• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesaksian Waraqah

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 127-142)

Makkah, 610 Masehi

15. Kesaksian Waraqah

15. Kesaksian Waraqah

W

ahai Pribadi yang Terjaga dari Kata Sia-Sia, tahukah engkau selagi dirimu dalam tanda tanya, seorang lelaki tua yang mempelajari kitab suci merasakan gigil menjalari setiap otot tubuhnya? Nyaris tidak sanggup berkata-kata. Wajahnya bergerak-gerak, seolah pandangannya yang buta tengah gelisah ingin melihat cahaya dunia. Ruang tamu rumahnya yang remang-remang seketika terasa menjadi bersinar cemerlang. Angin panas padang pasir yang menelusup dari rongga-rongga pintu di kulit keriputnya serasa menjadi lembut dan membelai sejuk. Dialah Waraqah.

“Quddus! Quddus!” ujarnya separuh berteriak. “De mi Tu-han yang menguasai jiwaku, yang menda tangi Muhammad ada-lah Namus terbesar yang dulu juga mendatangi Musa.” Suara Waraqah serak mendadak. Seolah apa yang barusan diceritakan oleh Khadijah adalah sesuatu yang telah dia tunggu selama pu-luhan tahun dan membuatnya begitu emosional. “Sungguh, Mu-hammad adalah nabi bagi kaumnya,” katanya kemudian. “Khadi-jah, yakinkanlah dia.”

Waraqah menumpukan berat dada dan kepalanya pada tongkat kayu yang sama-sama tua seperti pemiliknya. Dia

du-KESAKSIAN WARAQAH

101

duk dengan kepala berserban yang tertunduk dan dua le ngan meme-luk tongkatnya. Sebersit pemikiran yang melegakan merayapi dirinya. Sungguh telah begitu lama dia meneguhi apa yang dia yakini. Sampai menua umurnya, hing ga buta matanya.

Waraqah adalah karunia bagi Makkah. Di antara sukunya yang didominasi penyembah berhala dan buta huruf, dia adalah satu di an-tara sedikit orang yang berpikir melampaui zamannya. Dia bisa mem-baca dan telah lama memelajari injil serta teologi. Sejak lama, bahkan ketika dirimu masih kanak-kanak, dia meyakini suatu janji Kristus yang di masa mendatang akan terpenuhi. Bangsa Arab membutuhkan seorang nabi, dan janji Yesus Kristus berkaitan dengan kebutuhan itu. Orang bisa mengatai Waraqah hilang akal, tetapi itulah yang dia ya-kini. Bahkan, dia berbeda memaknai janji Kristus dibanding sebagian besar Kristiani yang menghubungkan kata-kata Yesus perihal ini de-ngan mukjizat Pantekosta.

Kepercayaan Waraqah memang terhitung eksklusif karena ini ti-dak tersebar secara luas, meski didukung beberapa aliran besar gereja timur dan juga para astrolog dan peramal. Orang-orang Yahudi mem-punyai keyakinan serupa. Mereka yakin garis kenabian baru akan ber-akhir pada Mesias. Bedanya, para Yahudi tidak pernah ragu bahwa nabi baru itu harus seorang Yahudi. Sebagaimana mereka yakini bah-wa Yahudi adalah bangsa yang terpilih.

Sebaliknya, orang Kristen semacam Waraqah meragukan hal itu. Baginya, bangsa Arab jauh lebih membutuhkan kedatangan seorang nabi dibanding orang-orang Yahudi yang setidaknya dekat dengan tra-disi agama Ibrahim. Seka rang, segala hitung-hitungan dan keyakinan Waraqah se perti menemukan konfi rmasi.

“Kalau begitu keyakinanmu, aku akan menyampaikan hal ini ke-pada suamiku.” Khadijah merapatkan kain yang me nutup rambutnya. “Aku pamit, wahai Waraqah.” Khadijah bangkit sembari merasakan deru yang luar biasa di dadanya. Bahkan, meskipun segala kesucian yang dia ketahui tentangmu cukup untuk meyakinkan batinnya bah-wa engkau layak menjadi seorang nabi, tetap saja ada yang membuat perasaan nya tak keruan. Semacam apakah kehidupan seorang nabi?

Khadijah kembali berpamitan sebelum akhirnya benar-benar me-ninggalkan rumah sepupunya itu. Kepalanya me nunduk sementara langkah kakinya semakin memburu. Dia mulai mereka-reka, apa yang akan ia jalani selama mendampingi tugas seorang nabi? Apakah ini

semacam tugas seorang permaisuri mendampingi kewajiban kenegaraan sang raja? Khadijah menepis segala kemungkinan yang terpikirkan.

Dia buru-buru ingin bertemu denganmu dan menyampaikan semua yang dikatakan Waraqah kepadamu.

Ketika Khadijah melangkah menuju rumah, wajah Makkah tak berbeda jauh dibanding puluhan tahun lalu, kecuali fakta bahwa kota ini mencapai sukses materi yang mencengangkan. Secara spiritual, seperti juga pendapat orang tentang wilayah seantero Arab yang di-anggap daerah tak bertuhan, tidak satu pun agama yang lebih maju dan modern dibanding budaya pagan yang berhasil bertahan di da-erah itu.

Sekelompok suku Yahudi yang diragukan asal usulnya memang telah mendiami wilayah pertanian Yatsrib, Kha ibar, dan Fadak. Na-mun, cara mereka beragama hampir tidak dapat dibedakan dari te-tangga Arab mereka yang menyem bah berhala.

Di tanah yang lebih strategis, memang banyak suku Arab ber alih ke Kristen. Sejak dua ratus tahun lalu, mere ka membangun gereja di Suriah. Bahkan, beberapa tahun ter akhir, Arab telah dikeliling ber-bagai praktik Kristenitas. Gereja Majestik di Najran mendatangkan kecemasan pada sebagian orang Arab. Toh, mereka masih tidak ter-tarik ter hadap sistem agama-agama ini dan memutuskan untuk te tap merdeka dengan tradisi berhala.

Namun, mereka tidak sanggup memungkiri munculnya rasa ren-dah diri. Secara keagamaan maupun politis, mereka merasa tertinggal, kecuali angan-angan berdirinya negara Arab bersatu mampu diwujud-kan. Sebuah visi besar yang oleh Waraqah diyakini harus dimulai de-ngan kedatade-ngan se orang nabi.

Tanpa seorang pemimpin besar yang dipilih Tuhan, menyatukan seluruh Arab hanyalah mimpi beracun. Bangsa Arab memiliki persa-tuan yang amat rapuh. Selama berabad-abad, bangsa Arab di Hijaz dan

KESAKSIAN WARAQAH

103

Najd hidup sebagai bangsa nomaden dalam kelompok-kelompok suku yang terus berperang.

Engkau tahu, selama rentang waktu itu, mereka mengembangkan cara hidup yang tidak ada pembandingnya di dunia. Sesuatu yang hi-dup dan dijaga secara bersama-sama oleh penduduk Arab yang dikenal dengan sebutan muru’ah. Kata pendek yang me miliki makna demikian panjang dan dalam. Keberanian dalam berperang. Kesabaran dan keta-hanan dalam penderitaan. Pengabdian pada tugas yang sopan untuk membalas ke salahan yang pernah dilakukan pada suku. Melindungi para anggota yang lemah dan menghadapi yang kuat.

Seperti pisau bermata dua, pada tataran praktik muru’ah juga ber arti sikap ceroboh, angkuh, egoisme yang merusak moral dan bisa membawa masyarakat ke jurang kehancuran. Aspek-aspek ini yang be-lakangan tampil lebih dominan.

Terpikirkah olehmu masing-masing suku bangga luar biasa terha-dap muru’ah mereka? Setiap anggota suku harus siap membela rekan sesu kunya dan mematuhi pemimpinnya tanpa syarat. Muru’ah meng-gantikan fungsi agama bagi bangsa Arab pada tataran praktik, mem-beri fondasi ideologi yang tidak bisa ditawar.

Suku menjadi nilai keramat. Keyakinan Arab tidak me nawarkan gambaran tentang kehidupan sesudah mati. Setiap orang tidak memiliki nasib sendiri dan nasib abadi. Hal yang abadi adalah keberlangsungan spirit muru’ah me reka. Setiap orang bertanggung jawab untuk mena-namkan muru’ah dan menjamin kelangsungan hidup suku me reka.

Seorang kepala suku harus siap membalas setiap serang an terha-dap anggota sukunya. Pembalasan dendam menjadi satu-satunya cara menjaga keamanan masyarakat. Nyawa begitu murah. Tidak ada yang salah dari sebuah pembunuhan jika itu dikaitkan dengan konseku ensi dosa dan hukuman setelah kematian. Seorang menjadi salah jika dia membu nuh anggota sesuku atau sekutu dari sukunya. Karena itu, se-tiap suku harus membalaskan kematian sese-tiap anggota sukunya de-ngan membunuh seorang anggota suku lawan.

Hanya yang kuat bertahan. Artinya, mereka yang lemah akan di enyahkan atau setidaknya dieksploitasi secara memilukan.

Pembu-nuhan bayi menjadi cara yang menjadi beradab untuk mengendalikan populasi. Adalah masalah ketika bayi-bayi perempuan lebih kuat ber-tahan hidup daripada bayi laki-laki.

Bukankah jumlah bayi perempuan yang boleh lahir sudah ditentu-kan? Tidak ada suku yang sanggup menanggung hidup bayi-bayi pe rem-puan melebihi angka yang sudah disepakati. Bayi-bayi merah itu kemudi an dikubur hidup-hidup. Bayi perempuan yang dibiarkan hidup pun tum buh tanpa hak-hak kemanusiaan atau perlindungan hukum. Engkau pasti tahu secara resmi harta diwariskan dari garis perempuan, tetapi praktiknya ini tidak memberi kekuatan atau pe ngaruh bagi kaum hawa. Laki-laki kadang mengawini perempuan ha nya untuk mendapatkan warisannya.

Orang-orang semacam Waraqah selalu bertanya, adakah kehidup-an lebih buruk dibkehidup-anding apa ykehidup-ang dijalkehidup-ani orkehidup-ang-orkehidup-ang Arab? Sehing-ga kedatanSehing-gan seorang nabi benar-benar cukup mendapatkan alasan.

e

Waraqah mengeratkan genggaman tangan pada pangkal tong katnya. Kepa-lanya menolah-noleh. Seolah setiap pori pada permukaan kulitnya meng-gantikan fungsi mata. Dia sa ngat yakin hari ini akan mene mui engkau. Telah sampai batas hari bagimu untuk turun gunung, mengakhiri meditasi di Gua Hira’. Tidak ada kemungkinan lain bagi engkau kecuali mendatangi Ka‘bah usai mengasingkan diri, seperti yang dirimu lakukan selama ini.

Waraqah menunggumu di samping Ka‘bah untuk menga takan be berapa hal. Setelah Khadijah menemuinya dan meng ulang cerita yang engkau alami, Waraqah kembali meng ingat-ingat hafalan isi kitab-kitab suci yang seumur hidup dia pelajari. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang dia yakini tidak meleset. Sekarang, dia telah memperkirakan ber bagai konsekuensi yang harus engkau jalani jika memang benar engkau seorang nabi.

Sang pengiman Al-Kitab itu mengusap keningnya. Keri ngat. Pe-tang yang menyengat, meski dia mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa dia mesti kuat. Barangkali tidak ada waktu lagi. Waraqah me-lepas napas, “Quraisy ... alangkah tinggi derajat kalian oleh Muham-mad,” bisiknya.

KESAKSIAN WARAQAH

105

Pada hari yang sama sewaktu Waraqah duduk menungguimu, Suku Quraisy, suku terkuat di Arab, telah mengelompok dalam persekutuan tiga klan utama. Klan Hasyim, asal keluargamu, termasuk dalam ke-lompok lemah bersama Al-Muththalib, Zuhrah, Taim, Al Harits bin Fihr, dan Adi. Sementara klan Asad, asal Waraqah dan Khadijah meru-pakan bagian dari klan kuat, sederet dengan klan Abdi Syams, Na ufal, dan Amir. Kelompok terakhir mengumpulkan klan Makhzum, Sahm, Jumah, dan Abd Ad-Dar.

Waraqah tengah membatin seputar persekutuan-persekutuan klan itu. Berhitung kemungkinan, dia memperkirakan, ketika dirimu memulai misimu kelak, tentangan keras akan engkau hadapi dari ke-lompok klan kedua dan ketiga. Seperti para nabi pendahulu, engkau hanya akan didengar oleh kaum lemah. Akankah Quraisy semakin ter koyak ketika engkau memproklamasikan dirimu sebagai nabi, atau justru sebaliknya?

Suku penguasa Arab itu tengah didera kebingungan. Ideologi lama ternyata tidak memberi bekal cukup untuk mereka untuk hi dup di kota. Kehidupan kota seolah membutuhkan konsep kehidupan baru semen-tara mereka masih mengadaptasi kebiasaan hidup lama, ketika suku mereka mu lai menetap di Makkah sekitar 200 tahun sebelumnya.

Engkau tentu mafhum, leluhur suku Quraisy bernama An-Nadhr bin Kinanah. Salah satu keturunannya bernama Qushai menetap di sebelah Ka‘bah bersama saudara lelakinya Zuhrah dan paman mere-ka Taim. Makhzum, anak dari paman yang lain, beserta sepupunya Jumah dan Sahm menetap di sana menemani Qushai. Kerabat ini ke-mudian dikenal sebagai Qu ra isy dari Lembah.

Sebagian kerabat Qushai menetap di luar Makkah. Me reka kemu-dian dikenal sebagai Quraisy dari pinggiran kota. Peran Qushai bagi Makkah memang sangat sentral. Konon, dia telah berkelana ke Suriah dan pulang membawa tiga dewi: Al-Lata, Al-‘Uzza dan Manat ke Hi-jaz dan menobatkan Hubal dewa kaum Nabatean di Ka‘bah. Berbekal kepintaran dan kelicikannya Qushai kemudian mengambil Makkah dan mengusir suku Khuza‘ah yang sebelumnya menjadi klan penjaga Ka‘bah. Eksistensi Quraisy pun menjadi permanen dan terkemuka.

Nama Quraisy ini pun kemudian ditujukan kepada seluruh keturunan An-Nadhr bin kinanah.

Waraqah lagi-lagi melepas napas berat. Dia tahu se macam apa perjalanan sebuah kenabian. Jika benar engkau menjadi nabi kaum ini, persekutuan ratusan tahun sejak Qu shai merebut Makkah akan saling bertumbukan. Misi dan jiwamu akan selalu dalam bahaya.

Waraqah menggerakkan kepalanya tiba-tiba. Instingnya seperti menangkap sebuah gerakan manusia. Tapi segera mengendur kembali otot kepalanya yang sempat menegang. Bukan Muhammad, batinnya. Ada peziarah Ka‘bah yang berdatangan. Jelas bukan dirimu. Engkau memiliki cara berjalan yang tidak dipunyai orang lain. Langkahmu seperti sese orang yang menuruni lembah. Waraqah tahu itu.

Ka‘bah sejak berabad-abad sebelumnya telah menjadi magnet bagi para peziarah. Sesuatu yang sudah disadari secara utuh oleh Kaum Quraisy dan membuat mereka menjaga betul ketenteraman di sekitar Ka‘bah. Tidak ada pemikiran untuk merusak hubungan baik dengan siapa pun agar mere ka tetap nyaman berdatangan, menziarahi Ka‘bah dengan cara masing-masing.

Jika penduduk Makkah melengkapi Ka‘bah dengan ratusan ber-hala dan menyembahnya, para peziarah belum tentu memiliki niatan yang sama. Bahkan, di antara penduduk Makkah yang sebagian besar kaum pagan itu, masih ada yang berupaya menegakkan agama Ibra-him secara murni.

Engkau tahu, mereka berpendapat, penyembahan berhala adalah improvisasi manusia yang harus ditentang. Hubal, sang sesembahan, tidak lebih baik dibanding sapi emas yang menyesatkan Bani Israil pada zaman Musa. Orang-orang ini menyebut diri mereka kaum hanif dan meng anggap berhala-berhala itu sebagai polusi bagi Ka‘bah.

Karena menjadi minoritas, mereka menjadi golongan terpinggir-kan. Ini tidak menguntungterpinggir-kan. Sebab, di Makkah, setiap orang dihor-mati, ditoleransi atau malah diperlakukan buruk berdasarkan pada pengaruh pribadi, tetapi lebih dominan oleh perlindungan suku ma-sing-masing. Keyakin an yang menyimpang dari tradisi pagan membuat mereka kehilangan pengaruh pribadi maupun perlindungan suku.

KESAKSIAN WARAQAH

107

Makkah menjadi kota berhala. Ka‘bah dikepung oleh 360 berhala, sedangkan di setiap rumah penduduk pun ter dapat berhala-berhala yang menjadi sesembahan orang-orang. Setiap gerak-gerik mereka se-lalu disertai sebuah doa perlindungan “dari” berhala-berhala itu.

Kenyataan yang kadang membuat Waraqah frustrasi. Bah kan di rinya masih menjadi satu di antara kelompok kecil penganut Kris-ten dalam kota sebesar Makkah. Sangat sulit untuk mewartakan ke-benaran agama kepada orang-orang Arab. Padahal, telah muncul ma-syarakat Kristen Najran dan Yaman. Namun, perkembangan ini tidak memberikan penga ruh apa pun pada para penyembah berhala yang berpusat di Makkah. Bangsa Arab di Hijaz dan dataran Najd ke timur tampaknya tidak tersentuh oleh pesan-pesan Al-Kitab. Bukankah ini

sebuah kondisi yang tak terbantahkan? Alasan yang cukup bagi Tuhan untuk membangkitkan seorang nabi bagi bang sa Arab dari kaum mereka sendiri? Berulang kali, pemikiran itu yang muncul di benak Waraqah.

Pengikut Kristus rupanya, batin Waraqah. Dia meyakini ada

be-berapa orang yang sedang berdoa dengan khusyuk di maqam Ibrahim, salah satu bagian dari bangunan Ka‘bah. Kaum Quraisy dan suku-suku pagan memang tidak memusuhi orang Kristen. Seperti juga petang itu, para pengikut Yesus dari negeri-negeri jauh kadang kala datang untuk mem berikan penghormatan kepada maqam Ibrahim.

Malah, oleh tuan rumah—kaum Quraisy—mereka di fasilitasi un-tuk membuat lukisan Perawan Maria dan anak nya, Yesus, pada salah satu bagian dinding Ka‘bah. Sebuah visualisasi yang tentu tampak men colok dibandingkan patung-patung dan gambar-gambar yang la-in. Namun, kaum Quraisy tidak terganggu dengan perbedaan yang menonjol itu. Perbedaan gambar itu bagi mereka malah memperkaya wajah Ka‘bah, selain juga menjadi wujud toleransi yang akan mem-buat posisi mereka semakin kukuh.

Waraqah menahan gerakannya. Dia baru saja ingin bang kit dari duduk dan menghampiri peziarah Kristen di maqam Ibrahim ketika kedatangan seseorang menghentikan gerak annya.

Engkau baru saja turun dari Gua Hira’ setelah meng akhiri masa mengasingkan diri yang biasa engkau lakukan pada rentang waktu tertentu. Seperti kebiasaan sebelum-sebelumnya pula, engkau turun menuju Ka‘bah untuk bertawaf sebelum pulang ke rumah. Engkau membalas salam Waraqah dan menghampirinya.

“Aku telah menunggumu karena ingin mengatakan sesuatu ke-padamu, Muhammad.”

Engkau duduk di hadapan Waraqah dengan tatapan ka sih yang sempurna. Sungguh hatimu itu lebih lembut di banding sutra paling lembut sedunia. Mudah tersentuh dan penuh empati. Tahukah eng-kau, apa yang akan disampaikan Waraqah berkaitan dengan apa yang dikatakan Khadijah beberapa waktu sebelumnya?

“Ceritakan kepadaku terlebih dahulu. Ceritakanlah kepadaku, wa-hai putra saudaraku, apa yang telah engkau lihat dan engkau de ngar?”

Engkau tentu paham apa yang dimaksud Waraqah. Engkau ke-mudian mengulang pengalamanmu di Gua Hira’ yang sempat mem-buatmu tertekan luar biasa. Pengalaman yang membuat engkau butuh beberapa waktu untuk melanjutkan kebiasaan menyepi di Gua Hira’ itu, saking asingnya peristiwa datangnya makhluk yang di matamu terlihat seperti ber sayap itu. Makhluk yang mengaku bernama Jibril.

“Quddus! Quddus! Demi Tuhan yang menguasai jiwaku, yang men-datangimu adalah Namus terbesar yang dulu juga mendatangi Musa. Sungguh, Muhammad, engkau adalah na bi bagi kaummu. Yakinkan-lah dirimu.”

Bukankah engkau pernah mendengar kalimat itu dari Khadijah? Apakah mendengarkannya langsung dari Waraqah lewat lisannya yang penuh keyakinan, lewat suaranya yang bergetar oleh kerinduan, membuat hal ini terdengar sebagai informasi yang baru? Apakah ide tentang kenabian itu pun masih terasa asing bagimu?

Kedua tangan Waraqah menjulur. Tongkatnya terpelan ting tanpa kepedulian. “Engkau akan didustakan orang dan diperlakukan buruk. Mereka akan mengusirmu, bahkan berperang melawanmu!” Kalimat Waraqah semakin bergetar. Ada keharuan yang ia lawan. Sesuatu me-maksa Waraqah untuk tidak menjadi lemah, “Seandainya aku masih

KESAKSIAN WARAQAH

109

hidup pada saat-saat itu, Allah tahu, aku pasti akan membela kebenar-an agama-Nya.”

Dalam sebuah gerakan yang menyentak, Waraqah kemudian me-rangkulmu erat. Seperti hendak meremukkan tulang-tulangmu. “Kha-dijah, dia akan sangat mendukungmu. Dialah harapanmu,” ujarnya kemudian. Setelah itu, Waraqah mencium ubun-ubunmu dengan ke-takziman yang tidak berbanding. Dari bibirnya terbisik syair:

Sesungguhnya Muhammad akan menjadi pemimpin kami Ia mengalahkan lawannya dengan hujjah

Cahaya terlihat di seantero dunia Ia luruskan manusia yang bengkok

Orang yang memeranginya mendapatkan kerugian

Dan orang yang berdamai dengannya mendapatkan k emenangan Duhai, seandainya aku hidup pada saat itu

Aku menyaksikannya dan aku menjadi orang yang paling beruntung Kendati yang dibenci orang-orang Quraisy itu amat berat

Dan mereka berteriak dengan keras di Makkah Aku berharap dengan sesuatu yang mereka benci

Kepada pemilik Arsy, jika mereka turun dalam keadaan p incang Samakah antara persoalan orang-orang rendah dengan orang yang

memilih orang yang naik ke menara?

Jika mereka masih ada, maka akan terjadi banyak persoalan

Orang-orang kafi r berteriak hiruk-pikuk terhadap per soalan-persoal-an tersebut.

Jika aku mati, sesungguhnya semua pemuda akan me nemui takdirnya.

Apa yang engkau pikirkan, wahai Lelaki yang Membeli Hati de-ngan Hati? Terbayangkah di benakmu dukude-ngan semacam apakah yang akan Khadijah berikan kelak jika selama ini pun engkau begitu mengandalkannya?

16. Pelarian

16. Pelarian

K

ashva merapatkan penutup kepala, seolah dia ingin mengganti wajahnya dengan permuka an kulit binatang yang menjadi bahan dasar tudung itu. Apa pun, asal penampilannya tersamar. Dia sudah cukup jauh meninggalkan Gunung Sistan. Barangkali ini jarak paling jauh yang sanggup dia tempuh jika harus mengandalkan dirinya sendiri.

Lelaki muda itu menyumpahi dirinya sendiri. Dia tidak per-nah mempersiapkan dirinya untuk keadaan semacam ini; ketika kecemerlangan otaknya dan kefasihan bahasanya tidak mampu menamengi nyawanya. Seluruh mata pedang tentara Khosrou sedang terarah ke jantungnya. Pelarian ini jelas berkonseku ensi kematian. Tidak penting bagaimana Khosrou me nentukan cara kasar atau lembut nyawa Kashva tercabut dari jasad kasarnya. Tetap saja mati.

Jika pada sela jam laboratoriumnya Kashva menyelipkan jadwal berlatih pedang, atau paling tidak melatih otot-otot le-lakinya, ada beberapa bagian dari pelariannya kali ini yang ber-nuansa maskulin. Setidaknya pada beberapa kesempatan terjadi perkelahian-perkelahian kecil melawan orang-orang Khosrou. Ti-dak selalu harus mengumpet, menjadi hantu yang tak terlihat.

PELARIAN

111

Tetapi menolak segala jenis kekerasan memang telah menjadi pi-lihan Kashva sejak lama. Kekerasan, politik, keku asaan, adalah fak-tor di luar sesuatu yang diyakini Kashva sebagai jalan hidup. Se perti orang-orang Kristen yang menolak segala hal berbau dunia.

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 127-142)