang, ngeri, takut sekali.

d. Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, terhibur, bangga,

kenikmatan indrawi, takjub, terpesona, puas, dll.

e. Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat,

bakti, hormat, kasmaran, kasih.

f. Terkejut: terkejut, terkesiap, takjub, terpana.

g. Jengkel: hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah.

h. Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati yang

(32)

Winkel dan Sri Hastuti (2004: 384) mengelompokkan emosi/perasaan

ke dalam dua golongan, yaitu perasaan senang dan perasaan tidak senang.

Perasaan senang meliputi: merasa akrab, antusias, bahagia, bebas, bergairah

atau bersemangat, bangga, bersukacita, cocok, cinta, diakui, damai, enak, geli,

kagum, betah, lega, mantap, nyaman, nikmat, optimis, pantas, puas, penuh

harapan, penuh harga diri, riang, rindu, syukur, santai, simpati, sabar,

terlindung, terhibur, tenang, tertarik, terharu, tabah, terpukau, terpesona,

tergugah dan suka. Sedangkan perasaan tidak senang meliputi: apatis, antipati,

asing, benci, bingung, bosan, berat hati, berdukacita, bersalah, curiga,

cemburu, canggung, diabaikan, dihina, dendam, dingin, dikerjai, gugup,

heran, hampa, hancur, iri hati, jengkel, jera, jauh, khawatir, kecewa, kesepian,

kehilangan, iba, kecil hati, lesu, lemah, malu, marah, malas, merana, muak,

jijik, pesimis, putus asa, pasrah, panik, patah hati, panas hati, ragu-ragu,

prihatin, risih, rendah, sedih, sakit hati, segan, masgul, terancam, tertipu,

takut, terkejut, terpukul, tertekan, terpakas, tidak tega, tidak mampu,

tersinggung, tersiksa, terganggu, tersayat, terpojok, tersesat, tercekam, tak

berdaya, tegang, goyah, terasing dan duka.

C. Kemandirian Emosional

Kemandirian emosional merupakan kemampuan orang untuk tidak

tergantung pada orang tua dengan tidak mengidealkan orang tuanya, dapat

(33)

sendiri, dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri (Steinberg: 2002: 290).

Kemandirian emosional berhubungan dengan perubahan kedekatan atau

keterikatan hubungan emosional antara anak dengan orangtua. Remaja berusaha

untuk melepaskan diri dari ikatan kekanak-kanakan dengan orangtua. Rice (1996,

dalam Dini: 2010) berpendapat bahwa hubungan antara orangtua dan anak akan

mengalami perubahan sangat cepat, terutama sekali pada saat anak memasuki usia

remaja pada saat mana anak sudah dapat mengurus dirinya sendiri, sehingga

waktu yang diluangkan orang tua untuk anak remajanya akan semakin berkurang.

Beyers & Goosens (Dini: 2010) menjelaskan bahwa kemandirian emosional harus

dicapai oleh remaja dengan melepaskan diri dari ketergantungan kepada orang

lain, belajar mengontrol diri sendiri dan mengenali orang tua sebagai teman yang

dapat dipercaya, bukan lagi sebagai model yang harus ditiru.

Sesungguhnya tidak mudah bagi remaja dalam memperjuangkan

kemandirian emosionalnya. Kesulitannya terletak pada upaya pemutusan ikatan

infantile (sifat kekanak-kanakan) yang telah berkembang dan dinikmati dengan penuh rasa nyaman selama masa kanak-kanak. Bahkan pemutusan ikatan infantile

itu seringkali menimbulkan reaksi yang sulit dipahami (misunderstood) bagi kedua belah pihak, yaitu remaja dan orang tua (Rice, 1996 dalam Budiman:

2012). Terkadang remaja sering kali kesulitan dalam memutuskan simpul-simpul

(34)

itu mereka kadang-kadang harus menentang keinginan dan aturan orang tua

(Budiman: 2012).

Ada empat aspek kemandirian emosional (Steinberg: 2002: 292), yaitu:

1. Remaja tidak Mengidealkan Orang Tuanya

Remaja tidak mengidealkan orang tuanya atau disebut juga dengan de-idealized; dapat juga diartikan bahwa remaja memiliki pandangan bahwa ia tidak harus selalu sama seperti dengan keinginan orang tuanya. Remaja tidak

lagi memandang orang tua sebagai orang yang mengetahui dan menguasai

segalanya (Steinberg: 2002: 291), sehingga remaja tidak lagi tergantung

kepada orang tua saat menentukan sesuatu. Remaja dapat memandang orang

tua bahwa orang tua juga terkadang membuat kesalahan. Remaja tidak lagi

memandang orangtua sebagai orang yang serba tahu, benar dan memiliki

kekuasaan. Oleh karena itu, pada saat menentukan sesuatu mereka tidak lagi

bergantung kepada dukungan emosional orangtuanya. Remaja juga dapat

mengerti keterbatasan orang tuanya.

Penelitian yang dilakukan Smollar dan Younis tahun 1985 (Budiman:

2012) menyatakan bahwa tidak mudah bagi remaja untuk melakukan de-idealized. Mereka masih menganggap orang tua sebagai orang yang serba tahu, benar, dan berkuasa atas dirinya. Mereka terkadang sulit untuk

(35)

2. Remaja Dapat Memandang Orang Tua sebagai Orang Dewasa Lainnya

Remaja dapat memandang orang tua sebagai orang dewasa lainnya

berartiremaja memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan orangtua, baik

sebagai orangtua sesungguhnya maupun sebagai teman dalam mendiskusikan

berbagai hal (Steinberg, 2002: 291). Remaja melihat orang tua sebagai

individu selain sebagai orang tuanya dan berinteraksi dengan orang tua tidak

hanya dalam hubungan orang tua-anak tetapi juga dalam hubungan antar

individu (Budiman, 2012: 7). Remaja juga dapat menolak pendapat orang tua

dan remaja dapat mengungkapkan perasaannya dengan bebas pada orang

tuanya. Selain itu, dalam berinteraksi dengan orang tua, remaja tetap dapat

menampilkan emosi cinta kepada orang tua.

3. Remaja Bergantung kepada Dirinya Sendiri

Remaja bergantung kepada dirinya sendiri (non-dependency)

merupakan suatu tingkat dimana remaja memiliki sikap yang lebih bergantung

kepada kemampuan sendiri daripada meminta bantuan orangtua. (Steinberg,

2002: 292). Remaja pada umumnya memiliki kekuatan emosi yang hebat

untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan di luar keluarga dan dalam

kenyataannya remaja merasa lebih dekat dengan teman dibanding dengan

orangtua (Steinberg, 2002: 291).

Remaja yang memiliki kemandirian emosional yang tinggi, mampu

(36)

orangtua atau orang dewasa lain ketika menghadapi masalah. Saat remaja

memiliki suatu kesalahan, mereka tidak selalu bergantung kepada orang tua

untuk mencari jalan keluar.

4. Remaja Merasa Bertanggung Jawab Atas Dirinya Sendiri

Remaja merasa bertanggung jawab atas dirinya sendiri (individuated)

artinya remaja merasa mampu menampilkan perilaku yang lebih

bertanggungjawab dalam hubungannya dengan orangtua. Remaja tidak begitu

saja datang ataupun meminta bantuan kepada orang tua jika mendapat

kesulitan, kesedihan, kekecewaan dan kekhawatiran (Steinberg, 2002: 292).

Remaja mampu melihat perbedaan antara pandangan orang tua dengan

pandangannya sendiri tentang dirinya dan menunjukkan perilaku yang lebih

bertanggung jawab. Ia mampu bertanggung jawab sehingga dapat mengatasi

perasaannya sendiri dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya

sendiri. Remaja juga dapat mengontrol dan mengendalikan emosi yang

ditampilkannya.

D. Masa Remaja

Bahasan mengenai masa remaja sangat penting dalam penelitian ini karena

kemandirian emosional juga berkaitan dengan tugas perkembangan remaja. Salah

satu tugas perkembangan remaja adalah mencapai kemandirian emosional dari

orang tua dan orang dewasa lainnya. Selain itu, kebanyakan remaja melewati

(37)

1. Pengertian Masa Remaja

Istilah adolescence atau masa remaja berasal dari kata Latin

adolescere (kata bendanya adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence mempunyai arti

yang lebih luas yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan

fisik (Hurlock, 1995: 206).

Masa remaja adalah tahapan yang dilalui sesudah tahap kanak-kanak

menuju masa dewasa. Masa remaja berada dalam kisaran usia 11-19 tahun.

Masa ini juga disebut usia sekolah dan merupakan masa perubahan dan masa

menghadapi berbagai pengalaman baru. Masa remaja adalah masa peralihan

dari masa anak ke masa dewasa yang tidak lagi dapat digolongkan ke dalam

golongan anak, tetapi juga belum sepenuhnya ada dalam golongan orang

dewasa (Haditono: 2006).

Masa remaja menjadi dua periode, yaitu periode awal dan akhir

(Santrock, 2007: 6-7). Masa remaja awal (early adolescence) kurang lebih berlangsung di masa sekolah menengah pertama atau sekolah menengah

akhir. Masa remaja akhir (late adolescence) kurang lebih terjadi pada pertengahan dasawarsa yang kedua dari kehidupan.

2. Karakteristik Masa Remaja

Desmita (2009: 37) menjelaskan bahwa masa remaja (12-21 tahun)

(38)

kehidupan orang dewasa. Masa remaja sering dikenal dengan masa pencarian

jati diri (ego identity). Masa remaja ditandai dengan sejumlah karakteristik penting, yaitu:

a. Mencapai hubungan yang matang dengan teman sebaya.

b. Dapat menerima dan belajar peran sosial sebagai pria atau wanita dewasa

yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.

c. Menerima keadaan fisik dan mampu menggunakannya secara efektif.

d. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa

lainnya.

e. Memilih dan mempersiapkan karier di masa depan sesuai dengan minat

dan kemampuannya.

f. Mengembangkan sikap positif terhadap pernikahan, hidup berkeluarga dan

memiliki anak.

g. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang

diperlukan sebagai warga negara.

h. Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial.

i. Memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai pedoman dalam

bertingkah laku.

(39)

Disamping karakteristik remaja yang telah dikemukakan di atas, dalam

masa remaja terdapat gejala-gejala yang sering disebut dengan gejala negative phase. Hurlock menguraikan tentang negative phase sebagai berikut: keinginan untuk menyendiri (desire of isolation), berkurang kemauan untuk bekerja (disinclination to work), kurangnya koordinasi fungsi-fungsi tubuh

(incoordination), kejemuan (boredom), kegelisahan (restlessness),

pertentangan sosial (social antagonism), penantangan terhadap kewibawaan orang dewasa (resistance to authority), kepekaan perasaan (heightened emotionality), kurang percaya diri (lock of self-confidence), mulai timbul minat pada lawan jenis (preoccupation with sex), kepekaan perasaan susila (excessive modesty), dan kesukaan berkhayal (day dreaming) (Mappiare, 1982: 32).

E. Bimbingan Klasikal

Bimbingan adalah proses membantu individu untuk memahami

dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya (Winkel dan Hastuti, 2004: 1).

Bimbingan klasikal merupakan sarana untuk menunjang perkembangan optimal

masing-masing siswa, yang diharapkan dapat mengambil manfaat dari

pengalaman pendidikan bagi dirinya sendiri (Winkel, 1997:519). Bimbingan

klasikal bermanfaat bagi tenaga bimbingan dan juga bagi para siswa (Winkel dan

Hastuti, 2004: 565-566). Manfaat bimbingan klasikal bagi tenaga bimbingan

(40)

1. Mendapat kesempatan dapat berkontak langsung dengan para siswa sekaligus

mengenal banyak siswa.

2. Kegiatan yang dilakukan dalam kelompok sangat menghemat waktu dan

tenaga dalam memberikan informasi yang diperlukan.

3. Memperluas ruang geraknya, terlebih jika tenaga pembimbingnya hanya satu

atau dua orang.

Bagi para siswa manfaat bimbingan klasikal antara lain:

1. Menjadi lebih sadar akan tantangan yang dihadapi sehingga mereka

memutuskan untuk berwawancara dengan konselor. Dalam hal ini siswa

diajak untuk terbuka kepada konselor.

2. Lebih rela menerima dirinya sendiri, setelah menyadari bahwa

teman-temannya sering menghadapi persoalan, kesulitan dan tantangan yang kerap

kali sama.

3. Lebih berani mengemukakan pandangannya sendiri.

4. Siswa mendapat kesempatan untuk mendiskusikan suatu hal bersama.

5. Siswa menjadi lebih menerima suatu pandangan atau pendapat bila

dikemukakan oleh seorang teman. Dalam kegiatan ini siswa diberi

kesempatan oleh konselor untuk memberi nasehat kepada temannya.

6. Siswa tertolong untuk mengatasi suatu masalah yang dirasa sulit untuk

(41)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab III ini berisi uraian mengenai jenis penelitian, subjek penelitian,

instrumen penelitian, validitas dan reliabilitas dan teknik pengumpulan data.

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan kuantitatif. Pendekatan

kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka) yang

diolah dengan metode statistika (Azwar, 2013: 7). Dari kedalaman

analisisnya, penelitian ini tergolong penelitian kuantitatif deskriptif.

Penelitian deskriptif dilakukan dengan tujuan memberikan gambaran secara

sistematik dan akurat fakta serta karakteristik mengenai populasi atau

mengenai bidang tertentu (Azwar, 2013: 7). Sejalan dengan pengertian

tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tingkat

kemandirian emosional siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta

tahun ajaran 2014/2015. Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian ini, akan

diusulkan topik-topik bimbingan klasikal untuk mengembangkan

kemandirian emosional siswa.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman

Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015. Jumlah kelas IX di SMP N 2 Mlati

Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015 sebanyak empat kelas, yaitu kelas

(42)

semua siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun 2014/2015

menjadi subjek penelitian.

Ada tiga alasan dipilihnya SMP N Mlati Sleman Yogyakarta sebagai

tempat penelitian, yaitu: (1) SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta mudah

dijangkau oleh peneliti, (2) SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta pernah

menjadi tempat bagi peneliti melaksanakan Program Pengalaman Lapangan

Bimbingan dan Konseling (PPLBK), (3) siswa SMP N 2 Mlati Sleman

Yogyakarta tergolong remaja yang berusia 13 sampai 15 tahun. Rincian

jumlah siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran

2014/2015 ada pada tabel 1.

Tabel 1

Rincian Jumlah Siswa Kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015

Kelas Jumlah

IX A 32

IX B 32

IX C 32

IX D 30

Total 126

C. Instrumen Penelitian

1. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Kuesioner Kemandirian Emosional. Kuesioner merupakan teknik

pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat

pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya

(43)

berdasarkan aspek-aspek kemandirian emosional yang dikemukakan

Steinberg (2002: 292). Kuesioner terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian

pertama memuat tujuan kuesioner dan petunjuk kuesioner. Bagian kedua

memuat pernyataan-pernyataan tentang kemandirian emosional siswa

kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015.

Kuesioner yang digunakan dalam penelitian menggunakan empat opsi atau

alternatif jawaban yaitu “Selalu” (S), “Sering” (Sr), “Jarang” (J) dan

“Tidak Pernah” (TP).

2. Pemberian Skor

Pemberian skor untuk setiap alternatif jawaban untuk

masing-masing item pernyataan adalah sebagai berikut:

a. Untuk pernyataan yang bersifat favorable (pernyataan positif), alternatif jawaban S (Selalu) diberi skor 4, alternatif jawaban Sr

(Sering) diberi skor 3, alternatif jawaban J (Jarang) diberi skor 2 dan

alternatif jawaban TP (Tidak Pernah) diberi skor 1.

b. Untuk masing-masing pernyataan unfavorable (pernyataan negatif), alternatif jawaban S (Selalu) diberi skor 1, alternatif jawaban Sr

(Sering) diberi skor 2, alternatif jawaban J (Jarang) diberi skor 3 dan

(44)

3. Validitas

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti kemampuan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur atau sejauh

mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi

ukurnya (Azwar, 2009: 5). Validitas yang diperiksa dalam penelitian ini

adalah validitas isi (content validity). Validitas isi merupakan validitas yang mengukur elevasi item kuesioner dengan indikator keperilakuan dan

tujuan ukur (Azwar, 2012: 132).

Validitas isi dilakukan melalui professional judgment, yaitu penilaian oleh ahli. Professional judgment dalam penelitian ini hanya diperoleh dari dosen pembimbing skripsi. Dosen pembimbing skripsi

memberikan penilaian mengenai isi dan struktur kalimat yang sesuai

dengan kaidah ejaan yang disempurnakan (EYD). Untuk menguji validitas

instrumen digunakan rumus korelasi Product Moment dari Pearson. Formula yang digunakan dalam analisis konsistensi internal butir item

adalah sebagai berikut:

Keterangan:

: koefisien korelasi antara skor item dengan skor total

: jumlah perkalian antara skor item dengan skor total

(45)

: jumlah skor total

: jumlah subjek

Semua item yang mencapai koefisien korelasi minimal 0.30

dianggap memuaskan dan jika kurang dari 0.30 item diinterpretasikan

sebagai item yang memiliki daya diskriminasi rendah (Azwar: 2007: 65).

Pemeriksaan konsistensi internal dilakukan dengan komputer melalui

program SPSS (Statistical Program for Social Science) versi 16.0. Dari hasil perhitungan, diperoleh 35 item yang memiliki korelasi ≥ 0.30,

sedangkan 5 item ≤ 0.30. Hasil penghitungan koefisien korelasi item

(46)

Tabel 2

Hasil Penghitungan Koefisien Korelasi Item Instrumen Penelitian

Remaja memandang orang tua bukan sebagai orang yang paling ideal.

1, 2, 3, 4 1, 2, 3, 4 -

Remaja memandang bahwa orang tua tidak selamanya benar, tahu dan punya kekuasaan.

5, 6, 7, 8 5, 6, 7, 8 -

Remaja tetap menganggap orang tua sebagai teladan bagi dirinya. orang tua untuk mencari jalan keluar.

27, 28 27, 28 -

Remaja tidak begitu saja datang kepada orang tua jika mendapat kesulitan, kesedihan, pandangan orang tua dan pandangan sendiri.

31, 32 31 32

Remaja menunjukkan perilaku yang lebih bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.

33, 34, 35, 36,

Reliabilitas suatu alat ukur adalah derajat keajegan alat yang

bersangkutan dalam mengukur apa saja yang diukurnya (Furchan: 2011).

Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran

(47)

dengan teknik belah dua. Perhitungan indeks reliabilitas kuesioner

penelitian ini menggunakan pendekatan koefisien Alpha Cronbach (α) dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

: koefisien reliabilitas Alpha Cronbach

dan : varians skor belahan 1 dan varians skor belahan 2

: varians skor skala

Setelah dihitung dengan menggunakan bantuan program komputer

SPSS 16.0, diperoleh perhitungan reliabilitas seluruh instrumen

menggunakan rumus koefisien alpha (α) yaitu 0,647. Hasil penghitungan

taraf validitas dan reliabilitas kuesioner kemandirian emosional disajikan

dalam lampiran 1. Setelah itu, hasil perhitungan dikonsultasikan ke kriteria Guilford yang dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3 Kriteria Guilford

Koefisien Korelasi Kualifikasi

0,91-1,00 Sangat Tinggi

0,71-0,90 Tinggi

0,41-0,70 Cukup Tinggi

1,21-0,40 Rendah

Negatif-0,20 Sangat Rendah

Berdasarkan kriteria Guilford diketahui bahwa koefisiensi

(48)

validitas dan reliabilitas kuesioner uji coba terdapat pada lampiran 1. Item kuesioner yang telah lolos uji validitas dan reliabilitas disusun kembali

menjadi kuesioner yang digunakan untuk pengambilan data penelitian.

Kisi-kisi kuesioner kemandirian emosional yang final dapat dilihat pada

tabel 4. Kuesioner yang final disajikan dalam lampiran 2.

Tabel 4

Kisi-Kisi Kuesioner Kemandirian Emosional Siswa Kelas IX Setelah Uji Coba

Remaja memandang orang tua bukan sebagai orang yang paling ideal.

1, 2, 3, 4

Remaja memandang bahwa orang tua tidak selamanya benar, tahu dan punya kekuasaan.

5, 6 7, 8

Remaja tetap menganggap orang tua sebagai teladan bagi dirinya. orang tua untuk mencari jalan keluar.

24 25

Remaja tidak begitu saja datang kepada orang tua jika mendapat kesulitan, kesedihan, pandangan orang tua dan pandangan sendiri.

28

Remaja menunjukkan perilaku yang lebih bertanggung jawab

(49)

D. Teknik Pengumpulan Data 1. Persiapan dan Pelaksanaan

a. Mempelajari buku-buku tentang kemandirian emosional.

b. Menyusun kuesioner tentang kemandirian emosional dengan

mengikuti beberapa langkah yaitu:

1) Menetapkan dan mendefinifikan variabel penelitian.

2) Menjabarkan variabel penelitian ke dalam aspek-aspek dan

indikator-indikatornya.

3) Menyusun item-item pernyataan sesuai dengan aspek dan indikator

yang telah dibuat.

4) Memperoleh expert judgment.

5) Bertemu dengan Kepala Sekolah dan guru BK SMP N 2 Mlati

Sleman Yogyakarta untuk meminta ijin mengadakan uji coba alat

penelitian dan melaksanakan penelitian.

6) Melaksanakan uji coba penelitian di SMP N 2 Mlati Sleman

Yogyakarta pada kelas IX A.

7) Pengumpulan data uji empirik terhadap validitas dan reliabilitas

kuesioner uji coba dan merevisi kuesioner.

8) Melaksanakan pengumpulan data (pengisian kuesioner) di SMP N

2 Mlati Sleman Yogyakarta pada kelas IX. 2. Tahap Pengumpulan Data

Kuesioner yang telah diujicobakan dan telah direvisi kemudian

(50)

(pengisian kuesioner) dilaksanakan pada semua siswa kelas IX SMP N 2

Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015 pada tanggal 11 dan 12

Agustus 2014. Jumlah peserta didik yang menjadi subjek penelitian

sebanyak 107 orang.

E. Teknik Analisis Data

Langkah-langkah yang ditempuh dalam melakukan analisis data yaitu:

1. Memberi skor pada setiap alternatif jawaban yang dipilih. Norma skoring

untuk pernyataan positif adalah: Selalu = 4, Sering = 3, Jarang = 2 dan

Tidak Pernah = 1. Norma skoring untuk pernyataan negatif adalah: Selalu

= 1, Sering = 2, Jarang = 3 dan Tidak Pernah = 4.

2. Mentabulasi dan menghitung skor total masing-masing responden maupun

item kuesioner dan skor rata-rata maupun rata-rata butir. Tabulasi data

penelitian terdapat pada lampiran 3.

3. Mengkategorisasikan Kemandirian Emosional

Kategorisasi kemandirian emosional dilakukan dengan cara

kategorisasi jenjang. Tujuan kategorisasi jenjang adalah menempatkan

individu ke dalam kelompok-kelompok yang terpisah secara jenjang

menurut suatu kontinum berdasar atribut yang diukur (Azwar, 2007: 107).

Norma kategorisasi adalah mengikuti norma kategorisasi yang

disusun oleh Azwar (2007: 109). Terdapat lima kategori dalam penelitian

ini yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi dengan

(51)

Tabel 5

Norma Kategorisasi

Skor Kategori

X≤ µ -1,5σ Sangat Rendah

µ - 1,5 σ <X≤ µ -0,5 σ Rendah µ -0,5 σ <X≤ µ +0,5 σ Sedang

µ +0,5 σ <X≤ µ +1,5 σ Tinggi

µ +1,5 σ <X Sangat Tinggi

Keterangan:

Skor maksimum teoritik: Skor tertinggi yang diperoleh subjek penelitian berdasarkan perhitungan skala Skor minimum teoritik: Skor terendah yang diperoleh subjek

penelitian menurut perhitungan skala Standar deviasi (σ / sd): Luas jarak rentangan yang dibagi dalam 6

satuan deviasi sebaran

µ (mean teoritik) : Rata-rata teoritis skor maksimum dan

minimum

(52)

BAB IV

HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN DAN USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KLASIKAL

Dalam bab ini disajikan hasil penelitian yang merupakan jawaban terhadap

pertanyaan mengenai seberapa tinggi tingkat kemandirian emosional para siswa

kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015 dan

topik-topik bimbingan klasikal mana yang sesuai untuk membantu siswa kelas IX di

SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta dalam meningkatkan kemandirian

emosionalnya. Penyajian hasil penelitian dilanjutkan dengan pembahasan dan

usulan topik-topik bimbingan klasikal.

A. Tingkat Kemandirian Emosional Siswa Kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015

Kategorisasi skor subjek penelitian dilakukan dengan tujuan untuk

memetakan tinggi rendahnya kemandirian emosional subjek penelitan. Norma

kategorisasinya adalah sebagai berikut:

X maksimum teoritik : 4 x 35 = 140

X minimum teoritik : 1 x 35 = 35

Luas jarak : 140 – 35 = 105

σ (standar deviasi) : 105 : 6 = 17, 5 dibulatkan menjadi 18

μ (mean teoritik) : (140 + 35): 2 = 87, 5 dibulatkan menjadi 88

Setelah dilakukan perhitungan, diketahui bahwa tingkat kemandirian

emosional siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran

(53)

Tabel 6

Tingkat Kemandirian Emosional Siswa Kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015

Norma/Kriteria

Dari tabel 6 terlihat bahwa:

a. Ada 4 (3, 74 %) siswa yang memiliki tingkat kemandirian emosional yang

sangat tinggi.

b. Ada 68 (63, 55 %) siswa yang memiliki tingkat kemandirian emosional

yang tinggi.

c. Ada 35 (32, 71%) siswa yang memiliki tingkat kemandirian emosional

yang sedang.

d. Tidak ada (0 %) siswa yang memiliki tingkat kemandirian emosional yang

rendah dan sangat rendah.

Peneliti menyimpulkan bahwa kebanyakan siswa kelas IX SMP N 2

Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015 memiliki kemandirian

(54)

B. Pembahasan

Untuk membatasi pembahasan dan untuk menghindari pengulangan

yang tidak perlu, tingkat kemandirian emosional yang tinggi dan sangat tinggi

disatukan saja menjadi tinggi. Tingkat kemandirian emosional yang sedang

peneliti anggap sebagai tingkat kemandirian emosional yang kurang tinggi.

Hal-hal yang menyebabkan tingkat kemandirian emosional para siswa

SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tinggi dapat tercermin dari pendapat siswa

bahwa siswa-siswa tidak harus menjadi seperti orang tuanya. Siswa juga tidak

lagi memandang orang tua sebagai orang yang serba tahu. Selain itu, siswa

memiliki sikap yang menganggap orang tuanya sebagai teman dalam

mendiskusikan berbagai hal dan siswa juga dapat berbicara dengan leluasa

kepada orang tuanya.

Tingkat kemandirian emosional yang tinggi juga disebabkan 3 hal.

Pertama, para siswa merasa nyaman dalam mengungkapkan pendapatnya kepada orang tua. Kedua, siswa memiliki sikap tergantung kepada diri sendiri yang tercermin dari kemampuan siswa yang dapat menyelesaikan masalahnya

sendiri tanpa melibatkan orang tuanya. Selain itu, sikap bergantung pada diri

sendiri terlihat dari kemampuan siswa dalam memilih kegiatan ekstrakurikuler

antara lain seni tari, futsal, basket dan seni musik sesuai dengan pilihannya

sendiri; bukan tergantung dari orang tuanya. Ketiga, siswa juga merasa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Hal ini tercermin dari sikap siswa

(55)

itu, siswa sudah dapat menanggung resiko jika ia tidak mengerjakan tugas

sesuai yang telah ditetapkan oleh guru.

Tingkat kemandirian emosional yang tinggi juga dipengaruhi oleh usia

para siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta. Usia siswa kelas IX

rata-rata 15 tahun yang masuk dalam usia remaja. Di usia remaja ini, sifat

menggantungkan diri pada orang lain semakin berkurang dan akhirnya

menjadi makhluk yang dapat berdiri sendiri.

Siswa yang memiliki kemandirian emosional yang tinggi memiliki dua

keuntungan, yaitu: Pertama, ia sudah mampu memutuskan hal mengenai dirinya sendiri, sehingga ia mulai terlepas dari ketergantungan orang tuanya.

Kedua, siswa juga dapat mendiskusikan berbagai hal dengan leluasa kepada orang tuanya.

Pada awal penelitian, peneliti menduga bahwa tingkat kemandirian

emosional siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran

2014/2015 memiliki tingkat kemandirian emosional yang rendah. Namun

setelah diadakan penelitian, ternyata hasil penelitian tak sejalan dugaan

semula. Hal ini bisa jadi disebabkan karena pada saat peneliti melakukan

obsevasi, banyak siswa yang mengungkapkan bahwa mereka masih sangat

tergantung kepada orang tua dalam memutuskan sesuatu.

Dari hasil penelitian 35 siswa masih memilki tingkat kemandirian

emosional sedang dalam hal ini termasuk kategori kurang tinggi. Menurut

peneliti, ada tiga hal yang menyebabkan kemandirian emosional siswa

(56)

yang ada di lapangan saat peneliti melakukan observasi dan wawancara

kepada beberapa siswa. Pertama, siswa kurang mampu dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang tua. Beberapa siswa mengatakan bahwa mereka

kurang akrab dengan orang tuanya, sehingga siswa merasa cemas dan takut

jika ia tidak mengikuti keinginan orang tuanya. Kedua, ada beberapa siswa juga yang masih mengandalkan orang tuanya dalam mengambil keputusan

bagi siswa itu sendiri. Ketiga, beberapa siswa juga sering mengalami emosi marah karena tidak sejalan dengan orang tua. Tiga hal ini yang mengakibatkan

siswa memiliki tingkat kemandirian emosional yang kurang tinggi. Jika ini

dibiarkan terus menerus akan membuat siswa menjadi tidak berkembang.

C. Usulan Topik-Topik Bimbingan Klasikal yang Sesuai untuk Meningkatkan Kemandirian Emosional Siswa Kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta yang Kemandirian Emosionalnya Masih Rendah

Kategorisasi item kuesioner penelitian dilakukan berdasarkan

perhitungan (dengan jumlah subjek 107) sebagai berikut:

X maksimum teoritik : 4 x 107 = 428

X minimum teoritik : 1 x 107 = 107

Luas jarak : 428 – 107 = 321

σ (standar deviasi) : 321 : 6 = 53, 5 dibulatkan menjadi 54

(57)

Setelah dilakukan perhitungan, penggolongan item kemandirian emosional

siswa kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015

berdasarkan tinggi rendahnya skor dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7

Penggolongan Item Kemandirian Emosional Siswa Kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015 Berdasarkan

Tinggi Rendahnya Skor

Dari tabel 7 tampak bahwa item-item kemandirian emosional siswa

kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015

menurut tinggi rendahnya skor adalah sebagai berikut:

a. Ada 6 (17, 14 %) item yang menunjukkan kemandirian emosional

(58)

b. Ada 15 (42, 85 %) item yang menunjukkan kemandirian emosional

tinggi.

c. Ada 12 (34, 28 %) item yang menunjukkan kemandirian emosional

sedang.

d. Ada 2 (5, 71 %) item yang menunjukkan kemandirian emosional

rendah.

e. Tidak ada item yang menunjukkan kemandirian emosional sangat

rendah.

Item-item yang menunjukkan bahwa kemandirian emosional siswa

Gambar

Tabel 9: Usulan Topik-Topik Bimbingan untuk Meningkatkan Kemandirian Emosional Siswa Kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta .......
Tabel 1 Rincian Jumlah Siswa Kelas IX SMP N 2 Mlati Sleman Yogyakarta
Tabel 2 Hasil Penghitungan Koefisien Korelasi
Tabel 3 Kriteria Guilford
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan item-item kuesioner yang menunjukan rendahnya atau kurang tingginya kemampuan komunikasi interpersonal, peneliti memberikan usulan topik-topik bimbingan

Aspek-aspek pengasuhan permissive-indifferent adalah orang tua tidak terlibat dalam kehidupan remaja mereka. remaja-remaja dari orang tua yang lalai mengembangkan

Siswa yang memiliki kemampuan mengelola emosi yang tinggi juga dapat lebih cepat bangkit dari kemerosotan dan kegagalan dalam hidup (Goleman, 2007:58). Jadi, siswa

Pemilihansubjekdalampenelitianini dilakukan dengan menggunakansimple random sampling.Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner penyesuaian diri

Kuesioner terdiri dari 40 item yang memuat 6 aspek motivasi belajar yaitu adanya hasrat dan keinginan untuk berhasil, adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar, adanya harapan

Kuesioner disusun berdasarkan aspek-aspek motivasi belajar intrinsik yaitu menyadari akan kebutuhan dalam belajar, belajar dengan gigih untuk meraih tujuan yang ingin

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingginya kecerdasan emosional siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004 dan

Usulan Topik-topik Bimbingan Pribadi Sosial untuk peningkatan Kecerdasan Emosional bagi Siswa- siswi remaja Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen. No Aspek