Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan bagian dari strategi meningkatkan capaian pendidikan.
Disamping kurikulum, sebenarnya terdapat beberapa faktor yang menjadi indicator capaian kualitas pendidikan, diantaranya: lama siswa bersekolah;
lama siswa tinggal di sekolah;
pembelajaran siswa aktif berbasis kompetensi; buku pegangan atau buku babon; dan peranan guru sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan.
Orientasi Kurikulum 2013 adalah terjadinya peningkatan dan keseimbangan antara kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge). Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 sebagaimana tersurat dalam penjelasan Pasal 35: kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati. Hal ini sejalan pula dengan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu.Sejumlah hal yang menjadi alasan pengembangan Kurikulum 2013 adalah (a) Perubahan proses pembelajaran dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu dan proses penilaian [dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output]
memerlukan penambahan jam pelajaran; (b) Kecenderungan akhir- akhir ini banyak negara menambah jam pelajaran [KIPP dan MELT di AS, Korea Selatan]; (c) Perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat, dan (d) Walaupun pembelajaran di Finlandia relatif singkat, tetapi didukung dengan pembelajaran tutorial
Sementara itu, Kurikulum 2006 memuat sejumlah permasalahan diantaranya: (1) Kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; (2) Kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan; (3) Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi
pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum;
(4) Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global; (5) Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru;
(6) Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala; dan (7) Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir.(www.kemendiknas go. Id )
Tiga faktor lainnya juga menjadi alasan Pengembangan Kurikulum 2013 adalah;
(1) tantangan masa depan diantaranya meliputi arus globalisasi, masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi informasi, konvergensi ilmu dan teknologi, dan ekonomi berbasis pengetahuan.
(2) kompetensi masa depan yang antaranya meliputi kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, kemampuan menjadi warga negara yang efektif, dan kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda.
(3) Ketiga, fenomena sosial yang mengemuka seperti perkelahian pelajar, narkoba, korupsi, plagiarisme, kecurangan dalam berbagai jenis ujian, dan gejolak sosial (social unrest). Yang keempat adalah persepsi publik yang menilai pendidikan selama ini terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif, beban siswa yang terlalu berat, dan kurang bermuatan karakter. .(www.kemendiknas . go.id)
2.2. Guru
Sebagai unsur yang berada di garda terdepan pendidikan, begitu banyak sebutan sanjungan yang diberikan kepada guru seperti “Guru pejabat mulia”, “pahlawan tanpa tanda jasa”,
“guru sebagai jabatan profesional”, “guru sebagai sumber teladan”, “guru sebagai
pengukir masa depan bangsa”, dsb.
Tentunya ungkapan-ungkapan tersebut merupakan upaya untuk memotivasi para guru dalam melaksanakan tugasnya, meskipun dalam kenyataannya banyak yang mempersepsi ungkapan-ungkapan tersebut justru merupakan sanjungan yang tidak sesuai dengan realitas sehingga membuat guru tersandung.
Dengan posisi yang sangat strategis di garda terdepan pendidikan, seharusnya guru mendapat perhatian yang sungguh- sungguh dalam hal pembinaan profesional dan dukungan kesejahteraan melalui manajemen pendidikan yang kondusif. Dengan diberlakukannya kurikulum 2013 tugas guru menjadi lebih berat. Karena harus beradaptasi dengan kurikulum yang sangat baru. Karena guru perupakan ujung tombak, factor penentu dari keberhasilan kurikulum 2013. Sedikitnya ada dua faktor besar dalam ke berhasilan kurikulum 2013.
Pertama, penentu, yaitu kesesuaian kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) dengan kurikulum dan buku teks. Kedua, faktor pendukung yang terdiri dari tiga unsur; (i) ketersediaan buku sebagai bahan ajar dan sumber belajar yang mengintegrasikan standar pembentuk kurikulum; (ii) penguatan peran pemerintah daam pembinaan dan pengawasan; dan (iii) penguatan manaj- emen dan budaya sekolah.Sehubungan dengan urgensi dari guru tersebut, maka kemendiknas membuat strategi supaya kurikulum 2013 ini berhasil dilakukan oleh guru.
Sumber : .(www.kemendiknas . go.id)
Dengan diberlakukannya kurikulum 2013 ini, seorang guru dituntut untuk
memahami dan menggunakan model pembelajaran tematik. Pembelajaran tematik dapat diartikan suatu kegiatan pembelajaran dengan mengintegrasikan materi beberapa mata pelajaran dalam satu tema/topik pembahasan. Sementara berdasarkan hasil penelitian terdahulu peneliti mendapatkan fakta dilapangan hampir kebanyakan guru mengajar dengan pola pembelajaran lama yakni model pembelajaran konvensional serta kebanyakan guru tidak mengetahui tentang model pembelajaran yang inovatif, padahal saat itu kurikulum yang berlaku, kurikulum KTSP, sudah berjalan sekitar 4 tahun dan ternyata guru belom merubah pola pembelajaran yang mereka lakukan. Kebanyakan tetap menggunakan model ceramah.
Dari pemberlakukan kurikulum kurikulum sebelumnya yang sangat susah diterapkan, maka pertanyaannya adalah, mampukah guru menyerap semua itu sambil mengimplemen tasikannya pada anak didik.
2.3. Pola Adaptasi Guru Dengan Proses Pembelajaran Model Tematik Setelah Diberlakukannya Kurikulum 2013
Pada tahun 2009 penelitian kami dengan Dana DP2M yang berjudul Pengaruh Sertifikasi terhadap Kinerja Guru SD se Kota Malang menghasilkan data, bahwa ternyata tidak ada pengaruh.
Kemudian temuan sampingan, bahwa guru SD masih jarang menggunakan model pembelajaran inovatif berbasis tematik.
Keba-nyakan dari para guru tersebut, bahkan yang sudah ditraining, ataupun sering mengikut training, mereka kembali ke model pembelajaran klasik pada saat mereka sudah benar-benar melakukan PBM. Padahal pada tahun 2009 tersebut KTSP yang berbasis pembelajaran konstruktivisme sudah berjalan 5tahun. Akan tetapi ternyata dilapangan didapatkan temuan yang sangat mengejutkan, bahwa guru belom familiar dengan model pembelajaran konstruktivisme tersebut. Sumarno (1994) dikutip dari thesis laily mutmainah, menyatakan bahwa model pembelaran yang dipakai guru SD masih konvensional, yang lebih terfokus pada guru.
Pada posisi yang seperti itu, kemudian guru dihadapkan pada kurikulum 2013 yang sangat berubah dari kurikulum sebelumnya, terutama jumlah mata pelajaran dan model pembelajaran nya. Bisa jadi Guru tidak siap untuk menerima perubahan tersebut.KTSP
yang sudah berjalan hampir 8 tahun saja, dengan jumlah mata pelajaran yang sama dengan kurikulum lama saja tidak berhasil menumbuhkan “habbit” guru untuk
mengajar dengan model
konstruktivisme.Kurikulum 2013 sangat berubah dari kurikulum awal, yang pasti akan menyulitkan Guru untuk beradaptasi.
Menurut MERTON ada 5 Type Adaptasi sebagai berikut:
Mode Adaptasi (Mode of adaptation)
Tujuan Budaya (Culture Goals)
Cara-cara Melembaga (Institutionali zed means) Kepatuhan (Conformity) + +
Pembaruan (Innovation) + -
Keterbiasaan (Ritualism) - +
Pelarian (Retreatism) - -
Pemberontakan (Rebellion) + + Pola adaptasi kepatuhan (conformity) muncul ketika orang menerima baik tujuan budaya keberhasilan material maupun cara-cara yang dibenarkan secara kultural untuk mencapai
tujuantersebut.Didalampembaruan(innov ation)individu-individu lebih menekankan tujuan budaya agar berhasil, tetapi mengabaikan cara-cara yang secara kultural dibenarkan untuk mencapai tujuan tersebut. Pola adaptasi keterbiasaan (ritualism) menyiratkan pengabaian/
penilaian rendah terhadap puncak keberhasilan sambil terus mematuhi cara- cara yang dibenarkan. Sebagai contoh, tujuan akhir organisasi menjadi tidak relevan bagi kebanyakan birokrat yang ambisius. Mereka ini hanya mempertahankan cara-cara tertentu demi cara itu sendiri, dan mengembang-kan suatu keyakinan tentang peraturan dan birokratik itu sendiri.Dalam pola adaptasi pelarian (retreatism), para individu menolak baik tujuan budaya maupun cara- cara yang dibenarkan untuk mencapainya tanpa menggantinya dengan norma-norma baru. Mereka ini ada dalam masyarakat, tetapi bukan bagian dari masyarakat.Pembangkangan (rebellion) berarti penolakan baik terhadap tujuan budaya maupun cara-cara yang dibenarkan untuk mencapai tujuan budaya, serta menggantinya dengan
norma-norma baru untuk mereka.Seluruh jenis adaptasi individu menurut perspektif Mertonian hanya bersangkut-paut dengan perilaku peran, dan bukan jenis kepribadian (behavioral roles and not personality). Karena itu, mungkin saja orang berpindah dari satu mode adaptasi kepada mode adaptasi lainnya
3. METODE PENELITIAN