• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Meningkatkan Hasil Belajar Tema 3 Siswa Kelas 4 SD Negeri 2 Tuksongo Menggunakan Metode Pembelajaran Guided Discovery Learning dalam Kurikulum 2013 Tahun Pelajaran 2017/2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Meningkatkan Hasil Belajar Tema 3 Siswa Kelas 4 SD Negeri 2 Tuksongo Menggunakan Metode Pembelajaran Guided Discovery Learning dalam Kurikulum 2013 Tahun Pelajaran 2017/2018"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kajian Teori

2.1.1. Hakekat Belajar

Belajar dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hal yang baru sehingga terjadi perubahan setelah pelaksanaan. Perubahan yang dimaksud yaitu perubahan dari tidak mengerti menjadi mengerti setelah kita mempelajarinya. Dalam konteks ini belajar berarti harus terjadi perubahan dan mengalami peningkatan dibandingkan kondisi awal. Perubahan yang terjadi bisa bersifat keilmuan, tingkah laku, kepribadian dan lain sebagainya. Belajar berarti suatu proses, untuk itu sebuah pembelajaran membutuhkan upaya dan waktu untuk menjalaninya.

Banyak pakar yang telah mencoba untuk mendefinisikan arti kata “belajar”. Hal tersebut menghasilkan banyak definisi belajar dalam berbagai sudut pandang yang berbeda. Menurut Paul Eggen dan Don Kauchak, belajar adalah perubahan struktur mental individu yang memberikan untuk menunjukkan perubahan perilaku “learning is a change in a person’s mental structure that provides the capacity to demonstrate change in behaviour”, Khadijah (2006:41). Dale H. Schunk dalam bukunya yang berjudul Learning Theories An Education Perspective (2012:5) mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan perubahan yang bertahan lama dalam prilaku, atau dalam kapasitas dalam berperilaku, yang dihasilkan dari praktik atau bentuk-bentuk pengalaman lainya. Beliau juga membagi pembejaran menjadi tiga kriteria, yaitu :

a. Pembelajaran melibatkan perubahan

(2)

dikatakan sudah belajar jika ia melakukan suatu hal dengan cara dan bentuk yang berbeda.

b. Pembelajaran bertahan lama seiring dengan waktu

Perubahan prilaku yang terjadi tidak terlapas dari adanya suatu pembelajaran. Ini berarti perubahan perilaku yang bersifat sementara tidak termasuk di dalamnya.

c. Pembelajaran terjadi melalui pengalaman

Seseorang dapat dikatakan belajar jika ada suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Salah satu cara untuk berubah adalah dari pengalaman. Biasanya mereka belajar melalui praktik atau mengamati perilaku orang lain.

Arsyad Azhar (1995:1) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri setiap orang sepanjang hidupnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan belajar berasal dari kata ajar yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut). Dari kata dasar ajar kemudian berkembang menjadi belajar yang berarti berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu dan berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman.

Perubahan tingkah laku menjadi tolok ukur utama dalam kegiatan belajar. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Chaplin bahwa belajar memiliki dua definisi yaitu acquisition of any relatively permanent change in behaviour as a result of a practice and experience (perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman) dan process of aquiring responses as a result of special practice (proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya latihan khusus), Syah(2004:64-65). Perlu diketahui bahwa tidak semua perubahan yang terjadi dikatakan belajar. Perubahan yang terjadi harus bersifat keilmuan atau perilaku positif yang bertahan lama. Seseorang yang minum minuman keras secara berlebihan akan terjadi perubahan dalam bentuk perilaku dan struktur mental, namun perubahan tersebut hanya bersifat sementara dan cenderung negatif maka tidak bisa dikatakan sebuah usaha belajar.

(3)

a. Belajar bertujuan mengadakan perubahan dalam diri antara lain perubahan tingkah laku.

b. Belajar bertujuan mengubah kebiasaan yang buruk menjadi baik.

c. Belajar bertujuan mengubah sikap dari negatif menjadi positif, tidak hormat menjadi hormat, benci menjadi sayang dan sebagainya.

d. Dengan belajar dapat memiliki keterampilan.

e. Belajar bertujuan menambah pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu.

Berdasarkan berbagai teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses kompleks untuk memperoleh respon berupa perubahan struktur mental, perilaku, pemikiran, disertai dengan usaha untuk memperoleh kepandaian serta ilmu yang bersifat positif dan bertahan lama yang terjadi melalui pengalaman, praktik ataupun mengamati orang lain.

Dengan mengetahui makna kegiatan belajar yang dilihat dari segi kata kerja selanjutnya yang perlu diketahui adalah hasil dari sebuah belajar tersebut yang berupa produk. Dalam penelitian ini hasil yang dimaksud adalah hasil belajar dari interaksi siswa dan guru. Untuk itu hasil yang dimaksud tentunya bersifat kependidikan terutama output yang ditimbulkan siswa itu sendiri. Oemar Hamalik (2004:30) berpendapat bahwa hasil belajar akan tampak pada beberapa aspek antara lain: pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, etis atau budi pekerti, dan sikap. Seseorang yang telah melakukan perbuatan belajar maka akan terlihat terjadinya perubahan dalam salah satu atau beberapa aspek tingkah laku sebagai akibat dari hasil belajar.

(4)

Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah sebuah produk berupa perubahan positif dari segi pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, etis atau budi pekerti, dan sikap dan dapat dinilai berdasarkan proses perubahan kemampuan intelektual (kognitif), kemampuan minat atau emosi (afektif) dan kemampuan motorik halus dan kasar (psikomotor) pada peserta didik.

2.1.2. Pengertian Metode belajar

Metode sering diartikan dengan cara dalam melakukan berbagai hal. Namun pengertian tersebut terlalu luas dan menghilangkan esensi dari metode itu sendiri. Agar metode dapat diartikan secara tepat dan jelas, berikut beberapa pendapat dari ahli. Menurut Purwadarminta (1976:7) metode adalah cara yang telah teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai sesuatu maksud. Diperkuat juga dengan pendapat dari Djamarah (2006:46) bahwa metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Morris (1976) dalam Sudjana (2010:8) berpendapat bahwa metode adalah “a manner of procedure; specially, a regular and systematic way of accomplishing anything. Morris (1976) juga menegaskan “Method emphasizes procedure according to a detailed, logically ordered plan”. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sudjana (2010:8) sendiri dalam bukunya Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif menyimpulkan bahwa metode mengandung unsur prosedur yang disusun secara teratur dan logis serta dituangkan dalam suatu rencana kegiatan untuk mencapai tujuan.

Dalam penelitian ini metode yang dimaksud berkaitan dengan pembelajaran di sekolah. Oemar Hamalik (2009:26) menyatakan bahwa metode adalah Cara untuk menyampaikan materi pembelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum. Dalam kaitannya dengan pembelajaran di sekolah, Prastowo (2013: 69) menyatakan :

(5)

Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat diambil poin-poin metode yaitu mencakup cara yang dilakukan, terencana, urut atau sistematik, bersistem, memudahkan, berupa rencana kegiatan. Jadi dapat diartikan bahwa metode belajar adalah suatu cara yang menekankan pada prosedur yang terencana, teratur dalam sebuah sistem disusun secara terstruktur, logis dan sistematis yang dituangkan dalam sebuah bentuk rencana kegiataan pembelajaran guna mempermudah mencapai tujuan yang telah ditentukan dalam kurikulum.

2.1.3 Kurikulum

2.1.3.1 Pengertian Kurikulum

Kurikulum merupakan suatu perangkat dalam pembelajaran yang berguna sebagai acuan suatu pembelajaran. Kurikulum berisi program pendidikan serta muatan-muatan pelajaran. Kurikulum juga memiliki peran besar dalam suksesnya pembelajaran, pasalnya kurikulum dibuat sesuai kondisi dan tuntutan zaman. Itu artinya kurikulum bersifat fleksibel atau dapat di sesuaikan berdasarkan tuntutan. Selain tuntutan zaman kondisi sumber daya manusia di Indonesia juga bepengaruh terhadap kurikulum yang berlaku.

Nur Ahid (2013:3) berpendapat dalam jurnalnya bahwa kata kurikulum berasal dari bahasa Latin (Yunani), yakni cucere yang berubah menjadi kata benda curriculum. Kurikulum, jamaknya curicula, pertama kali dipakai dalam dunia atletik. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata pelajaran yang harus disampaikan oleh guru dan dipelajarai oleh peserta didik, Widyastono (2015:1). Berdasarkan pendapat dari Zais (1976) kurikulum sebagai a racecourse of subject matters to be mastered, Nur Ahid (2006:18). Artinya kurikulum sebagai arena kompetisi suatu materi pelajaran yang harus dikuaisai oleh siswa maupun guru. Guru tentu harus menguasai arena tersebut karena guru yang harus mendorong siswa untuk berkompetisi dalam arena yang berisi mata pelajaran. Dalam arti luas Nur Ahid (2006:19) menyimpulkan kurikulum adalah semua pengalaman, kegiatan, dan pengetahuan murid di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau guru.

(6)

the education of pupils during their enrollment in a given school”. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa kurikulum adalah sebuah dokumen tertulis yang berisi berbagai bahan (dalam hal ini berarti materi pelajaran, data serta informasi yang dibutuhkan dalam pembelajaran tersebut), yang pada dasarnya adalah sebuah rencana untuk mendidik siswa selama masih terdaftar dalam instansi pendidikan tertentu.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 1 Poin 19 mendefinisikan bahwa Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah seperangkat dokumen pembelajaran yang berisi rencana, tujuan, isi, bahan, informasi belajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan pembelajaran tesebut dengan tujuan mendidik siswa agar siswa mencapai target tujuan yang telah ditetapkan.

2.1.3.2 Fungsi Kurikulum

Dalam melaksanakan pembelajaran, maka setiap pihak yang bersentuhan langsung dengan kurikulum maka wajib mengetahui fungsi dari kurikulum tersendiri. Sanjaya (2011) dalam Herry Widyastono (9:2015) berpendapat bahwa kurikulum memiliki berbagai fungsi. Bagi guru, kepala sekolah, orang tua, dan peserta didik sebagai berikut:

a. Bagi guru, kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang tidak berpedoman pada kurikulum tidak akan berjalan secara sistematis dan efektif, sebab pembelajaran adalah proses yang bertujuan sehingga segala sesuatu yang dilakukan guru dan peserta didik diarahkan untuk mencapai tujuan. Tanpa kurikulum, dapat dipastikan bahwa pembelajaran tanpa arah dan tanpa tujuan.

b. Bagi kepala sekolah, kurikulum berfungsi untuk menyusun perencanaan dan program sekolah. Penyusunan kalender sekolah, pengajuan sarana dan prasarana sekolah kepada komite, penyusunan berbagai kegiatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan lainya didasarkan pada kurikulum yang digunakan.

(7)

d. Bagi orang tua peserta didik, kurikulum sebagai pedoman untuk memberikan bantuan bagi penyelenggaraan bagi program sekolah dan membantu putra-putrinya untuk belajar di rumah sesuai dengan program sekolah.

Lebih lengkap lagi berdasarkan penjelasan dari Nurgiantoro (1988 : 45-46) menyebutkan ada 3 fungsi kurikulum yaitu:

a. Fungsi kurikulum bagi sekolah terdiri dari alat untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.

b. Kurikulum dapat mengontrol dan memelihara keseimbangan proses pendidikan. c. Kurikulum dimaksud untuk menyiapkan kebutuhan masyarakat atau lapangan

kerja, sehingga kurikulum mencerminkan hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat.

2.1.3.3 Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang dibuat untuk menyempurnakan kurikulum sebelumnya yaitu KTSP. Dengan diberlakukanya kurikulum 2013 merupakan salah satu langkah Indonesia dalam perbaikan di bidang pendidikan. Dengan penyempurnaan dari segi kurkulum diharapkan agar pendidikan di Indonesia mengalami kemajuan. Tujuan utama yang ingin dicapai pemerintah seperti yang dijelaskan oleh Herry Widyastono (2105:120) adalah terkait dengan SDM di Indonesia. Dengan Kurikulum 2013 diharapkan agar SDM di usia produktif yang akan mencapai puncaknya pada kisaran tahun 2020-2035 dapat ditranformasikan menjadi SDM yang memiliki kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan. Pengembangan Kurikulum 2013 diorientasikan agar terjadi peningkatan dan keseimbangan antara kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan, Majid (2014:10).

2.1.3.4 Karakteristik Kurikulum 2013

Kemendikbud (2013) dalam Herry Widyastono (2015:131) menjelaskan beberapa karakteristik dari Kurikulum 2013 sebagai berikut :

a. Mengembangkan sikap spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik secara seimbang.

(8)

c. Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta menerapkanya dalam berbagai situasi di sekolah maupun di masyarakat.

d. Meberikan waktu yang cukup leluasa untuk mengembangakan berbagai sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

e. Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran.

f. Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements) kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi inti.

g. Kompetensi dasar didasarkan pada prinsip akumulatif, saling memperkuat (reinforced), dan memperkaya (enriched), antarmata pelajaran dan jenjang pendidikan.

2.1.4 Pendekatan Saintifik (scientific approach)

Permendikbud nomor 54 tahun 2013 menerangkan bahwa lulusan SD sederajat harus memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan. Di ranah keterampilan lulusan SD sederajat dituntut memiliki kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sesuai dengan yang ditugaskan kepadanya. Pembelajaran saintifik lebih berorientasi dan memenuhi kriteria kelulusan yang ditetapkan di Permendikbud no 54 tahun 2013.

Dengan adanya rencana pemerintah untuk pemerataan kurikulum 2013 maka pembelajaran dengan pendekatan saintifik sudah harus menjadi hal yang wajib diketahui oleh guru. Pendekatan saintifik dan Kurikulum 2013 adalah dua hal yang sejalan, artinya Kurikulum 2013 memiliki kesesuaian dalam hal metode pembelajaran dan standar kelulusan dengan pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik. 2.1.4.1 Pengertian Pendekatan Saintifik

(9)

Sani (2014:50-51) berpendapat bahwa metode saintifik (ilmiah) pada umumnya melibatkan pengamatan atau observasi yang dibutuhkan untuk perumusan hipotesis atau mengumpulkan data. Metode ilmiah pada umumnya dilandasi dengan pemaparan data yang diperoleh melalui pengamatan atau percobaan. Pengamatan dan percobaan tidak harus dalam arti luas, namun dalam arti sederhana dapat dilakukan dengan kegiatan pengumpulan informasi dari berbagai sumber.

De Vito (1989) dalam Majid dan Rochman (2014:3) berpendapat bahwa model pembelajaran yang diperlukan dalam pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik adalah yang memungkinkan terbudayakanya kecakapan berpikir sains, terkembangnya sense of inquiry, dan kemampuan berpikir kreatif siswa. Pembelajaran saitifik tidak hanya terpaku pada satu materi saja namun juga dapat diintegrasikan berbagai materi dalam satu pembelajaran. Dalam konteks pemeblajaran di Sekolah Dasar, siswa tidak hanya mempelajari suatu materi pelajaran di kegiatan belajarnya namun berbagai materi pelajaran diintegrasikan kedalam satu pembelajaran. Siswa dapat mempelajari matematika sembari bermain bola atau belajar pengetahuan alam menggunakan lagu. Argumen ini diperkuat oleh Beyer (1991) “model pembelajaran berbasis peningkatan keterampilan proses sains adalah model pembelajaran yang mengintegrasikan keterampilan proses sain kedalam system penyajian materi secara terpadu, Majid dan Rochman (2014:4)

Chain and Evan (1990) dalam Majid dan Rochman (2014:4) berpendapat model pembelajaran berbasis keterampilan proses sains berpotensi membangun kompetensi dasar hidup siswa melalui pengembangan keterampilan proses sain, sikap ilmiah, dan proses konstruksi secara bertahap. Mereka juga menambahkan bahwa ketarmpilan proses sain pada dasarnya adalah kemampuan dasar untuk belajar (basic learning tool) yaitu kemampuan yang berfungsi membentuk landasan pada setiap individu dalam mengembangkan diri.

(10)

tercipta diarahkan untuk mendorong peserta didik dalam mencari dari berbagai sumber observasi, bukan diberitahu.

Dari kondisi tersebut siswa diharapkan agar bisa merumuskan pembelajaran berdasarkan informasi yang didapat dari observasi. Dari kegiatan observasi siswa akan memiliki kemampuan analitik yaitu dapat mengambil keputusan dengan tepat setelah mendapatkan informasi yang diobservasi.

Pendekatan scientific menjadikan pembelajaran lebih aktif dan tidak membosankan, siswa dapat mengonstruksi pengetahuan dan keterampilannya melalui fakta-fakta yang ditemukan dalam penyelidikan di lapangan guna pembelajaran. Selain itu, dengan pembelajaran berbasis pendekatan scientific ini, siswa didorong lebih mampu dalam mengobservasi, bertanya, bernalar, dan mengomunikasikan atau mempresentasikan hal-hal yang dipelajari dari fenomena alam ataupun pengalaman langsung (Kemendikbud, 2013: 203,212)

Sudarwan (2013) berpendapat dalam makalahnya pada Workshop Kurikulum 2013 menjelaskan bahwa pendekatan scientific bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan dari suatu kebenaran. Dengan demikian proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu prinsip-prinsip, nilai-nilai, atau kriteria ilmiah. Sudarwan (2013) juga menjabarkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi agar suatu pembelajaran dapat dikatan pembelajaran ilmiah, yaitu

a. Substansi atau materi pembelajaran berbasis fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda atau dongeng semata.

b. Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik terbebas dari prasangka yang semerta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur pemikiran logis.

c. Mendorong dan menginspirasi peserta didik agar berpikir kritis, analitis dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran.

(11)

e. Berbasis pada konsep, teori dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.

f. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.

Dengan berbagai penjelasan pakar diatas maka pembelajaran saintifik adalah pembelajaran yang dilakukan dengan berpijak berdasarkan teori-teori maupun fakta-fakta ilmiah yang disusun dengan merencanakan pembelajaran secara sederhana tetapi menghasilakan penyajian belajar yang menarik dengan tujuan pembelajaran agar siswa dituntut untuk berpikir berpikir kritis, analitis dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran dengan menggunakan berbagai sumber belajar guna menunjang pembelajaran yang aktif dan efektif

2.1.4.2 Konsep Pendekatan Saintifik

Di ranah pendidikan dasar guru tidak selalu menjadi sumber belajar yang utama. Dalam pendekatan pembelajaran saintifik siswa dapat memperoleh sumber dan informasi pengetahuan dari mana saja dan kapan saja. Aktivitas belajar mengajar tidak harus dilaksanakan di dalam kelas dengan keterikatan guru dan mata pelajaran sebagai sumber belajar. Siswa dapat melakukan aktivitas untuk memperoleh informasi dari sumber apapun dengan bimbingan guru. Sani (2014:51) menggambarkan komponen aktivitas pembelajaran saintifik sebagai berikut.

Perumusan Hipotesis Hasil/Data

Eksperimen dan Observasi Kesmpulan

Teori dan Model Observasi

Gambar 1 Gambar diagram komponen aktivitas pembelajaran saintifik, Sani

(12)

Gambar diagram di atas menggambarkan proses pembelajaran saintifik secara garis besar berdasarkan argumen dari Sani. Berangkat dari teori dan model pembelajaran dalam hal ini siswa dapat melakukan observasi dan eksperimen guna mencari data dan informasi yang dibutuhkan. Setelah data diperoleh akan diproses dan hasil dari penelitian akan muncul dalam bentuk kseimpulan. Data tidak harus diubah dalam bentuk kesimpulan tetapi data juga dapat diobservasi kembali. Setelah kedua tindakan tersebut dilakukan maka akan muncul sebuah hipotesis berdasarkan kesimpulan tersebut. Hipotesis juga masih dapat diobservasi kembali dan terus bersiklus sampai didapatkan hasil yang maksimal.

Dyer dkk berpendapat dalam Sani (2014:53) bahwa konsep pengolahan data seperti yang tergambar diatas merupakan ciri pembelajaran saintifik, dan dapat digunakan untuk membentuk keterampilan yang inovatif. Menurut Dyer dkk. Keterampilan inovatif yang dimaksud adalah keterampilan untuk : 1) observasi, 2) bertanya, 3) melakukan percobaan, 4) asosiasi (menghubungkan dan menalar) dan 5) membangun jaringan(networking). Berdasarkan terori Dyer, kelima tahapan pembelajaran saintifik tersebut tidak harus dilakukan secara kaku. Sani (2014:54) menambahkan aktivitas belajar dapat disesuaikan dengan pengetahuan yang hendak dipelajari. Pada suatu pembelajaran mungkin bisa dilakukan observasi terlebih dahulu. Mungkin di pembelajaran yang lain melakukan menanya dahulu kemudian disusul observasi. Aktivitas membangun jaringan (networking) juga dapat dilakukan untuk menunjang aktivitas observasi.

Sani (2014:54) juga menambahkan bahwa komponen pembelajaran saintifik dapat digambarkan sesuai kebutuhan. Komponen tersebut digambarkan dalam bentuk piramida kebutuhan sebagai berikut.

Gambar 2

(13)

Majid dan Rochman (2014:3) berargumentasi bahwa pembelajaran saintifik merupakan pembelajaran yang mengadopsi langkah-langkah saintis dalam membangun pengetahuan melalui metode ilmiah.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan scientific merupakan pendekatan dalam proses pembelajaran yang mengintegrasikan keterampilan sains yaitu mencari tahu sendiri fakta-fakta dan pengetahuan yang dikaitkan dengan materi pembelajaran. Pembelajaran saintifik merupakan pembelajaran yang mengadopsi langkah-langkah saintis dalam membangun pengetahuan melalui metode ilmiah. Model pembelajaran yang diperlukan adalah yang memungkinkan terbudayakannya kecakapan berpikir sains, terkembangkannya sense of inquiry dan kemampuan berpikir kreatif siswa. Pendekatan scientific lebih menekankan kepada peserta didik sebagai subjek belajar yang harus dilibatkan secara aktif.

2.1.4.3 Unsur-Unsur Pendekatan Saintifik

Majid & Rochman (2014:72) mendefinisikan kelebihan pembelajaran berbasis ilimiah atau scientific learning itu lebih efektif hasilnya dibandingkan pembelajaran tradisional. Hasil penelitian membuktikan bahwa pada pembelajaran tradisional retensi informasi dari guru sebesar 10 persen setelah 15 menit dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, retensi informasi dari guru sebesar 90 persen setelah dua hari, dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 50-70 persen.

(14)

“apa”. Majid & Rochman (2014) di halaman berikutnya juga menambahkan hasil akhir dari proses pembelajaran menggunakan metode ilmiah adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang lebih baik (soft skill) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skill) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

Metode ilmiah merupakan teknik untuk merumuskan permasalahan dalam bentuk pertanyaan kemudian menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan kegiatan observasi atau melaksanakan percobaan. Majid & Rochman (2014:74) mejabarkan tujuh langkah dalam pelaksanaan metode ilmiah yaitu: merumuskan pertanyaan, merumuskan latar belakang penelitian, merumuskan latar belakang penelitian, merumuskan hipotesis, menguji hipotesisi melalui percobaan, manganalisis hasil dan merumuskan kesimpulan, dan melaporkan hasil. Setelah ketujuh langkah selesai, observer juga dapat melakukan uji coba kesimpulan kembali apakah relevan atau tidak. Langkah-langkah diatas mencakup aktivitas eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi yang bertujuan untuk meyakinkan bahwa ilmu pengetahuan yang telah siswa ketahui teruji kebenaranya Majid & Rochman (2014:74). Mereka juga menambahkan bahwa dalam penerapan Kurikulum 2013 , siswa menggali informasi dengan diawali dengan mengamati dan bertanya, lalu siswa mendalami informasi untuk menjawab pertanyaan. Model pembelajaran seperti ini sangat cocok jika dilaksanakan menggunakan pendekatan ilmiah, karena ketujuh aspek dalam konsep pendekatan ilmiah menurut Majid & Rochman sudah mencakup model pembelajaran yang diharapkan dalam Kurikulum 2013.

2.1.4.4 Prinsip-Prinsip Pendekatan Saintifik

(15)

1. Pembelajaran berpusat pada siswa; 2) pembelajaran membentuk students self-concept; 3) pembelajaran terhindar dari verbalisme; 4) pembelajaran memberikan kesempatan pada siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi konsep, hukum, dan prinsip; 5) pembelajaran mendorong terjadinya peningkatan kemampuan berpikir; 6) pembelajaran meningkatkan motivasi belajar siswa dan motivasi mengajar guru; 7) memberikan kesempatan pada siswa untuk melatih kemampuan dalam berkomunikasi; 8) adanya proses validasi terhadap kosep, hukum, dan prinsip yang dikonstruksi siswa dalam struktur kognitifnya.

Kedelapan prinsip Hosnan mengisyaratkan bahwa guru dalam menghadapi Kurikulum 2013 harus mempersiapkan pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik. Pada poin pertama hosnan mendefinisikan bahwa pembelajaran berpusat pada siswa, artinya segala bentuk usaha dan aktivitas pembelajaran siswa harus berperan aktif. Selain itu guru hanya menjadi pihak kedua dalam pembelajaran yang berarti guru hanya membantu siswa jika terdapat kesulitan, membenarkan kesalahan siswa dan membimbing siswa. Siswalah yang menjadi pemeran utama dalam pembelajaran. Pembelajaran tradisional guru lebih mendominasi pembelajaran dibanding siswa. Pembelajaran yang terjadi hanya satu arah yaitu guru ke siswa. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip Hosnan.

Poin yang kedua tentang prinsip pendekatan saintifik Hosnan adalah students self-concept. Artinya melalui pembelajaran tersebut siswa diharapakan mengenali dirinya sendiri, kecenderungan prilakunya sendiri, dan karakteristiknya sendiri. Jadi siswa akan menemukan gambaran dirinya melalui aktivitas-aktivitas yang dirancang oleh guru. Setelah siswa mengetahui akan konsep dirinya sendiri, guru membimbing siswa untuk membentuk konsep diri siswa agar menjadi lebih baik.

Prinsip selanjutnya adalah pembelajaran terhindar dari verbalisme. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan arti kata verbalisme yaitu “ajaran (pandangan) dalam dunia pendidikan (pengajaran) yang mendidik anak untuk banyak menghafal”. Guru tidak boleh mendominasi pembelajaran dengan metode ceramahnya atau mendorong siswa untuk menghafal materi pembelajaran secara besar. Guru di tuntut untuk menyuguhkan serta menanamkan konsep suatu materi kepada siswa agar siswa mengerti materi tersebut melalui caranya masing-masing.

(16)

dimiliki dengan sifat lingkungan sekitar” sedangkan akomodasi “sesuatu yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan”. Untuk itu siswa melalui pembelajaran dengan pendekatan saintifik diharapkan bisa menyelaraskan gagasan, konsep, hukum serta prinsip sesuai pandangan mereka sesuai pandangan materi yang diajarkan. Mengakomodasi berarti siswa diharapkan bisa menyinkronkan gagasan, konsep, hukum serta prinsip sesuai pengertian guru menggunakan sekema pembelajaran yang telah distimulus siswa dengan konsep pemahaman masing-masing siswa.

Prinsip keenam yaitu pembelajaran meningkatkan motivasi belajar siswa dan motivasi mengajar guru, artinya tidak ada siswa yang malas belajar dan guru malas dalam memberikan pengajaran yang ideal. Pembelajaran disusun dengan berbagai aktivitas yang menstimulus semangat belajar siswa dan memberikan motivasi belajar siswa.

Prinsip ketujuh yaitu memberikan kesempatan pada siswa untuk melatih kemampuan dalam berkomunikasi. Seperti yang telah dijelaskan pada poin pertama dan ketiga bahwa guru tidak boleh mendominasi jalanya kegiatan belajar. Dalam hal ini juga bertujuan untuk melatih keaktifan siswa salah satunya dalam hal berkomunikasi. Untuk itu guru harus berusaha memberikan pancingan siswa untuk mengeluarkan gagasanya dan dapat bertukar gagasan dengan siswa lain.

Prinsip kedelapan yaitu adanya proses validasi terhadap kosep, hukum, dan prinsip yang dikonstruksi siswa dalam struktur kognitifnya. Dalam hal ini guru bertindak sebagai ahli materi yang membenarkan pemahaman tentang kosep, hukum, dan prinsip sesuai cara masing-masing siswa agar tidak terjadi miskonsepsi materi. Tahap ini dalam KTSP disebut konfirmasi.

(17)

2.1.4.5 Langkah-Langkah Pendekatan Saintifik

Pembelajaran Kurikulum 2013 menerapkan pendekatan ilmiah. Majid & Rochman (2014:75) mendefinisikan bahwa Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah. Dalam penerapnya, saat proses pembelajaran maka diperlukan langkah-langkah agar tidak terjadi kesalah pahaman dan kegagalan pembelajarannya. Berikut penjelasan dari berbagai pendapat tentang langkah-langkah pendekatan ilmiah atau saintifik.

Menurut Majid & Rochman (2014:75) “Pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran semua mata pelajaran meliputi menggali informasi melalui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi, menyajikan data atau informasi dilanjutkan dengan menganalisis, menalar, kemudian menyimpulkan dan mencipta”. Sebagaimana yang dimaksud dalam pendapat tersebut bahwa pembelajaran yang dilakukan harus meliputi beberapa aspek yaitu mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta dari semua mata pelajaran. Berikut penjabaran dari delapan langkah pembelajaran saintifik menurut Majid & Rochman.

a. Mengamati

Mengamati adalah kegiatan yang cukup mudah dalam pelaksanaanya. Berkaitan dengan aktivitas belajar siswa, kegiatan mengamati adalah bentuk pengumpulan berbagai informasi yang memiliki kaitan dengan materi yang diajarakan oleh guru. Kegiatan mengamati ini juga sebagai bentuk latihan agar siswa berkesempatan mengasah rasa ingin tahu mereka. Selain itu bagi beberapa anak yang memiliki rasa ingin tahu tinggi, kegiatan ini menjadi kegiatan untuk memenuhi kepuasan akan rasa ingin tahu mereka. Kegiatan ini juga memiliki kelemahan. Menurut Majid & Rochman (2014:75) “tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga yang relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran”.

(18)

yaitu: 1) observasi biasa (common observation); 2) observasi terkendali (controlled observation); 3) observasi partisipatif (participant observation).

Kegiatan observasi akan efektif jika siswa melengkapi diri dengan alat-alat pencatatan dan alat-alat lain yang menunjang, seperti: tape recorder yang digunakan untuk merekam data informasi berupa audio, kamera yang digunakan untuk menangkap data atau informasi dalam bentuk visual, film atau video yang dapat digunakan menangkap informasi atau data berupa audio visual serta alat-alat lain sesuai keperluan. Lebih lengkapnya alat atau instrument penunjang observasi dapat berupa daftar cek (check list), skala rentan (rating scale), catatan berupa anecdot (anecdotal record) serta instrument yang lain.

b. Menanya

Setelah siswa melakukan kegiatan observasi dan sudah memperoleh berbagai data yang diperlukan, seringkali siswa memperoleh data dalam kondisi yang menurut mereka tidak sepaham dengan pemahaman mereka. Dengan kondisi ini jika dibiarkan maka hal yang terjadi adalah siswa akan mengalami miskonsepsi materi pelajaran dan jika ketidak sepahaman mereka tidak terjawab akan berdampak pada motivasi belajar mereka yang menurun. Di sinilah kegiatan menanya diperlukan. Guru harus bertindak sebagai pihak yang bisa mengkonfirmasi ketidapahaman siswa.

Turney (1979) dalam Majid & Rochman (2014) mengidentifikasikan 12 fungsi pertanyaan dalam proses pembelajaran.

1.) Membangkitkan minat dan rasa keingintahuan tentang suatu topik. 2.) Memusatkan perhatian pada masalah tertentu.

3.) Menggalakan penerapan belajar aktif.

4.) Merangsang siswa mengajukan pertanyaan sendiri.

5.) Menstrukturkan tugas-tugas hingga kegiatan belajar dapat berlangsung secara maksimal.

6.) Mendiagnosis kesulitan belajar siswa.

7.) Mengkomunikasikan dan merealisasikan bahwa semua siswa harus terlibat secara aktif dalam pembelajaran.

(19)

9.) Melibatkan siswa dalam memanfaatkan kesimpulan yang dapat mendorong mengembangkan proses berpikir.

10.)Mengembangkan kebiasaan menanggapi pertanyaan teman atau pertanyaan guru.

11.)Memberikan kesempatan untuk belajar diskusi.

12.)Menyatakan perasaan dan pikiran murni kepada siswa.

Kegiatan menanya juga memberikan wadah siswa untuk saling bertukar gagasan berupa informasi antar siswa maupun siswa dengan guru. Kegiatan ini akan mengakibatkan suasan kelas yang dinamis dan alur informasi berjalan ke berbagai arah.

c. Menalar

Dalam Kurikulum 2013 istilah menalar selaras dengan associating; bukan mengacu pada reasoning, artinya dalam kegiatan ini siswa tidak hanya berpikir menyambungkan gagasan mereka dalam angan-angan saja tetapi juga siswa harus memberikan relasi antara gagasan yang ada dalam pikiran mereka dengan informasi secara fakta yang mereka temukan. Pengalaman-pengalaman yang telah mereka dapatkan sebelumnya dikombinasikan dengan pengalaman baru yang mungkin asing bagi mereka..

Majid & Rochman (2014:87) menjelaskan bahwa teori asosiasi ini sangat efektif menjadi landasan menanamkan sikap ilmiah dan motivasi pada siswa berkenaan dengan nilai-nilai intrinsik dari pembelajaran partisiipatif. Majid & Rochman (2014:87) membagi dua bentuk teknik penalaran yaitu menalar secara induktif dan deduktif. Menalar secara induktif adalah proses penarikan kesimpulan dari kasusu-kasus yang bersifat nyata secara individual atau spesifik menjadi simpulan yang bersifat umum. Sedangkan menalar secara deduktif adalah menerapkan hal-hal yang bersifat umum terlebih dahulu untuk kemudian digabungkan kedalam bagian-bagianya yang khusus.

d. Mengolah

(20)

dengan siswa lain. Hal ini memicu mengerucutnya gagasan dan pengolahan data akan menghasilkan hasil yang mendekati sempurna jika disbanding dengan pengolahan secara individu. Dalam kegiatan ini guru bertindak sebagai fasilitator dan manager di dalam kegiatan belajar siswa. Guru harus bisa mengontrol jalanya kegiatan mengolah data setiap kelompok agar berjalan tanpa pemasalahan. Pada intinya pengolahan data tidak selalu guru yang memproses data sehingga siswa hanya menerima dari guru. e. Mencoba

(21)

f. Menyimpulkan

Aktivitas menyimpulkan dapat dikerjakan secara berkelompok. Kegiatan ini siswa harus memiliki hasil berupa produk dalam bentuk simpulan dari pembelajaran. Aktivitas ini pada intinya menjawab pertanyaan pokok dari tujuan kegiatan/proses pembelajaran. Kegiatan menyimpulkan dapat menjadi ajang saling tukar pendapat karena pastinya pemikiran setiap siswa berbeda..

g. Menyajikan

Kegiatan ini adalah berupa hasil tugas yang dikerjakan bersama-sama secara kelompok dapat disajikan dalam bentuk laporan tertulis dan dapat dijadikan satu bahan untuk portofolio kelompok dan/atau individu yang sebelumnya dikonsultasikan terlebih dahulu kepada guru. Perlu adanya penyelarasan dari guru berdasarkan sumber agar tidak terjadi perdebatan antar pendapat siswa yang berkepanjangan

h. Mengkomunikasikan

Pada kegiatan akhir siswa diharapkan dapat mengkomunikasikan hasil pekerjaan yang telah disusun, baik secara individu maupun secara kelompok. Kegiatan mengomunikasikan dapat dilakukan dalam bentuk pajangan berupa madding atau lisan dalam bentuk presentasi. Selain itu berbagai media dapat berperan sebagai perantara untuk kegiatan mengomunikasikan ini.

(22)

juga penting dalam pembuatan simpulan karena untuk mencegah kegagalan pemahaman yang diperoleh siswa. Pada akhirnya siswa akan mengkomunikasikan agar kegiatan pembelajaran mereka dapat diakui dan diapresiasi oleh berbagai pihak yang bersangkutan.

2.1.4.6 Metode Belajar Pendekatan Saintifik

Pembelajaran berdasarkan pendekatan saintifik dapat dilakukan dengan berbagai metode. Penggunaan metodenya juga harus sesuai berdasarkan langkah-langkah serta prinsip yang telah dijelaskan di atas. Untuk itu dibutuhkan metode belajar guna menerapkan pendekatan saintik dalam proses belajar mengajar. Namun tidak semua metode pembelajaran bisa diterapkan dalam pembelajaran saintifik. Seperti penjelasan sebelumnya bahwa pendekatan saintifik memiliki enam langkah yang harus dicapai. Beberapa metode belajar tidak bisa mencakup keenam aspek tersebut. Untuk itu sebagai guru wajib mengetahui beberapa metode belajar yang dapat digunakan dalam pembelajaran saintik. Menurut Sani (2014:76) “metode yang sesuai dengan pendekatan pembelajaran saintifik antara lain: pendekatan berbasis inkuiri, pembelajaran penemuan (discovery learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran berbasis proyek (project based learning) dan metode lain yang relevan.

a. Pembelajaran Berbasisi Inkuiri (Inquiry Based Learning)

Inkuiri adalah proses menjawab pertanyaan dan menyelesaikan masalah berdasarkan fakta dan pengamatan. Pembelajaran berbasis inkuiri (IBL) adalah pembelajaran yang melibatkan siswa dalam merumuskan pertanyaan yang mengarakhakan untuk melakukan investigasi dalam membangun pengetahuan dan makna baru. Pembelajaran dengan pendekatan IBL selalu mengusahakan agar siswa selalu aktif secara mental maupun fisik. Materi yang disajikan guru bukan begitu saja diberitahukan dan diterima oleh siswa, tetapi siswa diusahakan sedemikian rupa sehingga mereka memperoleh berbagai pengalaman dalam rangka menemukan sendiri konsep-konsep yang direncanakan oleh guru.

b. Pembelajaran Berbasis Penemuan (Discovery Based Learning)

(23)

percobaan. Jadi belajar dengan menemukan (discovery) adalah bagian dari inkuiri. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian.

c. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

Problem based learning (PBL) merupakan pembelajaran yang penyampaiannya dilakukan dengan cara menyajikan suatu permasalahan, mengajuka pertanyaan-pertanyaan, memfasilitasi penyidikan, dan membuka dialog. Pembelajaran ini menuntut siswa untuk selalu melakukan penyelidikan dan menyelesaikan permasalahan dan guru hanya sebagai fasilitor. Model pembelajaran PBL dapat diartikan sebagai sebuah model pembelajaran yang didalamnya melibatkan siswa untuk memecahkan masalah dengan melalui tahapan metode ilmiah sehingga siswa diharapkan dapat mempelajari peemasalahan yang berkaitan dengan masalah tersebut sekaligus siswa memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah, Kamdi (2007:77).

d. Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)

(24)

2.1.5 Metode Belajar Discovery Learning

2.1.5.1 Pengertian Discovery Learning

Discovery berasal dari kata discover dalam bahasa Indonesia dapat diartikan menemukan. Menurut Oxford Dictionary kata discover didefiniskan sebagai berikut” Find unexpectedly or during a search”, jika diartikan dalam bahasa Indonesia discover yaitu menemukan hal tak terduga selama dalam pencarian tersebut. Menurut (Illahi, 2012:29) mengatakan bahwa pengertian discovery dapat ditinjau melalui kata dasarnya yaitu discover yang berarti menemukan, sedangkan discovery adalah penemuan. Menurut Oemar Hamalik (1994:90-91) menyatakan bahwa discovery adalah proses pembelajaran yang menitikberatkan pada mental intelektual para anak didik dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi, sehingga menemukan suatu konsep atau generalisasi yang dapat diterapkan di lapangan.

Masarudin Siregar, 1985 menyatakan bahwa discovery by learning adalah proses pembelajaran untuk menemukan sesuatu yang baru dalam kegiatan belajar mengajar, Illahi (2012:30). Sedangkan Mulyasa (2005:110) menyatakan bahwa Discovery Strategy merupakan strategi pembelajaran yang menekankan pengalaman langsung di lapangan, tanpa harus bergantung pada teori-teori pembelajaran yang ada pada buku pedoman pembelajaran. Mulyasa mengindikasikan bahwa pembelajaran discovery tidak hanya terpaku pada teori-teori dari buku, melainkan mengutamakan pengalaman sebagai tujuan utama yang nantinya diakumulasi serta dirangkai kedalam beberapa bentuk konsep pengetahuan.

Tokoh penemu pembelajaran berbasis penemuan (Discovery Learning) adalah Bruner. Bruner dalam Illahi (2102:43) meyakini bahwa strategi pembelajaran dinilai sangat efektif dan efisien dalam mendayagunakan skill para anak didik dalam memahami arti pendidikan yang sebenarnya. Ia juga menegaskan bahwa hal terpenting dalam proses pembelajaran adalah kemampuan untuk menangkap persoalan dengan mempertimbangkan yang matang, sehingga hasil yang akan dicapai dapat memberikan motivasi bagi peningkatan belajar anak didik, Illahi (2012:43).

(25)

menemukan suatu konsep atau teori yang sedang dipelajari. Dengan kata lain, landasan pemikiran yang mendasari pendekatan belajar mengajar ini bisa lebih mudah dihafal dan diingat, serta dapat ditransformasikan dalam menghadapi kompleksitas kehidupan yang sangat pelik. Illahi (2012:46) berpendapat bahwa penerapan Discovery Strategy mempunyai implikasi yang sangat besar guna meningkatkan keterampilan hidup anak didik dalam menghadapi persaingan yang semakin kompetitif.

Berdasarkan berbagai pendapat pakar diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Discovery Learning adalah salah satu metode belajar dimana menuntut siswa agar menemukan informasi atau nilai-nilai baru yang terkandung di dalam proses pembelajaran tersebut sehingga informasi dan nilai-nilai tersebut diakumulasi dan dirangkai berdasarkan pengalaman menjadi konsep pengetahuan.

2.1.5.2 Kelebihan dan Kelemahan Discovery Learning

Semua metode belajar pasti memiliki kelebihan dan kelemahanya masing-masing. Tidak ada satu metode belajar yang cocok digunakan dalam berbagai situasi belajar. Untuk itu guru harus jeli dalam memilih metode yang cocok untuk digunakan dalam menjalankan proses belajar mengajar. Salah satu dampak jika guru menerapkan metode belajar yang kurang tepat adalah tidak tercapainya tujuan belajar tersebut, dan jika hal tersebut terjadi maka pembelajaran dapat dikatakan gagal. Metode Discovery Learning sendiri juga memiliki kelebihan dan kelemahan dan berikut penjelasanya.

Illahi (2012:70) menjelaskan lima kelebihan Discovery Learning sebagai berikut:

a. Dalam penyampaian bahan Discovery Strategy, digunakan kegiatan dan pengalaman langsung. Kegiatan dan pengalaman tersebut akan lebih menarik perhatian anak didikdan memungkinkan pembentukan konsep-konsep abstrak yang mempunyai makna.

(26)

c. Discovery Strategy merupakan suatu model pemecahan masalah. Para anak didik langsung menerapkan prinsip dan langkah awal dalam pemecahan masalah.

d. Dengan sejumlah transfer secara langsung, maka kegiatan Discovery Strategy akan lebih mudah diserap oleh anak didik dalam memahami kondisi tertentu yang berkenaan dengan aktivitas pembelajaran.

e. Discovery Strategy banyak memberikan kesempatan bagi para anak didik untuk terlibat langsung dalam kegiatan belajar. Kegiatan demikian akan banyak memberikan motivasi belajar, karena disesuaikan dengan kebutuhan dan minat mereka sendiri.

Nana Syaodih (2005:184) mengatakan bahwa Discovery Strategy menitik beratkan pada kemampuan mental dan fisik para anak didik yang akan memperkuat semangat dan konsentrasi mereka dalam melakukan kegiatan discovery. Selain itu Illahi (2012:69) menambahkan bahwa keistimewaan Discovery Strategy bagi para anak didik tidak sekedar keterampilan dalam mengkaji suatu persoalan, melainkan juga kemampuan dalam mengkaji informasi dan fakta konkret mengenai suatu hal yang dianggap penting. Ridwan Abdullah Sani (2014:98) menjelaskan bahwa kegiatan discovery melalui kegiatan eksperimen dapat menambah pengetahuan dan keterampilan peserta didik secara simultan. Dengan demikian metode discovery memiliki banyak manfaat bagi perkembangan siswa jika dilakukan dengan tepat terhadap subyek yang juga mampu.

Metode Discovery Learning pasti juga memiliki kelemahan. Menurut Illahi (2012:72) menjelaskan empat kelemahan dari metode Discovery Learning yaitu: a. Berkenaan dengan waktu. Belajar mengajar menggunakan Discovery Strategy

membutuhkan waktu yang lama dibandingkan dengan metode langsung. Hal ini disebabkan untuk dapat memahami strategi ini, dibutuhkan tahapan-tahapan yang panjang dan kemampuan memanfaatkan waktu yang sebaik-baiknya.

(27)

c. Kesukaran dalam menggunakan faktor subyektifitas ini dapat menimbulkan kesukaran dalam memahamisuatu persoalan yang berkenaan dengan pengajaran Discovery Strategy.

d. Faktor kebudayaan dan kebiasaan. Belajar Discovery Strategy menuntut kemandirian, kepercayaan dirinya sediri, dan kebiasaan bertindak sebagai subyek. Tuntutan terhadap pembelajaran Discovery Strategy, sesungguhnya membutuhkan kebiasaan yang sesuai dengan kondisi anak didik.

Berdasarkan penjelasan tersebut mengidikasikan bahwa metode Discovery Learning tidak selamanya cocok diterapkan dalam pembelajaran. Ada saatnya pembelajaran ini menjadi sebuah permasalahan dalam sebuah pembelajaran jika guru tidak pandai dalam melihat situasi yang mereka hadapi. Dengan penjelasan tentang kelebihan dan kelemahan pembelajaran discovery tersebut, guru diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan kemudian memutuskan metode yang tepat dalam pembelajaran.

Menurut Sapriati (2009:28) ada dua macam atau jenis pembelajaran penemuan, yaitu pembelajaran penemuan murni (free discovery) dan pembelajaran penemuan terarah atau penemuan terbimbing (guided discovery). Pembelajaran penemuan murni (free discovery) merupakan pembelajaran penemuan tanpa adanya petunjuk atau arahan. Sedangkan pembelajaran penemuan terarah/terbimbing (guided discovery) merupakan pembelajaran yang membutuhkan peran guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajarannya. Diputuskan dalam penelitian ini akan digunakan metode Guided Discovery Learning mengingat yang menjadi subyek penelitian adalah siswa sekoah dasar.

2.1.5.3 Metode Belajar Penemuan Terbimbing (Guided Discovery Learning)

(28)

Discovery Learning. Sani (2014:97) juga menambahkan dalam opininya bahwa discovery terbimbing merupakan metode yang digunakan untuk membangun konsep dibawah pengawasan guru. Sedangkan Hamalik (2005: 188) mengungkapkan bahwa guided discovery melibatkan siswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan guru. Siswa melakukan discovery, sedangkan guru membimbing mereka kearah yang benar/tepat. Hanafiah dan Cucu Suhana (2010:77) mengungkapkan bahwa guided discovery yaitu pelaksanaan penemuan dilakukan atas petunjuk dari guru. Pelaksanaan pembelajaran discovery diterapkan terhadap anak sekolah dasar tidak akan berjalan dengan baik, alsannya siswa Sekolah Dasar belum mampu untuk berfikir mendalam terhadap suatu materi. Oleh karena itu menjadi sangat penting bimbingan dari seorang guru. Berdasarkan pada pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan bahwa metode Guided Discovery Learning merupakan metode pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif untuk mencoba menemukan sendiri informasi maupun pengetahuan yang diharapkan dengan bimbingan dan petunjuk yang diberikan guru.

Menurut Westwood (2008) dalam Sani (2014:98) untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran penemuan terbimbing (Guided Discovery Learning) maka dibutuhkan hal-hal sebagai berikut :

a. Proses belajar dibuat secara terstruktur dan hati-hati.

b. Siswa memiliki pengetahuan dan keterampilan awal untuk belajar.

c. Guru memberikan dukungan yang dibutuhkan siswa untuk melakukan penyelidikan.

Selain itu pembelajaran Guided Discovery Learning pasti memiliki kelemahan dan kelebihannya. Suryosubroto (2009: 185) menyebutkan beberapa kelebihan metode Guided Discovery Learning sebagai berikut :

a. Dianggap membantu siswa mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan penguasaan keterampilan dan proses kognitif siswa.

(29)

c. Strategi penemuan membangkitkan gairah pada siswa, misalnya siswa merasakan jerih payah penyelidikannya, menemukan keberhasilan dan kadang-kadang kegagalan.

d. Metode ini memberi kesempatan pada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan kemampuannya sendiri.

e. Metode ini menyebabkan siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya, sehingga ia lebih merasa terlibat dan termotivasi sendiri untuk belajar.

f. Metode ini dapat membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya kepercayaan pada diri sendiri melalui proses-proses penemuan.

g. Strategi ini berpusat pada anak, misalnya memberi kesempatan kepada mereka dan guru berpartisipasi sebagai sesama dalam mengecek ide.

h. Membantu perkembangan siswa menuju skeptisisme yang sehat untuk menemukan kebenaran akhir dan mutlak.

Guided Discovery Learning juga disebut metode penemuan terbimbing. Marzano dalam Markaban (2006:16) menyatakan bahwa metode penemuan terbimbing salah satunya memiliki kelebihan yaitu mendukung kemampuan problem solving siswa dan materi yang dipelajari dapat mencapai tingkat kemampuan yang tinggi dan lebih lama membekas karena siswa dilibatkan dalam proses menemukannya. Sedangkan Herman (2001:145) memaparkan tentang kekuatan metode penemuan terbimbing di antaranya yaitu siswa benar-benar dapat memahami suatu konsep atau rumus, sebab siswa mengalami sendiri proses untuk mendapatkan konsep atau rumus itu. Metode ini membatasi guru untuk menambah materi baru, bila ternyata siswa belum memahami materi yang sedang dipelajari.

Metode Guided Discovery Learning pastinya juga memiliki kelemahan seperti yang disebutkan oleh Suryosubroto (2009:186):

a. Dipersyaratkan keharusan adanya persiapan mental untuk cara belajar ini. b. Metode ini kurang berhasil untuk mengajar kelas besar.

c. Harapan yang ditumpahkan pada strategi ini mungkin mengecewakan guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan pengajaran secara tradisional. d. Mengajar dengan penemuan mungkin akan dipandang sebagai terlalu

(30)

e. Dalam beberapa ilmu (misalnya IPA) fasilitas yang dibutuhkan untuk mencoba ide-ide mungkin tidak ada.

f. Strategi ini mungkin tidak akan memberi kesempatan untuk berfikir kreatif, kalau pengertian-pengertian yang akan ditemukan telah diseleksi terlebih dahulu oleh guru, demikian pula proses-proses di bawah pembinaannya tidak semua pemecahan masalah menjamin penemuan yang penuh arti.

Dengan demikian guru dapat mempertimbangkan dalam memilih metode belajar yang tepat untuk diterapkan. Tidak semua metode belajar dapat digunakan karena tetap saja memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing, untuk itu guru harus jeli dalam membaca kondisi kelasnya agar dapat menerapkan metode yang tepat dan mendapat hasil yang efektif.

2.1.5.4 Langkah-langkah Guided Discovery Learning

Untuk menerapkan pembelajaran Guided Discovery, maka diperlukan sebuah langkah-langkah (Syntax) agar dalam melakukan pembelajaran memiliki dasar sesuai teori tang dikembangkan. Menurut Suryosubroto (2009: 184-185) mengemukakan langkah-langkah metode penemuan sebagai berikut:

1. Identifikasi kebutuhan siswa.

2. Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi yang akan dipelajari.

3. Seleksi bahan, dan problema/tugas-tugas. 4. Membantu memperjelas

a. tugas/problema yang akan dipelajari. b. peranan masing-masing siswa.

5. Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan.

6. Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siswa.

7. Memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan. 8. Membantu siswa dengan informasi/data, jika diperlukan oleh siswa.

9. Memimpin analisis sendiri (self analysis) dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses.

10.Merangsang terjadinya interaksi antarsiswa dengan siswa.

(31)

12.Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil penemuannya.

Selain itu Bruner (dalam Winatapura, 2008:3.19) menjelaskan bahwa tahap-tahap penerapan belajar penemuan, yaitu; (1) stimulus (pemberian perangsang/stimuli), (2) problem statement (mengidentifikasi masalah), (3) data collection (pengumpulan data), (4) data processing (pengolahan data), (5) verifikasi, dan (6) generalisasi. Sedangkan menurut seorang dari The Power of Our Words and Learning Through Academic Choice (Paula Denton; 2004; Guided Discovery in Action; https://www.responsiveclassroom.org/guided-discovery-in-action/; diakses tanggal 20 November 2017) menjelaskan 5 langkah pembelajaran menggunakan Guided Discovery yaitu:

1. Introducing and Naming

Tahap ini mengajak siswa untuk lebih tertarik pada pembelajaran yang akan dilakukan. Biasanya guru memberikan sebuah misteri tentang permasalahan yang akan dibahas sehingga rasa ingin tahu siswa semakin meningkat.

2. Generating and Modeling Students’ Ideas

Dalam tahap ini guru mengajak siswa untuk berpikir cara belajar dan menggunakan materi yang akan dipelajarai. Siswa dilibatkan dalam brainstorming terhadap materi yang akan dipelajari. Guru memiliki tugas sebagai pengumpul gagasan yang dipikirkan setiap siswa terhadap materi ini, karena setiap siswa pastinya memiliki interprestasi yang berbeda-beda dalam memahami materi yang belum mereka kenal.

3. Exploration and Experimentation

(32)

4. Sharing Exploratory Work

Dalam tahap ini siswa dibebasakan mengeksplorasi dari berbagai sumber yang ada. Tugas guru adalah memfasilitasi siswa dalam melakukan explorasi. Biasanya siswa akan bertanya tentang hal yang belum mereka pahami. Setelah siswa mendapatkan jawaban tentang apa yang mereka cari, mereka cenderung akan membandingkan dengan jawaban teman lain. Disinilah tahap Sharing Exploratory Work berjalan, dimana setiap siswa saling bertukan informasi tetang apa yang mereka dapat dalam explorasi mereka.

5. Cleanup and Care of Materials

Dalam tahap akhir ini guru mengajak siswa untuk berfikir tentang berbagai variasi jenis informasi dari sekian siswa di kelas. Tahap ini disebut clean up berarti membersihkan miskonsepsi tentang informasi yang mereka dapat. Guru bertindak layaknya hakim karena harus memilah informasi yang didapat siswa secara bijak dan harus menjelaskan secara logis kepada siswa.

Dalam bukunya, Sani (2013:221) mengungkapkan bahwa langkah-langkah pembelajaran metode penemuan terbimbing adalah sebagai berikut.

a. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran.

b. Guru membagi petunjuk praktikum eksperimen.

c. Peserta didik melaksanakan eksperimen di bawah pengawasan guru. d. Guru menunjukkan gejala yang diamati.

e. Peserta didik menyimpulkan hasil eksperimen.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah Guided Discovery Learning, yaitu: 1) pengenalan terhadap materi ajar (introducing), 2) pemberian stimulus kepada siswa (stimulating), 3) exsplorasi dan pengumpulan materi ajar (exploring and collecting the data), 4) pengolahan informasi berbantuan guru (data processing), 5) konfirmasi dan verifikasi (confirming and data verivication).

2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

(33)

setelah treatment. Hal tersebut dibuktikan dengan uji beda Paired Sample T Test. Hasil uji Paired Sample T Test mendapatkan signifikansi lebih kecil dari 0,05 yakni 0,001 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Dapat disimpulkan dari penelitian tersebut

bahwa metode discovery learning terbuktu berpengaruh terhadap siswa kelas 5 SD pada mata pelajaran IPA.

Penelitian yang dilakukan oleh Fahmi (2016) dengan judul “Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Pendekatan Discovery Learning Siswa Kelas 5 SDN Bringin Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan Semester 2 Tahun Pelajaran 2015/2016”. Dari penelitian ini di dapat simpulan bahwa penerapan metode Disvery Learning terhada kelas 5 mata pelajaran IPA di SDN Bringin berhasil. Hal tersebut ditunjukan dengan Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hasil belajar IPA yang diupayakan melalui pendekatan discovery learning siswa kelas 5 SDN Bringin Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan semester 2 tahun pelajaran 2015/2016. Hal ini ditunjukkan oleh perbandingan hasil belajar IPA berdasarkan ketuntasan, siklus I : siklus II, yakni 71,67% : 84,58% . Perbedaan hasil belajar IPA berdasarkan skor terendah siklus I:siklus II , yakni 50:55, perbedaan hasil belajar IPA berdasarkan skor tertinggi siklus I: siklus II, yakni 95:100, perbedaan hasil belajar IPA berdasarkan skor rata-rata siklus I: siklus II, yakni 71,67:84,58. Selain itu penelitian ini dikatakan berhasil karena juga ditunjukkan oleh 86,67 % dari seluruh siswa tuntas > 80 % yang telah ditetapkan dalam indikator kinerja.

(34)

menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,009 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan Model Discovery Learning pada mata pelajaran IPA lebih efektif dibandingkan dengan Model Konvensional. Nilai rata-rata postest kelas eksperimen dengan Model Discovery Learning sebesar 78,68 dan nilai rata-rata kelas kontrol dengan Model Pembelajaran Konvensional sebesar 70,56, sedangkan hasil penilaian angket minat menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,63 > 0,05.

2.3 Kerangka Pikir

Permasalahan yang dialami SD Negeri 2 Tuksongo adalah rendahnya hasil belajar peserta didik. Kurangnya referensi guru tentang metode belajar yang berkaitan dengan Kurikulum 2013. Hal ini berakibat pada menurunya minat dan motivasi belajar peserta didik.

Hasil belajar didapat dari proses belajar mengajar. Tidak semua proses belajar mengajar yang dilakukan guru degan siswa berhasil. Dalam proses belajar mengajar yang terjadi antara interaksi guru dan peserta didik terdapat beberapa hal yang menentukan tinggi rendahnya hasil belajar. Metode pembelajaran merupakan hal yang sangat menentukan tinggi atau rendahnya hasil belajar, karena tujuan belajar serta materi pelajaran akan tersalurkan dari sumber belajar menuju peserta didik melalui perantara metode belajar. Untuk itu pemilihan metode belajar sangat penting guna meningkatkan hasil belajar peserta didik. Selain itu pemilihan metode belajar yang tepat juga dapat mempengaruhi motivasi dan minat belajar dari peserta didik.

Metode Guided Discovery Learning merupakan metode belajar yang dapat menarik motivasi dan minat siswa serta mengajak siswa berpikir serta bertindak secara nyata dan konkrit. Selain itu metode Guided Discovery Learning juga melatih siswa untuk membentuk pemikiran abstrak. Siswa juga dihadapkan dengan berbagai sumber belajar dan diharapkan agar siswa memiliki pendapat dalam bentuk materi pelajaran dari berbagai sudut pandang.

(35)

2.4 Hipotesis Tindakan

Gambar

Gambar 1
Gambar 2   Komponen piramida kebutuhan pembelajaran saintifik

Referensi

Dokumen terkait

Melalui multimedia interaktif siswa mendengarkan penjelasan guru tentang materi bangun datar dan bangun ruang.. Selain materi yang disampaikan guru, siswa juga diminta

Karena kurangnya pembelajaran yang bersifat praktik materi yang sesuai dengan discovery learning adalah materi magnet, materi magnet berisikan banyak materi yang akan lebih

Mengacu pada Undang-Undang tersebut dalam bab I pasal 1 poin 1, sudah jelas bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

Menurut Wihardit (2009:14) Penelitian Tindakan Kelas adalah penelitian yang dilakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri, dengan tujuan

Berdasarkan pendapat diatas pendekatan Discovery Learning adalah suatu proses pembelajaran yang penyampaian materinya disajikan secara tidak lengkap atau belum dalam

Kegiatan yang disusun pada siklus II sama dengan kegiatan perencanaan yang dilaksanakan pada siklus I, namun pada siklus II terdapat kegiatan pembelajaran

Pamungkas, Meylinda Ambar. Program Studi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana. Kata-kata kunci :

Hal ini ditunjukkan oleh nilai signifikasi 1,57 &gt; 0,05, maka Hₒ diterima, artinya hasil belajar IPA materi energi dari kelompok yang tidak mendapat perlakuan model