• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerbang Shafa

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 64-71)

Gunung Uhud, ketika perang tinggal sisa-sisa

6. Gerbang Shafa

6. Gerbang Shafa

D

uhai Lelaki yang Lembut Hatinya, apakah yang terasa oleh hatimu ketika tahu alasan mengapa Harits bin Al-Simmah yang engkau perintahkan untuk mencari jasad Hamzah; pamanda tercinta, Singa Padang Pasir, tak jua melapor? Ketika ‘Ali bin Abi Th alib, suami anakmu, engkau min-ta untuk menyusul Harits, barulah keduanya damin-tang kepada mu dengan mendung di wajah mereka.

Engkau segera menemukan jawabannya. Jasad Hamzah ter-bujur di hadapanmu. Orang yang melihat mungkin menduga sesuatu yang berat tengah di rasakan olehmu. Begitu beratkah beban yang tertanggung oleh hatimu? Apakah memerah wajah dan matamu? Akankah gemetaran tanganmu? Mungkin kah suaramu keluar bercampur isak yang tertahan? “Selama hidup-ku, aku tidak pernah marah separah yang kurasakan kali ini. Jika kelak Allah memberikan kemenangan kepada kita, akan kurusak muka tiga puluh mayat kaum Quraisy!”

Para sahabat, orang-orang yang berada di sekitarmu tak be-rani berinisiatif apa pun. Barangkali karena mereka tak per nah melihat keadaanmu yang sekarang. Hamzah, pembe lamu yang gagah tak tertandingi, hari ini terbujur dengan jasad yang

ter-koyak-koyak. Dadanya terbelah, dan jelas ada bagian dalam tubuhnya yang hilang. Wajahnya juga rusak de ngan organ-organ yang tidak lagi berada di tempatnya.

Apakah yang engkau alami kemudian ketika keluar dari bibirmu kata-kata bersajak dan terdengar agung di telinga para sahabatmu? Kata-katamu itu terdengar khusyuk, hati-hati, dan penuh perasaan. Kata-kata yang diyakini berasal bukan dari bumi.

“Jika kalian ingin melakukan pembalasan, balaslah sesuai dengan yang mereka lakukan kepadamu, tetapi sesungguh nya memberikan ma af itu jauh lebih baik bagi orang-orang yang sabar.”

Alangkah indah kata-kata itu. Engkau menatapi sahabat-sahabat-mu, lalu mengatakan sesuatu. Engkau membatalkan sumpahmu se-belumnya lalu melarang keras setiap tindakan merusak muka mayat pada setiap peperangan berakhir, “Jika di antara kalian memukul, ja-ngan memukul di bagian wajah ... karena Tuhan menciptakan Adam dalam citra-Nya.”

Apakah yang engkau rasakan kini, wahai Lelaki yang Ka ta dan Perbuatan Tak Pernah Bertentangan? Apakah engkau sedang berusa-ha menelan kemaraberusa-hanmu, menawarkan luka berusa-hatimu? Bukankah mes ki dengan cara apa pun, wajah Hamzah masih membayangimu? Bagaimana mungkin menghapus Hamzah? Dia seorang paman, saha-bat, dan pelindung terbaik bagi dirimu.

Apakah engkau ingat kepahlawanan Hamzah waktu awal keteguh an hatimu diuji berkali-kali? Masa-masa sulit di Makkah, sewaktu engkau mulai ditentang oleh para pemuja berhala, pemuka-pemuka Quraisy.

Ingatkah engkau ketika suatu hari engkau duduk di Gerbang Shafa, tempat yang selalu dilalui peziarah yang melakukan ritus berja-lan cepat tujuh kali antara Bukit Shafa dan Bukit Marwah? Ketika itu datang seorang lelaki dari klan Makhzum bernama ‘Amr bin Hisyam. Orang-orang menge nalinya dengan sebutan Abu Al-Hakam, peme-gang teguh janji, pe mer satu janji. Namun, para Muslim menyebut dia de ngan ju lukan berseberangan: Abu Jahal, Bapak Kebodohan.

GERBANG SHAFA

39

Tanpa sebuah permulaan percakapan yang baik, Abu Jahal me-maki-makimu dengan cacian yang menghinakan. Bukankah belum pernah engkau mendengarkan ejekan serendah itu? Lalu mengapa engkau terdiam, wahai cucu ‘Abdul Muththalib ? Apakah karena eng-kau berharap suatu saat Abu Jahal menjadi pembelamu seperti yang engkau sebutkan dalam doamu?

Engkau hanya menatap laki-laki itu. Tanpa suara, tanpa kata-kata. Tetap seperti itu, hingga kata-kata Abu Jahal benar-benar terkuras. Sampai laki-laki itu meninggalkanmu, bergabung dengan orang-orang Quraisy lain yang tengah berkumpul di sebuah bangunan di samping Ka‘bah.

Apakah yang engkau rasakan saat itu? Bukankah kini terlihat mu ram wajahmu? Sedihkah engkau mendengar ka ta-kata Abu Jahal atau oleh sebab lainnya? Engkau kemudian bangkit dan melangkah pulang.

Tahukah engkau, sepeninggalmu, dari arah jauh, menderap kuda gagah yang ditunggangi oleh penunggang yang juga gagah. Lelaki di awal empat puluhan yang mencapai kematangan hidupnya.

Tubuhnya seperti raksasa baik hati. Jubah dan bagian belakang serbannya berkibaran saling tabrak dengan angin gurun. Di punggung-nya terpanggul busur panah besar dan anak panah yang mengumpul di tabungnya. Lelaki itu memiliki sorot mata sebagaimana seharusnya seorang pahlawan menukikkan pandangannya. Sikap tubuhnya di atas kuda sempurna: tidak membungkuk, tidak pula terlalu membusung.

Dialah Hamzah, pamanmu, petarung nomor satu di Mak kah. Na-manya masyhur sebagai yang terkuat. Siang itu, seper ti kebiasaannya sepulang berburu, dia menda tangi Ka‘bah untuk melakukan penghor-matan kepada Tuhan. Ketika itu, di sekitar Ka‘bah terdapat lingkaran tempat para pe ziarah berkumpul. Mereka datang untuk melakukan aktivitas mengelilingi Ka‘bah tujuh kali. Sesuatu yang juga akan di-lakukan oleh Hamzah hari itu.

Ketika melintasi gerbang Shafa, seorang perempuan yang ru mah-nya berada di sekitar tempat itu memah-nyambut kedatanganmah-nya. Dia se-orang bekas budak keluarga ‘Abdullah bin Jud’an Al-Taim. Rupanya,

perempuan itu melihat bagaimana Abu Jahal melecehkanmu dengan kata-kata kasarnya. Ia me rasa tidak terima ketika menyaksikanmu di-caci maki oleh Abu Jahal dengan kata-kata yang begitu tak pantas. Engkau adalah penyayang kaum miskin. Ketika engkau menderita, orang-orang terpinggirkan semacam perempuan itu memiliki kepeka-an kuat untuk memahami kepedihkepeka-anmu, merasakkepeka-an kesedihkepeka-anmu.

“Abu Umarah,” seru perempuan itu sembari menghadang laju ku-da Hamzah. Dia merapatkan kain penutup wajahnya saat angin mem-buat gerakan yang sedikit menyingkap bagian wajahnya, “Seandainya saja engkau menyaksikan bagaimana Muhammad, putra saudaramu, diperlakukan buruk oleh Abu Jahal.”

Hamzah menghentikan langkah kudanya, yang sebelum nya me-mang sudah berjalan pelan. Perempuan tadi melanjutkan kalimatnya, “Abu Jahal melihat Muhammad duduk di sini,” menunjuk satu sudut tempat engkau duduk sebelumnya, “kemudian dia mengejek Mu-hammad dengan kata-kata kotor, lalu pergi meninggalkannya begitu saja.”

Engkau tahu, Hamzah memiliki hati yang memberi sebuah kese-imbangan terhadap postur tubuhnya yang kukuh dan menjulang. Perasaannya peka dan sangat mudah tersentuh. Namun, dia adalah laki-laki paling pemberani di antara kaum Quraisy. Jika merasa diper-lakukan tak adil atau dile cehkan maka singa dalam dirinya bangkit untuk membela diri.

Apa yang dikatakan perempuan itu tentang perlakuan Abu Jahal terhadapmu sama saja sebuah injakan di kepala nya. Seketika kemarah-an meringkusnya. Setelah perempukemarah-an itu melengkapi kisahnya de ngkemarah-an mengatakan ke mana Abu Jahal pergi, Hamzah turun dari kuda dan menderapkan lang kahnya menuju bangunan tempat berkumpulnya orang-orang Quraisy.

Segera dia temukan Abu Jahal yang tengah ikut menggerombol bersama para Quraisy lainnya. Tanpa memulai sebuah percakapan apa pun, Hamzah menyerbu Abu Jahal, mendorongnya lalu menghantam-kan gagang busur panahnya ke kepala lelaki bermulut caci maki itu. “Kini aku memeluk agama Muhammad dan mendakwahkan apa yang

GERBANG SHAFA

41

ia dakwahkan! Akankah engkau tetap menghinanya? Jika engkau mau, mari kita bertarung satu lawan satu!”

Abu Jahal tak menjawab. Di kepalanya berputar berbagai pertim-bangan. Sekuat apa pun Hamzah, melawannya bukan berarti tak ada peluang untuk menang. Namun, melihat situasi, bukan saat yang te-pat untuk membuat masalah menjadi lebih panjang.

Beberapa orang dari klan Makhzum berdiri dan bersiap menye-rang Hamzah. Abu Jahal buru-buru mengangkat tangannya, “Biarkan dia karena demi Tuhan, aku telah menghina Muhammad, keponakan-nya, dengan hinaan yang menyakitkan.”

e

Setelah menyaksikan jasad Hamzah, engkau mencari-cari Zubair. Apa-kah yang tersembunyi di balik dua matamu itu? ApaApa-kah itu semacam kekhawatiran yang merambat menuju puncaknya? “Cepat kuburkan Hamzah sebelum ibumu datang. Pergilah kepadanya dan ajak dia kem-bali ke Madinah,” ujarmu kepada pemuda itu.

Zubair tampaknya segera mengerti apa yang dipikirkan olehmu dan apa yang harus dia lakukan. Dia tidak menunggu detik berikutnya berganti. Dia meninggalkanmu untuk mencari ibunya.

Apakah engkau sedang membayangkan keremukan hati yang akan dialami Shafi yyah, ibu Zubair sekaligus saudara perempuan Hamzah jika menyaksikan kondisi jasad saudara laki-lakinya itu?

Ketika engkau dan para sahabatmu tengah meme riksa jasad-jasad Muslimin korban perang Uhud, Shafi yyah, Ummu Aiman, dan istrimu—‘Aisyah—sedang menuju ke tempat itu. Apakah engkau ber-pikir sesuatu yang dramatis, bahkan boleh jadi di luar kendali bisa saja terjadi?

Setelah datang kepastian pasukan Makkah telah mening galkan Uhud, para perempuan Madinah segera berangkat ke Uhud untuk me-rawat luka pasukan Muslim sekaligus me ngonfi rmasi kabar tentang sanak saudaranya yang pergi ke Uhud, menghadang pasukan Makkah yang akan menyerang Madinah. Tapi ini sungguh kondisi yang ber-beda. Selain pihak Muslim banyak yang terbunuh, beberapa jasadnya

rusak luar biasa. Bukankah bagimu saja, kondisi jasad Hamzah telah meremukkan perasaanmu? Bagaimana dengan Shafi y yah?

“Ya, Rasulullah,” Zubair cepat kembali menemuimu. Wajahnya me ngilat oleh keringat. Topi baja telah ia tanggal kan sejak tadi. Selain oleh basah darah, pakaiannya juga ku yup oleh keringat. “Ibu tidak mau kembali ke Madinah sekarang,” kata Zubair. “Beliau telah mendengar kabar tentang kondisi Paman Hamzah. Ibu mengatakan, apa pun yang dilakukan demi Allah, beliau pasti merelakannya. Ibu berjanji akan tetap tenang dan tabah. Insya Allah!”

Apakah engkau tertegun mendengar kalimat Shafi yyah melalui lisan anak laki-lakinya yang pemberani itu, wahai Lelaki yang Berhati Sekukuh Karang? Terbayangkankah oleh mu keteguhan hati Shafi yyah dan ketegaran jiwanya? Engkau akhirnya tak bisa menolak kedatang-annya.

Shafi yyah datang tak lama kemudian. Rombongan para perem-puan dari Madinah semakin banyak berdatangan. Terlihat di antara mereka Fathimah Az-Zahra, istri ‘Ali bin Abi Th alib sekaligus putri tercintamu.

“Semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya,” bisik Shafi yyah di samping jasad Hamzah. Kedua te lapak tangannya me-nutup mulut, air mata berhamburan. Be berapa detik dia tak sanggup berkata apa-apa. Sembari menahan derita batin yang bertalu-talu, Shafi yyah berlalu.

Ia kemudian mendekati jasad ‘Abdullah bin Jahsy, keponakannya. ‘Abdullah adalah anak Umaimah, saudara pe rempuannya. Ta ngis pecah meski diusahakan tidak berlebih an. Tidak beda dengan Hamzah, kon-disi jasad ‘Abdullah pun begitu parah. Jejak kebiadaban nyata di seku-jur tubuhnya yang tercabik-cabik.

Mungkinkah engkau tak bisa lepas dari kepiluan itu? Apa kah itu air mata yang menggerlapi sekitar matamu? Fa thi mah mendekatimu seperti tengah mengalihkan kepe dihanmu. Sang Az-Zahra memin-tamu bersiap ketika dia mem balutkan kain di beberapa bagian tu-buhmu yang masih mengeluarkan darah. Bahkan wajah Fathimah yang senantiasa terlihat seindah mawar merah, hari itu menjadi

sen-GERBANG SHAFA

43

du. Seolah tubuh ringkihnya seperti terayun oleh derita melihat be-gitu banyak pengikut ayahnya mati, sebagian dengan cara yang keji.

Hari ini begitu banyak kematian. Banyak pengikutmu gugur. Eng-kau memerintahkan semua jasad para pahlawan Madinah diletakkan di dekat jasad Hamzah. Bersama yang lain, engkau lantas membung-kus jasad Hamzah dengan ju bah. Engkau memimpin shalat jenazah untuk Hamzah, sebelum menyalatkan seluruh pejuang yang gugur satu per satu. Seluruhnya 72 kali shalat jenazah. Penggalian liang la-hat engkau perintahkan dilakukan pada saat yang hampir bersamaan. Atas sepengetahuanmu, setiap satu liang lahat digunakan untuk me-ngubur dua sampai tiga jasad Muslim.

Hamzah dan keponakannya, ‘Abdullah, dikuburkan da lam satu li-ang. Apakah sampai pada tahap ini, engkau masih merasakan dentum-an ydentum-ang dahsyat di dadamu, wahai Lelaki ydentum-ang Suka Menyendiri? Mungkinkah itu karena bayangan Hamzah yang tidak pernah lelah mendukungmu kemudian engkau sandingkan dengan perlakuan mu-suh terhadap jasad nya setelah mati yang sungguh tak manusiawi?

Selesai dengan Hamzah, engkau lantas mengedarkan pan dang-anmu. Apa yang hendak engkau katakan? “Carilah ‘Amr bin Jamuh dan ‘Abdullah bin ‘Amr,” lantang engkau berbicara. “Mereka di dunia adalah sahabat yang tak terpisahkan, maka kumpulkan mereka dalam satu liang.”

7. Wahsyi

7. Wahsyi

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 64-71)