• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Guru dalam Pembelajaran Montessori

BAB IV PAPARAN DATA DAN HASIL PENELITIAN

3. Peran Guru dalam Pembelajaran Montessori

Dengan mempelajari hal-hal dengan secara langsung, maka anak akan mengalami dan merasakan sendiri hal-hal yang telah dipelajarinya.

Dengan demikian anak dapat memperdalam konsentrasi dan bertindak langsung ketikan mendapat situasi yang sama. 17

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa, konsep pendidikan Montessori sangatlah menjunjung tinggi kebebasan yaitu kebebasan seorang anak untuk melaksanakan, memilih, dan menjalankan pembelajarannya sendiri dengan memanfatkan benda-benda dan lingkungan sekitar sebagai pendukung proses pembelajarannya. Namun itu semua tetaplah harus dalam pengawasan orang dewasa atau guru agar anak tidak melenceng dari tujuan pembelajaran.

Dari pendapat Maria Montessori diatas mengingatkan kembali akan keterkaitan filosofi Montessori tentang anak bukanlah kertas kosong yang hanya menungu untuk ditulisi. Anak berhak untuk melakukan pembelajarnnya sendiri. Oleh sebab itu peran orang tua atau pendidik Montessori adalah sebagai pendamping pembelanjaran dan perkemangan anak. Berikut akan penulis paparkan peran guru Montessori yang dirumuskan oleh Vidya Dwina P. dalam bukunya “Jatuh Hati Pada Montessori” yaitu sebagai berikut:19

a. Penghubung antara anak dengan lingkungan

Ada tiga elemen penting dalam pembelajaran Montessori, yaitu guru, peserta didik, dan juga lingkungan. Ketiganya memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Tugas utama guru Montessori sebagai penghubung anak dengan lingkungan. Artinya, guru adalah orang yang mengarahkan dan memperkenalkan murid untuk berinteraksi dengan lingkungannya.

Misalnya menghubungankan peserta didik dengan lingkungannya dapat dilakukan dengan medemonstrasikan cara penggunaan pemakaian material Montessori dalam pembelajaran.

Memperagakan secara langsung cara penggunaanya. Hal ini dilakukaka karena, anak lebih cepat meniru perlakuan seseorang disbanding dengan ucapannya.

19 Vidya Dwina Paramita, Ibid., h. 169-187.

Contoh selain mendemonstrasikan yaitu dapat dilakukan dengan menetapkan aturan yang disepakati oleh guru dan peserta didik. 20 Peraturan ini bertujuan untuk membentuk sikap kedisplinan anak.

Karena suatu kebebasan jika tanpa aturan akan mengakibatkan kekacauan dalam mendidik anak.

b. Memberi informasi tentang batasan baik dan buruknya suatu tindakan Tugas guru berikutnya adalah menyampaiakan batasan suatu tindakan yang boleh dan dilarang dalam proses kegiatan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai orang tua dibawibkan dalam mendampinggi setiap proses perkembangan anak untuk itu perlunya memberikan batasan yang hak dan bathil. Setelah anak memahami batasan yang baik dan buruk, ketika anak melanggar kita perlu mengingatkan atau mengajak anak untuk berdiskusi atas tindakan tersebut. Selain itu juga memberikan solusi bersama-sama supaya anak tidak menggulangi pelanggaran lagi. 21

c. Pengamat dan penafsir segala kebutuhan yang diperlukan anak.

Salah satu tugas guru ini juga penting dilakukan. Dalam masa perkembangan anak, sebagai guru ataupun orang tua haruslah mengamati dan menafsirkan perkembangan anak dan mengartikan hal apa saja yang dibutuhkan dalam proses pembelajarannya.

20 Vidya Dwina Paramita, Ibid., h. 169.

21 Vidya Dwina Paramita, Ibid, h. 171.

Terkadang ada anak yang memiliki keterlambatan dalam perkembangannya. Namun sebagai orang dewasa disekitarnya, tidak boleh melabeli anak dengan label yang kurang pantas contohnya: malas, keras kepala, sulit diberi tahu dan sebagainya. Perlunya melakukan observasi terhadap anak dan menafsirkan apa yang dibutuhkan dalam proses perkembangnnya. Karena setiap anak memiliki perkembangan yang berbeda-beda.

Oleh sebab itu, sebagai guru tidaklah boleh hanya berhenti melabeli anak tanpa memberikan solusi. Tugas guru adalah membantu anak-anak dengan melakukakn observasi dan kemudian membuat renacana kegiatan yang bertujuan agar kebutuahn anak terpenuhi.

d. Menyiapkan Lingkungan pembelajaran

Dalam menyiapakan lingkungan pembelajaran ada dua hal yang perlu dilakakukan guru yaitu sebagai berikut:

1) Rancangan pembelajaran, hal ini sangat penting dilakukan guru yang dijadikan panduan utama dalam pengajaran.

2) Mengecek seluruh material yang dibutuhkan, salah satau ciri pembelajaran Montessori yaitu pembelajaran menggunakan material tertentu. Oleh sebeb itu, guru perlu meninjau ulang apakah material yang dibutuhkan sudah tersedia atau belum.

e. Elevator bagi peserta didik maupun diri sendiri.

Kata elevator itu sendiri memiliki arti orang yang melakukan evaluasi. Sedangkan evaluasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan

untuk menentukan taraf dari kemajuan suatu pekerjaan di dalam proses pendidikan.22 Dalam pendidikan Islam yang termasuk dalam konteks pendidikan anak uisa dini, evaluasi merupakan salah satu komponen penting dari sisitem pendidikan yang harus diterpkan secara sistematis dan terencanasenbagai alat ukur untuk mengukur keberhasilan atau target yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran. 23

f. Tidak selalu memberikan bantuan kepada anak.

Dalam poin ini termasuk kedalam tugas yang terberat bagi seorang guru Montessori. Karena sebagai orang dewasa harus saat mendampinggi tumbuh kembang anak harus mengetahui kapan anak memerlukan bantuan secara tepat. Karena dikhawatirkan jika kita terus membantu anak akan menjadikan anak untuk membatasi aktifitasnya.

Jika dalam pembelajaran seorang guru melihat anak mendapati kesulitan, maka tentunya kita sebagai guru memberikan sebuah contoh solusi dengan menanyakan terlebih dulu, apakah anak membutuhkan bantuan kita.

Ketika kita membiarkan anak untuk memabantunya dirinya sendiri bukan hanya melatih kemandirian anak tetapi juga menstimulasi anak untuk bertanggung jawab. Dengan memberikan kesempatan kepda anak untuk melakukakn suatu pekerjaan dengan sediri, maka membantu membangun citra positif anak dengan membiarkannya merasa

22 Ramayulius, “Ilmu Pendidikan Islam”, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), h. 223.

23 Ramayulius, Ibid., h. 220.

bermanfaat dan berhasil melakukakn suatu hal dengan dirinya sendiri.

24

g. Teladan bagi peserta didik.

Ada suatu pepeatah yang menyebutkan bahwa, “Guru digugu dan ditiru.” Artinya adalah artinya adalah seorang guru haruslah dijadikan contoh ataupun teladan bagi setiap muridnya. Hal apapun yang dibicarakan oleh guru atau dilakukakn guru, kemungkinan besar akan ditiru oleh peserta didik. 25 Begitupun juga anak usia dini, karena dalam hal ini anak usia dini adalah peniru yang unggul dalam setiap tindakan yang ia temui dalam lingkungannya.

Seorang guru dapat dikatakan seperti “cermin” bagi peserta didiknya. Tugas gurupun bukan hanya mengajar, melatih, dan membimbing peserta didik, melainkan juga sebagai “sarana” peserta didik untuk berkaca. 26 Oleh karena itu, segala perkataan tingkah laku, dan pemikiran guru dapat dicontoh oleh peserta didiknya. Guru sebagai cermin ini harus menjadi sosok cermin yang bersih, bukan cermin yang kotor. Dengan demikian jika ada peserta didik yang kotor dan bercermin pada cermin yang bersih, maka anak akan melihat dengan jelas kotoran- kotoran yang melekat pada dirinya. Namun sebaliknya, jika peserta didik yang kotor dan bercermin pada cermin yang kotor pula, maka ia

24 Vidya Dwina Paramita, “Jatuh Hati Pada Montessori”, (Bandung: mizan Media Utama, 2021), cetakan ke-9, h. 181-184.

25 Masykur Arif Rahman, “Kesalahan-Kesalahan Guru Saat Mengajar”, (Jogjakarta:

Laksana, 2013), h. 8

26 Piet A. Sehatian, “Profil Pendidikan Profesional”, (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), h.

10

tidak akan melihat dengan jelas kotoran-kotoran yang melekat pada dirinya. 27

Jika ada guru yang menolak untuk dijadikan teladan bagi peserta didiknya merasa kurang pantas untuk dijadikan teladan dan ingin menjadi dirinya sendiri secara bebas, serta membiarkan pesrta didiknya untuk mencari sosok teladan yang lain. Alasan tersebut merupakan alasan seorang guru untuk menolak aspek fundamental dari sifat belajar- mengajar. 28

Aspek fundamendal seorang guru adalah menjadi teladan bagi peserta didiknya. Ketika aspek fundamental ini tidak dilaksanakan, maka seorang guru telah mengurangi profesionalitas dan keefektifan dalam proses belajar mengajar. 29

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa peran guru dalam proses pendidikan karakter prespektif Montessori adalah, teladan bagi peserta didik, tidak selalu memberikan bantuan kepada anak, elevator bagi peserta didik maupun diri sendiri, menyiapkan lingkungan pembelajaran, pengamat dan penafsir segala kebutuhan yang diperlukan anak, memberi informasi tentang batasan baik dan buruknya suatu tindakan, penghubung antara anak dengan lingkungan.

27 Masykur Arif Rahman, op.ct., h. 19

28 Piet A. Sehatian, op.ct., h. 46

29 Masykur Arif Rahman, op.ct.,

B. Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Prespektif Montessori 1. Karakter Pada Masa Kanak-kanak Prespektif Montessori

Menurut buku “The Absorbent Mind Pikiran Yang Mudah Menyerap” yang ditulis oleh Dr. Maria Montessori membagi karakter anak- anak menjadi tiga bagian yaitu:30

Pertama, dari usia 0 hingga 6 tahun, dalam fase ini biasa disebut sebagai anak usia dini. Fase ini merupakan bagian terpenting bagi kehidupan seorang anak. Demikian juga dengan pengembangan karakter anak. Meskipun kita juga tahu bahwa pada fase ini seorang bayi tidak dapat dipengaruhi, baik dari contoh ataupun tekanan dari luar. Akan tetapi anak akan mampu menyerap sendiri sesuai dengan tahap perkembangannya dan menjadikan alam sendirinya sebagai peletakan dasar karakter. Pada fase ini anak tidak dapat membedakan mana hal yang salah ataupun benar. Karena pada dasarnya anak pada fase ini melalakukan tindakan di luar gagasan moralitas orang dewasa.31

Kedua, dari usia 6-12 tahun. Pada fase ini anak akan mulai mengetahui mana yang benar dan yang salah. Bukan hanya yang dilakukan oleh dirinya sendiri tetapi juga perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang lain. Perihal mampu membedakan mana yang benar dan salah merupakan ciri khas pada fase ini. Terbentuknya kesadaran moral menjadikan hal ini dapat mengantarkan seorang anak untuk bersikap secara sosial.

30 Maria Montessori, “The Absorbent Mind Pikiran Yang Mudah Menyerap”, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2017), cetakan kedua, h. 340.

31 Maria Montessori, Ibid., h. 341.

Ketiga, yaitu pada usia 12 hingga 18 tahun. Masa perkembangan di fase ini, cinta tanah air akan mulai muncul, rasa memiliki kelompok bangsa, dan memberikan perhatian serta menjunjung tinggi martabat bansa atau kelompoknya. 32

Masing-masing dari perkembangan anak pastinya memiliki ciri khas tersendiri. Setiap perkembangan membentuk perkembangan dasar dari perkembangan selanjutnya. Oleh sebab itu, agar pertumbuhan dan perkembangan seorang anak dapat secara normal, maka perlunya setiap perkembangan dan pertumbuhan anak harus dujalani secara baik dari setiap perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi.

Saat anak berusia dua sampai tiga tahun, seorang anak mungkin akan mengalami pengaruh-pengaruh besar yang mungkin akan mengbah seluruh masa depannnya. Misalnya, saat anak terluka, atau mengalami kekerasn baik fisik maupun mental, maka bisa saja anak mejadi penyimpangan kepribadian. Dari hal diatas dapat disimpulkan bahwa karakter anak anak muncul dan berke mbang sejalan dengan hambatan-hambatan yang ia lalui dimasa perkembangan. Jika seorang bayi yang baru lahir diberikan kebebasan dalam menjalani perkembangan yang dilaluinya hingga anak berumur tiga tahun dan dididik secara ilmiah mak anak bias menjadi seorang individu yang yang teladan. 33

32 Maria Montessori, Ibid.,

33 Maria Montessori, Ibid., h. 343.

Maria Montessori mengelompokkan dua golongan utama bagi anak- anak yang cacat secara karakter yaitu: cacat-cacat yang ditunjukkan oleh anak-anak yang kuat (yang mampu melawan dan mengatasi hambatan yang ia lalui), dan yang kedua adalah cacat-cacat yang ditampilkan oleh anak- anak yang lemah (yang rentan dengan kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan). Berikut akan penulis uraikan dibawah ini yaitu:34

a. Cacat-cacat yang ditunjukkan oleh anak-anak yang kuat (yang mampu melawan dan mengatasi hambatan yang ia lalui),

Pada kelompok ini cacatnya yaitu berupa kebandelan dan kecenderungan melakukan kekerasan, melupakan kemarahan, membangkang dan agresif. Pada kelompok ini yang paling menonjol adalah ketidakpatuhan yang bias disebut sebagai “naluri merusak”.

Sering ditemukan memiliki rasa posesif yang lebih mengarah pada sikap memntingkan diri sendiri dan kedengkian.

Tidak memiliki tujuan pasti atau plinplan juga menjadi salah satu cirinya. Tidak dapat berkonsentrasi, kebingungan mental, suka melamun dan berkhayal. Anak-anak ini juga suka membut keributan, berteriak-teriak. Suka menganggangu orang lain, dan seringkali menganggu siapun yang dianggapnya lebih lemah. Mereka juga cenderung rakus saat makan.

b. Cacat-cacat yang ditampilkan oleh anak-anak yang lemah (yang rentan dengan kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan).

34 Maria Montessori, Ibid., h. 346.

Pada kelompok ini anak-anak lebih bersifat pasif. Misalnya, lamban dan malas, suka mencari perhatian orang lain dengan menangis.

Ingin sekali diladeni tetapi termasuk orang yang bosanan, tidak percaya diri dan sring kali bersifat manja. Seringkali berbohong (sebagai bentuk pasif pertahanan diri), atau mencuri barang-barang (sebagai kompensasi dari psikologis), dan lain-lain. Pada kelompok ini lebih kecenderung cacat terhadap psikologisnya.

Terkadang juga kelompok ini mengalami cacat berupa fisik yang disebabkan oleh kurangnya kepedulian orang tua disekitarnya. Para pakar pendidikan juga sepakat bahwasanya ketika orang tua atau para pendidik mendidik anak secara kasar seperti, dididik dengan kekerasan dipukul, dengan perkataan yang pedas, penghinaan, maka akan menghasilkan reaksi balik yang sama pada perangai dan akhlak anak tersebut.

Hal ini berdampak kepada terbentuknya karakter yang jahat yang dapat mencelakai orang lain dan menyimpang di tengah masyarakat. Dengan demikian tidak heran pula jika anak ketika dewasa tumbuh dalam kebejatan dan tidak bermoral. 35

Kecacatan dari karakter anak diatas disebabkan dari kurangnya penerapan rangkaian aktivitas secara konstruktif yang semestinya dilakukan secara baik dan alami oleh setiap anak. Dari sini sudah jelas

35 Abdullah Nashih U’lwan, “Pendidikan Anak Dalam Islam” , (Sukoharjo: Insan Kamil Solo, 2017), cetakan ke 10, h. 90.

jika kecacatan karakter anak diperoleh dari perlakuan salah tertentu yang dialami anak secara bertahun-tahun diawal fase kehidupannya.

Permasalahan diatas dikemukakan Montessori bahwasanya bukanlah tentang masalah pendidikan moral anak, akan tetapi mengarah kepada pembentukkan karakter anak. Kurangnya karakter atau cacat karakter perlahan akan hilang dengan sendirinya tanpa harus membutuhkan wejangan-wejangan atau bahkan teladan dari orang yang lebih dawasa disekitarnya. Juga tidak perlu mengancam dan membujuk anak berperilaku baik, melainkan hanya dengan “menormalkan kondisi” yang menjadi tempat anak berkembang dan hidup.36 Dari sini kita dapat melihat bahwasanya pendidikan karakter anak usia dini harus diterapkan sesuai dengan masa perkembanganya.

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa karakter anak dapat dibentuk dari serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh dirinya sendiri dan didapatkan sesuai dengan fase perkembangannya dengan bantuan orang dewasa yang memberikan kebebasan kepada anak untuk mengeksplorasi setiap perkembangannya. Karakter ini didapatkan dari permasalahan- permasalahan yang ia lalui dimasa perkembangannya.

2. Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Prespektif Montessori

Pada pendidikan karakter menurut Montessori itu sendiri sengaja dirancang sesuai dengan perkembangan anak. Hal ini dikarenakan, Maria

36 Maria Montessori, op.ct., h. 352.

Montessori melihat bahwa kebanyakan cara pembentukkan karakter dibuat untuk orang-orang dewasa tanpa melihat dari sifat perkembangan anak- anak. Pendidikan karakter yang murni menurutnya yaitu mengikuti setiap rangkaian proses perkembangan anak . 37

Hal ini dikarenakan bahwa Montessori mengatakan bagian terpenting dari sebuah pendidikan anak bukanlah dari universitas atau pendidikan tinggi, akan tetapi periode 0-6 tahun. Pada periode ini seluruh instrument pada manusia terbentuk, bukan hanya fisiknya saja namun juga pada psikis anak.

Anak akan berkembang melalui tangannya sendiri dan juga dengan pengalaman yang ia temui.

Pengalaman yang didapat pada pembelajaran Montessori mulanya melalui bermain kemudian secara bertahap dengan kerja nyata. Melalui tangan dapat menciptakan kecerdasan manusia. Dan menurut Montessori setiap anak pasti akan memiliki teori perkembangannya masing-masing.38

Inti dari pembelajaran Montessori itu sendiri memiliki artian untuk menjadikan anak yang independent leaner, yaitu anak yang mandiri dalam belajar. Dengan diberikan kebebasan anak akan dikembangkan sesuai dengan kemampuannya sendiri. Mereka belajar dengan aktif dan kreatif berdasarkan kemampuan dan kemauan anak sesuai dengan keinginan

37 Lusi Kurnis Wijayanti, “Pemikiran Pendidikan Anak Usia Dini Prespektif Maria Montesssori dan Abdullah Nasih ‘Ulwan (Studi Komparatif)”, Tesis Magister Pendidikan Islam, (Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim, 2018), t.d. h. 83.

38 Crain William, penerj. Yudi Santoso, “Teori Perkembanganan Konsep dan Aplikasi”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.11

mereka sendiri.39 Konsep pendidikan karakter rumusan Maria Montesori sangatlah baik jika diterapkan dalam pendidikan anak usia dini.

Pendidikan karakter pada pembelajaran Montessori diterapkan disetiap proses pembelajaran berlangsung. Integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran yang diterapkan dalam setiap mata pelajarannya.

Materi pembelajaran yang berkaitan dengan nilai-nilai karakter pada setiap mata pelajaran harus dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dalam kehidupan sehari-hari anak. Dengan demikian, nilai-nilai karakter yang diajarkan bukan hanya sekedar tataran kognitif saja, melaikan juga menyentuh pada internalisasi dan pengamalan pada diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. 40

Pada pendidikan karakter berbasis konsep Maria Montessori ini adalah lebih menekankan terhadap pembangunan karakter anak. Hal ini dikarenakan, pada masa usia dini anak akan sangat mudah sekali diarahkan, dan kembangkan untuk membangun sebuah karakter yang baik.

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter anak usia dini prespektif Montessori diterapkan disetiap proses pembelajarannya bukan dalam bentuk suatu mata pelajaran. Pendidikan karakter ini juga sengaja dirancang khusus untuk anak usia dini dengan tetap mempertimbangkan tahapan-tahapan perkembangan anak.

39 Aprilian Ria Adisti, “ Peraduan Konsep Islam dengan Metode Montessori dalam Membangun Karakter Anak”, (Jurnal Kajian Pendidikan Islam), Vol.8, No. 1 Juni 2016, h. 70.

40 Hadi Wiyono, “ Pendidikan Karakter dalam Bingkai Pembelajaran di Sekolah”, (Jurnal Ilmiah CIVIS), Vol. II, No. 2, Juli 2012.

C. Lima Nilai Karakter yang Terbentuk dalam Pendidikan Karakter Prespektif Montessori

Pendidikan karakter bangsa ndonesia memiliki 18 bilai karakter bangsa meneurut Kemendikbudd, akan tetapi dalam penelitian ini akan membahas lima nilai karakter yang sangat mencolok dalam proses pembelajaran Montessori yaitu; religious, disiplin, mandiri, peduli lingkungan, dan tanggung jawab yaitu akan penulis terangkan sebagai berikut:

1. Religius

a. Definisi karakter religius

Menurut bahasa, kata religious adalah suatu kata kerja berasal dari kata benda yaitu religion. Berasal dari dua kata re dan ligare yang artinya menghubungkan kembali yang telah putus, maksudnya yaitu menghubungkan kembali tali hubungan antara Tuhan dan manusia yang telah terputus karena dosa-dosanya. 41

Pendapat lain dari Gzalba, yang menyatakan bahwa religi berasal dari bahasa latin religio berasal dari akar kata religare yang berarti mengikat.

Artinya dalah suatu iakatan manusia dengan suatu tenaga ghaib yang kudus.

Religi memiliki kecenderungan dengan rohani utnuk berhubungan dengan alam semesta, nilai dari segalanya, makna terkahir, dan hakikat dari segalanya. 42

41 HM. Arifin, “Menguak Misteri Ajaran Agama- Agama Besar”, (Jakarta: Golden Terayon Press, 1995), h. 12.

42 Sidi Gzalba, “Asas Agama Islam”, (Jakarta:Bulan Bintang, 1985), h. 34

Ada dua istilah yang dikenal dalam agama seseorang yaitu kesadaran beragama (religious consciousness) dan pengalam beragama (religious experience). Kesadaran agama ini memiliki artian bahwa segia agama yang dirasakan dalam fikiran dan dapat diuji melalui instropeksi atau dapat dikatakan sebagai aspek mental dari aktivitas agama seseorang. Sedangkan pengalaman beragama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama yaitu perasaan yang menyebabkan kepada keyakinan yang dihasilkan dari tindakan seseorang. 43

Keberagaman religius seseorang dapat diwujudkan dari berbagai sisi kehidupannya. Aktivitas agama terjadi bukan hanya saat seseorang melakaukan perilaku ritual (ibadah) tetapi juga dapat diwujudkan dengan aktivitas lain yang didorong dengan kekuatan supranatural. Dalam hal ini juga karakter religious dapat dilihat dari aktivitas agama yang tampak saja, melainkan dapat berupa aktivitas tidak tampak yaitu yang terjadi dalam hati seseorang. 44

Dalam suatu kelompok pembelajaran yang ada disekolah, nilai-nilai religius ini bukanlah hanya ditanggung oleh guru agama saja, melainkan dari seluruh aspek pembelajaran. Sehingga anak akan terbiasa untuk memiliki karaklter religius ini. 45

43 Zakiah Daradjat, “Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 9

44Jamaludin Ancok, “Psikologi Islam, Solusi Islam dan Problem-problem Psikologi”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 76.

Darai paparan diatas dapat disimpulkan bahwa karakter religius adalah karakter yang melekat pada seseorang yang berkaitan dengan kepercayaan dan tindakan yang tujukan sebagai bukti dari seorang hamba yang menyembah kepada Tuhannya.

b. Dimensi-dimensi religiusitas

Menurut Glock dan Strak yang dikutip oleh Muhaimin dalam bukunya yang berjudul “Paradikma Pendidikan Islam”, membagi lima dimensi dalam religiusitas yaitu sebagai berikut:

1) Diemensi keyakinan yaitu berisi tentang pengharapan-pengharapan religious seseorang yang berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui doktrin tersebut.

2) Dimansi praktik agama, dalam hal ini mencangkup perilaku penyembahan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan seseorang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik- praktik keagamaan ini memliki dua kelas penting, yaitu ritual dan ketaatan.

3) Dimensi pengalaman, berisikan dan memperhatikan bahwa faktanya semua agama pastinya memiliki pengharapan-pengharapan tertentu.

Pada dimensi ini berkaitan dengan pengalam keagamaan, perasaan- perasaan, persepesi dan sensasi-sensasi tertentu yang dirasakan oleh seseorang.

4) Dimensi pengetahuan agama, dalam hal ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama pastinya memeiliki pengetahuan

minimalnya mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisinya.

5) Dimensi pengalaman atau konsekuensi, mengacu kepada identifikasi akibat-akibat yang diperoleh dari keyakinan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari kehari. 46

c. Pendidikan karakter religius prespektif Montessori

Menurut Montessori anak yang sedang dalam masa pertumbuhan tidak hanya membutuhkan kemampuan-kemampuan manusia seperti:

kekuatan, kecerdasan, bahasa dan sebagainya. Namun pada saat yang sama juga seorang anak membutuhkan suatu penyesuaian pada dirinya dengan kondisi-kondisi di sekelilingnya. Fakta tersebut ternyata memberikan makna baginya dalam bentuk psikologis. 47

Jika perkembangan anak dalam segi fisik dan psikisnya mendapatkan pertumbuhan yang sesuai maka anak tersebut akan memiliki tubuh yang seimbang. Pembentukkan karakter religius ini juga adalah salah satu usaha untuk menyeimbangkan kondisi psikologis anak.

Maria Montessori percaya bahwa setiap anak sudah memiliki bekal kemampuan spiritual yang sudah dibawa sejak anak lahir ke dunia. Sebagai orang tua atau pendidik harus mempu membimbing dan mengarahkan kemampuan tersebut dan menjadi pengamat serta memberikan tauladan

46 Muhaimin, “Paradikma Pendidikan Islam”, (Bandung: Pt Remaja Rosdakarya, 2008), h. 294.

47Maria Montessori, “The Absorbent Mind Pikiran Yang Mudah Menyerap”, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2017), cetakan kedua, h. 106.