• Tidak ada hasil yang ditemukan

Madinah, sepulang perjalanan

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 103-110)

A

pakah yang tengah terjadi sehingga wajahmu tampak sulit diselami, wahai Lelaki yang Senantiasa Berpra-sangka Baik?

“Bagaimana keadaan kalian?”

‘Aisyah menatapmu yang berdiri di depan pintu biliknya. Engkau tidak menatap istrimu itu tepat pada matanya. Engkau bertanya kepada perempuan yang merawat diri ‘Aisyah sejak pu-lang ke Madinah dan jatuh sakit. Apakah ‘Aisyah merasakan ada hal yang berubah pada dirimu? Jika yang sakit adalah dirinya, mengapa pertanyaanmu tidak khusus diarahkan kepadanya?

Tidak ada jawaban. ‘Aisyah menggeliat di tempat tidurnya. “Rasulullah, aku meminta izin untuk pergi ke rumah orangtuaku selama sakit. Kupikir mereka akan me rawatku dengan baik.”

Engkau menatap ‘Aisyah. Tatapan yang tidak biasa. “Ba ik-lah.”

Barangkali, ‘Aisyah merasakan sesuatu yang berjarak da-ri kalimatmu. Bukankah jika cinta, seharusnya engkau tidak akan meluluskan permintaannya? Pada kesempatan lain ketika ‘Aisyah sakit, engkau memberi perhatian yang jauh lebih baik ketimbang hari ini. ‘Aisyah perempuan sensitif. Dengan

kece-DESAS-DESUS

77

merlangan otaknya, sensitivitas itu menjadi analisis yang menggang-gu. Tapi sekarang ‘Aisyah lebih memikirkan kesehatan tubuhnya. Bisa jadi dia berpikir, saat ini apa yang dipikirkan olehmu jadi urusan yang bisa nanti ia cari tahu.

Dibantu oleh beberapa orang, ‘Aisyah lalu meninggalkan biliknya untuk mendatangi rumah ayah-ibunya. Tampaknya, dia sangat ingin dirawat oleh ibunya saat ini. Pada saat-saat tertentu seorang anak akan selalu merindukan tangan ibunya. Perawat terbaik di dunia. ‘A isyah membutuhkan ibunya dari berbagai sudut. Baik karena tubuh-nya yang mele mah, maupun karena psikistubuh-nya yang gelisah.

Bahkan, meski dirawat langsung oleh ibunya, butuh waktu belas-an hari bagi ‘Aisyah untuk benar-benar merasakbelas-an kebugarbelas-annya kem bali seperti sediakala. Pada sore yang ter lihat cerah, ‘Aisyah me-mutuskan untuk berjalan-jalan ke luar rumah ditemani oleh seorang kerabatnya. Dia ingin me ngetes sejauh apa kesehatannya pulih sekali-gus melihat-lihat kondisi di luar rumah. Sebuah sore menyenangkan yang berpuncak pada tangis pilu ‘Aisyah sepulang dia ke rumah.

“Tuhan memaafkanmu.” ‘Aisyah berkata dengan nada te gas ke-pada Ummu Ruman yang menyambut kedatangannya, “Orang-orang membicarakanku dan engkau tidak sedikit pun mengatakan tentang hal itu.”

Ummu Ruman, ibu ‘Aisyah, segera paham apa yang di maksud putri kesayangannya. “Gadis kecilku,” ujarnya pe nuh hati-hati, “jangan ang-gap rumor itu serius. Jarang ada seorang wanita cantik yang dinikahi seorang lelaki yang mencintainya, melainkan istri-istri lelaki itu akan menggosipkan dirinya, kemudian orang lain mengulangi perkataan para istri itu.”

Menangislah ‘Aisyah kemudian. Seolah tangisannya mam pu me-mecahkan hatinya. Peristiwa sore sebelumnya, Ummu Misthah, kera-bat yang menemaninya berjalan-jalan keceplosan menyebut tentang gosip yang telah berhari-hari menyebar di seluruh Madinah. Sebuah berita tentang diri nya yang terlibat perselingkuhan dengan Shafwan. Tentu sa ja peristiwa kalung itu sumber ceritanya, ketika ‘Aisyah ter-tinggal rombongan dan Shafwan menemukan dirinya.

‘Aisyah merasakan kepedihan yang terasa tak sanggup lagi tertam-pung oleh dadanya. Gosip itu membuatnya meng hubung-hubungkan adegan ketika engkau berubah sikap ter hadapnya. Bagaimana caranya menjawab rumor yang telah diulang oleh mulut-mulut hampir semua penduduk Madinah?

e

Ini orang kesekian yang engkau temui lalu engkau tanyai mengenai ‘Aisyah. Barirah, pembantu ‘Aisyah mendapat gilir annya. Sekarang engkau menghadapi Barirah dan mengharap sebuah jawaban yang me-ne nangkan batinmu.

“Pernahkah engkau melihat sesuatu yang membuatmu curiga ke-pada ‘Aisyah, wahai Barirah?”

Barirah menegapkan wajahnya penuh keyakinan, “Demi Tuhan yang mengutusmu dengan kebenaran, aku hanya ta hu yang baik saja tentangnya. Jika terdapat yang lain, niscaya Allah akan memberi tahu rasul-Nya. Satu-satunya kesalahan yang kutemukan pada diri ‘Aisyah adalah ketika ia masih seorang gadis belia.”

Barirah menjeda kalimatnya, “Ketika itu, aku membuat adonan roti dan aku memintanya untuk mengawasi adonan tersebut. Ternyata dia tertidur sehingga domba peliharaannya memakan adonan roti. Aku me-marahinya karena hal itu.”

Setidaknya apa yang dikatakan Barirah menebalkan ke ya kinanmu bahwa istrimu diyakini sebagai pribadi yang nirmala, suci tak bernoda di mata orang-orang yang menge nalnya. Engkau pun mengucapkan terima kasih kepada Barirah sebelum memutuskan pergi ke masjid.

Ketika itu, orang-orang telah berkumpul di masjid untuk men-dengarkan kata-katamu. Engkau naik ke mimbar lalu memuji nama Tuhan sebelum memulai kalimatmu. “Wa hai umatku, apakah kalian mengatakan yang melukaiku tentang keluargaku, melaporkan dari me-reka sesuatu yang tidak benar? Demi Tuhan, aku tidak mengetahui kecuali kebaikan dari rumah tanggaku. Dan tidak ada selain kebaikan dari lelaki yang mereka perbincangkan itu. Orang yang tidak pernah masuk ke dalam rumahku selain jika aku bersamanya.”

DESAS-DESUS

79

Setiap telinga mendengarkan, setiap hati berusaha menyimak kata-katamu. Engkau tengah memberikan argumentasi gamblang menge nai rumor yang berkembang. ‘Aisyah tidak bernoda dan Shaf-wan memiliki reputasi tak tercela.

Engkau mengamati orang-orang, memeriksa akibat da ri kalimat-mu barusan. Seorang laki-laki dari suku Khazraj berdiri. Namanya Usaid. “Wahai Rasulullah, jika mereka berasal dari Aus, kami akan mengatasi mereka. Dan jika saudara kami dari Khazraj, maka berikan-lah perintahmu kepada kami. Karena mereka patut dipenggal kepa-lanya.”

Belum lagi selesai kalimat Usaid, berdirilah Sa‘d bin Ubadah. “Demi Tuhan, engkau pembohong!” katanya. “Engkau tidak boleh dan tidak dapat membunuh mereka. Engkau juga tidak berhak berkata demikian karena mereka adalah kaummu.”

“Demi Tuhan, engkaulah pembohong!” sahut Usaid. “Ki ta wajib mem bunuh mereka. Dan engkau seorang munafi k berupaya keras de-mi kepentingan orang-orang munafi k.”

Adu mulut berlangsung sahut-menyahut. Semakin lama semakin keras dan memanas. Engkau sadar benar kondisi ini bisa berkembang semakin buruk. Engkau kemudian turun dari mimbar untuk nangkan orang-orang. Engkau mengucapkan kata-kata yang mene-nangkan dan mampu men damaikan mereka yang bersitegang.

Apakah keadaan memang menjadi tidak mudah bagi di rimu? Meski engkau memercayai kesucian ‘Aisyah, fi tnah para penyebar go-sip itu membutuhkan sebuah bukti untuk mematahkannya. Apakah engkau kini begitu menunggu turunnya petunjuk dari Tuhan, seperti halnya setiap pertanya an dijawab oleh ayat-ayat dari langit selama periode turunnya wahyu?

e

Sudah sebulan sejak rumor itu membiak. Apakah engkau merasa su-dah waktunya mendatangi ‘Aisyah di rumah orangtuanya? Barangkali, engkau ingin meyakinkan sekali lagi apa yang ada di hatimu dengan cara bertanya langsung kepada istri beliamu.

Ketika engkau datang, ‘Aisyah sedang duduk bersama kedua orangtuanya dan seorang perempuan Anshar. ‘Aisyah dan beberapa perempuan tampak sedang menangis. Suasana ini saja barangkali su-dah membuatmu terbebani. Menyaksikan ‘Aisyah menangis oleh urus-an yurus-ang ditimpakurus-an kepada istrimu itu tentu membuatmu bersedih hati. Namun, seba gai seorang pemimpin, bukankah engkau harus me-minggirkan sementara perasaan-perasaan pribadimu?

Engkau berucap tiada Tuhan selain Allah sebelum me mulai ka-limatmu. “Wahai ‘Aisyah, aku telah diberi tahu begini dan begitu me-ngenai Shafwan dan dirimu. Jika engkau tidak bersalah, pastilah Allah akan mengumumkan bahwa engkau tidak bersalah. Dan jika engkau telah melakukan hal yang buruk, maka mintalah maaf dan pengam-punan kepada Allah. Karena sesungguhnya jika seorang hamba meng-akui kesalahannya dan bertobat, Allah akan mengampuninya.”

Menyimak kalimatmu, ‘Aisyah semakin merasa diragukan keju-jurannya. Dia menoleh kepada Abu Bakar, ayahnya, sembari berli-nangan air mata, “Jawablah pertanyaan Rasulullah untukku, wahai Ayah.”

Abu Bakar yang sejak tadi tak bersuara berujar, “Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, ‘Aisyah.”

Dengan nelangsa ‘Aisyah lalu memohon kepada ibunya untuk melakukan hal sama. Sang ibu memberi jawaban serupa dengan apa yang dikatakan ayahnya. ‘Aisyah semakin merasa posisinya sungguh tertekan. Kini, bahkan kedua orang tuanya enggan memberi sebuah pembelaan. Keterdesakan itu justru memunculkan sebuah kekuatan di lidah dan bahasa tubuh ‘Aisyah.

Dia menegakkan wajahnya menatapmu: suami yang ia cintai, lalu kedua orangtuanya, kemudian kembali kepada mu, “Aku benar-benar tahu bahwa engkau telah mendengarkan apa yang dikatakan orang-orang. Dan hal itu telah tertanam ke dalam hatimu. Dan engkau telah memercayainya. Dan jika kukatakan kepadamu bahwa aku tidak ber-salah, engkau tidak akan memercayaiku. Sebaliknya, jika aku meng aku bersalah, padahal Allah Maha Tahu bahwa aku tidak bersalah, engkau akan memercayaiku.”

DESAS-DESUS

81

Kalimat ‘Aisyah sungguh berharga diri tinggi. Tanpa rasa takut, dan bahkan sebaliknya, memperlihatkan kewibawaan dan kebang-gaan, “Tetapi aku akan berkata sebagaimana ayah Nabi Yusuf berkata,

‘kesabaran yang baik itulah kesabaranku. Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang engkau ceritakan’.”

Sebuah penutup yang sempurna. ‘Aisyah menyelesaikan kalimat-nya dengan penuh kepercayaan diri. Sesuatu yang di tanah Arab baru diberikan kepada kaum Hawa setelah engkau menyebarkan ajaranmu. Kenyataannya, tidak seorang pun istrimu yang takut, dalam pema-haman positif, terhadap dirimu. Mereka sewaktu-waktu akan berdiri di hadapanmu dan pada saat yang sama, engkau siap mendengarkan apa yang mereka katakan.

Dengan kegeniusan yang masyhur, ‘Aisyah selalu bisa mengung-kapkan isi hatinya kepadamu tanpa menjadi sebuah kalimat yang ber-lebih-lebihan atau menyinggung perasaan.

Setelah menuntaskan kalimatnya, ‘Aisyah meninggalkan orang-orang untuk kemudian berbaring di tempat tidurnya. Tetap saja, meski secara mandiri ‘Aisyah sanggup membela dirinya sendiri, dia berharap agar Tuhan memberi bisikan kepadamu, mengklarifi kasi fi tnah yang menimpa dirinya.

Barangkali, jika urusannya ini dianggap ringan untuk men jadi penyebab turunnya ayat Tuhan, ‘Aisyah berharap, se tidaknya Tuhan memberikan gambaran lewat sebuah mimpi dalam tidurmu. Sebuah gambaran yang membersihkan diri nya dari tuduhan itu.

Ketika ‘Aisyah masuk ke tempat tidurnya, engkau masih duduk di ruang tamu bersama Abu Bakar dan beberapa orang lainnya. Apa yang terjadi terhadap dirimu, wahai Lelaki yang Senantiasa Mengkhawa-tirkan Umat?

Engkau tampak mengalami sesuatu yang terlihat menyu sahkan. Keringat bercucuran padahal hari cenderung dingin. Apa pula yang ada dalam pikiran orang-orang di ruangan itu? Apakah mereka mem-batin, kalimat-kalimat Ilahi tengah meresapi jiwamu? Seperti halnya ketika situasi semacam ini terjadi, beberapa saat setelahnya engkau akan melisankan kalimat-kalimat suci.

Kemudian, engkau bukan saja menegaskan betapa tidak bersa lah-nya ‘Aisyah, tetapi juga mengecam para penuduh. Engkau juga mene-tapkan persyaratan sa ngat ketat mengenai bukti-bukti yang harus ada bagi sese orang untuk menjatuhkan putusan atas tindakan seseorang dalam situasi yang tidak jelas dan meragukan.

“‘Aisyah, segala puji bagi Allah, karena Dia telah mengumumkan bahwa engkau tidak bersalah.” Apakah bergetaran suaramu oleh baha-gia? Wajahmu bersinar penuh harapan. Suasana pun segera berubah. Orang-orang merasakan kele gaan luar biasa. Abu Bakar memberi tan-da kepatan-da istrinya untuk membangunkan ‘Aisyah.

Ummu Ruman pun segera menuju bilik putrinya. Wajahnya ber-seri-seri. “Bangunlah dan temuilah Rasulullah,” ujarnya penuh suka cita.

‘Aisyah tidak memperlihatkan reaksi yang berlebihan. “Aku tak akan menemuinya atau berterima kasih kepadanya. Aku juga tidak akan berterima kasih kepada kalian berdua yang telah mendengarkan fi tnahan itu dan tidak membantahnya. Aku akan bangkit untuk ber-terima kasih kepada Allah semata.”

‘Aisyah berkata setengah menggerutu. Dia lalu bangkit untuk ber syukur secara khusus kepada Tuhan. Di luar bilik, engkau meng-umumkan ayat-ayat baru yang membersihkan nama ‘Aisyah dan me-ngutuk pemfi tnah yang menyebarkan berita bohong mengenai diri-nya. ‘Aisyah kembali menjadi nir mala: suci, tak bernoda.

Satu masalah terlampaui, tetapi ‘Aisyah sadar ada hal lain yang akan sangat mengganggunya. Sesuatu yang akan datang langsung ke muka pintu rumahnya.

13. Pengemis

13. Pengemis

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 103-110)