• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abyssinia, 616 Masehi

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 77-81)

Sudah sampaikah kisah ini kepadamu, wahai Lelaki Pemba wa Lentera Ilmu? Cerita mengenai raja Negus yang bijaksana. Ketika dia bertitah tanpa turun dari singgasananya. “Tidak! Demi Tuhan, mereka tidak boleh dikhianati. Mereka telah meminta suaka perlindunganku dan menjadikan nege riku sebagai tempat tinggal, serta telah memilihku, bukan orang lain!”

Dia mengenakan jubah kebesaran dengan tanda salib di dadanya. Kulit hitamnya, rambut keritingnya, seperti ikut mengekspresikan ketidaknyamanannya, “Mereka tidak akan aku serahkan, sebelum aku

WAHSYI

51

menanyai mereka dan kuserahkan untuk dibawa oleh kaum mereka sendiri. Namun, jika ti dak, aku akan menjadi pelindung yang baik se-lama mereka meminta perlindunganku.”

Negus lantas memanggil Ja‘far dan pengungsi dari Mak kah lain-nya. Dia juga mengundang para pendeta istana. Orang-orang saleh yang membawa serta kitab-kitab suci mereka. Para pendeta itu lalu duduk di kanan-kiri Negus. Ber siap jika Raja meminta pendapat me reka.

Masuk ke ruangan raja memunculkan geletar dalam da da Ja‘far. Seberapa mantap dia akan keyakinan kebenaran yang dia punya, su-asana ini tetap saja menguji kepercayaan diri. Namun, karena sadar bahwa dia menjadi tumpuan para pengungsi dari Makkah itu, Ja‘far pun menguatkan hatinya. Dia bersitatap dengan ‘Amr yang menebas-nya dengan pandangan benci setengah mati.

Semua perhatian kini berkumpul pada sosok Negus. Ra ja memas-tikan semua orang yang ada di ruangan itu siap mendengarkan kali-matnya. Dia lalu menatap Ja‘far. “Agama apa gerangan yang menye-babkan kalian berpisah dari kaum kalian, sedangkan kalian tidak me meluk agamaku, juga tidak memeluk agama suku-suku di sekitar kami?” Lugas Negus bertanya.

Ja‘far kembali membisikkan kata-kata penguat keyakin an diri di dalam hati. Setelah memberi hormat, lelaki yang katamu memi-liki kemiripan penampilan dan karakter de ngan dirimu itu kemudian hati-hati berbicara, “Wahai Raja! Dulu, kami adalah orang-orang ja-hiliah: menyembah berhala-berhala, memakan daging yang tidak suci, melakukan maksiat, yang kuat menerkam yang lemah.”

Ja‘far menarik napas. Sementara ‘Amr gelisah di tempat duduknya. Dia mulai khawatir, Ja‘far dengan kalimat-kalimat simpatiknya mam-pu mengambil hati Negus. Ja‘far melanjutkan kalimatnya, “Begitulah kami, sampai Allah mengutus seorang rasul dari kalangan kami sen-diri. Seseorang yang garis keturunannya kami ketahui, kejujuran kami yakini, in tegritasnya tidak kami ragukan, dan penghargaannya kepada kebenaran yang kami saksikan sejak lama.”

Negus terpesona dengan cara Ja‘far bicara, juga apa yang dikata-kannya. Seorang penerjemah menyampaikan setiap kata Arab dari

mu-lut Ja‘far tanpa dikurangi atau ditambah-tambahi. Ja‘far menangkap isyarat antusias Negus itu. Dia semakin memantapkan kalimatnya. Dia berbicara tentangmu, wahai Lelaki yang Moralnya Tanpa Cacat. “Ia meng-ajak kami kepada Allah, bersaksi atas keesaan-Nya, menyem bah-Nya, me ning galkan berhala-berhala yang kami dan orangtua kami sembah.”

‘Amr melihat isyarat itu. Dia semakin tak nyaman de ngan perkem-bangan keadaan. Ingin menyela kalimat Ja‘far, tapi tentu itu akan membuatnya terkesan lancang. ‘Amr se makin tak sabar menunggu kalimat Ja‘far selesai diucapkan.

“Ia memerintahkan kami untuk berkata benar,” Ja‘far melanjut-kan kalimatnya, “memenuhi janji, menghormati ikatan kekerabatan dan hak-hak tetangga kami. Ia mela rang kami melakukan kejahatan dan pertumpahan darah. Karenanya, kami hanya menyembah Allah semata, tidak menye ku tukan-Nya, menjauhi apa yang diharamkan-Nya dan me lakukan apa yang dibolehkan-diharamkan-Nya.”

Negus semakin tertegun, ‘Amr menahan amarah, sedang kan Ja‘far melanjutkan kalimatnya penuh perasaan, “Karena alasan ini, kaum kami menentang dan menyiksa kami agar murtad dari agama kami dan tidak lagi menyembah Allah serta kembali menyembah ber-hala. Karena itu pulalah, kami datang ke negeri Tuan, memilih Anda, dan bukan yang lain. Harapan kami, wahai Raja, di sini, bersama Tuan, kami tidak akan diperlakukan sewenang-wenang.”

Diam sebentar. Ja‘far sudah selesai dengan keterangannya. Negus menyimak terjemahan kalimat-kalimat Ja‘far oleh pengalih bahasa istana yang ada di sampingnya. Ia me natap Ja‘far tanpa berkedip se-telah sekian detik. Wajahnya memasang ekspresi serius. “Apakah ada wahyu Illahi yang dibawa nabi kalian?”

Ja‘far mengangguk penuh perhitungan ketika penerje mah meng-ungkapkan apa yang Negus tanyakan. Lelaki itu kemudian diam seben-tar, memilih surat hafalan yang pernah engkau ajarkan kepadanya.

“Dan ceritakanlah kisah Maryam di dalam Al-Quran, ya itu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tem pat di sebelah timur, maka ia mengadakan tabir yang melin dunginya dari mereka; lalu

WAHSYI

53

Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapan-nya dalam bentuk manusia yang sempurna. Maryam berkata, ‘Se-sungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.’

Ia, Jibril, berkata, ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah se orang utus-an Tuhutus-anmu, untuk memberimu seorutus-ang utus-anak laki-laki yutus-ang suci.’ Maryam berkata, ‘Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bu-kan pula seorang pezina!’ Jibril berkata, ‘Demikianlah Tuhanmu ber-fi rman, ‘Hal itu mudah bagi-Ku, dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami, dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.’”

Negus terkesima. Seolah dia baru saja melihat suatu fe nomena yang tidak pernah ia saksikan seumur hidup. Selama kalimat Ja‘far diterjemahkan, air matanya tak berhenti menetes, membuat lembap janggut panjangnya. Para pendeta, orang-orang saleh itu, bereaksi se rupa. Beberapa di antara mereka bahkan terisak-isak. Mengingat Yesus, dengan cara apa pun, selalu mampu menumpahkan air mata kerinduan dan kecintaan.

Setelah terbebas dari sedu sedannya, dalam suara yang masih se-rak oleh tangis yang menjejak, Negus menatap ha dirin. Ia menegak-kan wajahnya yang damai, “Apa yang dia katamenegak-kan betul-betul berasal dari sumber yang sama seperti yang dibawa Yesus.” Negus mengarah-kan pandangannya ke pa da ‘Amr, “Engkau boleh pergi! Karena demi Tuhan, aku ti dak akan menyerahkan mereka kepadamu. Mereka tidak boleh dikhianati.”

Merah wajah ‘Amr kemudian. Perih, rasanya seperti ditampar. Dia hendak mengatakan banyak hal, tapi di ujung li dah semua tertahan. Hari itu akan dia ingat selamanya. Re putasinya sebagai pembicara ulung tercampakkan oleh kata-kata Ja‘far yang di telinganya terde ngar biasa-biasa saja. Bu tuh sebuah kemenangan besar untuk mengurangi rasa ter kalahkannya.

8. Solilokui

8. Solilokui

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 77-81)