Sebagian besar teori hukum menyatakan baik secara ek splisit mau- pun implisit bahwa yang membedakan nor ma hukum dan norma- norma lainnya adalah pada norma hukum dilekatkan suatu paksaan atau sanksi.63 Pan dangan demikian merupakan karakteristik pandang- an ka um positivis. Menurut kaum positivis, unsur paksaan di kaitkan
59 homas Morawetz, Op. cit.., hlm. 34.
60 Ibid.
61 Ibid.
62 R.M. Dworkin, “Ia Law A System of Rules?” dalam R.M. Dworkin, he Philosophy of Law, Oxford University Press, 1982, hlm. 43.
63 Lon L. Fuller, he Morality of Law, New Haven: Yale University Press, 1975, hlm. 109.
pustaka-indo.blogspot.com
dengan pengertian tentang hierarki perintah secara formal.64 Sejak adanya negara nasional, sepanjang se jarah ahli hukum mulai dari homas Hobbes melewati Austin sampai ke Hans Kelsen dan Somló memandang esensi hukum dalam struktur piramidal kekuasaan ne- gara.65 Bahkan Hart sekalipun juga memandang hukum sebagai pe- rintah dan menempatkan sanksi sebagai sesuatu yang memang me- lekat pada hukum.
Pada Bab II karyanya, he Concept of Law, Hart memang menun- jukkan kelemahan perumusan Austin ten tang hukum tetapi tidak me- nyangkal esensi pengertian hukum yang dikemukakan oleh Austin. Di dalam tulisan itu ia membedakan antara perintah disertai ancaman (orders backed by threat) dan perintah atasan terhadap bawahan (com- mand). Perintah disertai ancaman digam barkan olehnya sebagai pe- rintah yang dilontarkan oleh penodong kepada orang yang ditodong agar si tertodong menuruti kehendak penodong. Berbeda halnya de- ngan perintah atasan kepada bawahan.66 Karakteristik perin tah jenis ini adalah untuk melaksanakan kewenangan atasan terhadap bawah- an, bukan untuk mencederai dan meskipun perintah tersebut mung- kin disertai ancaman, perintah semacam ini bukan untuk membuat orang takut melainkan untuk menghormati kewenangan.67
Menurut Hart, hukum lebih mendekati gagasan pe rintah atasan terhadap bawahan daripada perintah di ser tai ancaman seperti pada situasi penodongan.68 Tidak de mikian halnya dengan Austin yang mendeinisikan hu kum sebagai perintah penguasa disertai ancaman.69 Hart menyatakan bahwa apa yang dimaksudkan oleh Austin tersebut keliru.70 Namun demikian, perintah disertai ancaman dalam situasi penodongan bukan tidak mem punyai arti sama sekali. Sebaliknya,
64 Ibid., hlm. 110.
65 Ibid.
66 H.L.A. Hart, Op. cit., hlm. 20.
67 Ibid.
68 Ibid.
69 Ibid.
70 Ibid.
pustaka-indo.blogspot.com
BAB 2 • Hukum sebagai Norma Sosial
menurut Hart, situasi se macam itu perlu penjelasan lebih banyak.
Bahkan dalam suatu masyarakat yang kompleks se perti halnya pada suatu negara, pejabat dapat meme rintah secara berhadapan muka agar yang diperintah melakukan sesuatu seperti yang diperintahkan, mi- salnya, seorang polisi yang tiba-tiba menghentikan kendaraan.71 Akan tetapi menurut Hart, situasi yang sederhana ini tidak dapat dijadikan cara yang baku bagi berfungsinya hukum, karena dalam realita tidak ada satu masyarakat pun memiliki sebegitu banyak aparat yang diper- lukan untuk menjamin bahwa setiap anggota masyarakat se cara resmi dan tersendiri diberi petunjuk tentang setiap tindakan yang harus di- lakukan. Sebaliknya, bentuk-ben tuk kontrol yang khusus merupakan pengecualian atau tambahan atau untuk memperkuat bentuk pedo- man yang bersifat umum.72
Kontrol secara hukum, dengan demikian, juga bersifat umum. Hal ini oleh Hart disebut sebagai karakter hukum yang pertama.73 Bagi negara modern, merupakan suatu hal yang lumrah kalau aturan hu- kum berlaku bagi semua orang yang ada di wilayah itu.74 Perlu dike- mukakan di sini, bahwa merupakan hal keliru menganalogikan pe- rintah yang ditujukan untuk sekelompok orang dengan perintah da- lam situasi tatap muka sebagaimana polisi menghentikan pengendara mobil. Memerintahkan orang untuk melakukan sesuatu merupakan suatu bentuk ko muni kasi dan secara nyata diikuti dengan sikap me- narik perhatian atau langkah untuk menarik perhatian. Sebagai con- toh, dalam suatu perampokan di sebuah bank, penodong dengan me- ngatakan “serahkan uang itu” mengungkapkan keinginannya bahwa teller bank itu harus melakukan apa yang dikehendakinya dengan jalan menarik perhatian teller itu.75 Apabila penodong itu mengatakan
71 Ibid.
72 Ibid., hlm. 21.
73 Ibid.
74 Pada umumnya negara-negara yang ada di dunia saat ini tidak lagi memberlakukan politik apartheid seperti yang terjadi di Afrika Selatan sebelum Mandela atau ketentuan Pasal 163 dan 131 Indische Staatsregeling pada masa Hindia Belanda.
75 H.L.A. Hart, Op. cit., hlm. 22.
pustaka-indo.blogspot.com
hal yang sama di suatu ruang yang kosong, ia tidak bermaksud untuk memberi “arahan” kepada teller bank itu. Merujuk kepada situasi yang ia contohkan itu, Hart menyatakan bahwa membuat undang-undang tidak seperti memerintah orang untuk melakukan sesuatu dan diikuti dengan memberi arahan mengenai apa yang harus dilakukan. Menu- rut Hart, tujuan legislator membuat undang-undang adalah agar pe- rintah itu bersifat umum.
Di samping bersifat umum sebagai karakter hukum yang pertama, Hart mengemukakan ciri hukum yang kedua, yaitu adanya standing or- ders, suatu perintah da ri waktu ke waktu.76 Hal itu yang membedakan- nya de ngan situasi penodongan. Dalam situasi penodongan, perintah hanya bersifat sesaat. Akan tetapi, dalam hal ini Hart tetap berpendi- rian bahwa hukum tetap merupakan perintah yang didukung oleh an- caman. Oleh karena itu , dapat dipikirkan bahwa ada suatu pendapat umum yang menyatakan bahwa perintah yang bersifat umum itu ber- laku bagi mereka sehingga ketidaktaatan akan dikenai sanksi dan hal itu bukan berlangsung hanya pada saat pengundangan, melainkan te- rus-menerus sampai un dang-undang itu dicabut.77 Menurut pendapat umum ini kon sekuensi yang timbul karena ketidaktaatan itulah yang membuat perintah itu tetap terjaga. Lagi pula, me nurut Hart, apa pun motivasi menaati undang-undang, pe rintah yang dituangkan ke dalam undang-undang itu lebih banyak ditaati daripada tidak ditaati. Austin me nyebut ketaatan semacam itu sebagai a general habit of disobedi- ence. Hart menyatakan bahwa ungkapan itu mengandung pengertian yang kabur. Namun demikian, ungkapan itu cukup untuk menghasil- kan ciri hukum yang kedua, yaitu perintah itu berlaku dari waktu ke waktu. Hal inilah yang membedakan antara hukum dan perintah pe- nodong.78 Dengan demikian, menurut Hart, bukan adanya perintah yang disertai ancaman yang membedakan antara yang dilakukan oleh penodong dan hukum, melainkan durasi perintah yang disertai an- caman.
76 Ibid., hlm. 23.
77 Ibid.
78 Ibid., hlm. 24.
pustaka-indo.blogspot.com
BAB 2 • Hukum sebagai Norma Sosial
Karakter ketiga hukum menurut Hart adalah perintah itu dibuat oleh suatu kekuasaan yang mempunyai su premasi dan kekuasaan itu bersifat merdeka, artinya tidak tunduk kepada a general habit of dis- obedience. Oleh Hart dikatakan bahwa di mana pun ada sistem hu- kum, pasti ada orang-orang atau lembaga-lembaga tertentu yang me - nerbitkan perintah yang didukung dengan ancaman.79 Hart mengakui bahwa pengertian hukum yang ia ke mu ka kan dekat dengan penger- tian hukum pidana. Ia juga me mahami adanya macam hukum lain- nya, tetapi ia ber pendapat bentuk hukum-hukum yang lain sama saja ha nya dengan versi yang tidak kentara kalau mengandung an caman.80
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa Hart berpangkal pada pe- mikiran empiris-positivistis. Tidak dapat diban tah bahwa ancaman memang menunjang ketaatan. Bah kan jika dilakukan penghitungan statistik, apa yang di kemukakan oleh Hart bahwa di mana ada sistem hukum, selalu saja ada perintah dan ancaman yang diterbitkan oleh orang-orang atau lembaga-lembaga yang memiliki supremasi. Dalam hal inilah jelas-jelas Hart tidak melihat segi intrinsik hukum.
Berlainan halnya dengan L.J. van Apeldoorn. Secara tegas ia me- nyatakan bahwa sanksi bukan elemen yang esen sial dalam hukum, me- lainkan elemen tambahan.81 Me nurut Van Apeldoorn, ajaran yang me- nyatakan bah wa ciri hukum terletak pada sanksi adalah sesuatu yang kontradiktif terhadap dirinya sendiri. Selanjutnya, Van Apeldoorn me- nyatakan bahwa hukum suatu negara dalam banyak hal merupakan penuangan dari asas-asas dan norma-norma agama, moral, dan sosial yang di dukung kesadaran masyarakat.82 Suatu pandangan yang hanya melihat bahwa tertib hukum merupakan su atu organisasi paksaan, me- nyamakan hukum dengan aturan-aturan yang dibuat oleh sekawan- an gangster.83 Dengan demikian, pandangan itu tidak mengakui arti pen ting moral masyarakat tempat hukum itu bersandar bagi interaksi
79 Ibid.
80 Ibid.
81 P. van Dijk, Op. cit., hlm. 28.
82 Ibid., hlm. 29.
83 Ibid.
pustaka-indo.blogspot.com
sosial dan tidak melihat kenyataan bah wa hukum dituangkan ke da- lam aturan-aturan secara sukarela tanpa menggunakan paksaan isik.84 Se lan jutnya, Van Apeldoorn menyatakan bahwa di dalam kata recht85 bahasa Belanda itu sendiri sudah terlihat penekanan secara moral, yaitu kata rechtvardig86 (adil). Pada akhirnya van Apeldoorn menyata- kan bahwa pada undang-undang kuno Anglo-Saxon, kata right bu kan sekadar diartikan recht (hak), melainkan juga rec htvaardig (adil).87
Tidak dapat dimungkiri bahwa bilamana diperlukan, paksaan memang dapat dihadirkan. Namun demikian, hal itu bukan berarti memberikan alasan pembenar ter hadap pandangan yang menyata- kan bahwa sanksi me rupakan tanda pembeda antara norma hukum dan nor ma sosial lainnya. Dan, yang paling berkaitan dengan pak saan isik adalah hukum pidana. Untuk cabang ini pun perlu pertimbangan dan perhitungan yang cermat di samping juga perlunya formalitas dan due process yang khidmat dalam penjatuhannya. Jika mengikuti pan- dangan yang menyatakan bahwa yang menjadi tanda pembeda antara norma hukum dan norma sosial lainnya adalah adanya sanksi lebih- lebih sanksi isik, cabang hukum selain hu kum pidana bukan meru- pakan hukum karena tidak me ngandung paksaan isik. Suatu ilustrasi yang bagus dikemukakan oleh Lon L. Fuller. Dalam ilustrasi itu ia me ngemukakan bahwa sebuah negara mengizinkan pe dagang asing masuk ke wilayah itu dengan syarat bahwa para pedagang itu memberi deposit sejumlah uang tertentu di bank nasional negara tersebut yang menjamin bahwa para pedagang itu akan menaati seperangkat aturan hukum negeri itu yang berlaku bagi aktivitas per dagangan tersebut.
Seperangkat aturan hukum itu dilaksanakan dengan penuh integritas dan apabila terjadi sengketa, atur an hukum itu diinterpretasi dan di- terapkan oleh pe ngadilan khusus. Apabila kemudian memang terjadi
84 Ibid.
85 Dalam bahasa Belanda, recht dapat berarti hukum atau hak atau juga benar.
86 Kata recht (Belanda), Recht (Jerman), droit (Perancis) dan ius (Latin) memang berkono- tasi dengan sesuatu yang baik karena di samping berarti hukum juga berarti hak. Dari kata ius itulah kemudian timbul kata iustitia yang artinya keadilan.
87 P. van Dijk, Loc. cit.
pustaka-indo.blogspot.com
BAB 2 • Hukum sebagai Norma Sosial
pe langgaran, sesuai dengan perintah pengadilan, negara mengenakan denda dalam bentuk pengurangan terhadap deposit para pedagang tersebut.88 Menurut Lon L. Fuller, dalam ilustrasi tersebut tidak ada paksaan, melainkan pemindahbukuan. Saya berpendapat bahwa pak- saan itu tetap ada, yaitu berupa perintah pengadilan. Hanya saja dalam hal ini paksaan itu tidak ditetapkan sebagaimana tertuang di dalam ketentuan-ketentuan kitab undang-undang hukum pidana. Adanya penalty tersebut sebenarnya timbul dari kesepakatan antara ne gara dan para pedagang itu.