Memanfaatkan Sebaik-baiknya Harga Komoditas yang Tingg
7.3 Pembangunan Berbasis Komoditas: Tantangan dan Peluang
Ada tiga tantangan utama bagi pembangunan berbasis komoditas, sebagai berikut:
(a) Ketidakstabilan harga yang melekat pada komoditas;
(b) Dampak terhadap masalah pemerintahan yang ditimbulkan oleh kontribusi untuk pendapatan pemerintah; dan
(c) Dampak negatif terhadap sektor manufaktur (‘penyakit Belanda’).
Ketidakstabilan harga komoditas: Negara-negara yang sangat bergantung pada ekspor komoditas cenderung mengalami ketidakstabilan yang relatif tinggi pada pendapatan ekspor, nilai kurs dan PDB karena hal-hal ini sensitif terhadap ketidakstabilan harga komoditas
(Gambar 7.1). Di tingkat ekonomi mikro, ketidakstabilan harga komoditas memperbesar risiko berkurangnya investasi perusahaan dan meningkatkan kerentanan rumah tangga miskin.Dampak yang ditimbulkan terhadap rumah tangga miskin bermacam-macam sesuai dengan komoditas yang dikelola. Ketidakstabilan harga pangan mempengaruhi produsen dan pengolah makanan maupun konsumen pangan netto. Ketidakstabilan harga energi merugikan perusahaan-perusahaan
50 Data Bank Dunia dan COMTRADE 2007
51 Analisis ekonometrik dalam Dokumen (Paper) 3 memperlihatkan bahwa pasar pangan domestik untuk jagung, beras, kedelai, gula dan minyak goreng terintegrasi dengan pasar dunia. Meskipun terjadi perbedaan (divergensi) ketika membandingkan perubahan bulanan pada harga dunia dan domestik, harga dunia dan domestik bergerak secara erat bersama-sama bila ditinjau untuk jangka waktu yang lebih lama. Kelima pasar komoditas tersebut merespons harga dunia dengan kecepatan yang berbeda-beda tetapi, secara rata-rata, selama sekitar setahun, kenaikan satu persen pada harga dunia mengakibatkan kenaikan satu persen pada harga domestik. Kecepatan transmisi guncangan harga internasional kepada perekonomian domestik juga berbeda-beda dari provinsi ke provinsi, di mana provinsi yang mengimpor produk dan provinsi yang terletak di kawasan sentral lebih cepat menyesuaikan diri dengn guncangan harga internasional. Maka, dampak dari guncangan harga internasional terhadap perekonomian terjadi bukan hanya melalui perubahan harga dan volume ekspor dan impor melainkan juga melalui perubahan produksi domestik yang disebabkan oleh perubahan harga domestik. Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa dampak ekonomi tidak homogen di seluruh Indonesia karena tingkat integrasi antar provinsi berbeda-beda. Kecepatan dan besarnya perubahan harga di provinsi terpencil umumnya akan lebih lambat dan lebih kecil daripada di daerah-daerah lain.
Bab 7
Memanfaatkan Sebaik-baiknya Harga Komoditas yang Tinggi untuk Pembangunan Indonesia
yang banyak menggunakan energi dan konsumen secara umum. Ketidakstabilan harga mineral dan logam mempengaruhi sebagian besar produsen dan pekerja di sektor tersebut, dari segi upah maupun prospek lapangan pekerjaan, tetapi mempunyai dampak langsung yang tidak terlalu besar terhadap konsumen.
Gambar 7.1: Dampak dari guncangan hebat terhadap kemajuan ekonomi
Perekonomian yang bergantung pada komoditi primer mengalami ketidakstabilan yang lebih parah
Standar deviasi dari perubahan persentase
Sumber: Bank Dunia (2008).
Catatan: Ketidakstabilan didei nisikan sebagai deviasi standar perubahan persentase dari waktu ke waktu (data tahunan). Konsentrasi komoditas yang diukur pada tahun 1980 tidak termasuk negara-negara dengan jumlah penduduk kurang dari satu juta jiwa.
Dampak terhadap masalah pemerintahan: Secara umum, sektor komoditas memberikan kontribusi langsung yang relatif tinggi kepada pendapatan pemerintah melalui rente dan royalti. Rente dan royalti kurang diteliti dibandingkan dengan pajak sehingga lebih besar kemungkinannya digunakan untuk keperluan politik atau patronase yang melemahkan tata kelola pemerintahan suatu negara.
Hubungan antara eksploitasi sumber daya alam dan kemunduran sektor manufaktur:Pada tahun 1977, The Economist mencetuskan ungkapan ‘penyakit Belanda’ untuk menggambarkan kemunduran sektor manufaktur di Belanda setelah ditemukannya ladang gas bumi yang besar pada tahun 1959, yang menghasilkan kemitraan publik-swasta terbesar di dunia antara dua perusahaan penambangan dan pemerintah pada tahun 1963. Sindrom ini juga mempengaruhi negara-negara yang kaya akan minyak pada tahun 1970an, ketika terjadi peningkatan nilai ekspor minyak akibat melonjaknya harga minyak. Contoh lain adalah, pada akhir tahun 1970an, Kolombia mengalami peningkatan nilai ekspor kopi. Selama periode tersebut, sektor ekspor tradisional di Kolombia mengalam kemunduran (Ebrahim-Zadeh, 2003).
Ungkapan ‘penyakit Belanda’ menggambarkan suatu fenomena di mana peningkatan pendapatan dari sumber daya alam meningkatkan kekayaan di negara tersebut yang memicu kenaikan nilai tukar riil dan mengalihkan faktor-faktor produksi dari sektor non- sumber daya alam yang dapat diperdagangkan kepada sektor sumber daya alam yang dapat diperdagangkan dan sektor yang tidak dapat diperdagangkan. Hasil akhirnya adalah bahwa sektor non-sumber daya alam yang dapat diperdagangkan menjadi kurang kompetitif dan menyusut
159
Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia
Bab 7 Memanfaatkan Sebaik-baiknya Harga Komoditas yang Tinggi untuk Pembangunan Indonesia
ketika sektor yang tidak dapat diperdagangkan dan sektor sumber daya yang dapat diperdagangkan berkembang. Meskipun fenomena ini paling sering berkaitan dengan penemuan sumber daya alam, fenomena ini juga dapat disebabkan oleh suatu perkembangan yang menimbulkan arus masuk mata uang asing dalam jumlah besar, seperti lonjakan harga sumber daya alam, bantuan donor dan investasi asing langsung (Ebrahim-Zadeh, 2003).
Peningkatan ekspor berbasis sumber daya alam dapat menyebabkan sektor non-sumber daya alam yang dapat diperdagangkan menjadi kurang kompetitif karena dua alasan, yaitu:
(a) ‘efek belanja’ akibat dari peningkatan kekayaan (Ebrahim-Zadeh, 2003); dan
(b) ‘efek pergerakan sumber daya alam’ akibat faktor-faktor produksi yang dialihkan ke sektor berbasis sumber daya.
Efek belanja: Lonjakan ekspor berbasis sumber daya alam mendatangkan devisa sehingga menimbulkan apresiasi terhadap nilai tukar. Pada awalnya, lonjakan ekspor berbasis sumber daya alam meningkatkan penghasilan perusahaan yang berbasis pada sumber daya alam dan pendapatan pemerintah, baik secara langsung jika yang beroperasi di sektor ini adalah perusahaan negara, maupun secara tidak langsung, melalui pajak. Efek kekayaan ini menyebabkan peningkatan konsumsi domestik, yang dapat menimbulkan apresiasi riil terhadap nilai tukar karena salah satu dari dua alasan berikut:
(a) Jika nilai tukar nominal ditetapkan oleh bank sentral maka konversi sebagian dari mata uang asing menjadi mata uang lokal untuk membeli barang-barang domestik yang tidak diperdagangkan akan meningkatkan persediaan uang (money supply) di negara tersebut yang, jika disertai dengan peningkatan konsumsi domestik, akan memicu kenaikan inl asi sehingga menyebabkan nilai tukar riil terapresiasi; dan
(b) Jika nilai tukar l eksibel maka peningkatan persediaan mata uang asing dapat memicu kenaikan nilai mata uang domestik yang menyebabkan kenaikan nilai tukar nominal. Akhirnya, ini menyebabkan apresiasi nilai tukar riil.
Apresiasi nilai tukar riil melemahkan daya saing ekspor negara bersangkutan, sehingga menyebabkan sektor non-sumber daya alam yang dapat diperdagangkan menyusut.
Efek pergerakan sumber daya alam: Faktor-faktor produksi dialihkan ke sektor-sektor berkembang yang menyebabkan sektor non-sumber daya alam yang dapat diperdagangkan (non-resource tradable sector) menyusut. Faktor-faktor produksi (modal dan tenaga kerja) dialihkan ke produksi sektor berbasis sumber daya alam dan sektor yang tidak dapat diperdagangkan untuk memenuhi peningkatan permintaan domestik terhadap barang-barang yang tidak dapat diperdagangkan. Hal ini menyebabkan produksi dari sektor non-sumber daya alam yang tidak dapat diperdagangkan menyusut.
Dampak yang ditimbulkan dari kedua efek tersebut terhadap perekonomian adalah spesialisasi barang-barang yang tidak dapat diperdagangkan dan produk-produk berbasis sumber daya alam. Hal ini dapat menyebabkan meluasnya ketidakmerataan di negara bersangkutan karena kekayaan akan dihasilkan oleh sejumlah kecil perusahaan yang tidak bersifat padat karya dan yang beroperasi hanya di daerah-daerah dari mana komoditas itu berasal. Akibatnya, distribusi pendapatan akan menjadi lebih terkonsentrasi.
Bab 7
Memanfaatkan Sebaik-baiknya Harga Komoditas yang Tinggi untuk Pembangunan Indonesia
Penyakit Belanda dapat melumpuhkan kemakmuran jangka panjang suatu negara dengan empat cara:
(a) Jika sumber daya alam terkuras atau jika harga komoditas anjlok, industri manufaktur tidak akan pulih semudah atau secepat kemerosotannya. Perusahaan domestik tertinggal secara teknologi karena perkembangan teknologi lebih lambat di sektor yang melonjak dan sektor yang tidak dapat diperdagangkan ketimbang sektor yang tidak melonjak yang dapat diperdagangkan (Van Wijnbergen, 1984). Ketertinggalan teknologi ini menyebabkan daya saing negara itu untuk barang-barang yang tidak melonjak yang dapat diperdagangkan semakin lemah (Krugman, 1987);
(b) Nilai tukar riil yang tidak stabil dari negara bersangkutan dapat mengurangi tingkat investasi oleh persusahaan-perusahaan karena ketidakstabilan nilai tukar riil menimbulkan ketidakpastian (Gylfason dkk, 1999);
(c) Ketidakmerataan penghasilan yang lebih luas terkait dengan ketergantungan pada sektor komoditas dapat memperburuk masalah pemerintahan dan menimbulkan lebih banyak konl ik (antar daerah, misalnya); dan
(d) ‘Penyakit Belanda’ juga dapat menimbulkan korupsi dan kebijakan proteksionis bagi industri- industri di sektor bersangkutan yang masih tertinggal, sehingga memperbesar inei siensi.
Beberapa kritik lain tentang ketergantungan yang berlebihan pada ekspor komoditas telah dibuat, meskipun tidak semuanya dapat dianalisa:
(a) Kecenderungan turunnya harga komoditas berhubungan dengan harga produk manufaktur: Hasil penelitian baru-baru ini dan kecenderungan harga tampaknya tidak sesuai dengan hal ini. Analisis terbaru terhadap hipotesa Prebish-Singer52 tentang turunnya
harga komoditas berhubungan dengan harga produk manufaktur menyimpulkan bahwa sejak awal abad ini sampai tahun 1973, tidak ada kecenderungan turunnya harga komoditas relatif (Cuddington, Ludema dan Jayasuriya, 2001). Selanjutnya, selama sebagian besar dasawarsa ini, harga komoditas mengalami kenaikan dengan kecepatan yang belum pernah terjadi selama 30 tahun sebelumnya. Ini tampaknya merupakan jeda struktural yang disebabkan oleh dua faktor. Faktor pertama adalah hubungan yang lebih kuat antara harga komoditas pertanian dan harga energi akibat munculnya bahan bakar nabati (biofuel). Faktor kedua adalah hubungan yang lebih kuat antara harga komoditas (khususnya minyak bumi dan logam) dan perkembangan ekonomi global akibat semakin pentingnya peranan negara- negara berkembang dalam perdagangan dunia.
(b) Rendahnya kontribusi sektor komoditas untuk kemajuan dan pertumbuhan teknologi:
Argumen ini pertama-tama disampaikan oleh Prebish (1959), Singer (1950) dan Kaldor (1967) dan kemudian diperkuat oleh hasil penelian ekonometrik Sachs dan Warner (1995 dan 2001) beserta rekan-rekannya. Mereka berpendapat bahwa sumber daya alam merupakan ‘kutukan ekonomi’ ketimbang ‘suatu berkat’ karena sumber daya alam tidak memberikan kontribusi kepada kemajuan dan pertumbuhan teknologi. Namun, hasil penelitian ekonometrik yang terbaru oleh De Ferranti dkk (2002) serta Lederman dan Maloney (2007) mempertanyakan kinerja yang buruk dari negara-negara yang kaya akan sumber daya alam mengenai hal ini, sehingga para penulis tersebut berpendapat bahwa kritik mengenai pembangunan berbasis sumber daya alam mengandung kelemahan dan bahwa negara-negara yang kaya akan sumber daya alam seharusnya dapat berperan sesuai dengan kekuatan mereka.
161
Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia
Bab 7 Memanfaatkan Sebaik-baiknya Harga Komoditas yang Tinggi untuk Pembangunan Indonesia
Para penulis tersebut berpendapat bahwa eksploitasi sumber daya alam tidak menghalangi pengembangan kegiatan manufaktur atau kegiatan lain. Negara-negara seperti Selandia Baru, Australia dan Kanada menjadi kaya terutama melalui sektor pertanian tetapi berhasil dalam mengembangkan sektor-sektor lain.
Selain itu, para penulis tersebut menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan berbasis sumber daya alam dapat menghasilkan pertumbuhan untuk jangka waktu yang lama. Mereka mengacu kepada hasil analisis Martin dan Mitra (2001) yang memperlihatkan bahwa pertumbuhan produktivitas faktor total (TFP) di sektor pertanian dari tahun 1967 sampai 1992 mencapai 50 persen lebih tinggi daripada di sektor manufaktur, meskipun negara-negara industri mengalami angka yang jauh lebih tinggi daripada negara-negara yang kurang berkembang. Seperti yang mereka kemukakan, beberapa kisah sukses sumber daya alam seperti Denmark dan Swedia, terus memperlihatkan angka pertumbuhan produktivitas faktor total tertinggi di sektor pertanian.
Mereka juga mempertanyakan pandangan bahwa sektor manufaktur pada dasarnya lebih bermanfaat daripada sektor-sektor yang lain. De Ferranti dkk (2002) serta Lederman dan Maloney (2007) juga mempertanyakan pandangan bahwa sektor manufaktur pada dasarnya lebih bermantaat daripada sektor-sektor yang lain dari segi fasilitasi pengembangan keterkaitan ke belakang dan ke depan, inovasi teknologii serta faktor-faktor eksternal lain yang potensial. Mereka berpendapat bahwa yang penting bukan apa yang anda produksi, melainkan bagaimana anda memproduksinya. Dengan kata lain, yang penting adalah kemampuan untuk memproduksi dan mengkomersialisasikan pengetahuan. Jadi, rekomendasi kebijakan utama dari mereka adalah menanamkan pengetahuan dalam produksi sumber daya alam untuk mendorong kemajuan dan pertumbuhan teknologi.