• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simulasi CGE jangka pendek

Dalam dokumen Perkembangan Pemicu dan Dampak Harga Kom (Halaman 99-105)

Hasil ekonomi makro dan sektoral dari keenam rangkaian simulasi jangka pendek diringkaskan dalam Tabel 4.2. Tingkat konsumsi riil rumah tangga meningkat dalam setiap kasus, meskipun perubahan PDB nyata tidak terlalu besar. Alasan rendahnya tingkat perubahan ini adalah karena PDB riil diukur dengan harga periode dasar. Ketika harga internasional berubah, nilai tukar perdagangan (terms of trade) yang lebih menguntungkan tidak dimasukkan dalam menghitung nilai output nasional, yang diukur sebagai PDB riil. Meskipun PDB riil mungkin masih belum berubah, perbaikan nilai tukar perdagangan berarti bahwa tingkat konsumsi domestik dapat lebih tinggi tanpa adanya perubahan neraca transaksi berjalan. Maka, konsumsi riil rumah tangga merupakan indikator kesejahteraan yang jauh lebih baik daripada PDB riil ketika nilai tukar eksternal (external terms of trade) menjadi sumber guncangan. Patut diperhatikan bahwa peningkatan terbesar pada konsumsi riil agregat disebabkan oleh kenaikan harga komoditas pertambangan (Simulasi SR-3). Hal ini juga terjadi ketika terdapat peningkatan kuantitatif terbesar pada nilai tukar perdagangan.

Dampak jangka pendek dari kenaikan harga internasional terhadap output berbeda-beda di antara produk-produk. Kenaikan harga energi menghasilkan ekspansi output gas bumi yang tidak terlalu besar (Simulasi SR-1) dan kenaikan harga produk pertambangan mendorong output sektor pertambangan yang lebih luas (Simulasi SR-3). Tetapi kenaikan harga komoditas pertanian tidak menghasilkan output beras bahkan meskipun harga beras internasional meningkat nyata sekitar dua kali lipat (Simulasi SR-2). Sedangkan output komoditas pertanian lain merespons kenaikan harga. Reaksi yang berbeda ini disebabkan oleh adanya larangan perdagangan beras, terutama larangan atas ekspor, untuk melindungi pasar beras domestik dari pengaruh kenaikan harga internasional. Dengan kata lain, tidak ada transmisi perubahan harga internasional kepada pasar beras domestik.

Perubahan jangka pendek yang dilaporkan pada lapangan pekerjaan menurut sektor (Tabel 3.10 pada Lampiran III) melampaui perubahan output yang dilaporkan. Alasannya adalah sebagai berikut. Semua sektor diasumsikan mempunyai teknologi skala hasil konstan (constant returns to scale technology). Dalam simulasi jangka pendek tersebut, stok modal ditetapkan. Ini berarti bahwa untuk mencapai ekspansi output, ekspansi proporsional lapangan pekerjaan harus melampaui ekspansi output untuk mengkompensasi kestabilan modal. Ini berlaku sebaliknya jika output menyusut. Penyusutan proporsional lapangan pekerjaan harus melampaui penyusutan proporsional output karena stok modal tidak dapat menyusut.

Bab 4

Dampak Harga Komoditas Terhadap Perekonomian Indonesia

Tabel 4.2: Hasil ekonomi makro jangka pendek

SR-1: Kenaikan harga internasional jangka pendek di sektor energi (komoditas 1 sampai 3). SR-2: Kenaikan harga internasional jangka pendek di sektor pertanian (komoditas 4 sampai 22). SR-3: Kenaikan harga internasional jangka pendek di sektor pertambangan (komoditas 23 sampai 28).

SR-4: Kenaikan harga internasional jangka pendek pada semua komoditas di atas (1 sampai 28) = SR-1 + SR-2 + SR-3

SR-5: kenaikan 98% pada harga komoditas perdagangan (komoditas 23 sampai 28) SR-6: Simulasi SR-4 ditambah Simulasi SR-5, bersama-sama.

SR-1 SR-2 SR-3 SR-4 SR-5 SR-6

Konsumsi riil rumah tangga 0,64 2,26 7,08 9,89 5,52 15,37

PDB riil dari sisi pengeluaran -0,23 0,09 0,22 0,08 0,16 0,24

Indeks volume ekspor 0,27 -1,90 -5,79 -7,21 -4,66 -11,74

Indeks volume impor, bobot lunas

bea (duty-paid) 2,61 2,27 8,10 13,08 6,18 19,31

Neraca perdagangan – valuta asing

(perubahan) 0* 0* 0* 0* 0* 0*

Neraca transaksi berjalan – valuta

asing (perubahan) 0* 0* 0* 0* 0* 0*

Arus masuk modal – valuta asing

(perubahan) 1146 2149 1663 4911 1341 6244

Nilai tukar perdagangan -0,28 3,23 12,18 14,99 9,44 24,34

Devaluasi riil 7,90 -4,44 -10,14 -6,50 -7,53 -13,92

Upah petani nominal rata-rata -0,94 24,06 15,88 38,63 12,27 50,68

Upah operator nominal rata-rata 11,05 7,14 6,75 24,72 5,93 30,53

Upah administrator nominal rata-

rata 0,89 2,43 7,10 10,33 5,41 15,68

Upah profesional nominal rata-rata 3,07 2,06 7,23 12,28 5,61 17,85

Hasil dari modal tetap – pertanian -1,95 20,68 15,94 34,30 12,26 46,34

Hasil dari modal tetap – non-

pertanian 15,11 3,60 10,80 29,40 8,46 37,80

Sewa modal rata-rata 14,71 4,00 10,92 29,52 8,55 38,00

Indeks harga konsumen 1,86 7,72 7,43 16,83 5,84 22,56

Indeks harga PDB, sisi pengeluaran 2,41 6,90 10,48 19,60 8,24 27,73

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia

Dampak jangka pendek agregat dari kenaikan harga komoditas (SR-4) adalah pertumbuhan yang mengesankan di semua daerah kecuali DKI Jakarta, di mana produk domestik regional bruto (PDRB) turun 17 persen (Tabel 4.4). Kenaikan harga energi (SR-1) meningkatkan PDRB di sebagian besar provinsi di Indonesia, kecuali DKI Jakarta, Banten dan Bali, di mana PDRB mengalami penurunan. Sebagai daerah produsen minyak utama di Indonesia, dampak positif tertinggi tercatat dialami Kalimantan Timur, yang diikuti oleh Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Jawa Tengah (Jateng), dan Sumatera Selatan (Sumsel). Kenaikan harga komoditas pertanian meningkatkan PDRB di

85

Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia

Bab 4 Dampak Harga Komoditas Terhadap Perekonomian Indonesia

kebanyakan provinsi mengingat kebanyakan provinsi merupakan produsen komoditas pertanian netto. Namun, kenaikan harga komoditas pertanian menurunkan PDRB DKI Jakarta dan Kalimantan Timur (Kaltim). DKI Jakarta adalah konsumen netto komoditas pertanian dan perekonomiannya terutama didominasi oleh sektor manufaktur dan jasa. Di pihak lain, sektor-sektor utama di Kalimantan Timur adalah sektor pertambangan dan minyak mentah. Kenaikan harga komoditas pertambangan menyebabkan peningkatan PDRB provinsi-provinsi yang memiliki sumber daya pertambangan yang melimpah seperti Sumatera Barat (Sumbar), Bengkulu, Kalimantan Barat (Kalbar), Sulawesi Tenggara (Sultra), dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

Tabel 4.3: Hasil jangka pendek: Output regional (PDRB)

SR-1 SR-2 SR-3 SR-4 SR-5 SR-6 NAD 42,2 9,7 10,3 61,8 8,1 69,6 Sumut 3,5 29,5 28,3 60,6 21,8 82,0 Sumbar 3,3 28,1 28,3 59,4 22,4 81,6 Riau 2,2 6,1 3,0 11,3 2,4 13,6 Jambi 2,2 17,1 12,9 32,0 10,1 41,9 Sumsel 16,0 23,8 26,9 66,2 21,3 87,2 Babel 0,1 4,0 7,1 11,1 6,2 17,2 Bengkulu 4,9 51,3 52,6 106,4 41,3 146,2 Lampung 3,3 34,5 31,9 69,4 25,0 94,1 DKI Jakarta -2,6 -6,4 -8,5 -17,4 -6,9 -24,2 Jabar 4,7 14,3 15,0 33,5 11,5 44,6 Banten -0,2 2,5 2,7 4,9 1,8 6,7 Jateng 26,6 20,0 21,8 67,6 17,1 84,2 DIY 5,2 20,2 32,4 57,0 25,2 81,7 Jatim 3,4 25,4 24,8 52,8 19,4 71,7 Kalbar 1,2 23,7 21,0 45,3 16,4 61,2 Kalteng 0,8 31,2 20,3 51,7 15,8 67,2 Kalsel 1,1 12,2 18,2 31,0 14,9 45,6 Kaltim 44,3 -3,0 1,8 43,2 1,8 45,0 Sulut 2,7 16,1 19,9 38,6 16,2 54,6 Gorontalo 3,0 21,6 23,6 47,4 18,4 65,3 Sulteng 2,4 41,7 31,7 75,5 24,8 100,1 Sulsel 1,1 18,3 16,0 35,2 13,0 48,1 Sultra 3,4 31,0 32,9 65,8 25,9 90,9 Bali -1,5 6,1 4,6 8,8 3,5 12,2 NTB 0,7 6,5 18,3 25,4 15,5 40,8 NTT 1,9 19,2 19,8 40,1 15,5 55,0 Maluku 2,1 20,2 20,9 42,1 16,2 57,7 Malut 0,8 29,0 27,7 55,8 21,9 76,7 Papua 3,7 8,1 8,3 19,8 6,7 26,3

Bab 4

Dampak Harga Komoditas Terhadap Perekonomian Indonesia

Ketika harga komoditas di pasar internasional berubah, harga domestik biasanya terpengaruh, yang disertai dengan respons ekonomi domestik terhadap penawaran dan permintaan barang dan jasa. Namun, respons harga domestik terhadap perubahan harga internasional biasanya bukan satu komoditas untuk satu komoditas. Untuk komoditas tertentu, perubahan persentase harga produsen domestik dibandingkan dengan perubahan persentase harga internasional disebut sebuah rasio transmisi. Besarnya rasio ini dapat berbeda-beda dari satu komoditas ke komoditas lain. Untuk komoditas impor, besarnya rasio bergantung pada elastisitas Armington untuk substitusi konsumsi antara barang impor dan produksi domestik dari jenis yang sama dan besarnya respons penawaran domestik. Besarnya rasio juga bergantung pada kebijakan. Jika barang bersangkutan terkena kuota atau larangan impor, seperti dalam hal beras di Indonesia, rasio transmisi mungkin nol atau mendekati nol.

Tabel 3.11 dalam Lampiran III memperlihatkan estimasi rasio transmisi sesuai dengan simulasi SR-4. Rasio transmisi adalah rasio harga internasional dari komoditas bersangkutan terhadap harga produsen riil dari komoditas bersangkutan, dengan menggunakan harga produsen sebagai ukuran harga domestik. Semua estimasi rasio transmisi terletak antara nol dan satu. Dalam hal beras, estimasi rasionya adalah mendekati nol, seperti yang diharapkan. Larangan atas impor berarti bahwa ketika harga internasional berubah, harga produsen domestik riil hampir tidak terpengaruh.

Sebagai dasar perhitungan dampak perubahan harga komoditas terhadap insiden kemiskinan, Tabel 3.12 dalam Lampiran III memperlihatkan perubahan pada hasil faktor riil (real factor returns), dengan menggunakan indeks harga konsumen sebagai del ator. Hasil tersebut dihitung dari hasil ekonomi makro yang diringkas dalam Tabel 4.2. Perubahan harga energi jangka pendek (SR-1) mengurangi hasil tenaga kerja petani dan tenaga kerja administrator. Kenaikan harga energi menyebabkan devaluasi riil (kenaikan harga barang yang diperdagangkan dibandingkan dengan barang dan jasa yang tidak diperdagangkan). Penurunan upah administrator berasal dari devaluasi riil ini. Nilai riil upah petani dan upah administrator menurun dalam simulasi ini. Namun, terdapat peningkatan yang signii kan pada hasil modal pertanian dan non-pertanian. Kenaikan harga komoditas pertanian (SR-2) menghasilkan dampak sebaliknya. Kenaikan harga komoditas pertanian meningkatkan hasil riil dari tenaga kerja petani, modal dan lahan pertanian, dan mengurangi hasil riil dari faktor-faktor non-pertanian. Kenaikan harga komoditas pertambangan meningkatkan hasil riil dari faktor-faktor pertanian serta meningkatkan hasil modal secara umum. Dampak perbaikan lingkungan investasi pertambangan terhadap harga faktor yang diestimasi (SR-5) secara kualitatif serupa dengan dampak ini.

Tabel 3.13 dalam Lampiran III menyajikan estimasi dampak dari keenam kelompok guncangan terhadap konsumsi riil rata-rata untuk masing-masing dari ke-10 kelompok sosial ekonomi. Dampak ini konsisten dengan perubahan harga faktor yang diringkaskan di atas. Kenaikan harga energi (SR-1) menyebabkan penurunan yang signii kan pada konsumsi dalam kategori rumah tangga pedesaan. Kenaikan harga komoditas pertanian (SR-2) meningkatkan konsumsi riil secara signii kan pada kelompok-kelompok sosial ekonomi pedesaan, dengan hanya sedikit dampak positif atau negatif terhadap rumah tangga perkotaan.

Dalam memahami hasil-hasil tersebut, penting untuk mengingat bahwa, karena adanya kebijakan impor beras Indonesia, harga konsumen untuk beras hampir tidak dipengaruhi oleh kenaikan harga beras internasional. Agak mengejutkan, kenaikan harga di sektor pertambangan mendatangkan keuntungan bagi kesepuluh kelompok sosial ekonomi. Meskipun kenaikan harga di sektor energi (SR-1) dan sektor pertanian (SR-2) masing-masing menimbulkan dampak negatif terhadap konsumsi riil rata-rata kesepuluh kelompok sosial ekonomi tersebut, dampak gabungan dari ketiga kelompok kenaikan harga (SR-4) meningkatkan konsumsi riil rata-rata untuk kesepuluh kategori, seperti halnya perbaikan lingkungan investasi di sektor pertambangan.

87

Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia

Bab 4 Dampak Harga Komoditas Terhadap Perekonomian Indonesia

Metode yang digunakan untuk memperkirakan perubahan insiden kemiskinan diilustrasikan dalam Gambar 3.1 dan Gambar 3.2 dalam Lampiran III. Titik awalnya adalah distribusi pengeluaran riil ke seluruh 100 subkategori sentil dalam masing-masing dari ke-10 kelompok sosial ekonomi yang dirangkum di atas. Data yang diperlihatkan dalam Tabel 4.2 dan dibahas di atas adalah rata- rata dari ke-100 subkategori tersebut. Namun, untuk menganalisis angka insiden kemiskinan, data yang terperinci dibutuhkan. Lampiran Gambar 3.1 memperlihatkan distribusi pengeluaran ex-ante, atau awal, untuk kelompok sosial ekonomi ‘Pedesaan 4’ (petani yang memiliki lahan lebih dari satu hektar), beserta distribusi pengeluaran baru yang disimulasikan yang berasal dari Simulasi SR-4. Jadi, kedua kurva tersebut memperlihatkan distribusi pengeluaran kumulatif per orang sebelum dan sesudah guncangan. Untuk setiap tingkat pengeluaran (sumbu horisontal), setiap kurva pada sumbu vertikal memperlihatkan proporsi penduduk dengan pengeluaran kurang dari atau sama dengan jumlah tersebut. Untuk setiap garis kemiskinan, insiden kemiskinan dapat dibaca sebagai nilai persimpangan vertikal antara garis kemiskinan (sumbu horisontal) dan distribusi kumulatif.

Angka insiden kemiskinan awal untuk kelompok sosial ekonomi ini adalah 25,2 persen. Simulasi SR-4 menggeser distribusi ke garis yang bertanda ‘baru tanpa transfer (tanpa bantuan langsung tunai)’. Pergeseran ini menggambarkan perubahan distribusi pengeluaran riil, yang diukur dengan harga tahun 2005, sehingga insiden kemiskinan dapat dibaca dengan menggunakan garis kemiskinan yang sama seperti sebelumnya. Garis kemiskinan berhubungan dengan pengeluaran yang diukur dalam satuan daya beli konstan – yaitu, pengeluaran riil. Angka insiden kemiskinan turun menjadi 16,3 persen, penurunan 8,9 persen penduduk dari kelompok sosial ekonomi bersangkutan. Menurut hasil simulasi, distribusi kumulatif keseluruhan bergeser ke kanan, meskipun tidak secara seragam, yang menunjukkan bahwa insiden kemiskinan menurun untuk setiap garis kemiskinan yang mungkin telah dipilih. Oleh karena itu, kesimpulan bahwa insiden kemiskinan mengalami penurunan untuk kelompok sosial ekonomi ini tidak bergantung pada garis kemiskinan tertentu yang dipilih, meskipun besarnya penurunan akan dipengaruhi sampai taraf tertentu oleh pilihan garis kemiskinan.

Jelas, simulasi serupa dapat dilakukan untuk masing-masing dari kesembilan kelompok sosial ekonomi lainnya. Hasil simulasi untuk masing-masing kelompok tersebut pada masing-masing dari keenam simulasi dirangkum dalam Tabel 3.14 dalam Lampiran III. Dampak dari kenaikan yang diamati pada harga energi (simulasi SR-1) adalah berkurangnya insiden kemiskinan untuk semua kelompok kecuali Pedesaan 1, Pedesaan 2 dan Pedesaan 7, sedangkan insiden kemiskinan pada kelompok Pedesaan 5 tetap tidak berubah. Tabel 3.3 dalam Lampiran III memperlihatkan bahwa keempat kelompok ini bergantung bukan hanya pada upah petani, tetapi juga, yang mengejutkan, pada upah administrator. Sumber pendapatan ini berasal dari anggota rumah tangga yang tinggal di daerah perkotaan dan terutama bekerja di sektor jasa. Kenaikan harga energi menyebabkan devaluasi riil, seperti diuraikan di atas. Nilai riil dari upah petani maupun upah administrator mengalami penurunan. Hal ini, serta tidak adanya dampak signii kan yang dapat menutupinya (of setting ef ects), menjadi berdampak pada angka insiden kemiskinan dalam kelompok-kelompok tersebut.

Untuk Simulasi SR-2 sampai SR-6, insiden kemiskinan mengalami penurunan pada semua kelompok sosial ekonomi. Kenaikan harga pangan internasional (Simulasi SR-2) mengurangi angka insiden kemiskinan pada semua kelompok pedesaan namun kelompok perkotaan hampir tidak terpengaruh. Meskipun harga nominal sebagian besar jenis makanan mengalami kenaikan, Lampiran Tabel 3.12 memperlihatkan bahwa upah riil petani juga mengalami kenaikan tetapi upah riil operator hampir tidak berubah, di mana kenaikan nominalnya hampir sama dengan kenaikan dalam indeks harga konsumen (CPI). Akibatnya, insiden kemiskinan pedesaan mengalami penurunan yang signii kan tetapi insiden kemiskinan perkotaan hanya mengalami sedikit penurunan. Pada semua simulasi lain, SR-3 sampai SR-5, insiden kemiskinan mengalami penurunan pada semua kelompok sosial ekonomi. Penurunan mutlak pada kemiskinan pedesaan adalah yang terbesar dalam setiap

Bab 4

Dampak Harga Komoditas Terhadap Perekonomian Indonesia

kasus. Peningkatan hasil riil dari modal, termasuk modal sektor pertanian dan non-pertanian, seperti ditunjukkan dalam Tabel 4.2, serta pentingnya kepemilikan modal untuk semua kategori rumah tangga, seperti ditunjukkan dalam Lampiran Tabel 3.3, sangat penting bagi hasil simulasi ini.

Seperti dikemukakan sebelumnya, harga minyak bumi disubsidi di tingkat konsumen selama periode dari tahun 2005 sampai 2008 dan hanya sebagian dari kenaikan harga minyak bumi internasional diteruskan kepada konsumen. Pemerintah melaksanakan program bantuan langsung tunai (transfer) untuk memberikan kompensasi kepada konsumen miskin atas kenaikan harga nominal BBM. Besarnya dana bantuan ini telah dibahas sebelumnya. Tabel 4.4 menggambarkan bagaimana dana bantuan tersebut mempengaruhi insiden kemiskinan. Tabel tersebut memperlihatkan hal ini untuk kelompok sosial ekonomi yang sama yang digambarkan dalam Gambar 3.2, Pedesaan 4, serta menguraikan hasil dari simulasi SR-4T.

Tabel 4.4: Hasil jangka pendek – insiden kemiskinan, dengan program bantuan langsung

(transfer) Kategori Pangsa penduduk Insiden kemiskinan awal SR-1T SR-2T SR-3T SR-4T SR-5T SR- 6T

Insiden kemiskinan (simulasi) baru

Pedesaan 1 13,46 21,2 18,2 10,1 9,0 9,2 9,2 8,0 Pedesaan 2 17,70 23,1 15,1 10,1 9,2 8,2 10,0 7,1 Pedesaan 3 6,62 30,1 17,0 15,1 14,0 11,2 14,2 10,0 Pedesaan 4 4,61 25,2 12,0 14,1 11,1 8,2 12,0 7,1 Pedesaan 5 15,77 15,1 9,0 8,0 5,1 5,0 5,2 4,0 Pedesaan 6 4,76 20,1 8,1 8,1 7,1 5,1 7,1 4,1 Pedesaan 7 6,89 7,2 5,1 2,1 2,0 1,2 2,1 1,0 Perkotaan 1 15,98 15,0 8,2 10,1 7,2 6,2 8,1 5,2 Perkotaan 2 5,37 13,0 7,1 7,1 6,0 5,2 6,1 5,0 Perkotaan 3 8,84 5,0 2,2 2,2 2,0 2,0 2,1 1,1 Pedesaan 70,00 20,0 12,8 9,4 7,9 7,0 8,3 6,0 Perkotaan 30,00 11,7 6,3 7,3 5,5 4,8 6,0 4,0 Nasional 100 16,0 9,3 7,3 5,7 4,9 6,1 3,9

Simulasi perubahan insiden kemiskinan

Pedesaan 1 -3,0 -11,1 -12,2 -12,0 -12,0 -13,2 Pedesaan 2 -8,0 -13,0 -13,9 -14,9 -13,1 -16,0 Pedesaan 3 -13,1 -15,0 -16,1 -18,9 -15,9 -20,1 Pedesaan 4 -13,2 -11,1 -14,1 -17,0 -13,2 -18,1 Pedesaan 5 -6,1 -7,1 -10,0 -10,1 -9,9 -11,1 Pedesaan 6 -12,0 -12,0 -13,0 -15,0 -13,0 -16,0 Pedesaan 7 -2,1 -5,1 -5,2 -6,0 -5,1 -6,2 Perkotaan 1 -6,8 -4,9 -7,8 -8,8 -6,9 -9,8 Perkotaan 2 -5,9 -5,9 -7,0 -7,8 -6,9 -8,0 Perkotaan 3 -2,8 -2,8 -3,0 -3,0 -2,9 -3,9 Pedesaan -7,2 -10,6 -12,1 -13,0 -11,7 -14,0 Perkotaan -5,4 -4,4 -6,2 -6,9 -5,7 -7,7 Nasional -6,7 -8,7 -10,3 -11,1 -9,9 -12,1

89

Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia

Bab 4 Dampak Harga Komoditas Terhadap Perekonomian Indonesia

Distribusi pengeluaran riil yang dihitung bergeser ke garis putus-putus yang ditandai dengan ‘Baru dengan transfer’. Terdapat lekukan di tingkat insiden kemiskinan awal (25,2 persen) karena semua rumah tangga yang berada di bawah garis kemiskinan menerima transfer netto positif dan semua rumah tangga yang berada di atas garis kemiskinan menerima transfer netto negatif berupa beban pajak tambahan. Insiden kemiskinan yang disimulasikan menurun secara mencolok menjadi 8,2 persen. Bantuan langsung tunai merupakan redistribusi penghasilan yang sangat besar, sebagaimana diperlihatkan oleh Tabel 4.4. Dampak gabungan dari perubahan harga internasional dan bantuan langsung (transfer) tunai adalah penurunan yang mencolok pada insiden kemiskinan di semua kelompok sosial ekonomi.

Dalam dokumen Perkembangan Pemicu dan Dampak Harga Kom (Halaman 99-105)

Dokumen terkait