• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Indonesia: Kecenderungan Makro Jangka Panjang dan Penggerak Pertumbuhan

Dalam dokumen Perkembangan Pemicu dan Dampak Harga Kom (Halaman 140-146)

Kecenderungan Pertumbuhan Ekonomi dan Ekspor Indonesia:

6.2 Pertumbuhan Indonesia: Kecenderungan Makro Jangka Panjang dan Penggerak Pertumbuhan

Selama empat dasawarsa terakhir, Indonesia telah mencapai pertumbuhan PDB yang berkelanjutan, kecuali selama periode ketika terjadi krisis tahun 1997. Setelah krisis, selama periode dari tahun 2000 sampai 2007, angka pertumbuhan tahunan rata-rata pada PDB per kapita adalah 3,7 persen. Ini masih lebih rendah dibandingkan dengan angka pertumbuhan pada masa sebelum krisis: selama periode tahun 1985 sampai 1996, angka pertumbuhan rata-rata mencapai 5,3 persen. Meskipun angka pertumbuhannya lebih rendah, perekonomian Indonesia mengalami pemulihan yang terus-menerus setelah krisis (Gambar 6.1 dan Gambar 6.2). Meskipun demikian, dengan terjadinya krisis keuangan global saat ini, masih harus dibuktikan apakah Indonesia dapat terus mempertahankan pertumbuhannya.

125

Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia

Bab 6 Kecenderungan Pertumbuhan Ekonomi dan Ekspor Indonesia: Perspektif Makro dan Sektoral

Gambar 6.1: PDB per kapita Indonesia Gambar 6.2: Pertumbuhan PDB per kapita

tahunan Indonesia -20 -15 -10 -5 0 5 10 1970 1973 19761 979 1982 1985 19881 991 1994 1997 2000 20032 006 Pe rsen

Sumber: Indikator Pembangunan Dunia.

Dari tahun ke tahun, Indonesia melakukan transformasi struktural namun terus mengalami penurunan angka pertumbuhan yang dipicu oleh sektor primer. Sebaliknya, pertumbuhan PDB per kapita yang stabil terutama didorong oleh ekspansi yang berkelanjutan dari sektor manufaktur dan jasa. Selama periode dari tahun 1970 sampai 2006, sektor primer relatif tidak berkembang, sedangkan sektor jasa dan manufaktur terus berkembang (Gambar 6.3). Namun, sejak krisis tahun 1997, angka pertumbuhan sektor manufaktur mengalami penurunan sedangkan sektor jasa masih terus berkembang.

Gambar 6.3: Angka pertumbuhan Indonesia selama seperempat abad terakhir terutama berasal dari sektor manufaktur dan jasa

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Indikator Pembangunan Dunia.

Mesin penggerak pertumbuhan output Indonesia selama tiga setengah dasawarsa terakhir adalah sektor manufaktur dan jasa, bukan produksi primer. Berdasarkan perincian pertumbuhan, kontribusi sektor pertanian untuk pertumbuhan PDB selama periode dari tahun 1970 sampai 2007

Bab 6

Kecenderungan Pertumbuhan Ekonomi dan Ekspor Indonesia: Perspektif Makro dan Sektoral

masih minim. Kontribusi sektor pertanian yang cukup signii kan hanya terjadi selama tahun 1980an sedangkan kontribusi sektor pertambangan dan gas untuk pertumbuhan PDB masih minim, kecuali selama lonjakan harga minyak pada tahun 1970an ketika Indonesia menikmati rejeki dari pendapatan minyak bumi (Gambar 6.4). Namun, ketika terjadi lonjakan harga komoditas selama dasawarsa ini, kontribusi sektor pertambangan untuk pertumbuhan PDB per kapita masih kecil.

Sebagai kontras, kontribusi sektor manufaktur dan jasa untuk angka pertumbuhan PDB tetap signii kan dari tahun ke tahun. Sektor jasa berkembang secara dramatis pada tahun 1980an ketika dipacu oleh kemajuan yang pesat dari jasa swasta dan komersial serta peralihan dari pengembangan perekonomian yang dikendalikan negara. Memang, pada pertengahan kedua tahun 1980an, Indonesia melaksanakan sejumlah paket deregulasi yang bertujuan untuk memfasilitasi pengembangan perekonomian pasar dengan mendorong persaingan dan memaksimalkan dinamisme pasar. Pada tahun-tahun sampai 1997, sektor manufaktur memimpin sebagai pendorong pertumbuhan output. Pertumbuhan ini didorong oleh permintaan global terhadap produk-produk padat karya dari Indonesia dan oleh permintaan domestik yang kuat. Namun setelah krisis, kontribusi sektor manufaktur untuk pertumbuhan PDB menurun akibat minimnya penawaran maupun iklim investasi usaha yang tidak mendukung ekspansi sektor ini.

Meskipun sektor primer di Indonesia masih sangat bersifat padat karya, sektor ini tidak belum menjadi pendorong utama bagi pertumbuhan pendapatan tenaga kerja.35 Sebaliknya, sektor

jasa selalu menjadi pendorong terpenting bagi pertumbuhan pendapatan tenaga kerja, meskipun kontribusi dari sektor primer dan manufaktur bukan berarti tidak signii kan. (Gambar 6.5). Mengingat peranan penting sektor primer dalam menciptakan lapangan pekerjaan selalu berkaitan dengan kinerja pertumbuhan sektor maka sektor primer telah mendorong pertumbuhan pendapatan tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan sektor manufaktur selama periode pengembangan yang berkelanjutan pada pertumbuhan produksi pertanian terutama pada tahun 1980an dan 2000an. Sebaliknya, pertumbuhan output sektor manufaktur tidak berkaitan dengan peningkatan pertumbuhan pendapatan tenaga kerja. Oleh karena itu, fasilitasi pertumbuhan output di sektor pertanian dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk meningkatkan angka penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur yang lebih dinamis sangat penting untuk meningkatkan pendapatan tenaga kerja sehingga dapat mengurangi angka kemiskinan.

Sektor pertanian memberikan kontribusi yang paling signii kan kepada pertumbuhan pendapatan tenaga kerja selama terjadinya lonjakan (boom) produksi pada tahun 1980an dan selama periode setelah krisis Asia Timur. Sektor pertanian memberikan kontribusi yang paling signii kan kepada pertumbuhan pendapatan tenaga kerja selama terjadinya lonjakan produksi pertanian pada tahun 1980an dan selama periode setelah krisis Asia, ketika sektor manufaktur mengalami tingkat pertumbuhan yang lambat dan harga komoditas pertanian meningkat. Pada tahun 1980an, ketika apa yang disebut ‘Revolusi Hijau’ terjadi, peningkatan produksi pertanian sebagian besar disebabkan oleh tingginya tingkat investasi pemerintah di sektor infrastruktur pertanian dan jasa. Sebagai kontras, selama tahun 2000an, kontribusi yang signii kan dari sektor pertanian bukan disebabkan oleh ekspansi yang pesat pada output yang didorong oleh pesatnya perkembangan teknologi dan investasi. Sebaliknya, selama tahun-tahun tersebut, kontribusi sektor pertanian untuk pertumbuhan pendapatan tenaga kerja terutama disebabkan oleh perpindahan besar-besaran tenaga kerja dari sektor-sektor lain yang mengalami penyusutan output dan penurunan tingkat pertumbuhan, terutama dari sektor manufaktur dan perdagangan.

35 Pertumbuhan pendapatan tenaga kerja didei nisikan sebagai pertumbuhan output yang ditimbang berdasarkan intensitas tenaga kerja di sektor bersangkutan.

127

Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia

Bab 6 Kecenderungan Pertumbuhan Ekonomi dan Ekspor Indonesia: Perspektif Makro dan Sektoral

Gambar 6.4: Kontribusi untuk pertumbuhan PDB menurut sektor – ditimbang dengan pangsa nilai tambah sektor

Gambar 6.5: Kontribusi untuk pertumbuhan pendapatan tenaga kerja menurut sektor (ditimbang dengan intensitas tenaga kerja di sektor bersangkutan)

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Indikator Pembangunan Dunia.

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Indikator Pembangunan Dunia.

Selama empat dasawarsa terakhir, rasio modal tenaga kerja terus meningkat. Selama periode setelah krisis tahun 1997, pada tahun 2000an, pola-pola jangka panjang terbalik, di mana intensitas tenaga kerja di sektor pertanian meningkat, intensitas tenaga kerja di sektor jasa menurun dan angka pertumbuhan intensitas tenaga kerja di sektor manufaktur menurun dibandingkan dengan tingkat pada dasawarsa sebelumnya selama tahun 1990an. Namun, kenaikan jumlah tenaga yang bekerja di sektor manufaktur dan jasa selama periode dari tahun 1970an sampai 2000an memperlihatkan bahwa telah terjadi penurunan jangka panjang pada peranan sektor pertanian dari segi jumlah tenaga kerja yang diserapnya (Gambar 6.6). Untuk jangka panjang, tampaknya kemampuan sektor manufaktur dan jasa untuk menyerap tenaga kerja telah meningkat. Perubahan pola lapangan pekerjaan di sektor-sektor yang menjadi penggerak utama pertumbuhan menunjukkan bahwa pertumbuhan mempunyai dampak positif terhadap lapangan pekerjaan tetapi dampak ini masih di bawah tingkat yang optimal.

Gambar 6.6: Intensitas tenaga kerja menurut sektor

Bab 6

Kecenderungan Pertumbuhan Ekonomi dan Ekspor Indonesia: Perspektif Makro dan Sektoral

Segi yang menonjol dari pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia kurang bersifat padat karya (intensif tenaga kerja). Dengan kata lain, pertumbuhan output di sektor-sektor yang paling dinamis tidak menghasilkan tingkat pertumbuhan pendapatan tenaga kerja yang sama tingginya. Selama beberapa dasawarsa, telah terjadi peningkatan produktivitas tenaga kerja yang menaikkan tingkat upah di dua sektor yang paling dinamis yaitu sektor manufaktur dan jasa. Kenaikan upah ini telah menarik tenaga kerja untuk keluar dari sektor pertanian ketika pengaruh persamaan upah terjadi di sektor-sektor. Namun, jika dilihat dari besarnya peningkatan produktivitas dan upah, sektor-sektor tersebut belum menyerap tenaga kerja sampai pada tingkat yang sebanding dengan pertumbuhan output mereka. Dengan kata lain, pertumbuhan pendapatan tenaga kerja masih lebih rendah daripada pertumbuhan output sehingga premium intensitas tenaga kerjanya negatif.36 Karena sektor manufaktur dan jasa telah menjadi pendorong

paling signii kan dari pertumbuhan ekonomi selama beberapa dasawarsa dan karena sektor-sektor ini dicirikan oleh premium intensitas tenaga kerja negatif maka tingkat pertumbuhan keseluruhan di Indonesia dicirikan oleh premium intensitas tenaga kerja negatif.37

Gambar 6.7 memperlihatkan bagaimana PDB per kapita dilengkapi dengan premium intensitas tenaga kerja negatif di masing-masing dari empat periode yang ditetapkan.

Pertumbuhan negatif pada intensitas tenaga kerja ini mempunyai dampak negatif yang sebanding dengan potensi dampak positif dari pertumbuhan lapangan pekerjaan dan mengurangi dampak pertumbuhan terhadap pengentasan kemiskinan.38

Gambar 6.7: Pertumbuhan PDB per kapita dan premium intensitas tenaga kerja

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Indikator Pembangunan Dunia

36 Premium intensitas tenaga kerja didei nisikan sebagai selisih antara pendapatan tenaga kerja dan pertumbuhan output di sektor bersangkutan.

37 Total Pertumbuhan Premium Intensitas Tenaga Kerja didei nisikan sebagai jumlah pertumbuhan pendapatan tenaga kerja di setiap sektor, atau total dari premium intensitas tenaga kerja di setiap sektor. Premium Intensitas Tenaga Kerja positif adalah pertumbuhan padat karya ketika pertumbuhan output menghasilkan pertumbuhan pendapatan tenaga kerja yang lebih i nggi.

38 Analisis ini mengikuti Loayza dan Raddatz (2007), yang menggunakan persamaan berikut ini untuk menguraikan perubahan angka kemiskinan sebagai suatu fungsi total pertumbuhan (suku pertama) dengan premium jika pertumbuhannya bersifat padat karya (suku kedua).

129

Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia

Bab 6 Kecenderungan Pertumbuhan Ekonomi dan Ekspor Indonesia: Perspektif Makro dan Sektoral

Ada berbagai kemungkinan penjelasan untuk kegagalan sektor manufaktur dan jasa dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang memadai. Pertama, sejumlah faktor distorsi menyebabkan sektor-sektor tertinggal. Misalnya, liberalisasi dan deregulasi pada tahun 1980an dan 1990an meningkatkan daya saing sektor-sektor dari barang yang diperdagangkan tetapi tidak memberikan banyak dampak positif terhadap sektor-sektor dari barang yang tidak diperdagangkan. Sebenarnya, meskipun sektor-sektor dari barang yang diperdagangkan perlu bersaing dengan pasar-pasar eksternal, sektor-sektor dari barang yang tidak diperdagangkan39 tidak mengalami

dampak yang serupa, terutama akibat berbagai skema perlindungan dan kebijakan industri yang menimbulkan distorsi dengan berpihak kepada kelompok-kelompok kepentingan yang berhubungan secara politik. Selain itu, terutama di akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an, pemerintah mendapatkan tekanan politik yang kuat untuk mempromosikan industri manufaktur padat modal teknologi. Akibatnya adalah dilaksanakannya sejumlah kebijakan yang bertujuan untuk melindungi dan mensubsidi sektor-sektor tersebut.

Kedua, sejumlah faktor mempunyai dampak negatif terhadap mobilitas tenaga kerja di daerah-daerah dan sektor-sektor. Sektor-sektor yang dinamis terutama terkonsentrasi di salah satu daerah kecil di Pulau Jawa. Hal ini menimbulkan masalah kemacetan infrastruktur yang akhirnya menghambat ekspansi sektor-sektor tersebut. Pada tahun-tahun belakangan, kemacetan infrastruktur diidentii kasi sebagai rintangan utama dalam upaya meningkatkan daya saing sektor- sektor di daerah-daerah manufaktur yang paling terkonsentrasi di Jakarta Raya dan Jawa Barat. Dari segi mobilitas tenaga kerja di sektor-sektor, tampaknya terdapat keterbatasan keterampilan dan pendidikan pekerja yang menghambat pergerakan tenaga kerja ke sektor-sektor yang lebih terampil, intensif dan dinamis.

Ketiga, pertumbuhan output yang lambat di sektor manufaktur telah menghambat penyerapan tenaga kerja di sektor ini. Selama periode dari tahun 1999 sampai 2003, setelah krisis, tingkat pertumbuhan output yang lambat di sektor manufaktur telah membatasi kapasitas sektor ini untuk menyerap tenaga kerja.

Keempat, kenaikan upah yang berasal dari peraturan administratif yang mengatur sektor jasa telah menghambat sektor jasa untuk mendorong pertumbuhan padat karya (Bank Dunia, 2009h). Kenaikan upah di sektor jasa selama periode dari tahun 1999 sampai 2003 yang didorong oleh kenaikan upah minimum riil, semakin memperburuk masalah sehubungan dengan pengaturan pasar modal yang berlebihan dan membatasi kapasitas sektor jasa untuk menghasilkan pertumbuhan padat karya yang berkelanjutan.

Meskipun terdapat rintangan-rintangan ini, dalam empat dasawarsa terakhir, premium intensitas tenaga kerja dalam PDB per kapita semakin membaik secara bertahap. Gambar 6.7 memperlihatkan bahwa pertumbuhan output di sektor manufaktur dan jasa telah semakin banyak menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan. Pada saat yang sama, pertumbuhan output di sektor pertanian terus mendukung pendapatan tenaga kerja di sektor tersebut. Sebagai hasilnya, terdapat peningkatan pertumbuhan premium intensitas tenaga kerja selama empat dasawarsa terakhir.

39 Sektor-sektor dari barang yang tidak diperdagangkan sebagian besar merupakan jasa domestik, yaitu konstruksi, telekomunikasi, transportasi, dll.

Bab 6

Kecenderungan Pertumbuhan Ekonomi dan Ekspor Indonesia: Perspektif Makro dan Sektoral

Secara umum, di tingkat nasional, pola pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa lalu kemungkinan besar akan memperjelas faktor-faktor pendorong pertumbuhan di masa mendatang. Pada saat yang sama, hal itu juga memberikan peringatan mengenai risiko terjadinya pola pertumbuhan yang sama pada tahun-tahun mendatang. Kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan, bahkan selama Revolusi Hijau, tidak terlalu besar. Jadi, kemungkinan besar, pertumbuhan di masa mendatang akan didorong oleh sektor manufaktur dan jasa. Akan tetapi, agar pertumbuhan di masa mendatang lebih bersifat padat karya dan menyeluruh (inklusif) daripada di masa lalu, sektor manufaktur dan jasa harus dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja yang berketerampilan rendah dan memperluas lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dicapai dengan sejumlah cara, mulai dari meningkatkan keterampilan pekerja yang ada sampai memfasilitasi mobilisasi pekerja yang lebih besar ke sektor-sektor yang lebih dinamis dengan menyempurnakan peraturan tentang ketenagakerjaan dan cara-cara lain. Sementara itu, agar pertumbuhan pendapatan tenaga kerja dapat berkelanjutan selama transisi ini, perbaikan yang lebih luas juga dibutuhkan di sektor pertanian. Akhirnya, pengalaman pada tahun 1970an juga memperlihatkan bahwa jika sektor pertambangan ingin menikmati masa kejayaan berikutnya, hal ini akan tercermin pada pertumbuhan output secara keseluruhan, namun mempunyai dampak minimum terhadap pendapatan tenaga kerja akibat rendahnya tingkat intensitas tenaga kerja.

Dalam dokumen Perkembangan Pemicu dan Dampak Harga Kom (Halaman 140-146)

Dokumen terkait