• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bangsal Apadana, Persepolis, Persia

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 50-58)

M

emamerkan penghayatan kepasrahan total, Kashva menundukkan kepalanya sekaligus badannya, tetapi tidak hatinya. Tangan ka nannya lurus ke samping, tangan satunya menempel di dada. Laki-laki di ujung usia dua puluhan itu memiliki jiwa sebebas burung-burung. Imajinasi-nya me nyentuh langit, sapuan tintaImajinasi-nya sedalam palung samu-dra. Hatinya lembut oleh kasih, tetapi sikapnya kadang sekeras logam yang paling keras.

Nama Kashva masyhur ke pelosok Persia dan me nembus negeri-negeri jauh. Julukan indah dihadiahkan kepada sang pemuda oleh para cendekia, diamini oleh rakyat jelata. Sang Pe-mindai Surga, demikan ia di kenal dan dikenang. Bukan hanya karena dipercaya oleh Raja Persia untuk mengelola Kuil Gunung Sistan, wujud dedikasinya sebagai ahli mengamati bintang; mem baca kabar dari surga, melainkan juga karena dia seorang sastrawan yang dicintai.

Kisah-kisah yang ia tulis seperti memindahkan surga ke lem-baran-lembaran kitab. Kata-katanya membuai penuh keseriusan makna. Apa yang dia tulis kemudian diulang lewat lisan, menjadi kisah yang mengembara sendirian, meninggalkan pencipta nya.

Berlayar menyeberangi lautan, ber gerilya menelusup hutan pa ling pe-rawan, menembus hati orang-orang pedesaan, memeriahkan perbin-cangan manusia-manusia di pusat keramaian peradaban.

“Siapakah Tuan di balik ini?”

Suara Khosrou, penguasa Persia yang agung duduk di singgasana emas dengan dagu tertopang tangan kanan dengan sempurna. Tangan kirinya menggenggam skaptara; tongkat upacara. Jubahnya mengger-lapkan kecemerlangan segala batu mulia. Tatapan matanya meringkus Kashva de ngan kewibawaan yang penuh. Rambut ikalnya menyentuh bahu. Kumisnya melintang, janggutnya licin mengilat. Seba gai ahli waris Dinasti Sassania, dia menganggap dirinya sebagai penerus Dari-us dan CyrDari-us yang legendaris. Gurita militernya pun mulai menganek-sasi Mesir, Levania, Anatolia, dan kini melirik Konstantinopel.

Sekarang waktunya Naeruza, perayaan musim bunga yang dira-ya kan rata di pelosok Persia. Di rumah-rumah pen duduk, ndira-yala li-lin, api unggun, dan api pelita memancarkan sukacita Mithra anak Ahuramazda, raja semesta alam. Naeruza adalah waktu bagi manu-sia untuk merayakan kemenangan Mithra atas kegelapan yang dirajai Agro Maynu, iblis yang diciptakan Ahura untuk menggoda manusia.

Di singgasananya yang berada di puncak Persepolis, sang raja me-natap asap dan cahaya-cahaya di rumah-rumah rakyatnya dari keting-gian. Tepat di Bangsal Apadana, salah satu mahakarya arsitektur ter-luas di dunia. Bangsal yang dihubungkan oleh Gerbang Semua Bangsa menuju dua tangga pemujaan. Gerbang itu dijaga oleh dua arca kuda berkepala mamut dengan janggut berombak.

“Hamba insan baru dari bayangan Ahuramazda.”

Kashva menjawab tanpa mendongakkan kepalanya, apalagi bersi-tatap dengan sang raja. Ini sekadar formalitas saja. Ritual tanya jawab yang lestari sejak zaman Darius mendirikan Persepolis. Diulang setiap musim semi tiba. Ritual indah dengan latar belakang hamparan hutan membentang hingga ke kaki perbukitan tanah kemerahan di batas-batas horizon.

Ketika kekuasaan Persia masih membentang jauh, mu sim semi menjadi waktu berkumpulnya perwakilan dan duta besar

negeri-ne-SANG PEMINDAI SURGA

25

geri jauh. Dari Asia, Afrika, Eropa, bertemu di Persepolis untuk meng-hormati Raja Diraja Darius. Membawa kabar-kabar gembira dari Su-ngai Danube yang besar, SuSu-ngai Nil yang abadi, Laut Aegea Biru yang damai, dan Su ngai Indus nan eksotis.

Utusan Mesir membawa kereta kuda penuh bahan per sembahan. Perwakilan Yunani mengusung emas dan berba gai hadiah, duta Libia menghadiahkan antelop. Dari Babilonia dikirim kerbau yang meng-angkut kain bordir kualitas terbaik di dunia. Raja India mempersem-bahkan senjata dan bagal. Gading-gading indah datang dari Abyssinia. Penguasa Arab membawa unta-unta terbaik yang mengangkut rem-pah dan kayu wangi, pemimpin Afghan membawa hadiah domba dan gulungan kain indah dan berkualitas tinggi.

Kejayaan itu belum sepenuhnya sirna. Setidaknya Persepolis ma-sih tegak seperti sebuah teriakan lantang panglima perang. Berdiri di Bangsal Apadana masih menghadirkan sebuah perasaan akbar. Tanpa dinding yang mengepung, tanpa penghalang, tanpa rasa takut. Sebuah wahana yang menyejarah terletak di lipatan vertikal Kuh-e Rahmat: Gunung Peng ampunan.

Dibangun persis di jantung Persia. Di antara Ecbatana—ibu kota musim panas—dan Susa, pusat keramaian musim di ngin. Menjulang dengan pilar-pilar luar biasa megah. Menopang Istana Seratus Pilar, taman-taman yang dibangun untuk menyaingi surga, istana tempat tinggal para istri dan putri, dan gudang penyimpanan kekayaan raja.

Dinding-dinding menjadi hidup oleh relief bunga teratai dan bu-nga matahari yang melambangkan kesuburan. Tertulis pada salah satu permukaan dinding putih itu sebuah prasasti yang dibuat 500 tahun sebelum Masehi: “Ahuramazda, yang telah menciptakan bumi ini, sur-ga, kebaikan bagi manusia. Dibangun oleh Darius yang Agung.”

“Mengapakah Tuan turun?”

Khosrou yang agung meneruskan pertanyaannya, menikmati se-tiap kata yang umurnya berlipat lebih tua diban ding usia sang raja. Mahkotanya berkilau. Rahang kukuhnya terangkat. Dua alisnya yang seperti tumpukan jerami berwarna hitam nyaris bertemu. Tatapan matanya kini menggerus para tamu yang siap berpesta. Mengenakan

jubah-jubah mahal aneka warna mencolok. Mereka berdiri dengan ke-tundukan total di Bangsal Apadana, menunggu sampai ritual tanya jawab raja dengan ilmuwan kebanggaan istana sekaligus sastrawan kecintaan bangsa Persia: Kashva.

“Hamba datang karena merindukan cahaya Arymahra merasuk diri Baginda Mulia Raya.” Sang pemuda menjawab lagi pertanyaan sang raja. Dia memulai hitungan mundurnya sampai momentum ber akhirnya ri-tus tanya jawab yang bagi nya tak lebih dari sekadar basa-basi.

“Apakah yang Tuan bawa?” pertanyaan terakhir sang Raja. Kali ini, Kashva mengangkat wajahnya, menegakkan da danya. Dia tidak mengenakan pakaian yang sepadan de ngan keagungan upacara petang itu. Jubah warna tanah yang juga ia kenakan saat mengamati bintang-bintang atau ketika me nulis larik-larik kalimat dalam kitab-kitabnya yang bersastra, menembus hati pembacanya setajam ujung pedang.

“Kabar Ahura penghapus kegelapan dan kekejian, terbukalah hati dan terbitlah terang.”

Kashva nyaris meneriakkan jawabannya yang terakhir. Ditegar-tegarkan. Itu cara paling efektif untuk menetralisasi keguncangan da-danya, mengusir jauh-jauh ragu dan rasa ta kut yang merayapi nyali. Kemudian dengan takzim ia sorongkan kotak persegi berisi sesuatu yang seharusnya berharga. Sama dengan setiap persembahan yang di-hadiahkan oleh para tamu di upacara musim semi bunga hari itu.

Sang Raja menerima persembahan Kashva, sang pemberi hadiah terpilih tahun ini. Dianggap pantas untuk mewakili semua orang yang terundang ke Persepolis. Tentu apa pun yang dihadiahkan Kashva se-layaknya berupa hadiah yang istimewa. Kashva sendiri betul-betul istimewa. Sementara Raja mengelompokkan rakyatnya dalam berba-gai golongan pekerjaan seperti pendeta, militer, tata usaha, rakyat bi asa, Kashva dibiarkan memiliki identitas ganda. Ilmuwan sekali gus sastrawan. Oleh karena itu, persembahan dari seorang warga negara istimewa selayaknya juga tidak biasa.

Seluruh persembahan para terundang akan mereka an tar sendiri ke Istana Seratus Pilar dikawal remang pene rangan obor-obor istana

SANG PEMINDAI SURGA

27

dan aroma dupa wangi yang menga wini udara. Sementara, persem-bahan yang terpilih akan dibuka oleh Raja di hadapan para hadirin. Reaksi sang Raja akan menjadi ukuran apakah persembahan itu diteri-ma de ngan suka cita atau kediteri-marahan yang diteri-mahadaya. Persembah an Kashva akan menentukan masa depannya. Semakin ber pendar laksa-na bintang paling cemerlang atau justru tersaruk dalam kenistaan pa-ling menyedihkan. Semua bergantung pada reaksi sang Raja terhadap persembahannya.

Kotak kayu itu dibuka. Tidak ada sesuatu yang menjanjikan dari kotak sederhana yang bahkan tidak dipelitur de ngan baik itu. Jika yang memberikannya bukan sang Pemindai Surga, tentu ekspektasi siapa pun tidak akan berlebihan. Namun, setiap mata yang menyak-sikan detik-detik itu masih berharap ada sesuatu yang tidak biasa di dalamnya. Sesuatu yang paling tidak bernilai seni tinggi sebagaimana Kashva dipahami sebagai seorang pekerja seni selama ini.

Selembar kaligrafi ! “Tumpukan jerami hitam” di atas ke dua mata

Khosrou kembali nyaris bertaut. Seorang yang terlihat renta, tetapi pe-solek ulung membantu sang raja untuk mengeluarkan lembaran papirus dari kotak kayu yang kemudian dia ambil dari tangan majikan agung-nya. Lelaki tua itu berpakaian sutra yang tampak berlebih-lebihan. Apa yang meratai wajah keriputnya pun tak kalah berlebihan. Celak tebal, bedak, dan pemerah bibir aneh dan tidak sinkron de ngan tulang wajah-nya yang mirip patung kayu. Dia seorang khatra4 istimewa.

Di luar itu semua, gerakannya tulus dan sigap. Sekejap, lembar-an kaligrafi itu sepenuhnya ada di tlembar-anglembar-an Raja. Khosrou mengilat-kan pandangannya sekilas ke Kashva, sebelum mengeja kata per kata dalam lembaran kaligrafi itu keras-keras.

“Takzim kami kepada para pelindung Fravashes yang teguh, yang bertarung di sisi Tuhan ... mereka datang kepadanya, laksana gerom-bolan elang perkasa. Mereka datang bak senjata dan perisai, melin-dunginya dari belakang dan dari depan, dari yang tidak terlihat, dari iblis varenya betina, dari semua penyebar kebatilan yang ingin mence-lakainya, dan dari iblis yang menginginkannya musnah: Agra Mainyu. Seakan ada ribuan orang melindungi satu manusia, sehingga tidak

ada pedang yang terhunus, gada yang diayun, panah yang meluncur, busur, lembing yang terbang, maupun batu yang dilempar bisa mence-lakainya.”

Semua orang terdiam. Bukan hanya karena seorang pe nguasa agung yang membacakan kalimat suci itu, melainkan isi dari bacaan tadi pun demikian mengusik keingintahuan.

Khosrou sudah yakin Kashva sedang menanti sebuah pertanya-an. Dia membiarkan pemuda kebanggaan Persia itu bersitatap dengan-nya. “Aku sudah lama tidak membaca Zend Avesta5. Tapi selain engkau menulisnya dengan kali grafi yang indah, aku pikir ada yang hendak engkau sampaikan, Kashva,” ditahannya sesaat kata-katanya yang ber daya hantam, “siapa Fravashes? Setidaknya siapa Fravashes menu-rutmu?”

Kashva mengangkat wajahnya secara penuh, berdirinya menegak. Butuh beberapa detik untuk memastikan hatinya, ini bukan sebuah putusan yang akan dia sesali seumur hi dup. Dia paham benar ada yang dipertaruhkan sebagai konsekuensi apa yang akan dia katakan: nyawanya. Tidak ada jalan pulang, “Nabi yang dijanjikan. Astvat-ereta yang akan melindungi iman umat Zardusht6, menumpas iblis, merun-tuhkan berhala, dan membersihkan para pengikut Zardusht dari ke-salahan mereka.”

Oleh kalimat terakhir Kashva, tidak ada satu orang pun di antara puluhan tamu dan para petinggi kerajaan yang tak merasakan dada-nya seketika menjadi sempit. Napas serasa berhenti di tenggorokan. Semua orang, kecuali Kashva dan sang Raja.

“Kita semua memahami dan percaya terhadap ramalan Zardusht. Tampaknya engkau harus menerangkan sebuah teori baru mengenai nubuat Astvat-ereta, wahai Pemindai Surga.”

“Dia telah datang, Baginda. Astvat-ereta sudah hadir di dunia.” Dagu sang raja terangkat angkuh. Matanya menyipit was pada. “Dasatir7 mengatakan akan datang seorang utusan Tuhan yang perkasa dari negeri yang jauh. Pengikutnya akan menaklukkan Persia. Sebagai ganti ketundukan terhadap kuil-kuil api, rakyat Persia akan menghadapkan wajahnya ke rumah suci yang dibangun oleh Sahabat

SANG PEMINDAI SURGA

29

Tuhan.” Kashva menjeda kalimat panjangnya, menunggu reaksi se-mentara jantungnya berdegup lebih kencang dibanding kapan pun. Ti-dak ada sepenggal kata pun ke luar dari mulut sang Pengu asa Persia.

“Nabi baru itu dan para pengikutnya akan menaklukkan Persia, Madyan, Tus, Bakh, tempat-tempat suci kaum Zardusht, dan wilayah sekelilingnya. Nabi perkasa ini adalah seorang manusia yang jernih bertutur, bercerita kisah-kisah penuh mukjizat.”

“Apa yang ingin engkau katakan, wahai Pemuda Cemerlang?” Mu-lai menegas kata-kata sang Raja. Penyebutan ayat Dasatir yang seolah melemahkan kedigdayaan Persia mulai memantik sumbu kemurka-annya.

Kashva mulai merasakan ada yang merosot pada kepercayaan dirinya. Seolah ada irama cepat mengalir dari kepala. Terjun bebas me ngosongkan otaknya. Tapi ada kekuatan lain yang menyuruhnya untuk tidak berhenti di situ. “Bangsa Persia sudah tidak lagi menghi-raukan ajaran suci Zar dusht, Baginda. Mencampakkan perjanjian api dengan Tuhan. Bangsa ini menuju sebuah keadaan remah-remah se-buah kaum. Kitab-kitab suci kita pun perlahan menjadi remah-remah sebuah agama.”

Sang Raja tercekat. Tatapannya berkata-kata lebih ba nyak diban-ding lidahnya. Ada yang tertahan begitu menggemuruhkan dada. Ber-kelindan kisah menggetarkan hampir setengah abad sebelumnya, keti-ka suatu malam istananya hancur, empat belas berandanya runtuh. Api Persia yang tidak pernah padam selama seribu tahun seperti tertimpa badai. Mati seketika. Peristiwa tak terjemahkan yang detik ini seperti mendapat konfi rmasi. Konfi rmasi yang tidak ingin ia percayai.

Kashva memahami ketercekatan Khosrou sebagai momentum-nya. “Saat ini seorang yang mulia, jauh di luar Persia menyempur-nakan nubuat itu, wahai Raja yang Mulia. Bukankah sudah waktunya kita kembali ke ajaran murni Zardusht agar Ahura benar-benar meng-hapus kegelapan dan kekejian, sehingga terbukalah hati dan terbitlah terang?”

Sang Raja masih enggan berbicara. Tubuhnya yang mulia seolah berusaha menguapkan aura api dari dalam dirinya. Diam untuk

ber-pikir. Mencerna dengan baik, agar keluar kata-kata yang baik. Kata-kata seorang raja yang agung dan berkuasa.

“Kashva,” terbit juga apa yang ditunggu orang-orang. Sang Khosrou berkata-kata, “Seharusnya kuminta algojoku memenggal ke-palamu detik ini juga.” Setiap jantung yang berdetak menjelang malam itu seolah ketakutan. Mendegup dengan ritme yang tak biasa. Mulai menghitung kemungkin an, sesuatu yang buruk akan terjadi.

“Seharusnya kubiarkan kepalamu menggelinding ke lantai Apa-dana, sehingga merah darahmu mengotori lantai putihku. Namun, aku masih mengasihi usia mudamu, gejolak remajamu, kecemerlang-an otakmu, dkecemerlang-an keindahkecemerlang-an sastramu.”

Kashva memasrahkan nyawanya. Sebelum dia melaksanakan ren-cananya pun, dia sudah mengikhlaskan nasibnya. Dia bekerja keras agar tetap tenang dan elegan.

“Kutitahkan engkau kembali ke Kuil Gunung Sistan untuk meng-hakimi dirimu sendiri. Renungkan kelancanganmu sampai kuampuni nyawamu secara penuh. Tidak setitik tinta pun boleh kaugunakan se-belum jernih pikiranmu,” sang Raja berdiri setegak tiang Persepolis. Tangannya mengayun, menunjuki Kashva dengan emosi, “Kau pikir di kolong langit ini ada kekuatan yang mampu mengotori tanah Persia, me rendahkan kekuasaan penerus Darius?”

Kashva beku di tempatnya berdiri. Tatapannya bergo yang-goyang, tak tentu. Tidak ada yang ia sesali dari semua kata-katanya, tetapi ada yang dia rasa telah keluar dari per kiraan. Ketika Khosrou mengibaskan jubahnya lalu meninggalkan singgasananya dengan kemarahan yang tidak pernah semeluap itu selama dia bertakhta, Kashva merasakan angin dingin meringkusnya dengan cara yang paling menyakitkan. Lalu, terdengar teriakan Khastra, “Khosrou yang mulia raya berkenan meninggalkan tempat upacara, Tuan-Tuan harap berdiri.”

Ada yang mengkristal di benak Kashva seketika. Aku harus

5. Singa Padang Pasir

5. Singa Padang Pasir

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 50-58)