Pembuat kebijakan Indonesia dan pihak-pihak lain kadang-kadang membahas keunggulan sektor manufaktur atau sektor komoditas sebagai mesin penggerak pertumbuhan, atau keunggulan dari orientasi pasar domestik atau orientasi pasar ekspor. Sebenarnya, pembahasan ini didasarkan pada dikotomi palsu. Sebaliknya, yang menjadi masalah seharusnya adalah memahami perbedaan antara produktivitas rendah dan tinggi serta mendorong produktivitas tinggi.
Rodrik (2009) berpendapat bahwa mesin penggerak pertumbuhan pada perekonomian global sejak akhir Perang Dunia II adalah perubahan struktural yang cepat di negara- negara berkembang yang mencakup perubahan kegiatan-kegiatan produktivitas rendah (‘tradisional’) ke produktivitas tinggi (‘modern’). Berdasarkan karya empirisnya, Rodrik cenderung menciptakan kesan yang menyesatkan dengan menggabungkan sektor industri dengan sektor modern. Namun, ini tampaknya hanya demi kenyamanan praktis, mengingat terbatasnya data lintas negara yang tersedia mengenai jasa. Rodrik mengakui bahwa kegiatan-kegiatan produktivitas tinggi tidak bersifat eksklusf bagi sektor manufaktur. Sebaliknya, produktivitas yang tinggi juga dapat menjadi ciri sektor jasa dan sektor komoditas. Sebagai contoh kegiatan produktivitas tinggi di sektor jasa, ia menyebutkan kegiatan ‘call center’ sedangkan di sektor komoditas ia menyebutkan hortikultura. Lederman dan Maloney (2007 dan 2009) serta De Ferranti dkk (2002) cenderung mendukung komoditas sebagai pemicu pertumbuhan dengan menekankan bahwa kegiatan produktivitas tinggi juga dapat ditemukan di sektor komoditas. Untuk meringkaskan pandangan di atas, yang penting adalah bukan apa yang diproduksi melainkan bagaimana cara memproduksinya.
Membedakan antara barang ekspor dan barang produksi dalam negeri tidak terlalu berarti dalam praktek karena munculnya sektor jasa telah mengaburkan perbedaan tersebut. Di masa lalu, barang-barang yang tidak dapat diperdagangkan dianggap terutama terdiri dari jasa dan produk-produk lain yang tidak dapat diekspor, tetapi penjabaran seperti ini sekarang tidak berlaku lagi. Banyak jasa sekarang diperdagangkan secara rutin di lintas negara dengan total nilai global ekspor jasa sekitar US$2,4 trilyun (Drake-Brockman, 2010). Ini disebabkan oleh kemajuan teknologi yang memungkinkan banyak back oi ce services disediakan oleh para pekerja tanpa mempersoalkan
171
Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia
Bab 7 Memanfaatkan Sebaik-baiknya Harga Komoditas yang Tinggi untuk Pembangunan Indonesia
lokasi mereka dan melalui liberalisasi yang memfasilitasi perdagangan jasa, seperti jasa konsultasi, oleh penyedia layanan asing. Perbedaan antara barang yang dapat dan tidak dapat diperdagangkan semakin kurang relevan hanya karena kebanyakan produk dan jasa dapat diperdagangkan sampai pada taraf tertentu.
Model pertumbuhan berbasis ekspor telah disalahtafsirkan sebagai fokus eksklusif pada sektor ekspor, padahal pertumbuhan berbasis ekspor mendukung reformasi di sektor ekspor maupun domestik. Dasar pemikiran untuk model pertumbuhan berbasis ekspor adalah, karena tugas yang sulit untuk mereformasi seluruh perekonomian secara sekaligus maka yang terbaik adalah pertama-tama berfokus pada sektor ekspor untuk memicu keberhasilan produktivitas dan dinamisme. Seraya sektor ini menambah kecepatannya, dinamisme tersebut dianggap dapat tersebar ke seluruh perekonomian melalui reformasi domestik. Meskipun ketiga negara “Macan Asia Timur” sangat baik dalam mengikuti tahap pertama strategi ini karena mereka menuai keuntungan dari tahap tersebut, mereka merasa kurang terdorong untuk melaksanakan reformasi domestik yang sulit ini, yang diperlukan untuk mempromosikan sektor domestik (Kelvin dan Cukier, 2009). Dengan menerapkan hanya separuh dari strategi ini, negara-negara Macan Asia Timur tersebut sekarang dihadapkan dengan kebutuhan untuk mengimbangi kembali (rebalance) orientasi mereka dan berfokus pada peningkatan produktivitas di perekonomian domestik.
Indonesia hendaknya berupaya untuk meningkatkan produktivitas di semua sektor untuk memaksimalkan pertumbuhan. Dalam konteks ini, tidak perlu memilih untuk berfokus pada sektor komoditas atau sektor manufaktur, atau membuat pilihan yang serupa antara pasar domestik dan pasar ekspor. Peningkatan produktivitas yang berkelanjutan memungkinkan di sektor manufaktur dan jasa. Hal ini juga memungkinkan di sektor komoditas di mana banyak hal yang memerlukan perbaikan di bidang teknologi. Negara-negara dengan sumber daya alam yang melimpah seperti Australia, Kanada, Finlandia, Swedia, dan AS pada awalnya mendasarkan pembangunan dan kemajuan teknologi mereka pada sumber daya alam. Pengalaman negara-negara ini memperlihatkan bahwa pengembangan produk yang digabungkan dengan pengejaran dan penerapan yang agresif atas keunggulan komparatif yang baru dengan melakukan investasi pada keterampilan, inovasi dan lembaga yang baik merupakan resep yang telah terbukti untuk pertumbuhan (De Ferranti dkk, 2002). Sektor pertambangan merupakan pemicu utama pertumbuhan dan industrialisasi di Australia dan Amerika Serikat selama lebih dari satu abad sedangkan sektor kehutanan merupakan pemicu di Finlandia dan Swedia. Sebenarnya, bahkan dewasa ini, semua negara tersebut terus mengekspor produk-produk berbasis sumber daya alam, bahkan setelah mereka mengembangkan kapasitas untuk memproduksi dan mengekspor produk-produk berteknologi tinggi (De Ferranti dkk, 2002).
Jika dibandingkan dengan beberapa negara Asia Timur yang lain, Indonesia belum mengandalkan ekspor sebagai mesin penggerak pertumbuhan pada taraf yang sama seperti mereka. Oleh karena itu, tidak perlu mengimbangi kembali sumber-sumber pertumbuhannya untuk mendukung sektor domestik. Indonesia mendapatkan surplus perdagangan yang tidak terlalu besar (US$20 milyar pada tahun 2009) dan tidak memberikan kontribusi yang signii kan kepada total surplus neraca transaksi berjalan dari negara-negara Asia Timur. Selama periode dari tahun 2003 sampai 2008, konsumsi domestik telah menjadi pendorong pertumbuhan yang jauh lebih penting daripada ekspor netto. Dalam hal ini, terdapat kontras yang menonjol dengan Cina (Gambar 7.11). Ekspansi konsumsi swasta mencapai sekitar 60 persen dari pertumbuhan PDB selama periode tersebut. Karena pertumbuhan sebagian besar disebabkan oleh konsumsi domestik maka dampak dari krisis keuangan berkurang dan Indonesia mempertahankan angka pertumbuhan yang relatif tinggi meskipun terjadi kemuduran global. Diperkirakan konsumsi akan tetap menjadi pendorong utama pertumbuhan PDB. Namun, sektor ekspor juga memberikan harapan. Pengimbangan kembali
Bab 7
Memanfaatkan Sebaik-baiknya Harga Komoditas yang Tinggi untuk Pembangunan Indonesia
(rebalancing) oleh Cina dari pertumbuhan berbasis investasi menjadi pertumbuhan berbasis konsumsi dapat membuka peluang bagi Indonesia untuk merebut pangsa pasar di sektor manufaktur dan memperoleh permintaan yang lebih besar atas ekspor barang konsumen.
Gambar 7.11: Kontribusi untuk pertumbuhan PDB rata-rata tahunan, 2003-08
Sumber: World Bank (2010) Indonesia Economic Quarterly Update: Building Momentum, April.
Sebagai negara dengan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia hendaknya dapat memanfaatkan sumber daya alamnya dan rejeki yang diperoleh dari pendapatan sumber daya. Namun, dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah, Indonesia tidak mungkin dapat mengandalkan komoditas saja. Potensi manfaat yang dapat diperoleh dari eksploitasi sumber daya alam terlalu besar untuk diabaikan. Pada saat yang sama, kegagalan untuk terus mengembangkan sektor manufaktur dapat menyebabkan konsentrasi spasial kegiatan ekonomi di pulau-pulau di luar Jawa. Indonesia juga dapat gagal untuk menciptakan kesempatan kerja yang cukup guna menyerap angkatan kerja yang berkembang dengan pesat, karena sektor sumber daya alam umumnya kurang bersifat padat karya dibandingkan dengan sektor manufaktur. Pertumbuhan yang didorong oleh sektor-sektor non-padat karya bisa gagal menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 2 juta pendatang baru dalam angkatan kerja setiap tahun. Tingkat pertumbuhan lapangan kerja yang tinggi dibutuhkan untuk menyediakan upaya yang lebih baik dan pekerjaan yang lebih stabil bagi pekerja Indonesia yang semakin berpendidikan dan terampil. Pengalaman pertumbuhan Indonesia sendiri di masa lampau memperlihatkan bahwa ekspansi sektor manufaktur dan jasa sangat penting untuk menyerap tenaga kerja Indonesia yang terus meningkat jumlahnya karena kedua sektor ini merupakan kontributor utama untuk pertumbuhan pendapatan tenaga kerja (lihat dekomposisi pertumbuhan dalam Gambar 7.12). Kontribusi sektor pertanian dan pertambangan untuk pertumbuhan pendapatan tenaga kerja kurang signii kan, kecuali sektor pertanian selama periode dari tahun 1981-90 dan 2000-07, ketika kontribusinya untuk pertumbuhan pendapatan tenaga kerja lebih besar daripada kontribusi sektor manufaktur, meskipun masih lebih rendah dibandingkan dengan sektor jasa. Di Jawa yang tenaga kerja-nya melimpah, pekerjaan yang memadai hanya dapat disediakan melalui pengembangan klaster-klaster padat karya yang berdaya saing secara global, yang juga akan memacu pertumbuhan dan mencapai cakupan ekonomi yang lebih besar.
Juga ada argumen ei siensi ekonomi: sebagai negara kepulauan dengan anugerah faktor yang sangat beragam, tidak masuk akal bagi Indonesia untuk berfokus hanya pada sektor manufaktur atau sektor komoditas saja. Sebaliknya, Indonesia perlu memanfaatkan sebaik- baiknya berbagai anugerah faktor tersebut di masing-masing pulau tersebut. Jawa mempunyai keunggulan komparatif yang kuat di sektor manufaktur yang padat karya sedangkan pulau-pulau di luar Jawa mempunyai keunggulan komparatif yang kuat di sektor komoditas. Keunggulan komparatif seperti ini di bidang produksi di berbagai pulau dapat mendukung pendayagunaan faktor-faktor produksi di seluruh Indonesia.
173
Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia
Bab 7 Memanfaatkan Sebaik-baiknya Harga Komoditas yang Tinggi untuk Pembangunan Indonesia
Gambar 7.12: Bahkan meskipun sektor primer memberikan kontribusi yang signii kan kepada pertumbuhan ekonomi Indonesia, sektor manufaktur dan jasa memberikan kontribusi terbesar kepada pertumbuhan pendapatan tenaga kerja
Kontribusi terhadap pendapatan tenaga kerja
dibobot dengan menggunakan intensitas tenaga kerja sektor
Sumber: Bab 6.
Akhirnya, ketergantungan yang berlebihan pada sektor komoditas dapat meningkatkan kerentanan Indonesia terhadap siklus naik-turun yang menjadi ciri dari komoditas dan dapat menyebabkan pertumbuhan tidak stabil. Kontribusi komoditas untuk angka pertumbuhan Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir sangat tidak stabil dibandingkan dengan kontribusi sektor jasa dan manufaktur. Sektor pertambangan dan energi telah memberikan kontribusi yang lebih signii kan kepada angka pertumbuhan dibandingkan dengan sektor pertanian, tetapi kedua sektor tersebut menyebabkan pertumbuhan sektor pertanian tidak stabil. Selama setengah dari periode antara tahun 1971 dan 2007, sektor pertambangan dan energi memberikan kontribusi yang jauh lebih signii kan kepada pertumbuhan PDB kontribusi daripada porsinya untuk PDB (11 persen dari PDB tahun 2007). Namun, untuk sebagian besar dari periode sisanya, kontribusinya untuk pertumbuhan PDB negatif (Gambar 7.13). Pertumbuhan yang didorong oleh sektor pertambangan dan energi umumnya mencerminkan harga pertambangan dan energi. Namun, hubungan ini melemah setelah krisis tahun 1997. Angka pertumbuhan dari sektor pertambangan dan energi jauh lebih rendah dibandingkan dengan angka pertumbuhan pada pertengahan tahun 1970an, meskipun pertumbuhan harganya tinggi. Seperti disebutkan sebelumnya, hal ini terutama mencerminkan respons penawaran yang lemah.61
Sektor pertanian juga dicirikan oleh pertumbuhan yang sangat tidak stabil. Sektor pertanian memberikan kontribusi yang kecil kepada pertumbuhan PDB selama sebagian besar dari tiga dasawarsa terakhir, meskipun adanya fakta bahwa sektor pertanian tetap memberikan kontribusi untuk sebagian besar PDB (sekitar 14 persen pada tahun 2007). Terkecuali pertengahan tahun 1970an dan 2007 (periode ketika harga pangan tinggi) dan pertengahan tahun 1980an (Revolusi Hijau Indonesia). Meskipun demikian, hanya pada pertengahan tahun 1980an kontribusi sektor pertanian untuk pertumbuhan PDB lebih besar daripada porsi PDB sektor ini (Gambar 7.13).