• Tidak ada hasil yang ditemukan

ILMU HUKUM MERUPAKAN DISIPLIN BERSIFAT SUI GENERIS

Dalam dokumen Sanksi Pelanggaran Hak Cipta (Halaman 41-49)

tersebut menyatakan: “Adalah suatu kenyataan dalam realitas sosial bahwa ada seseorang yang hidup dalam situasi antara. Perlukah per- mohonan dikabulkan?” Selanjutnya majelis hakim membuat putusan dengan menyatakan: “Menyatakan bahwa pemohon Iwan Rubianto Is- kandar, lahir di Jakarta pada tanggal 1 January 1944, anak laki-laki dari Tuan dan hanya KL Iskandar secara sah menjadi seorang wanita sejak putus an ini diucapkan.”

Kasus itu telah menginspirasi Dedi Yuliardi. Pada tanggal 3 Mei 1988, ia mengalami operasi perubahan kelamin di Rumah Sakit Dr.

Soetomo Surabaya. Sebagaimana Iwan Rubianto Iskandar yang meng- ajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat-Selatan untuk memperoleh putusan pergantian status kelamin, Dedi mengajukan permohonan serupa ke Pengadilan Negeri Surabaya. Dengan merujuk kepada kasus Vivian, pada 24 Oktober 1988 Pengadilan Negeri Sura- baya menyatakan Dedi Yuliardi sebagai seorang wanita. Ia lalu meng- ubah namanya menjadi Dorce Ashadi. Sebagai seorang selebriti, ia juga disebut Dorce Gamalama karena konon kabarnya ayahnya memang berasal dari Ternate tempat Gunung Gamalama terletak.

BAB 1 • Karakteristik Ilmu Hukum

empiris. Adapun sosiologi hukum dan psikologi hukum termasuk ke dalam studi sosial tentang hukum dan kedua cabang ilmu itu bukan termasuk ilmu hukum. Sosiologi hukum dan psikologi hukum meru- pakan kajian-kajian yang bersifat empiris. Sejarah hukum memang masuk ke dalam kajian budaya, tetapi bukan bagian dari ilmu hukum.

Selanjutnya, yang perlu dikemukakan di sini adalah perbedaan antara sosiologi hukum dan mazhab sosiologis dalam ilmu hukum.

Untuk membedakan mazhab sosiologis yang diajarkan oleh Roscoe Pound dengan sosiologi hukum, ada baiknya dikemukakan pertelaan dari satu buku klasik yang ditulis oleh George Whitecross Paton ber- judul A Textbook of Jurisprudence. Dalam buku itu Paton mengemuka- kan bahwa: “Pound’s sociological jurisprudence should be distinguished from what is now called the sociology of law.”61 Oleh karena itulah Pa- ton dalam buku tersebut lebih suka menyebut mazhab yang dikem- bangkan oleh Roscoe Pound itu sebagai functional school atau mazhab fungsional.62 Lebih jauh, ia menyatakan:63

Sociology of law is deined in many ways, but its main diference from functional jurisprudence is that it attempts to create a science of social life as a whole and to cover a great part of general sociology and po- litical science. he emphasis of the study is on society and law as mere manifestation, whereas Pound rather concentrates on law and consid- ers society in relation to it.

Agar lebih jelas lagi, perlu dikemukakan mazhab fungsional da- lam tulisan Paton. Dalam tulisan itu ia mengemukakan bahwa: “Dean Pound is usually credited as being the American leader in the school of sociological jurisprudence, but it is unfortunate that the term ‘socio- logical’ was never used in this connection—to speak of the functional method would have been more accurate and less confusing.64 Alasan Pa- ton menggunakan istilah functional school adalah: “he tenet of this

61 G.W. Paton, Op. cit. hlm. 29.

62 Ibid., hlm. 22-28.

63 Ibid., hlm. 29.

64 Ibid., hlm. 22.

pustaka-indo.blogspot.com

school is that we cannot understand what a thing is unless we study what it does.”65 Lebih jauh Paton mengemukakan bahwa: “To Pound, law is more than a set of abstract norms or a legal order—it is also a process of balancing conlicting interests and securing the satisfaction of the maximum of wants with the minimum of friction.”66 Dari apa yang ditulis oleh Paton tersebut, dapat dikemukakan bahwa titik anjak pan- dangan Roscoe Pound adalah hukum itu sendiri, yaitu apakah hukum itu mampu memberikan perlindungan yang seimbang dalam hidup bermasyarakat. Perlu dikemukakan di sini bahwa yang disebut hukum dalam alam pikiran Anglo-American bukan hanya undang-undang, melainkan juga putusan pengadilan. Bahkan dari kuliah-kuliah yang diberikannya sejak 1920-an, ia lebih banyak mengartikan law bukan sebagai aturan melainkan putusan pengadilan.67

Untuk lebih jelas lagi membedakan mazhab sosiologis yang dike- mukakan oleh Roscoe Pound perlu diberi contoh, misalnya apakah dalam memberikan putusan, pengadilan telah mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan pandangan-pan- dangan mengenai kelayakan atau kepantasan yang berkembang dalam masyarakat sehingga putusannya sesuai dengan prinsip-prinsip hu- kum. Atau, dalam pembuatan aturan hukum juga mengingat prinsip- prinsip moral yang dianut oleh masyarakat tertentu. Hasil akhir yang hendak dicapai adalah apakah aturan hukum atau putusan pengadilan sesuai prinsip-prinsip hukum yang mereleksikan nilai-nilai keadilan dalam hidup bermasyarakat. Sebaliknya, sosiologi hukum akan mu- lai dari masyarakat dan perilaku individu dalam masyarakat terhadap hukum. Isu yang dikembangkan biasanya adalah efektivitas hukum terhadap perilaku tertentu, pengaruh aturan hukum terhadap suatu keadaan tertentu, implementasi aturan hukum terhadap sesuatu atau kepatuhan individu terhadap aturan hukum. Hasil akhir yang hendak

65 Ibid.

66 Ibid.

67 Baca Roscoe Pound, Law Finding hrough Experience and Reason: hree Lectures, Ath- ens: University of Georgia Press, 1960. Begitu juga Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, New Haven: Yale University Press, 1953.

pustaka-indo.blogspot.com

BAB 1 • Karakteristik Ilmu Hukum

dicapai dengan studi ini adalah faktor-faktor yang menghambat atau mendorong efektivitas aturan hukum, berpengaruh tidaknya adanya aturan hukum terhadap keadaan tertentu, apakah implementasi te- lah dilakukan secara benar atau faktor-faktor yang menghambat atau mendorong individu taat akan hukum. Sosiologi hukum merupakan cabang sosiologi, sedangkan mazhab sosiologis merupakan salah satu mazhab dalam ilmu hukum. Akan tetapi, tidak demikian halnya de- ngan ilmu perbandingan hukum. Studi perbandingan hukum bukan merupakan ilmu empiris. Studi perbandingan hukum merupakan bagian dari ilmu hukum yang bersifat normatif dan preskriptif.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa ilmu empiris bersifat be- bas nilai. Akan tetapi, sesungguhnya pada saat ini telah diketahui bah- wa ilmu empiris bukan satu-satunya ilmu pengetahuan modern. De- ngan mengacu kepada pengertian scientia yang artinya pengetahuan, pada masa sekarang secara sederhana berdasarkan objek kajiannya, ilmu dapat dibedakan menjadi ilmu alamiah (seperti biologi, isika), ilmu formal (matematika), ilmu sosial (seperti sosiologi, ekonomi), dan humaniora (seperti sejarah, sastra).68 Objek kajian humaniora, tidak dapat dibantah, bersifat sarat nilai. Oleh karena itulah, metode untuk ilmu empiris tidak dapat diterapkan bagi studi humaniora.

Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa fakta sejarah, dilihat dari sudut pandang studi sosial, tidak lebih daripada pencapaian tujuan oleh suatu masyarakat tertentu. Demikian pula apabila melihat se- orang wanita menangis meneteskan air mata, seorang ahli ilmu kimia akan menyatakan bahwa air mata tidak lain merupakan kombinasi tertentu antara oksigen dan hidrogen.69 Akan tetapi dilihat dari sudut pandang humaniora, ada sesuatu di belakang fakta yang tidak dapat diveriikasi secara empiris. Fakta sejarah yang telah disebutkan tadi, misalnya, bukan sekadar pencapaian tujuan oleh suatu masyarakat ter- tentu, melainkan ada nilai intrinsik yang dimiliki kelompok itu dan memberi inspirasi kepada masyarakat untuk berjuang menggapai tu-

68 Ibid., hlm. 444.

69 Hari Chand, Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur: International Law Bookstore, 1994, hlm. 1.

pustaka-indo.blogspot.com

juan dan memungkinkan mereka menanggung derita bersama dalam mencapai tujuan itu. Romantisme dalam perjuangan mencapai tujuan itu mempunyai makna dalam kehidupan sosial masyarakat itu, dan yang demikian ini tidak dapat diamati secara empiris. Romantisme itulah yang merupakan nilai yang berada di luar studi empiris. Begitu pula air mata si wanita yang sedang menangis itu bagi penyair bukan sekadar senyawa kimia, melainkan mengandung makna yang dalam dan mempunyai nilai seni.

Dengan mengacu kepada klasiikasi tersebut, Meuwissen berpenda- pat bahwa gejala perasaan dan pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan emosi tidak bisa dijadikan objek penelitian empiris, karena hal itu akan menggusur unsur yang spesiik dari manusia.70 Menurutnya, apabila suatu gejala harus diteliti secara empiris, gejala itu harus dibuat sedemikian rupa supaya dapat diteliti. Beberapa unsur yang tidak da- pat diteliti karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur, harus disingkirkan. Apabila yang diteliti adalah manusia, dapat dikatakan bahwa masalah-masalah yang bersifat batin tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Oleh karena itu, unsur-unsur batin tersebut harus disingkirkan. Tidak dapat disangkal bahwa batin dan pikiran manusia merupakan bagian yang esensial dan spesiik bagi umat manusia. Apa- bila hal-hal itu dihilangkan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur, unsur yang spesiik dan esensial manusia diabaikan. Akibat- nya, studi semacam itu gagal untuk memberikan deskripsi mengenai manusia secara utuh. Studi seperti itu hanya mengenai aspek-aspek lahiriah manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ilmu em- piris yang dalam bahasa Inggris science tidak layak untuk digunakan dalam menjelaskan gejala yang tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Akibatnya, ilmu empiris tidak akan dapat menjawab pertanya- an-pertanyaan dalam kajian-kajian pada ruang lingkup humaniora.

Tidak dapat disangkal bahwa perbincangan mengenai ilmu em- piris dalam kaitannya dengan hukum menghasilkan dua implikasi dalam ilmu hukum. Pertama, ada suatu pertanyaan: Apakah ilmu hu-

70 P. van Dijk et al., Loc. cit.

pustaka-indo.blogspot.com

BAB 1 • Karakteristik Ilmu Hukum

kum harus diperlakukan sebagai ilmu empiris? Apabila jawabannya

“ya,” hukum harus didekati dari kacamata instrumental. Dalam hal ini hukum dipandang sebagai suatu sarana untuk mencapai tujuan lain.

Apa tujuan lain itu ilmu empiris tidak akan memberikan jawabannya, sebab tujuan berada dalam ruang lingkup nilai sehingga bukan meru- pakan bidang kajiannya.

Argumen kedua dalam menolak ilmu hukum diklasiikasi seba- gai studi yang bersifat empiris adalah studi hukum tidak dapat men- jelaskan isi hukum. Merupakan suatu kenyataan bahwa di mana pun hukum diadakan, hukum itu dimaksudkan untuk mempertahankan adanya vrede, yaitu damai sejahtera yang di dalamnya terdapat keter- tiban dan keadilan bagi anggota-anggota masyarakat.71 Ilmu empiris tidak bertalian dengan kedua hal itu, karena kedua hal itu tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Agar dapat diamati dan diukur, kon- sep-konsep itu, yaitu ketertiban dan keadilan, harus diubah ke dalam pengertian-pengertian yang bersifat operasional. Bahkan pengertian hukum pun harus dibuat operasional untuk dapat diteliti secara em- piris. Akan tetapi apabila hal ini dilakukan, akan terjadi reduksi terha- dap makna damai sejahtera, keadilan, dan hukum karena ada unsur- unsur yang esensial yang ada dalam konsep-konsep itu yang tidak da- pat diamati dan tidak dapat diukur harus dihilangkan.

Di samping itu, tidak dapat diingkari bahwa ilmu empiris tidak da- pat menjelaskan makna di belakang fakta yang dapat diamati. Adapun makna di belakang fakta yang dapat diamati itulah yang esensial bagi studi non-empiris. Berlainan dengan studi empiris yang memisahkan secara tegas antara subjek yang melakukan studi dan objek yang di- pelajari, dalam mempelajari makna, subjek yang melakukan studi dan objek studi sulit untuk dipisahkan.

Untuk mengetahui karakteristik ilmu hukum, perlu kiranya di- acu pernyataan Paul Scholten. Paul Scholten menyatakan bahwa: “re- chtswetenschap kent niet alleen een bescrijvende maar ook vóórschri-

71 Meuwissen sendiri berpendapat bahwa tujuan hukum adalah keadilan (rechtsvaardig- heid) dan kebebasan (vrijheid).

pustaka-indo.blogspot.com

jvende dimensie.”72 Menurut Scholten, ilmu hukum berbeda dengan ilmu deskriptif. Ia mengemukakan bahwa ilmu hukum bukan untuk mencari fakta historis dan hubungan sosial seperti yang terdapat pada penelitian sosial.73 Menurutnya, ilmu hukum berurusan dengan preskripsi hukum, putusan yang bersifat hukum, dan materi yang di- olah dari kebiasaan-kebiasaan.74 Ia lebih jauh menyatakan bahwa bagi legislator, ilmu hukum berkaitan dengan hukum in abstracto.75 Akan tetapi, tidak berarti bahwa bagi hakim ilmu hukum berkaitan dengan hukum in concreto. Bagi hakim, ilmu hukum memberikan pedoman dalam menangani perkara dan menetapkan fakta-fakta yang kabur.76 Argumentasi yang dikemukakan oleh Paul Scholten menunjukkan secara jelas bahwa ilmu hukum mempunyai karakter preskriptif dan sekaligus sebagai ilmu terapan.

John Austin, pendiri mazhab analitis, memberikan batasan yang sangat sempit terhadap ilmu hukum. Dalam pandangan Austin, ilmu hukum tidak lain daripada hukum positif.77 Hukum positif menurut Austin adalah aturan umum yang dibuat oleh mereka yang mempu- nyai kedudukan politis lebih tinggi untuk mereka yang mempunyai kedudukan politis lebih rendah.78 Hukum positif, dengan demikian, merupakan suatu perintah penguasa.79 Dengan mendeinisikan hu- kum semacam itu, Austin bermaksud untuk memisahkan hukum dari moral, kebiasaan, dan unsur-unsur lain yang tidak dapat ditentukan.

Demikian pula halnya dengan Hans Kelsen (1881-1973) yang mendi- rikan Die reine Rechtlehre atau Ajaran Hukum Murni. Ia berusaha membebaskan hukum dari kabut metaisika yang telah menyelimuti-

72 Paul Scholten, Mr. C. Asser’s Handleiding tot de Beoefening van het Nederlands Burgerlijk Recht. Algemeen Deel, Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1974., hlm. 94.

73 Ibid., hlm. 94.

74 Ibid.

75 Arti yang mendekati dalam bahasa Inggris adalah law in book.

76 Paul Scholten, Loc .cit.

77 G.W. Paton, Op. cit., hlm. 6.

78 Ibid.

79 Ibid.

pustaka-indo.blogspot.com

BAB 1 • Karakteristik Ilmu Hukum

nya sekian lama dengan melakukan spekulasi tentang adanya keadilan atau dengan mengemukakan doktrin ius naturae atau hukum alam.

Hans Kelsen lebih jauh berpendapat bahwa hukum tetaplah hukum meskipun tidak adil. Oleh karena itu apabila pandangan Kelsen ini di- ikuti, ilmu hukum tidak lebih dari studi formal tentang hukum.80

Sebenarnya, sebelum Kelsen, seorang ahli hukum Amerika Serikat yang bernama Roscoe Pound (1870-1964) mendirikan suatu mazhab yang dikenal dengan mazhab sosiologis. Ia memandang ilmu hukum dalam arti yang luas. Ia mengemukakan bahwa hukum yang harus dibedakan dengan undang-undang adalah the system of authorita- tive materials for grounding or guiding judicial and administrative ac- tions recognized or established in a politically organized society.81 Dari pernyataan itu dapat dikemukakan bahwa Roscoe Pound mendeinisi- kan hukum dalam pengertian peradilan dalam melaksanakan keadil- an. Meskipun memberikan ruang lingkup yang luas terhadap studi hukum, tidak dapat disangkal bahwa Roscoe Pound memandang ilmu hukum sebagai science of law yang berkaitan dengan penafsiran dan penerapan hukum sebagaimana dikemukakan pada awal tulisan ini.

Oleh karena ilmu hukum merupakan studi tentang hukum, ilmu hukum tidak dapat diklasiikasikan ke dalam ilmu sosial yang bidang kajiannya kebenaran empiris. Ilmu sosial tidak memberi ruang un- tuk menciptakan konsep hukum. Studi sosial hanya berkaitan dengan implementasi konsep hukum dan acap kali hanya memberi perhatian terhadap kepatuhan individu terhadap aturan hukum.

Tidak berbeda halnya dengan humaniora. Humaniora tidak mem- berikan tempat untuk mempelajari hukum sebagai aturan tingkah laku sosial. Dalam studi humaniora, hukum dipelajari dalam kaitan- nya dengan etika dan moralitas. Tidak dapat disangkal bahwa keadilan merupakan isu dalam ruang lingkup ilsafat. Keadilan itu sendiri me-

80 Sebenarnya ketika Hans Kelsen wafat pada 1973 di usia 91 tahun, ia masih menyimpan naskah tentang bentuk akhir dari Die Reine Rechtslehre yang berjudul Allgemeine heorie der Normen.

81 Roscoe Pound, Jurisprudence, St. Paul, Minnesota: West Publishing Company, 1959 (Roscoe Pound II), hlm. 106.

pustaka-indo.blogspot.com

rupakan unsur yang esensial dalam hukum. Akan tetapi, ilsafat tidak berkaitan dengan pelaksanaan keadilan saja.

Merupakan tugas ilmu hukum untuk membahas hukum dari se- mua aspek. Baik ilmu sosial maupun humaniora memandang hukum dari sudut pandang keilmuannya sendiri. Oleh karena itu, tidaklah te- pat mengklasiikasi ilmu hukum ke dalam ilmu sosial maupun huma- niora. Dalam hal demikian, sangat berguna untuk menengok kepada pandangan Meuwissen tentang ilmu hukum. Meskipun ia membuat klasiikasi ilmu hukum dogmatik dan ilmu hukum empiris, Meuwis- sen menempatkan ilmu hukum dogmatik sebagai sesuatu yang bersi- fat sui generis, artinya tidak ada bentuk ilmu lain yang dapat diban- dingkan dengan ilmu hukum.82 Selanjutnya, Meuwissen menyatakan bahwa ilmu hukum dogmatik yang mempunyai posisi sentral dalam pendidikan di universitas.83 Sui generis merupakan bahasa Latin yang artinya hanya satu untuk jenisnya sendiri. Apa yang dikemukakan oleh Meuwissen memang tidak dapat disangkal, bahwa ilmu hukum bukan bagian dari ilmu sosial maupun humaniora melainkan ilmu tersen- diri. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke terdapat tiga tingkatan ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan ilsafat hukum.84 Ini berarti bahwa keduduk- an sui generis tersebut berlaku untuk ketiga tingkatan itu.

Dalam dokumen Sanksi Pelanggaran Hak Cipta (Halaman 41-49)