• Tidak ada hasil yang ditemukan

bermil-mil dari Gunung Uhud

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 71-77)

W

ahai Muhammad Al-Musthafa, tahukah engkau sementara duka menyebari dadamu, serombong-an musuhmu berjalserombong-an te gak menjauh dari Uhud? Termasuk lelaki itu. Kulitnya legam, nasibnya legam, hatinya pun kini mulai melegam. Dia menunggangi kudanya dengan perasaan yang tidak terjemahkan. Kebebasan. Seperti bentang-an permadbentang-ani terbaik ybentang-ang mempersilakbentang-annya untuk berlari dalam kenyamanan. Kebebasan yang seharga dengan nyawa se-seorang. Juga hati yang tadi dia iris dari tempatnya. Hati singa. Singa Padang Pasir bernama Hamzah bin ‘Abdul Muththalib, pamandamu.

Lelaki legam itu tersenyum dingin. Pekerjaannya sungguh sempurna. Sekali saja, tak perlu diulang, maka selamanya dia menjadi manusia merdeka. Tidak lagi menjadi budak tanpa hak. Ia duduk penuh percaya diri di atas kudanya, di antara rombong-an orrombong-ang Makkah yrombong-ang semakin jauh meninggalkrombong-an Gunung Uhud, kembali ke rumah.

Sorak-sorai kemenangan, senandung para perempuan yang berdendang riang. Meski tanpa kematianmu, wahai Lelaki Utus-an A llah, peristiwa Uhud bolehlah menjadi alasUtus-an berpesta.

Pu-WAHSYI

45

luhan Muslim tewas. Para tokohnya kehilangan nyawa. Lelaki legam itu jelas ber kontribusi. Dia bukan hanya menancapkan tombaknya yang jitu itu, tetapi juga membelah dada Hamzah, mengeluarkan hati-nya dan memberikanhati-nya kepada Hindun binti ‘Utbah, istri Abu Suf-yan—lelaki yang sangat memusuhimu.

Hati itu seharga kemerdekaannya yang selama ini terbelenggu. Lahir sebagai budak belian dan akan mati dalam keadaan yang sama, kecuali dia melakukan sebuah revolusi. Di lembah Uhud dia melakukan “lompatan besar” itu. Membunuh Hamzah, pamanmu, lalu mendapat-kan kemerdekaan dari majimendapat-kannya Jubair bin Muth’im, ditambah per-hiasan berlian bonus dari Hindun.

Terbayangkankah olehmu, rombongan pasukan Makkah meng-ular, menembus padang pasir yang tampak tak berbatas? Terik ma-tahari mengendus kepala-kepala mereka yang dibalut serban. Unta-unta pilihan mengangkut ribuan pasukan yang merasa menang perang. Ratusan pasukan bermantel baja, sisanya pasukan berkuda, dan bera-tus-ratus unta pengangkut barang, termasuk yang ber-hawdaj8.

Para wanita yang menaiki hawdaj itu hadir dalam perang untuk membakar semangat para laki-laki Quraisy. Suami, kekasih, anak, dan semua laki-laki yang menghunus senjata dan membutuhkan motivasi dari mereka. Lewat nyanyian gurun, lewat tetabuhan perkusi.

Wahsyi, lelaki legam itu, ada di tengah barisan panjang yang ber gerak melata di atas pasir gurun yang didesau a ngin. Tapi karena kontribusinya yang begitu mencolok, Wahsyi merasa dirinya menjadi pusat perhatian. Sesekali dia menoleh ke arah hawdaj yang dinaiki Hindun. Perempuan itu, bagaimanapun, membuatnya syok beberapa jam lalu ketika dia mengunyah hati Hamzah yang ia berikan. Adegan klimaks yang dimulai oleh aksinya yang penuh kejelian dan kejituan.

Seandainya engkau tahu, wahai Lelaki yang Selalu Memaafkan, Wahsyi mustahil melupakan detik-detik itu. Ketika dia mengendap-endap di balik batu cadas sementara per tempuran pasukan Makkah dengan orang-orang Muslim Madinah terus berkecamuk. Bermenit-menit dia mencari sosok sang Singa Padang Pasir yang mengayunkan pedangnya tanpa henti. Hamzah, lelaki tinggi besar yang

mengena-kan bulu burung unta. Tidak sukar untuk memastimengena-kan di mana dia berada.

Di kejauhan Hindun dan para wanita Makkah pimpinannya ber-nyanyi sembari terus keras-keras menabuh perkusi:

Majulah, kami akan mendekapmu, dan menggelar permadani indah,

tapi kalau engkau berbalik, kami akan meninggalkanmu, Kami tinggalkan kamu dan tak mau mencintaimu

Wahsyi segera menemukan sasarannya. Lelaki yang dia cari ber-tarung seperti singa. Setiap dia bergerak dalam hitungan detik la-wan roboh dengan badan kehilangan roh. Tebasan pedangnya tak terta hankan, dorongan tangannya tak bisa dilawan. Wahsyi tak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa membidik Hamzah bukan sekadar menemukan titik lempar tombak seperti yang biasa dia lakukan.

Engkau tentu tahu, Hamzah memiliki wibawa yang meng getarkan. Merencanakan sebuah pembunuhan terhadapnya seperti menyiap-kan sebuah skenario pengenyahan beberapa lelaki perkasa sekaligus. Hamzah benar-benar bernilai bebe rapa lelaki. Setiap keraguan itu menjadi sandungan bagi te kad nya, Wahsyi kemudian membayang-kan kemerdekaan yang dijanjimembayang-kan majimembayang-kannya. Belum lagi komitmen Hindun yang menjamin, membunuh Hamzah akan memberinya ba-nyak kemuliaan. Termasuk perhiasan mahal milik Hindun. Perempuan itu memiliki dendam kesumat terhadap Hamzah setelah ayahnya mati di tangan sang Singa pada Perang Badar lalu.

Wahsyi memperpendek jarak antara dia dan Hamzah tanpa peta-rung hebat itu menyadarinya. Hamzah tengah meng hadapi pembawa panji musuh ketika Wahsyi menghitung mundur, kapan detik paling tepat untuk melempar tombaknya yang terkenal tak pernah meleset dari sasaran.

Tiba juga saat yang ditunggu Wahsyi. Ketika Hamzah merentang-kan tangannya vertikal, membuat geramerentang-kan ayun untuk menghabisi la-wan, terbukalah pertahanan dadanya. Se cepat suara, Wahsyi

melem-WAHSYI

47

parkan tombaknya tepat me nembus ke tubuh Hamzah. Dalam kondisi badan tertembus tombak pun, Hamzah masih mampu memberikan akhir yang dramatis saat dia berhasil merobohkan lawan, sebelum tu-buhnya menyusul roboh ke tanah.

Wahsyi gemetaran di tempatnya bersembunyi. Rasa di kepalanya tak mampu lagi dia pahami. Antara ketidakpercayaan, kebanggaan, keharuan, dan ketakutan. Bahkan mata nya basah oleh rasa yang ber-campur itu. Buru-buru dia menghampiri jasad Hamzah yang kini su-dah tidak bergerak. Serta-merta ia mencabut tombaknya, sementara degup jan tungnya semakin tak terkendali. Seolah dalam kematian pun Hamzah masih punya kemampuan untuk membunuhnya. “Aku telah melakukan apa yang harus kulakukan, dan aku membunuhnya demi kebebasanku sendiri,” bisik Wahsyi membenarkan dirinya sen-diri, membangun kepercayaan diri di tengah ketidakjelasan kondisi psikologisnya setelah membunuh Hamzah.

Ketika perang berakhir, Wahsyi kembali mencari jasad Hamzah. Sekali lagi meyakinkan diri bahwa pamanmu itu telah mati. Bayang-an akBayang-an kemerdekaBayang-an dBayang-an harta tak terhitung melegamkBayang-an otaknya. Dia berusaha menyelesaikan semuanya dengan cepat. Ia belah dada Hamzah yang telah kaku, mengiris hatinya. Ia mengeluarkan organ dalam milik Hamzah dan memperlakukannya bak sebuah cinderama-ta, membungkusnya dengan kain lalu menentengnya dengan ta ngan kanan.

Setelahnya, Wahsyi buru-buru mencari Hindun. Perempuan itu, dengan seluruh aura kepongahan yang ia punya, tengah dibanjiri pe-rasaan gembira luar biasa. Hindun me mainkan rambut kepangnya dan menatap puas mayat para pejuang Muslim yang bergelimpangan. Ketika Wahsyi datang, tampak semakin cerahlah wajah Hindun.

“Apa yang akan kauberikan kepada orang yang berhasil mem-bunuh pemmem-bunuh ayahmu?” tanya Wahsyi tanpa mendahulukan basa-basi jenis apa pun.

Hindun menatap Wahsyi tanpa berkedip. Dia mulai me ngira-n gira apa yangira-ng coba disampaikangira-n oleh budak hitam itu. ”Seluruh ba-gian rampasan perangku.”

Wahsyi menyorongkan buntalan kain di tangannya, “Ini hati Hamzah.”

Mata Hindun membelalak. Celak di sekeliling matanya menegas-kan ekspresi keterkejutannya. Tanpa berkata lagi, dia merampas bung-kusan itu dari tangan Wahsyi. Buru-buru dia membukanya. Apa yang terjadi kemudian membuat dada Wahsyi seperti didentumi ledakan.

Hindun menggigit sebagian hati itu, mengunyah dan me nelannya. Hati Hamzah yang tersisa ia lemparkan ke tanah lalu dia ludahi hingga puas. “Tunjukkan kepadaku di mana mayat Hamzah!”

Dalam syoknya, Wahsyi lantas memandu Hindun yang diikuti Abu Sufyan dan pasukan perempuan yang tadi dipim pin Hindun. Tiba di depan jasad Hamzah, perempuan pema kan hati manusia itu segera melaksanakan hajatnya. Kreasi yang membuat bulu kuduk berdiri. Bermodal pisau tajam, dia memotong hidung, telinga dan organ tubuh Hamzah la innya. Matanya membelalak, tawanya beranak-pinak.

Memenuhi janjinya, kemudian Hindun mempreteli seluruh per-hiasannya yang berharga—kalung, gelang, hingga hiasan kaki—dan menyerahkannya kepada Wahsyi. Seperti kesurupan, dia lantas me-neriaki perempuan-perempuan Quraisy lainnya untuk melakukan hal sama dengannya. Hin dun menari-nari sembari tertawa gila, mencari bongkahan batu paling besar dan menyanyi bagai seorang seniman kenamaan.

Abu Sufyan, suaminya, masih sibuk dengan jasad Ham zah. Belum puas rupanya Abu Sufyan melihat kondisi Hamzah yang nyaris tak lagi berbentuk. Dia mengayunkan tombaknya, menyobek mulut Hamzah, “Rasakan kau, pemberontak!”

Pada saat bersamaan melintaslah Hulais, kepala suku Ki nanah, yang sedang memeriksa mayat-mayat korban per tempuran. Dia ber-henti sejenak sembari menyaksikan apa yang sedang Abu Sufyan laku-kan. Wajahnya seketika me ngeras. Tubuhnya yang berdaging membu-sung. Masih ada yang mengganggu hatinya ketika melihat perilaku Abu Sufyan yang menurutnya sudah keterlaluan, “Wahai keturunan Kinanah, benarkah kaum Quraisy itu hebat bila tenyata ia merusak daging sepupunya yang sudah mati?”

WAHSYI

49

Sadar apa yang sedang dia lakukan menjadi pusat perhatian, Abu Sufyan membalikkan badannya, menghadapkan dirinya kepada Hulais, “Sialan kau!” meninggalkan jasad Ham zah seolah-olah tidak pernah ter-jadi apa-apa. “Jangan ceritakan kepada siapa pun,” ujarnya kemudian.

Engkau tak perlu ragu bahwa Perang Uhud tak sepenuhnya ber-nilai kekalahan bagi pasukanmu, wahai Lelaki Pembawa Pesan. Pasuk-an Abu SufyPasuk-an pun tahu mereka tidak mungkin meneruskPasuk-an perPasuk-ang. Terutama setelah tahu engkau masih hidup. Perbekalan minim, men-tal luluh lantak, dan tenaga yang terkuras. Perpaduan yang bisa meng-undang kematian. Setelah meminta pendapat para panglima, Abu Suf-yan mengomando pasukannya untuk pulang ke Makkah.

e

Tertebakkah olehmu siapa bintang dalam barisan orang-orang Makkah yang membuyarkan kemenanganmu di Uhud, wahai Panglima yang Pandai Berstrategi?

Dia yang menonjol di antara pasukan yang melangkah pulang itu adalah Khalid bin Al-Walid. Dalam perang yang baru saja usai, insting panglimanya mampu membaca bahwa ke terdesakan pasukan Quraisy akan berbalik menjadi keme nangan ketika pasukan pemanah kelom-pok Muslim mening galkan posnya di atas gunung.

Insting yang menjadi senjata mematikan bagi pasukan Muslim. Maka Khalid dielu-elukan karenanya. Dia berkuda dengan kepercaya-an diri penuh. Tatapkepercaya-an matkepercaya-anya memkepercaya-ancarkkepercaya-an sebuah kematkepercaya-angkepercaya-an emosi. Jubah dan serbannya me nambah sebuah kesan kewibawaan. Tanpa bicara pun dia telah menaklukkan lawan bicaranya.

Berjalan di samping kuda Khalid, seorang laki-laki yang meleng-kapi kekuasaan orang Quraisy. Seorang orator ulung, pemilik retorika tak tertandingi. Dia berasal dari Bani ‘Abd Syams. Namanya ‘Amr bin Al-Ash. Dia juga seorang pemikir strategi perang yang hebat. Namun, orang-orang lebih menge nal dia sebagai seorang pembicara yang ulung.

‘Amr menikmati semangat kemenangan yang saat ini sedang memeluk ribuan orang Makkah yang pulang dari Pe rang Uhud. Sama dengan Khalid, dia tak ingin banyak bicara kali ini. Dia menghela

ku-danya dalam ritme yang biasa saja. Kulit wajahnya seputih tepung dengan tunas rambut bertumbuh di dua sisi wajahnya. Garis wajah-nya tegas, seperti sebuah peneguhan terhadap kemampuan bicarawajah-nya yang tak tertandingi.

Kemenangan di Uhud kali ini sungguh berarti bagi ‘Amr. Se perti sebuah pelunasan utang yang besar. Bertahun lalu, ketika engkau dan sahabat-sahabat Muslimmu masih berada di Makkah, ‘Amr ga-gal melaksanakan sebuah misi ke Abyssinia. Misi yang seharusnya gampang saja. Sekelompok kecil Muslim sahabatmu meninggalkan Makkah, mencari suaka politik kepada Raja Negus, penguasa Kristen di Abyssinia yang terkenal bijaksana.

Para pemuka Quraisy menganggap kepergian kelompok kecil yang dipimpin lelaki bernama Ja‘far itu sebagai sebuah ancaman. Apa yang akan terjadi jika pemeluk agama baru ini mengembangkan keyakinan-nya di luar kontrol Makkah?

‘Amr menjadi bagian dalam sebuah konspirasi untuk menarik kembali kelompok kecil itu ke Makkah. Dia diperca ya untuk mene-mui Negus, setelah sebelumnya menyuap para jenderal di sekeliling Negus. Misinya cuma satu: membuat para jenderal itu ikut membujuk Raja Negus untuk mencabut suakanya terhadap para pengungsi dari Makkah itu.

e

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 71-77)