• Tidak ada hasil yang ditemukan

Minyak goreng

Dalam dokumen Perkembangan Pemicu dan Dampak Harga Kom (Halaman 122-125)

Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia, dan minyak sawit juga minyak yang paling luas dikonsumsi di pasar domestik. Pada tahun 2007, Indonesia memproduksi sekitar 16,8 juta ton minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), dan 12 juta ton di antaranya digunakan oleh pabrik penyulingan minyak domestik sedangkan sisanya diekspor. Sebagian besar CPO yang dikonsumsi di dalam negeri diproses menjadi minyak goreng. Secara rata-rata, rumah tangga Indonesia mengeluarkan 1,4 persen dari penghasilannya untuk minyak goreng. Minyak goreng juga merupakan input penting bagi pengusaha kecil warung makan dan restoran.

Harga minyak goreng di pasar domestik berkorelasi secara erat dengan harga CPO di pasar dunia sekalipun Indonesia merupakan produsen CPO terbesar. Pada bulan April 2007, harga CPO di pasar dunia naik 15 persen dalam sebulan. Selanjutnya, harga minyak goreng di Indonesia naik 23 persen selama tiga bulan berikutnya.

Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan dua mekanisme yang berbeda untuk menstabilkan harga minyak goreng domestik. Pertama, pemerintah berupaya membatasi ekspor CPO dengan mewajibkan pabrik-pabrik penyulingan minyak untuk menyisihkan sebagian CPO ke pasar domestik. Kewajiban ini disebut ‘kewajiban pemenuhan pasar domestik’ atau DMO. Pendekatan ini sulit untuk dilaksanakan dan menimbulkan biaya pengawasan yang tinggi. Pendekatan ini tidak berhasil mencapai tujuannya untuk menstabilkan harga minyak goreng di pasar domestik.

Karena tindakan ini tidak berhasil maka pemerintah memutuskan untuk menaikkan pajak ekspor atas CPO dari 1,5 persen menjadi 6,5 persen pada bulan Juni 2007. Pajak ekspor lebih mudah untuk dilaksanakan daripada sistem kewajiban pemenuhan pasar domestik. Pajak ekspor juga mempunyai keunggulan tambahan dengan menciptakan pendapatan bagi pemerintah yang dapat digunakan untuk memberikan kompensasi kepada petani kelapa sawit miskin dan konsumen minyak goreng miskin.

Tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia untuk menstabilkan harga minyak goreng di pasar domestik mempunyai beberapa kekurangan. Pertama, tindakan- tindakan tersebut bermanfaat bagi konsumen namun merugikan pabrik penyulingan minyak dan

107

Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia

Bab 5 Guncangan Harga Komoditas di Indonesia

petani. Kedua, karena Indonesia merupakan salah satu eksportir CPO terbesar ke pasar dunia, tindakan tersebut akhirnya dapat menyebabkan kenaikan harga CPO di pasar dunia. Jadi, masalah- masalah dasar yang awalnya ingin diselesaikan melalui tindakan tersebut justru bertambah buruk.

Pelaksanaan pajak ekspor tidak mempunyai dampak langsung terhadap stablisasi harga minyak goreng domestik. Pajak ekspor dikenakan pada input utama (CPO) produksi minyak goreng. Namun, dibutuhkan waktu agar pajak ekspor CPO mempengaruhi harga minyak goreng domestik karena produsen minyak goreng menjual persediaannya berdasarkan harga CPO yang telah ditetapkan sebelumnya (Gambar 5.11). Pada bulan Februari 2008, Pemerintah mengumumkan jadwal progresif pajak ekspor sebelum pajak tersebut dilaksanakan. Hal ini menyebabkan kenaikan harga CPO dan minyak goreng lebih lanjut karena produsen mendapatkan dorongan yang kuat untuk meningkatkan volume ekspornya sebelum pajak ekspor CPO tersebut dilaksanakan. Maka, pelajaran yang dipetik adalah pentingnya menerapkan tindakan dengan segera ketimbang mengumumkan tindakan tersebut sebelumnya.

Depresiasi rupiah terhadap dolar AS juga menjadi dorongan yang kuat bagi produsen CPO untuk meningkatkan volume ekspornya. Jadi, tindakan pajak ekspor CPO tersebut kurang efektif untuk menstabilkan harga minyak goreng domestik.

Gambar 5.11: Harga minyak goreng domestik distabilkan setelah kenaikan pajak ekspor CPO

Sumber: Perhitungan staf Bank dunia, DECPG, berdasarkan data dari BPS dan Kementerian Keuangan

Beras

Beras adalah makanan pokok utama di Indonesia. Produksi beras melibatkan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup banyak. Karena pentingnya makanan pokok ini bagi konsumen maupun mereka yang terlibat dalam produksi, stabilisasi pasar domestik untuk komoditas ini telah menjadi prioritas politik yang penting bagi pemerintah Indonesia sejak kemerdekaannya. Selama dasawarsa yang lalu, pemerintah telah mengadopsi berbagai tindakan untuk mewujudkan stabilisasi harga beras. Selama periode singkat tahun 1999 sampai 2004, pasar beras diliberalisasi. Namun, pada tahun 2004, pemerintah membalikkan kecenderungan ini dengan melarang impor dan ekspor beras.

Pembatasan impor dan ekspor beras berarti bahwa Indonesia tidak terlalu terpengaruh oleh lonjakan harga beras yang terjadi selama empat bulan pada tahun 2008. Dengan adanya pembatasan impor dan ekspor beras oleh pemerintah Indonesia maka pasar domestik sama sekali tidak dipengaruhi oleh guncangan harga internasional setelah pembatasan ekspor ditetapkan oleh India dan Vietnam pada tahun 2008. Pada bulan Mei 2008, harga rata-rata beras Vietnam mencapai tingkat terbaik bulanan sebesar US$863/ton. Dalam periode yang sama, di Indonesia, harga beras di pasar domestik berada di kisaran US$616/ton (Gambar 5.12). Pembatasan ini melindungi konsumen Indonesia dari guncangan harga yang dapat menyebabkan kerugian besar bagi rakyat miskin selama periode 4 bulan tersebut.

Bab 5

Guncangan Harga Komoditas di Indonesia

Gambar 5.12: Pembatasan perdagangan memicu kepanikan di pasar beras dunia

Source : USDA, FAO, PIBC, World Bank staf calculations.

Meskipun demikian, secara umum dan dalam jangka panjang, pembatasan ini merugikan konsumen. Secara khusus, dari tahun 2005 sampai akhir tahun 2007, harga domestik rata-rata US$232 lebih tinggi daripada harga internasional. Demikian pula, simulasi Bank Dunia baru-baru ini (2009) memperkirakan bahwa jika pembatasan impor diterapkan untuk mencapai swasembada selama tahun 2000- 2005 guna meningkatkan harga domestik yang mendorong produksi tambahan, maka konsumen Indonesia harus membayar biaya tambahan sebesar US$3,8 milyar32 (Tabel 5.5).

Pemerintah untuk sementara waktu telah memperluas program bantuan beras untuk meringankan beban rakyat miskin akibat kenaikan harga-harga komoditas. Program ini dilaksanakan dengan menyediakan 15 kg beras bersubsidi per bulan kepada rumah tangga miskin selama 9 bulan mulai bulan Februari 2008.

Tabel 5.4: Meningkatkan swasembada beras bisa lebih mahal daripada mengandalkan impor

Biaya konsumsi beras

Produksi Konsumsi Impor Strategi

Impor Swasembada

(juta metrik ton) (US$ milyar)

Cina 123,2 133,8 10,6 28,8 43,2 Indonesia 33,8 36,1 2,3 7,8 11,6 Nigeria 2,2 3,7 1,6 0,8 1,2 Iran 1,6 2,9 1,3 0,6 0,9 Irak 0,1 1,1 1,0 0,2 0,4 Uni Eropa 1,7 2,6 0,9 0,6 0,8 Filipina 8,7 9,6 0,9 2,1 3,1 Bangladesh 25,3 26,0 0,8 5,6 8,4 Senegal 0,1 0,9 0,7 0,2 0,3 Pantai Gading 0,5 1,2 0,7 0,3 0,4 Total 197,2 217,9 20,7 46,8 70,3

Sumber: Bank Dunia (2009).

32 Simulasi ini dilaksanakan berdasarkan asumsi bahwa untuk meningkatkan output beras domestik sebesar 10 persen, suatu negara harus menaikkan harga domestik sebesar 50 persen.

109

Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia

Bab 5 Guncangan Harga Komoditas di Indonesia

Dalam dokumen Perkembangan Pemicu dan Dampak Harga Kom (Halaman 122-125)

Dokumen terkait