• Tidak ada hasil yang ditemukan

malam musim panas, 582 Masehi

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 28-34)

Harus cepat. Hilang satu detik, bisa-bisa kedatangan nama yang dijanjikan Tuhan bisa tertunda, bahkan tak akan terlaksana sela-manya. Sangat menyakitkan jika dirinya tersisih dari daftar manusia-manusia terpilih. Mereka yang me nyadari kedatangan sang raja baru, penguasa dunia, pemilik tempat paling istimewa di surga. Mungkin ... nabi bagi semua agama.

Laki-laki itu berbisik takzim. Kata-katanya keluar patah-patah. Terdengar emosional, penuh ketakutan, bahagia, sekaligus setengah gila, “Semua ... bangsa ... akan Kugemparkan dan ... Him ... Hima ...

Himada ....” Hancur sampai di situ. Badannya berguncang-guncang

seperti kemasukan jin. Matanya merapat, dua sudut kelopaknya di-rembesi air. Susah berhenti. Seolah akan tetap begitu sampai mati. Se senggukan, tertahan-tahan. “Himada akan datang, sehingga ... se-hingga rumah-Ku akan penuh dengan keagungan.”

Dia berusaha mengerem emosinya. Sebentar saja. Sampai selesai kata-kata Tuhan dia gumamkan. Ini kata-kata Tuhan Mahasuci me-lalui Nabi Hagai. Kata-kata Zat yang membuat semua hal menjadi ada. “Kepunyaan-Kulah perak dan kepunyaan-Kulah emas, demikian fi r-man Tuhan Semesta Alam. Adapun Rumah-Ku yang baru, kemegahan-nya akan melebihi kemegahankemegahan-nya yang semula, dan di tempat ini Aku akan memberikan Shalom, demikian fi rman Tuhan Semesta Alam.”

Histeris lagi. Dia seperti dilahirkan hanya untuk mena ngis. Pung-gungnya seolah lengket pada dinding terowongan pendek penghu bung ruangan, melengkung tanpa daun pintu yang sedikit menjorok ke de-pan. Dinding itu membentuk sudut ketika bertemu dinding utama.

Malam sudah terlalu matang. Isak lelaki itu menjadi satu-satunya bebunyian. Mengharukan, memerindingkan. Mata nya terbuka pelan-pelan, mereda pula tangisannya yang misterius. Kejadian siang sebe-lumnya seperti dibentangkan lagi ke depan penglihatannya. Sebuah ade gan pada siang yang memanggang, ketika biara tuanya kedatangan tamu dari jauh.

“Apa hubungan anak ini dengan Anda?”

Dia bertanya kepada seorang lelaki pedagang, pemimpin kafi lah dari Makkah yang ia paksa untuk singgah dalam perjalanan niaga di

HIMADA! HIMADA!

3

Suriah. Sebuah jamuan yang tidak biasa. Sang tuan rumah yang mem-pelajari teks-teks kuno sedari awal memang yakin, hari ini bukan hari biasa. Para tamu dari ne geri jauh itu juga bukan tamu biasa. Begitu juga dengan anak itu. Lelaki belia dengan wajah yang seolah memiliki cahaya sendiri itu seharusnya juga bukan bocah biasa.

Matanya gelisah penuh hal-hal asing. Ketakutan, kerin duan, dan ketakjuban yang diperas bersamaan. Anak laki-laki itu menggerus ke-ingintahuan.

Sang tamu, lelaki dengan tatapan mata seorang pelin dung terbaik sedunia menjawab tanpa setitik pun ragu, “Dia anakku!”

“Tidak mungkin ayah anak ini masih hidup!”

Ada yang melonjak dalam batin penunggu biara itu. Aku tidak

mungkin salah. Tatapannya menyilet lelaki dari Makkah itu. Dia

men-cari tahu, seberapa bersungguh-sungguh lelaki itu dengan jawaban-nya. Mengonfi rmasi isyarat yang dia yakini. Mencari pembenaran pa-da ketetapan yang dia imani. Anak ini harus seorang yatim.

Lelaki Makkah itu seperti tertelanjangi. Meski dia merasa tidak bersalah saat mengatakan bahwa bocah itu anaknya, sang tuan rumah telah memergoki ketidakjujurannya, ketidakterusterangannya. Dia meng kritik dirinya sendiri seba gai tamu yang tidak sopan.

“Dia anak saudaraku,” ujarnya, merevisi apa yang ia ka takan sebe-lumnya. Jemari kiri mengelus jenggot legamnya. “Ayah anak ini me-ninggal dunia pada saat ia masih dalam kan dungan ibunya.”

Seketika, berubah air muka sang tuan rumah. Ada isya rat yang ti-dak pasti apa terjemahannya. Ngeri tetapi juga penuh suka cita, putus asa tetapi penuh harapan. Dia menghampiri anak itu dengan langkah gemetaran.

“Bersumpahlah demi Al-Lata dan Al-‘Uzza.” Dia meminta anak itu menyebut nama dua dewi sesembahan orang-orang Arab.

“Jangan suruh aku bersumpah demi Al-Lata dan Al-‘Uzza,” protes anak itu, “demi Allah, tidak ada yang lebih ku benci dibanding dua dewi itu.”

Dari mana dia belajar mengkritik Al-Lata dan Al-‘Uzza jika orang-orang di sekelilingnya memuliakan dan menyembah putri-putri Tuhan itu?

Berde-bar-debar, dia kemudian menanyai anak yang menolak Lata dan Al-‘Uzza itu tentang kesehariannya, keluarganya, dan angan-a ngannya.

Bocah itu ternyata seorang penggembala belia yang pa ling di-percaya di Makkah. Insting pemimpinnya terasah oleh pengalaman, sedangkan mentalnya seperti didiktekan oleh Tuhan. Tidak pernah berbohong, tidak pernah berkata buruk atau melihat hal yang buruk. Dia bermental kuat dan tidak pernah meratapi nasib. Dia merindukan Tuhan Yang Esa dan membenci tuhan-tuhan yang disembah bapak-bapaknya.

Sang lelaki penunggu biara kian terpesona terhadap bo cah itu. Dia lalu meminta izin kepada anak itu untuk melihat bagian belakang tubuhnya. Persis di antara dua bahunya. Ta ngannya menggigil seperti dijangkiti demam tahunan. Ter ulur, meminta persetujuan sekali lagi lewat tatapan mata lalu menyingkap jubah yang menutupi daerah di antara dua bahu anak itu. Gerakannya luar biasa lambat. Geletar pada jemarinya bekerja lebih cepat dibanding gerakannya sendiri.

Tergeragap dia kemudian. Matanya membelalak seperti sese-orang yang dicabut nyawanya dalam kondisi buruk. Beberapa detik tanpa reaksi, seolah dia benar-benar telah mati. Sang tuan rumah lalu menutup rapat jubah tamu belianya dengan gerakan sigap, membalik-kan badannya kemudian. “Bawa anak itu pulang ke negeri Anda, dan hati-hatilah terhadap orang-orang Yahudi. Demi Tuhan, kalau mereka melihatnya dan tahu seperti aku mengenalinya, mereka akan berbuat jahat terhadapnya! Sebuah masa depan besar terletak di tangan ke-menakanmu ini, maka cepat bawalah dia pulang.”

Lelaki Makkah, paman anak itu, tampak tidak mengerti sama se-kali. Seolah, tuan rumah yang mengundangnya singgah itu menggu-nakan bahasa yang telah lama punah.

“Anak ini adalah pemimpin dunia. Dia utusan Tuhan Semesta Alam.”

Dua bola mata sang paman melebar. Alih-alih merasa tertarik de-ngan kalimat terakhir lawan bicaranya, dia mulai merasa reaksi tuan rumah itu kian berlebihan. Dia masih tak mengatakan apa-apa sampai sang tuan rumah mendekatinya dengan gerakan kaki menderap. “Saat

HIMADA! HIMADA!

5

kalian datang, pohon dan batu menunduk sujud. Kedua-duanya tidak sujud selain kepada seorang nabi. Dan saya juga mengenali tanda ke-nabian dari nubuat yang ada di pundaknya.”

Sang lelaki Makkah lebih tampak seperti Orang Baduwi yang terpana dibanding manusia bijak yang tahu bagaimana harus bertin-dak. Seolah dia berhadapan dengan fenomena paling ganjil seumur hidupnya. Ketidakmengertian yang hanya setara jika ia melihat Ka‘bah yang men jadi tempat ziarah selama ribuan tahun tiba-tiba lenyap dari pusat Kota Makkah. Semacam itu.

Paman anak itu tidak menyiapkan diri untuk mengantisipasi ke-heranannya. Dia hanya mengangguk perlahan, menatap sang tuan rumah, lalu mengajak keponakannya untuk meninggalkan biara yang memberi mereka teduh pada saat matahari memanggang hari itu. “Terima kasih, Pendeta Bahira. Saya akan membawa anak ini pulang ke Makkah.”

Malam sudah membekap ujung waktunya. Dini hari dengan sa-bar mengantar waktu ke mulut fajar. Bahira, pendeta saleh, sang tuan rumah kunjungan kafi lah dari Makkah, ahli waris Biara Bashrah, peng-hafal banyak teks kuno, kini sudah lebih tenang.

Bibirnya seperti sedang mengeja senyum. Matanya yang masih se perti cermin menetes membinarkan pengharapan. Dia merapalkan ayat yang dia hafal dari teks Kitab Kejadian: perkataan Yakub yang penghabisan kepada anak-anaknya. Ia mengucapkannya dengan se-genap perasaan, ”Tongkat ke rajaan tidak akan beranjak dari Yehuda ataupun lambang pemerintahan dari antara kakinya, sampai datang

Shiloh, maka kepadanya akan takluk bangsa-bangsa.”

Tanpa tanda-tanda sebelumnya, seperti bangun dari mimpi yang ditunggangi setan, Bahira buru-buru bangkit. Dia bahkan seolah tidak memberikan waktu kepada hati nya untuk mendebat apa yang terpikir oleh otaknya. Langkahnya tegas-tegas. Menyusuri lorong biara mem-buat bunyi menggema yang menggaung oleh gesekan alas kaki nya ter-hadap lantai biara. Dia ingin segera sampai ke ruang kerjanya lebih cepat dari kapan pun. Sebuah kerinduan raksasa menyeretnya cepat-cepat agar segera duduk di belakang meja kerjanya.

Saban hari, di ruangan itulah umurnya dihabiskan. Du duk khu-syuk, menekuri manuskrip-manuskrip kuno, papi rus-papirus yang mengungkap kejadian di masa lalu dan me neropong apa yang terjadi pada waktu yang akan datang. Selebihnya, dia meremas waktu men-jadi begitu pendek setiap dia menuliskan pemikirannya dalam lembar-an-lembaran dokumen, atau surat untuk dikirim ke berbagai koneksi. Hal yang terakhir itu yang hendak dia lakukan saat ini, ketika kesu-nyian benar-benar sampai pada titik terparah. Hanya napas, gores an tinta, dan sedikit bunyi api memercik di ujung lilin yang meng usik ke-senyapan.

Tinta di tangan Bahira lebih dahulu menulis sebuah na ma sebelum menggoreskan kata apa pun. Seseorang yang akan membaca buncahan hatinya. Seseorang yang akan membantunya menerjemahkan keka-cauan kalbunya. Seorang sahabat baik yang juga mengimani Yesus dengan cinta yang menyeluruh. Seorang pemuda yang kata-k atanya diperhitungkan oleh kaum terpelajar di Makkah. Pengaruhnya ber-wibawa meski acap kali dikucilkan oleh kaum pagan yang menjejali Ka‘bah dengan ratusan berhala. Bahira menuliskan nama itu dengan kesyahduan: Waraqah bin Naufal.

2. Surat Bahira

2. Surat Bahira

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 28-34)