• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggenggam HujanPenggenggam Hujan

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 177-185)

Penggenggam Hujan

N

amanya Parkhida. Kashva tidak akan pernah melupa-kan nama lelaki itu sampai habis napasnya. Parkhida yang membuat Kashva ambruk pada hari terakhirnya di Gathas. Mukanya lembam keseluruhan. Tulang-belulangnya berasa remuk oleh rasa sakit dan kenyataan beberapa bagian tangan dan kakinya yang memang patah.

Suara lelaki itu yang menggerakkan belasan orang menyer-bu Kashva, mengikat tangannya, menjauhkannya dari Astu, se puluh tahun lalu. Anak kepala suku yang kini menggantikan ayahnya. Ketika itu, Kashva adalah astronom muda yang belum memiliki keduduk an kuat di Kuil Sistan sedangkan Parkhida adalah pemilik warisan kekuasaan di Gathas.

“Aku sangat menghargai keberanianmu saat mengingatkan Khosrou tentang kedatangan nabi baru itu.”

Alangkah cepatnya kabar tersiar. Parkhida mengangsurkan tangannya, mempersilakan Kashva untuk menikmati tehnya. Keduanya berbincang di ruang tamu rumah Parkhida yang cu-kup lapang, meski nyaris tidak ada isinya. “Persia sedang di ujung kehancuran. Khosrou semakin bernafsu menyebarkan pe rang dan mengalami kekalahan. Warisan Zardusht tak lagi dihiraukan. Ini alamat buruk.”

LELAKI PENGGENGGAM HUJAN

151

Parkhida meraih cangkir tehnya. Tangan kasarnya ter angkat. Le-ngan deLe-ngan rambut keriting dan rapat. Dia kini adalah lelaki di awal tiga puluhan dengan sosok yang kukuh. Badannya setinggi Kashva tetapi memiliki otot yang jauh lebih terlatih. Matanya jernih dengan alis rapat yang seperti ditempel. Hidungnya besar dan kukuh. Kumis melintangi daerah atas bibirnya.

Kashva tak terlalu tertarik mengikuti pembicaraan Par khida. Dia tak sanggup melupakan adegan terakhir pertemuannya dengan suami Astu itu. Namun, Kashva lebih tak sanggup lagi memahami bagaimana laki-laki itu sanggup ber sikap seolah-olah tidak ada masalah dengan-nya. Tidak pernah terjadi hal-hal yang mengganggudengan-nya.

Benar, peristiwa itu sudah sepuluh tahun berlalu. Namun, melu-pakannya? Mana sanggup Kashva melakukannya? Memaafkan barang-kali mampu. Tetapi, melupakannya? Itu urusan waktu. Dan, sepuluh tahun ini waktu tidak terlalu berhasil melakukan fungsinya. Adegan yang terlalu dramatis untuk dilupakan. Dia yang berdarah-darah ter-kapar di pinggir dusun, sedangkan Astu berteriak selantang yang dia mampu ketika tubuhnya diseret Parkhida. Dibawa paksa pulang ke rumahnya. Besok paginya mereka menikah.

Itu adalah usaha terakhir Kashva setelah perbincangan dingin-nya dengan Astu sehari sebelumdingin-nya. Dia memahami, Astu hadingin-nyalah bingung dengan kondisinya. Bukan menolak kehadiran Kashva, me-lainkan tidak tahu harus bersikap ba gaimana menghadapi pernikahan bermotif misterius itu.

Berjuanglah Kashva kemudian dengan tangannya. Dia berencana membatalkan pernikahan Parkhida dan Astu de ngan kelincahan lidah-nya, keanggunan bahasanya. Dua ke mampuan yang dijawab oleh Parkhi-da dengan kepalan ta ngannya juga kekasaran belasan anak bu ahnya.

Setelah sepuluh tahun berlalu, Kashva masih belum me nemukan jawaban, mengapa Yim, kepala rumah tangga Kuil Sistan itu, tidak membelanya. Dia membiarkan anaknya dinikahi paksa oleh Parkhida tanpa penolakan sejumput pun. Kashva tidak pernah bertanya. Sebab, setelah pernikah an itu, pertanyaan apa pun tidak akan mengemba-likan keadaan menjadi seperti semula.

Pertanyaan yang semakin menua. Ketidakmengertian. Apalagi ke-tika Kashva meyakini, Yim sangat menyayanginya, menghormati nya. Bu-kankah akan sempurna jika dia menjadi anak menantu Yim? Kenyataan tidak seperti itu. Sekarang, setelah sepuluh tahun luka da lam itu, Yim me-ngirim paksa Kashva ke Gathas. Dan, melihat reaksi orang-orang, Kashva semakin yakin, semua sudah dipersiapkan. Bahkan, Parkhida yang dulu demikian membencinya bisa bersikap begini ramah dan mendukungnya.

“Gathas akan menjadi tempat yang aman bagimu sementara ini. Aku menjamin keselamatanmu di sini.”

Kalimat Parkhida lagi. Sesuatu yang semakin membuat Kashva kian tidak paham. Bagaimana cara Yim menjinakkan hati Parkhida? Kehadiran Kashva seharusnya menjadi ganjalan baginya jika meng-ingat apa yang terjadi sepuluh tahun lalu. Namun, lelaki itu seolah tidak teringat sama sekali de ngan peristiwa itu.

“Terima kasih.” Kashva menyeruput tehnya. “Xerxes, dia anak yang sangat menyenangkan,” ujarnya memindahkan tema obrolan.

Seketika air muka Parkhida berubah. Gembira tak terkira. “Ya. Dia kebanggaan kami. Usianya belum enam tahun, tapi cerdasnya bukan main. Kudengar kau menjadi korban bunga cengkihnya?” Par khida terbahak dengan cara yang sangat laki-laki. Lantang tanpa beban. Su-ara beratnya menajamkan kesan itu.

“Benar. Cerdas, seperti ibunya.”

Terhenti tawa Parkhida oleh kalimat Kashva. Tinggal sengalan ke-cil, “Kau benar. Dia cerdas seperti ibunya.” Berubah lagi tampak wajah Parkhida. Ketika itu, Astu masuk ke ruang tamu sembari membawa beberapa lembaran manuskrip.

“Kukira aku harus mengerjakan sesuatu,” kalimat Par khida me-nyambut kedatangan istrinya. “Orang-orang dusun sedang mengetat-kan pengamanan. Suasana sedang tidak me nentu. Aku harus meng-hadiri rapat mereka sekarang.” Parkhida memberi tanda kepada Astu, berpamitan. Astu meng angguk.

“Tuan Kashva, berbincanglah dengan bebas. Aku sudah menyiap-kan rumah untuk tempat tinggalmu selama di sini. Di pinggir dusun. Mashya sudah lebih dulu ke sana.”

LELAKI PENGGENGGAM HUJAN

153

“Terima kasih.”

Kashva hanya memiliki dua kata itu untuk Parkhida. Sang kepala suku kemudian menderap keluar pintu. Tidak ada keraguan pada lang-kahnya. Sepeninggal Parkhida, As tu duduk di hadapan Kashva. Tidak terlalu dekat. Keduanya duduk di atas lantai beralas tikar ilalang. Astu menyodor kan beberapa gulungan manuskrip kepada Kashva yang menyam butnya dengan takjub.

“Kau menguasai bahasa Sanskerta, bukan?” Astu merapikan du-duknya, seakan bersiap untuk sebuah pembicaraan yang panjang dan serius. “Di tanganmu itu salinan Kuntap Sukt, bagian dari bab ke-20

Atharva Weda, kitab penting di antara empat kitab Weda.”

Kashva menatap lembaran itu dengan perasaan yang mem buncah. “Brahma Weda, pengetahuan ketuhanan. Orang-orang beragama di India sangat menyucikannya.”

“Kuntap Sukt setiap tahun dilantunkan dalam acara agung saat ibadah dilakukan dan kurban dipersembahkan,” sahut Astu.

Mata Kashva melebar antusias. “Tujuh belas pandit agung duduk bersama setiap tahun melantunkan ayat ini dengan khusyuk.”

Kedua pandangan itu bertaut. Déjà vu. Bertahun-tahun lalu, ade-gan ini terulang hampir saban hari, setiap Kashva dan Astu berade-gantian menemukan hal-hal baru. Mereka dua orang muda pembelajar yang senang membaca apa saja, menyaksikan hal-hal baru, dan tertantang terhadap apa-apa yang oleh orang lain bersifat tabu. Termasuk ten-tang keyakinan ketuhanan.

“Dari mana engkau mendapatkan salinan yang tak ternilai ini, Astu?”

“Ayah mengumpulkannya sejak puluhan tahun lalu dari para pan-dit kenalannya.”

Kashva memeriksa sekilas teks manuskrip itu. “Bagaimana aku bisa tidak tahu?”

“Ayah tidak pernah menyimpannya di Kuil Sistan.”

Kashva menatap Astu. “Tentu saja. Khosrou akan menjatuhkan hukuman mati jika mengetahuinya.”

Astu mengangguk. “Ayah menitipkannya kepada keluarga Par-khida.”

Kashva memelankan reaksinya, “Iya. Tentu saja.” Dia kembali fokus ke lembaran di tangannya. “Aku pun beberapa tahun ini me-nyembunyikan surat-surat dari sahabat-sahabatku.”

“Termasuk dari penjaga biara di Bashrah itu, bukan?”

Kashva mengangkat wajah. “Bagaimana kau tahu?” berpikir bebe-rapa detik, ”Yim, tentu saja.” Pandangan Kashva me nyalakan sema-ngat. ”El adalah seorang Kristen yang sa ngat baik, Astu. Dia memberi tahu kepadaku banyak hal tentang Kristen dan tentang seorang nabi baru dari tanah Arab.”

Astu tak tampak terlalu antusias. “Ayah mengatakan kepadaku, setelah kepulanganmu dari Suriah, kau tidak berhenti membicarakan temanmu itu.”

“Tidak disangka memang. Khosrou menyuruhku untuk mengun-jungi Suriah demi kepentingan politisnya. Sedangkan dari kunjungan itu aku justru mendapatkan seorang sahabat baru meski kami tidak bertemu secara langsung. Jika Khosrou tahu apa yang kami bicarakan, itu akan membuatnya murka. Khosrou tidak pernah menyukai ide tentang kedatangan nabi baru,” menjeda dengan helaan napas, “Tidak persis sepulang dari Suriah sebenarnya. El mulai mengirimiku surat beberapa bulan setelahnya.”

Astu menatap Khasva dengan cara yang unik. Seperti se buah ke-sedihan. Keprihatinan. Kashva bisa menangkap pesan itu. “Apa yang engkau khawatirkan?”

“Temanmu itu, apakah dia benar-benar ada?”

“Apa?” Khasva tampak sedikit terganggu dengan perta nyaan Astu, “Maksudmu aku sedang mengarang cerita, Astu? Aku membawa semua surat El dalam kotak kayu itu.” Kashva menunjuk kotak kayu bertuahnya. “Tujuanku meninggalkan Kuil Sistan pun untuk pergi ke Suriah, menemui El. Jika saja Mashya tidak membelokkanku ke Gathas, mungkin aku sudah sampai di Suriah.”

“Atau justru ke lubang penjara Khosrou,” sambar Astu. “Sadarkah kau, Kashva? Namamu sudah disebarkan ke selu ruh penjuru negeri

LELAKI PENGGENGGAM HUJAN

155

sebagai buronan nomor satu. Seluruh perbatasan dijaga ketat, ter-utama yang berdekatan dengan arah ke Suriah.”

Kashva menghentikan kalimatnya. Dia tidak berminat untuk ma-suk ke dalam sebuah debat. Dia sibuk lagi dengan lembaran-lembaran manuskrip di tangannya.

“Dengarkan, wahai manusia! Pujian agung akan dilan tun kan. Wa-hai, Kaurama, kita telah terima dari para Rushamas, enam puluh ribu sembilan puluh.”

Garis wajah Kashva mendadak menjadi begitu serius. Berusaha mencerna isi ayat-ayat yang ia urut dari barisan paling awal itu. “Dua puluh ekor unta menarik kereta, dan dia duduk di dalam bersama is-tri-istrinya. Atap kereta meng angguk-angguk dibuai sentuhan langit.” Mengerut bagian di antara kedua alisnya. “Engkau memahami makna ayat ini, Astu?”

Astu menggeleng. “Aku menyimpannya saja. Ayah me ngatakan kepadaku, sebagian besar ayat Kuntap Sukt meramalkan akan keda-tang an nabi baru. Nabi umat manusia di seluruh dunia.”

Kashva membaca lagi, “Dia memberikan kepada Mamah Rishi se-ratus koin emas, sepuluh rangkaian bunga, tiga se-ratus ekor kuda tung-gangan, dan sepuluh ribu ekor sapi.” Semakin menggeleng jadinya, “Sebarkan kebenaran, wahai engkau yang mengagungkan, sebarkan kebenaran, seperti seekor burung yang bernyanyi di atas pohon ber-buah ranum. Bibir dan lidahmu bergerak laksana pedang yang tajam.”

“Ada satu kata yang aku sedikit tahu maknanya,” potong Astu. “Kata apa?”

“Coba engkau buka halaman ketiga. Ayat terakhir. ‘Kau te rus ber perang dengan berani menghancurkan berbagai ben teng dengan keberanianmu, bersama sahabatmu yang memuja Tuhan, telah meng-hancurkan dari jauh Namiuchi yang licik dan pengkhianat.”

Kashva mengecek setiap kata yang diucapkan Astu. “Eng kau meng hafalnya di luar kepala.” Kashva menggeleng. “Harusnya aku sa-dar betapa cerdas dirimu.”

“Belasan tahun aku hidup bersama lembaran-lembaran itu. Bu-kan luar biasa jika aku menghafalnya.”

Kashva mengangguk. Sadar jika pujiannya pun bisa ja di sudah ti-dak pada tempatnya. “Kata apa yang kau tahu mak nanya?”

“Namiuchi. Kata itu dalam bahasa Panini bermakna ‘orang yang berusaha menggenggam hujan’. Dalam Rig Weda, Namiuchi berarti roh jahat yang menahan awan pembawa hujan turun ke bumi.”

“Kupikir,” Kashva mulai membuat analisis-analisis, “ka ta kunci-nya adalah ... hujan.”

Astu mengangguk sembari tersenyum. Mau tidak mau, diskusi mereka benar-benar menarik mundur waktu ke masa ketika keduanya hampir setiap hari melakukan hal ini. Dulu, ketika Kashva dan Astu adalah dua remaja yang menghuni Kuil Sistan.

“Dalam Rig Weda dikisahkan, Indra menghancurkan roh jahat itu,

Namiuchi, dan melepas awan-awan yang membawa hujan.”

“Dan ... makna hujan adalah?” Kashva mulai tidak sabar. “Wahyu Tuhan,” jawab Astu setegas karang.

Senyum Kashva melebar, “Hampir semua bangsa meyakini bahwa hujan wahyu dari Tuhan hanya jatuh terbatas pada lingkup bangsa mereka. Namiuchi adalah bangsa yang ingin memonopoli wahyu Tu-han Tu-hanya untuk bangsa me reka.”

Kashva diam sebentar. Memeriksa pengaruh kalimatnya ter-hadap Astu. Dia menangkap sebuah semangat di mata pe rempuan itu. Semangat berdiskusi yang dulu menyala di mata itu setiap hari. “Siapa pun nabi yang dibangkitkan, dia akan menghancurkan

Namiu-chi. Menghentikan dominasi nya. Membuktikan bahwa hujan wahyu

turun untuk semua bangsa dan tidak terbatas pada suatu kasta atau klan saja.”

“Dialah Lelaki Penggenggam Hujan sejati.”

“Apa?” Kashva begitu tertarik dengan kalimat terakhir Astu. “Maksudmu, Astu?”

“Jika Namiuchi adalah bangsa yang berusaha menggenggam hujan dan ditakdirkan gagal, berarti ada seseorang yang berhak menggeng-gam hujan. Memberikan kesegarannya kepada seluruh umat ma nusia.” Kashva tersenyum lagi. “Engkau benar. Dialah Lelaki Penggeng-gam Hujan sejati. Nabi yang dijanjikan.”

LELAKI PENGGENGGAM HUJAN

157

Kashva membatin, seabsurd apa pun alasan takdir menggiring-nya ke Gathas, itu membantumenggiring-nya menemukan hal-hal menarik dan menantang kecerdasan. Dari berlembar-lembar Kuntap Sukt, baru satu kata yang terdiskusikan. Itu pun sudah mampu membangkitkan ga-irah hidupnya, oleh misteri nabi yang dijanjikan, juga oleh diskusinya dengan Astu yang demikian mengasyikkan. Kepenasaran yang mem-bisikkan sebuah kalimat di batin Kashva: amboi ... siapakah gerangan

22. Kabar dari Makkah

22. Kabar dari Makkah

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 177-185)