A. Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) menjadi epidemi global dan sekarang menjadi salah satu penyebab utama kehilangan penglihatan secara global (International Council of Ophthalmology/ICO, 2017). Pada tahun 2017, ada sekitar 425 juta orang di dunia dengan rentang usia antara 20 sampai 79 tahun yang hidup dengan DM dan diprediksi akan mengalami peningkatan sebesar 48% yaitu menjadi 629 juta orang pada tahun 2045 (International Diabetes Federation/IDF, 2017).
IDF memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 10 juta pada tahun 2017 menjadi 27,7 juta pada tahun 2045. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), menunjukkan proporsi DM di Indonesia sebesar 6,9%. Data-data di atas menunjukkan bahwa jumlah penyandang DM di Indonesia sangat besar.
Prevalensi DM yang semakin meningkat dapat membuat persoalan pada penyakit ini semakin sulit apabila ditambah dengan adanya komplikasi (Sari dan Saraswati, 2013). Menurut Harding et al. (2019), komplikasi DM terdiri dari komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler. Komplikasi makrovaskuler akibat DM, yaitu berupa penyakit jantung koroner, stroke dan penyakit pembuluh darah perifer, sementara komplikasi mikrovaskuler, berupa End-Stage Renal Disease (ESRD), neuropati dan retinopati. Selain retinopati, komplikasi oftalmik yang biasa terjadi pada pasien DM yaitu kelainan kornea, glaukoma,
neovaskularisasi iris, dan katarak, namun yang paling umum dan paling berpotensi menimbulkan kebutaan dari komplikasi ini, yaitu Retinopati Diabetik/RD (Cai, 2016, Aiello et al.,1999, Benson et al., 1994 dalam Bhavsar, 2017)
RD merupakan komplikasi mikrovaskular spesifik dari DM dan mempengaruhi 1 dari 3 orang dengan DM (ICO 2017). Estimasi global pasien RD akan meningkat dari 126,6 juta pada tahun 2010 menjadi 191,0 juta pada tahun 2030 (Zheng, 2012 dalam Stewart, 2017). Hasil penelitian Soewondo et al. (2010) yang melibatkan sebanyak 1785 pasien DM pada 18 pusat kesehatan primer dan sekunder di Indonesia, didapatkan sebanyak 42% pasien DM mengalami komplikasi RD, 18,97% diantaranya merupakan Retinopati Diabetik Non-Proliferatif (RDNP) dan 23,03% merupakan Retinopati Diabetik Proliferatif (RDP).
RD terjadi sebagai akibat langsung dari hiperglikemia kronis yang menyebabkan kerusakan kapiler retina sehingga menimbulkan kebocoran kapiler dan penyumbatan kapiler (Chen et al., 2010 dalam Cavan et al., 2017;
IDF dan The Fred Hollows Foundation, 2015). ICO (2017), mengklasifikasikan RD menjadi dua stadium, yaitu RDNP dan RDP. RDNP dibagi menjadi 3 stadium yaitu RDNP ringan, RDNP sedang, dan RDNP berat.
RDNP merupakan fase awal dari RD, pada fase ini terjadi kerusakan mikrovaskuler pada retina yang ditandai dengan kerusakan pada pembuluh darah kecil yang memasok retina sehingga mengakibatkan kebocoran atau penyumbatan pembuluh darah retina (International Federation on Ageing/IFA,
International Agency for the Prevention of Blindness/IAPB & IDF, 2016).
Kerusakan yang terjadi pada stadium awal ini, dapat menimbulkan sedikit gejala ringan pada pasien atau bahkan sering tidak menimbulkan gejala sama sekali, sehingga pasien sering tidak menyadarinya (IDF dan The Fred Hollows Foundation, 2015). Fenwick et al. (2012b) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa pada stadium RDNP ringan dan sedang, ketajaman & fungsi penglihatan biasanya tidak terpengaruh. Kehilangan penglihatan kecil kemungkinan untuk terjadi pada stadium ini (Bhavsar, 2017; IDF dan The Fred Hollows Foundation, 2015).
RDNP yang tidak dilakukan pengobatan dapat berkembang menjadi RDP (Stewart, 2017). Pada RDP ini terjadi gangguan aliran darah ke retina sehingga memicu proliferasi pembuluh darah baru yang tumbuh dari retina ke rongga vitreus. Pembuluh darah baru ini sangat rapuh dan dapat menyebabkan perdarahan vitreous. Perdarahan vitreous dapat menyebabkan timbulnya jaringan parut pada retina dan pada akhirnya dapat menimbulkan Ablasio Retina Traksional (ART). Semua akibat yang ditimbulkan dari RDP ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan penglihatan atau kebutaan (Wild et al, 2004 dalam IFA, IAPB & IDF, 2016).
RD dengan stadium lanjut dapat menimbulkan gejala yang meliputi floaters, yaitu penglihatan seperti melihat jaring laba-laba dan bintik-bintik yang beterbangan (Bhavsar, 2017; American Academy of Ophthalmology, 2016; IDF dan The Fred Hollows Foundation, 2015). RDNP berat dan RDP yang merupakan stadium RD lebih lanjut dapat menimbulkan gangguan penglihatan
dan dapat mengakibatkan kesulitan dalam memenuhi aktifitas sehari-hari (Stewart, 2017; IDF dan The Fred Hollows Foundation, 2015).
Brown (1999) dalam Alinia et al. (2017) mengatakan bahwa gangguan penglihatan yang terjadi pada pasien RD dapat mempengaruhi kondisi kualitas hidup terkait dengan kesehatan mata. Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan didefinisikan oleh Wenger dan Furberg dalam Yousefi et al. (2016) sebagai karakteristik yang berharga bagi pasien dan merupakan hasil dari perasaan yang diinginkan dan nyaman terkait dengan peningkatan fisik, emosi dan kinerja logis. Kualitas hidup memungkinkan profesional pemberi asuhan dapat mengukur dampak penyakit kronis dan perawatannya pada fungsi fisik, psikologis, sosial, dan somatik pada kehidupan pasien (Milne et al., 2012).
Berbagai instrumen untuk mengukur kualitas hidup pada pasien dengan gangguan penglihatan telah banyak dikembangkan. Menurut Milne et al. (2012) instrumen paling umum yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup pada pasien RD adalah National Eye Institute Visual Function Questionnaire-25 (NEI VFQ-25). NEI VFQ-25 merupakan instrumen baku untuk mengukur kualitas hidup pada pasien dengan gangguan penglihatan (Mangione et al., 2001).
Instrumen NEI VFQ-25 dikelompokkan ke dalam dalam 12 sub-skala penilaian yang meliputi: kesehatan umum, penglihatan umum, nyeri pada mata, aktivitas dengan penglihatan dekat, aktivitas dengan penglihatan jauh, fungsi sosial, kesehatan mental, kesulitan berperan dalam masyarakat, ketergantungan, berkendaraan, penglihatan warna, penglihatan perifer.
Fenwick et al. (2012a), dalam hasil penelitiannya mengatakan bahwa pasien RD mengalami perasaan tidak nyaman pada mata seperti mata terasa nyeri, kering atau berair terutama selama pengobatan berlangsung. Selain itu, pasien dengan gangguan penglihatan akibat RD mengalami keterbatasan aktifitas yang berhubungan dengan penglihatan, seperti membaca, mengendarai mobil, menyiapkan makanan dan mengidentifikasi wajah (Khan, 2007 dalam Shrestha dan Kaiti., 2013; Stewart, 2017). Keterbatasan aktifitas ini akan semakin bertambah bila dilakukan di tempat dengan penerangan yang kurang baik (Fenwick et al., 2012a).
Secara emosional pasien dengan gangguan penglihatan akibat RD merasa frustrasi karena keterbatasan penglihatan mereka, pasien merasa khawatir tentang kehilangan penglihatan lebih lanjut dan mengalami kesulitan mengatasi ketidakpastian tersebut (Fenwick et al. 2012a). Stewart (2017), mengatakan bahwa gangguan penglihatan akibat RD menyebabkan insiden isolasi sosial yang lebih tinggi. Pasien mengatakan adanya perubahan kehidupan sosial dimana pasien mengurangi interaksi sosial terkait terbatasnya penglihatan yang dirasakan (Fenwick et al., 2012a).
Penelitian yang dilakukan Pereira et al. (2017) dengan judul Quality of life in people with diabetic retinopathy: Indian study, menggunakan instrumen NEI VFQ-25 dalam pengkuruannya. Hasil yang didapatkan oleh Pereira et al.
menyebutkan bahwa kualitas hidup secara signifikan lebih rendah pada pasien RD dibandingkan dengan yang tidak memiliki RD. Sementara pasien dengan RD yang parah dilaporkan memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dibandingkan
dengan RD yang masih ringan (International Council Of Ophthalmology, 2017;
Pereira et al., 2017). Manaviat et al. (2016) yang menggunakan instrument NEI VFQ-25 dalam penelitiannya mengenai hubungan RD dan tingkat keparahannya dengan kualitas hidup menemukan bahwa kualitas hidup menurun seiring dengan tingkat keparahan RD yang meningkat.
Dampak yang paling signifikan pada pasien RD yaitu kegiatan sehari-hari yang berhubungan dengan penglihatan, ketergantungan dan kesehatan mental (Pereira et al, 2017; Manaviat et al, 2016). Selain itu kehadiran RD menimbulkan penurunan yang signifikan pada komponen fisik (Davidov et al., 2009).
Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo merupakan pusat rujukan mata nasional. Sebagai pusat rujukan, terdapat sejumlah pasien RD dengan tingkat keparahan yang beragam yang datang untuk mendapatkan pengobatan.
Poliklinik Vitreoretina merupakan poliklinik khusus pasien dengan kelainan vitreoretina. Di tempat ini terpusat pasien-pasien dengan kelainan RD dengan tingkat yang beragam.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, data pasien terbaru yang didiagnosis RD selama periode Januari 2012 sampai dengan Desember 2015, di Poliklinik Vitreoretina Instalasi Rawat Jalan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung yaitu sebanyak 2035 pasien, dengan karakteristik RDP 1074 (48,2%), RDNP berat 481 (21,6%), RDNP sedang 281 (12,6%), dan RDNP ringan 199 (8,9%). Berdasarkan data ini terlihat bahwa pasien RDNP berat dan RDP merupakan yang paling banyak diantara pasien RD jenis lainnya.
April-Juni 2019 didapatkan data pasien dengan diagnosis RD di Poliklinik Vitreoretina Instalasi Rawat Jalan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung, yaitu sebanyak 1227 orang. Hasil wawancara peneliti kepada 10 pasien RD, 6 diantaranya mengatakan dalam kondisi kesehatan yang kurang bagus, sebagian besar alasan pasien yaitu akibat mengalami penurunan ketajaman penglihatan yang signifikan setelah mengalami RD. Enam pasien tersebut mengatakan aktivitas, seperti membaca, memasak, menyetir kendaraan, mengenal ekspresi wajah orang yang ada di hadapannya menjadi terganggu akibat penurunan ketajaman penglihatan tersebut. Pasien mengatakan penglihatannya menjadi seperti terhalang oleh jaring-jaring, penglihatan juga sering menjadi kabur secara hilang timbul, pasien merasa kesulitan beradaptasi di tempat dengan cahaya yang redup. Dua pasien mengatakan khawatir dengan kondisi kesehatan matanya sekarang, pasien takut menjadi buta total. Dua pasien lainnya mengatakan merasa malu dengan kondisinya sekarang, karena pasien tidak bisa beraktifitas secara normal, pasien mengatakan jadi ketergantungan kepada keluarga dan orang-orang di sekitarnya, dan dampaknya pasien jadi lebih sering berada di rumah dibandingkan beraktifitas dan bersosialisasi di luar rumahnya.
Pengukuran kualitas hidup yang berisi persepsi subyektif tentang penyakit dan dampaknya terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari merupakan hal yang penting untuk memperkirakan beban penyakit, membuat rencana tindakan untuk mencegah atau mengendalikan penyakit dan untuk evaluasi mengenai intervensi terapeutik kepada pasien (Kamran, et al., 2017; Nickels et al., 2017). Dengan
dilakukan pengukuran kualitas hidup pada pasien, hubungan antara pasien dengan tenaga kesehatan akan meningkat dan dengan tindak lanjut dari hasil pengukuran kualitas hidup tersebut akan membantu kualitas hidup pada pasien meningkat pula (Kamran et al., 2017; Rapkin, 2004 dalam Wahyuni et al., 2014).
Strategi yang efektif dalam mengelola diabetes untuk mengurangi atau menstabilkan kehilangan penglihatan yaitu melalui kombinasi dari empat strategi utama: dukungan sosial, dukungan nutrisi, obat-obatan, dan pemeriksaan serta perawatan medis (IDF dan The Fred Hollows Foundation, 2015).
Keputusan untuk menjalani perawatan harus dibuat atas kerjasama antara diabetisi dan profesional kesehatan (Montori et al., 2006 dalam IDF dan The Fred Hollows Foundation, 2015).
Perawat sebagai salah satu profesional kesehatan memiliki peran penting dalam mengelola dan mencegah komplikasi DM. Intervensi perawat dalam mencegah dan mengelola pasien DM meliputi pengaturan diet, pengaturan berat badan, olahraga, dan edukasi (The Royal College Ophthalmologist, 2012;
Wahyuni et al., 2014). Tercapainya asuhan keperawatan yang komprehensif dalam mengelola dan mencegah terjadinya komplikasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien (Wahyuni et al., 2014).
Berdasarkan fenomena dan data yang yang telah diuraikan di atas penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Perbedaan Kualitas Hidup Pada Pasien Retinopati Diabetik Non-Proliferatif Berat dan Retinopati Diabetik Proliferatif Di Poliklinik Vitreoretina Instalasi Rawat Jalan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung.”
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah “Adakah Perbedaan Kualitas Hidup Pada Pasien Retinopati Diabetik Non-Proliferatif Berat dan Retinopati Diabetik Proliferatif Di Poliklinik Vitreoretina Instalasi Rawat Jalan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung?”
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui perbedaan kualitas hidup pada pasien Retinopati Diabetik Non-Proliferatif Berat dan Retinopati Diabetik Proliferatif di Poliklinik Vitreoretina Instalasi Rawat Jalan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung.
2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran karakteristik pasien Retinopati Diabetik Non- Proliferatif Berat dan Retinopati Diabetik Proliferatif di Poliklinik Vitreoretina Instalasi Rawat Jalan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung.
2. Mengetahui gambaran kualitas hidup pasien Retinopati Diabetik Non- Proliferatif Berat dan Retinopati Diabetik Proliferatif di Poliklinik Vitreoretina Instalasi Rawat Jalan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung.
3. Mengetahui perbedaan kualitas hidup pada pasien Retinopati Diabetik Non-Proliferatif Berat dan Retinopati Diabetik Proliferatif di Poliklinik
Vitreoretina Instalasi Rawat Jalan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
a) STIKes Dharma Husada Bandung
Menambah kepustakaan dan referensi, terutama tentang kualitas hidup pasien yang mengalami Retinopati Diabetik Non-proliferatif Berat dan Retinopati Diabetik Proliferatif bagi rekan-rekan mahasiswa STIKes Dharma Husada Bandung
b) Ilmu Keperawatan
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah informasi dan wawasan tentang kualitas hidup pada pasien Retinopati Diabetik Non-Proliferatif Berat dan Retinopati Diabetik Proliferatif.
2. Manfaat Praktis
a) Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung
Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan mengenai pemberian asuhan kepada pasien Retinopati Diabetik Non-Proliferatif Berat dan Retinopati Diabetik Proliferatif, sehingga outputnya dapat selaras dengan salah satu misi Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung yaitu memberikan pelayanan kesehatan mata yang
paripurna sesuai dengan standar dunia yang berorientasi pada kepuasan bagi seluruh lapisan masyarakat, terjangkau, merata dan berkeadilan.
b) Perawat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar pemberian edukasi kepada pasien Retinopati Diabetik Non-Proliferatif Berat dan Retinopati Diabetik Proliferatif untuk mengelola penyakitnya secara baik serta mencegah progresivitas lebih lanjut sehingga pasien terhindar dari kondisi penurunan kualitas hidup yang lebih buruk.
c) Peneliti
Sebagai bahan acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.