• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kalung ‘Aisyah

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 99-103)

Pesisir Laut Merah, 627 Masehi

11. Kalung ‘Aisyah

11. Kalung ‘Aisyah

W

ahai Lelaki yang Panjang Doa Malamnya, ba gai-ma nakah engkau megai-mahami setiap istrimu? Bu-kankah mereka demikian unik antara satu dengan lainnya?

“Engkau siap, wahai ‘Aisyah?”

Ummu Salamah mengangguk kecil kepada ‘Aisyah, semen-tara dia bersiap memasuki hawdaj yang masih menggeletak di tanah. Dari balik cadarnya, Ummu Salamah mengirimkan pesan yang sangat kuat lewat sapaan matanya. Cara menyapa yang ningrat. Sebagai anggota keluarga Makhzum, Ummu Salamah memang dididik dengan cara bangsawan terhormat.

Di antara kalangan Muhajirin yang datang ke Madinah, Ummu Salamah mewakili kelompok yang pa ling aristokrat. Se-baliknya, ‘Aisyah dan madunya yang lain, Hafshah, lebih merep-resentasikan golongan biasa dalam kekuasaan.

“Tentu, Ummu Salamah,” jawab ‘Aisyah pendek. Mata nya berusaha tersenyum meski dengan cara yang paling sederhana. Dia tahu, Ummu Salamah tetap tidak bisa meng anggapnya ren-dah dengan alasan apa pun. Termasuk karena usianya yang be-lia. Maka, dia berusaha bersikap dengan cara yang benar.

KALUNG AISYAH

73

‘Aisyah membalas anggukan Ummu Salamah dengan tata cara yang baik, sebelum dia juga memasuki hawdaj yang sebentar lagi akan diangkat oleh para pengawal ke atas punggung unta. Duduk di dalam

hawdaj, ‘Aisyah lalu melepas cadarnya sembari memikirkan banyak

hal. Tentang Ummu Salamah, dia menyadari ada se buah perbedaan yang menciptakan jarak antara dia dengan perempuan ningrat itu.

Ummu Salamah tidak seperti Saudah, istrimu selain ‘Aisyah se telah meninggalnya Khadijah. Saudah lugu dan se derhana. Meski awalnya ‘A isyah gemar mengerjai Saudah, pada waktu-waktu setelah nya, kedua-nya bisa saling memahami. Ummu Salamah juga tidak sama dengan Za-inab Ummul Masakin, istrimu yang terkenal karena suka berderma dan meninggal beberapa bulan sebelum engkau menikahi Ummu Salamah.

Selain mengenai fi siknya yang masih menawan pada usia akhir tiga puluhan, barangkali ‘Aisyah menemukan sebuah potensi ketidak samaan yang lebih serius antara diri nya dengan Ummu Salamah. Se perti Zainab binti Jahzi, is tri yang pernikahannya denganmu memicu kontroversi, ‘Aisyah menyadari, Ummu Salamah memiliki kekuatan yang istimewa. Di antara istri-istrimu, kini dia telah menjadi yang dituakan. Sesuatu yang bisa memunculkan banyak kemungkinan. ‘A isyah memikirkan ke-mungkinan-kemungkinan itu sembari merabai lehernya. Memastikan kalung oniks pemberian ibunya masih ada di sana.

Kalung yang dihadiahkan ibunya, Ummu Ruman, satu paket de-ngan baju garis-garis indah dari Bahrain yang dibe likan ayahnya, Abu Bakar. Keduanya menjadi kostum pe ngantin yang dikenakan ‘Aisyah saat engkau menikahinya. Pernikahan sederhana yang hanya dihi-dangi semangkuk su su. Semangkuk untuk beramai-ramai. Seteguk un tukmu, seteguk malu-malu oleh ‘Aisyah, diteruskan Asma‘–saudari seayah ‘Aisyah, dan akhirnya diminum bergantian oleh seluruh hadi-rin yang menyaksikan pernikahanmu yang kedua setelah meninggal-nya sang perempuan suci: Khadijah.

Deg. ‘Aisyah merasakan jantungnya mendetak lebih ke ras diban ding

kapan pun. Jemarinya merabai lagi lehernya secara rata. Benar-benar

ti-dak ada. Kejadian lagi. Kalung oniks itu titi-dak ada di lehernya. Jatuh lagi.

Tetap tidak ada. Jemari ‘Aisyah menyibak tirai hawdaj. Belum terlihat pe-ngawal yang akan mengangkat hawdaj-nya ke atas punggung unta. Masih

ada waktu. ‘Aisyah meraih cadarnya, lalu melangkah ke luar hawdaj.

Sambil tolah-toleh memastikan bahwa rombongan belum akan berangkat, ‘Aisyah lalu diam sebentar di depan hawdaj-nya. Meng-ulang setiap kejadian beberapa saat sebe lum dia kembali ke lokasi ke-mah itu. Cara ini biasanya efektif untuk menemukan barang-barang yang terjatuh dari tempat asalnya.

‘Aisyah lalu menuju jalan setapak agak menjauh dari lo kasi ke-mah. Semakin jauh mengikuti keyakinan ingatan istrimu paling belia itu. Sampai kemudian dua mata ‘Aisyah demikian berbinar saat meli-hat kalung oniksnya tergeletak di atas pasir. Segera dipungutnya de-ngan hati-hati.

Dia lantas buru-buru menuju tempat kemah agar tidak terting-gal rombongan. Langkah-langkah kaki ‘Aisyah seper ti berpacu dengan angin. Dia ingin segera duduk kembali di balik tirai hawdaj-nya. Seke-tika ‘Aisyah merasa ada yang melompat dalam dadanya. Area tempat tendamu dan tenda kedua istrimu didirikan telah senyap. Tidak ada tenda, rombongan pun sudah berangkat.

“Apakah para pengawal itu tidak bisa membedakan hawdaj kosong dengan yang berisi?” ‘Aisyah tak mampu menolak rasa kesalnya. Ter-tinggal rombongan begini bisa menda tangkan masalah serius. Setiap saat fi tnah mengancam istri-istrimu. Penetapan cadar sebagai penu-tup wajah istri-istrimu pun dilakukan untuk meminimalisasi rumor yang ber munculan. Bagaimana caranya mengatasi fi tnah kali ini?

e

‘Aisyah duduk di atas batu sembari mendudukkan batinnya: tak ada pilihan selain menunggu. Sekarang dia berharap, pa ra pengawal peng-usung hawdaj itu menyadari keteledoran mereka dan kembali untuk menjemput dirinya. Menunggu sekian lama tidak kunjung berujung. ‘Aisyah membuka ca darnya untuk mengurangi rasa panas yang me-ringkus wajah nya. Jika nanti terdengar ringkik kuda atau derap kaki-kaki unta, dia bisa segera mengenakan cadarnya kembali.

KALUNG AISYAH

75

Tetap saja tidak datang tanda-tanda kembalinya rombongan atau setidaknya beberapa orang yang menjemputnya. Cuaca sedikit mere dup. Ada angin sepoi yang membelai. ‘Aisyah didatangi kantuk. Matanya menjadi berat dan ingin terlelap. Tak berapa lama, dia benar-benar tertidur berbantal lengan.

“Sungguh kami adalah milik Allah, dan kepada-Nya ka mi akan kembali.”

‘Aisyah mendengar kalimat itu pada batas antara mimpi dan kenya-taan. Sebuah kalimat yang akan selalu dikatakan oleh seorang Muslim ketika tertimpa cobaan atau kehilang an sesuatu. Dia segera tersadar.

“Ini adalah istri Rasulullah.”

Suara yang sama. ‘Aisyah buru-buru meraih cadar dan mengena-kannya. “Shafwan, rupanya engkau yang datang.” ‘Aisyah lega bukan main karena dia mengenal pemuda yang menghampirinya. Shafwan putra Al-Mu‘aththal, pemuda yang telah dia kenal sejak lama.

“Bukankah seharusnya engkau bergabung dengan rombongan Rasulullah, wahai Shafwan?”

Shafwan menundukkan kepalanya dengan takzim. “Saya tidak tidur di dalam tenda dan tertinggal oleh rombongan, wahai Ummul Mukminin.”

‘Aisyah menegakkan badannya. Setidaknya dia sekarang punya ka-wan senasib.

“Jika tidak keberatan, Anda bisa naik di atas unta saya, wahai istri Rasulullah. Saya akan mengawal Anda sampai bertemu dengan rom-bongan Rasulullah.”

‘Aisyah berpikir sejenak sebelum menganggukkan kepala. Dia me mang ingin segera sampai di Madinah. Bukan hanya disebabkan oleh kegelisahan karena tertinggal rombongan namun juga rasa tidak nyaman pada tubuhnya. Perjalanan kali ini menguras tenaga dan dia mulai merasakan sakit pada beberapa bagian dirinya.

Naiklah ‘Aisyah kemudian ke punggung unta milik Shafwan, se-mentara pemuda itu berjalan kaki di depannya sembari memegang tali kekang unta dan melakukan pengawalan terbaik.

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 99-103)