• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bocah Pemilik Cengkih

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 171-177)

Dari Suriah, El lantas membalas surat Kashva de ngan ke- ke-gundahan yang memuncak

20. Bocah Pemilik Cengkih

Pemilik Cengkih

S

udah sepuluh tahun atau lebih. Kashva merasa kan ke-datangan sesuatu yang sudah lama tidak mengunjungi-nya. Dia tidak ingat pasti, kapan terakhir segenggam ka ngen bisa membikin dia selumpuh ini. Di kepalanya, sebuah senandung terputar dan dia merasakan dentuman pada sulbi-nya. Tertahan sam pai mengintip air mata. Sedetak lagi jatuh. Sebu ah penemuan besar: menggelar jarak begitu efektif meng-hidupkan ketulusan. Terus melangkah dan menikmati kelum-puhannya, tanpa kawan ... sendirian.

Sudah sepuluh tahun menahan jarak dan rupanya sesuatu yang pernah bertumbuh bukannya mati justru kian menjalar dan mematikan. Hidup secara laten dan menyergap Kashva dalam ketiba-tibaan.

“Paman.”

Kashva menyentakkan lamunannya. Matanya mengerjap dengan takjub. Seperti inikah jika malaikat tiba-tiba men jelma di hadapan mata?

Sebentuk senyum yang menggemaskan. Pipi tembam, bibir merah basah. Lensa matanya cokelat bulat sempurna dengan bulu-bulu mata rapat dan panjang, melengkung. Bo cah yang

ba-BOCAH PEMILIK CENGKIH

145

rangkali turun dari surga. Umurnya empat atau lima tahun. Berdiri dengan tangan menyatu di belakang, menyembunyikan sesuatu, dan tubuh mengayun ke kiri-kanan.

Rambutnya berponi lucu, lurus, dan berkilat kemerahan. Rupa-wan, dan Kashva nyaris menyangkanya anak perempu an. Jika tidak segera dia menemukan tanda-tanda kelaki-lakian pada makhluk mu-ngil itu.

“Siapa namamu, Sayang?”

Bocah itu melebarkan senyumnya. Beberapa gigi susunya om-pong. Dari bajunya yang rapi meskipun sederhana, Kashva yakin dia bukan anak liar tanpa orangtua. Bukan pula anak hilang. Orangtuanya tentu sedang berada di tempat itu ketika si bocah menyelinap untuk membebaskan hasrat kanak-kanaknya. Berlarian ke sana kemari sem-bari berkhayal mengenai banyak hal.

“Paman kunyah ini.”

Bukan jawaban, tetapi permintaan. Tangan mungil gemuk dengan ruas-ruas jemari menggemaskan itu menyodor ke Kashva. Di atasnya ada sebentuk bunga kering berwarna gelap.”

“Apa ini?”

“Paman kunyah ini.”

Ekspresi Kashva berusaha mengimbangi gaya si bocah. Dia ter-senyum sembari mengangkat dua alisnya. Seolah-olah ingin menga-takan, “Aku tahu kau merencanakan sesu atu yang kekanak-kanakan. Sesuatu yang akan membuatku tampak konyol sementara engkau terbahak-b ahak.” Kashva sedang tidak memiliki kesibukan lain. Meng-ikuti keinginan bocah itu bukan sesuatu yang membuang waktu. Dia menjumput bunga kering itu.

Si bocah membuka mulutnya, mengangkat lidah pen dek nya, lalu menunjuk area di bawah lidah yang berair. “Paman letakkan bunga itu di bawah lidah,” katanya kemudian.

Kashva mengikuti apa pun keinginan teman kecilnya. Dia meng-gigit bunga itu sampai remuk, lalu meletakkannya di bawah lidah-nya. Seketika matanya membelalak. Ada yang meledak di mulutlidah-nya. Rasanya seperti mengunyah bara api. Kulit wajahnya memerah

seke-tika. Lidahnya kehilangan kemampuan mencecap. Berasa tebal dan tidak berguna.

Kashva mendengar bocah itu tergelak, tertawa dengan penuh ke menangan sementara dia merasakan paru-parunya seperti dijejali dorongan yang berat tetapi menjadikannya lapang; bersih. Seperti ter-bebas dari segala kotoran.

Kashva refl eks merengkuh bocah itu dengan kedua le ngannya, mengangkatnya kemudian. “Bunga apa yang engkau berikan kepada Paman, Berandal Kecil?” Kashva menga takan itu bukan dengan kema-rahan. Dia tersenyum dan mu lai menciumi pipi gembil bocah dalam gendongannya.

Bocah itu masih terbahak-bahak sementara suara tawanya menjadi penunjuk arah bagi seseorang yang sedari tadi memang mencari nya.

“Xerxes, kenakalan apa lagi yang engkau lakukan?”

Suara perempuan. Terdengar tenang dan penuh perhatian. Kash-va asyik dengan teman barunya sehingga tidak me nyadari kedatangan perempuan yang mengenakan topi petani; lebar melindungi wajahnya dari sinar matahari, di dekatnya. Dua keranjang berukuran seling-karan lengan anak kecil berisi kurma dan plum di kedua tangannya.

Kashva menganggukkan kepalanya, sementara bocah dalam gen dongannya meletakkan kepala di bahunya. Kashva merasa ajaib de ngan hal itu. Teman kecilnya merasa nyaman berada dalam dekap-annya. Tanpa sungkan, bahkan, bocah itu menutup mata. Tidur atau pura-pura tertidur. “Na mamu Xerxes? Engkau akan menjadi seperti raja besar itu, Teman?”

“Maaf atas kelancangan anak saya.” Si ibu memperlihatkan rasa bersalah dari bahasa tubuhnya yang gelisah. ”Dia merasa melakukan penemuan besar dengan bunga cengkihnya. Mengerjai orang-orang dengan rasa pedasnya.”

“Cengkih?” Kashva baru kali pertama mendengar sekali gus mera-sakan efek bunga kering itu.

Perempuan itu mengangguk. Ada yang berubah pada gerak-geriknya. Dia seperti sedang melakukan konfi rmasi de ngan pandang-annya sementara lidahnya meneruskan bicara, “Cengkih, ratunya

rem-BOCAH PEMILIK CENGKIH

147

pah-rempah. Datang dari ujung dunia. Hanya tumbuh di sekumpulan pulau yang mengambang di tengah samudra: Alifuru,” ada jeda, “saya sungguh me minta maaf.”

Kashva menatap lagi sosok itu. “Dia sangat menyenangkan, Nyo-nya. Tidak mengganggu sama sekali.”

Perempuan itu meletakkan dua keranjang yang dianyam dari akar-akaran itu lantas membuka topinya. “Kau sudah datang rupanya, Kashva.”

Kashva dihamburi oleh perasaan tak dikenal. Bibirnya beku, jan-tungnya terasa seperti dirajam. Kakinya serasa meng ambang. Dia me-ngenali wajah perempuan itu meski dalam ragu, “Astu? Kaukah itu?”

e

“Ayah memberitahuku bahwa engkau akan datang.”

Kashva dan Astu sama-sama berdiri dalam kecanggung an. Kashva lebih canggung, Astu nyaris biasa-biasa saja. Dia tersenyum sebelum bicara. Sesuatu yang tumbuh dalam diri perempuan itu, kedewasaan. Waktu sepuluh tahun telah mematangkannya.

Kashva berusaha menenangkan dirinya. Mengayun Xer xes dalam gendongannya sebagai kompensasi. Xerxes, bocah itu, terlelap sung-guh-sungguh.

“Dia kelelahan. Seharian menemaniku mengumpulkan kurma dan plum.”

Kashva mengangguk, menatapi dua kerajang penuh di kanan-kiri Astu. “Kau bekerja?”

“Persia dalam masa sulit. Kaisar sibuk berperang. Rak yat ke la-paran. Suamiku bukan orang kaya.”

Deg. Ada sesuatu yang menyentak di dada Kashva ketika kata

“suami” disebut oleh Astu.

“Dia kepala suku yang miskin.” Astu melanjutkan kalimatnya, “Aku harus membantu agar kehidupan kami bisa berlanjut.”

“Memanen kurma?”

Astu menggeleng. “Aku menjadi buruh saja. Ada tuan tanah di desa tetangga yang memiliki perkebunan kurma dan plum.” Senyum

itu ... senyum bangsawan yang dulu Kashva kenal. “Dua keranjang buah ini imbalan dua pekan aku bekerja di sana.”

Kashva tak berani meneruskan kalimatnya. Ada yang run tuh di dadanya. Astu, bukankah dulu dia bunga merekah yang begitu ringkih bak porselen kaisar Cina, indah ditatap, tak ternilai harganya, tetapi begitu mudah pecah bila dijamah? Sekarang dia tampak begitu diben-turkan dengan ke rasnya hidup. Kulit wajahnya menggelap, meski tak legam. Ada lipatan di dua sudut matanya setiap tersenyum, meski ti-dak mengganggu aura mudanya. Pastinya bukan hanya wak tu yang mengikis keremajaannya. Kehidupan yang begini fi sik, menjadi ibu, dan barangkali ... hidup yang tidak membahagiakan.

“Ada sesuatu yang diamanatkan Ayah kepadaku.”

Kashva menoleh lemah. Astu tampak sedang menyiapkan kalimat panjang. “Ayah menyimpan banyak peninggalan yang ia pikir akan sa-ngat engkau minati. Aku menyimpannya untukmu.”

“Peninggalan?”

“Datanglah ke rumah. Aku akan memberi tahu lengkapnya.” Kashva tampak meragu.

“Suamiku?” tanya Astu menangkap keraguan kawan la manya. “Per nikahanku tak diawali dengan baik. Aku terpaksa menikahinya. Kehidupan kami pun tidak menyenangkan,” nada kalimat Astu di-ngin, nyaris tanpa emosi, “tapi dia mencintaiku. Sulit bagi orang lain untuk mengatakan dia lelaki yang menyenangkan. Tapi dia mencintai keluarganya. Dia tidak akan menyulitkanmu.”

Lidah Kashva masih bergeming, diam tanpa suara. Tubuhnya saja yang masih mengayun pelan.

“Aku sudah membicarakan kemungkinan kedatanganmu. Dia me-mahaminya.”

Kashva penuh menatap Astu. Menghunjam ke inti mata perem-puan itu. Mencari-cari sesuatu yang dulu pernah ada setiap mereka yang masih remaja dan sesekali bersitatap. Menggantikan percakapan dengan bahasa mata. Kashva men cari alamat rumahnya di dalam mata Astu. Tidak ke temu. Astu memalingkan wajahnya secepat suara.

BOCAH PEMILIK CENGKIH

149

“Biar kugendong,” katanya kemudian, meminta Xerxes dari ayun-an Kashva.

“Aku bantu membawa keranjangmu.”

Astu tidak mungkin menolak. Tangannya hanya dua.

“Hampir lupa,” sergah Kashva. “Aku membawa seorang teman. Dia tampaknya tidur di bawah pohon itu.”

“Mashya?” Astu bertanya sembari menyempurnakan letak kepala Xerxes di bahunya. Bocah itu menggeliat sebentar dengan rintihan yang membuat jatuh cinta.

“Kau mengenalnya, Astu?”

Astu mengangguk. “Tentu saja. Dia lelaki penuh rahasia.” “Tapi dia baik.”

“Tentu saja. Dia akan melindungimu dengan nyawanya.” Kashva menggelengkan kepalanya. “Dia memang profesional.” Sekarang Astu yang menggeleng. “Dia punya alasan le bih dari se-kadar profesionalisme untuk menjaga nyawamu.”

Area di antara dua alis Kashva mengerut. Dia menatap rimbun daun Poplar yang di bawahnya Mashya sedang menikmati tidurnya.

21. Lelaki

21. Lelaki

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 171-177)