• Tidak ada hasil yang ditemukan

Madinah, Maret 627 Masehi

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 185-200)

W

ahai, Lelaki yang Waktunya Habis untuk Meng-ingat Tuhan, shalat yang engkau imami barusan mengganggu pikiran ‘Umar, salah seorang sahabat dekatmu. Setiap gerak anmu di depan sahabat-sahabatmu terke-san berat dan sukar. Ada bebunyian yang demikian mencolok, se olah persendianmu saling gesek satu sama lain. Sha lat kali ini lebih lama daripada biasanya.

Usai shalat, ‘Umar yang begitu khawatir dengan kondisimu lalu mendatangi nabi sekaligus sahabat tercintanya: dirimu. Ber hati-hati dia duduk di sebelahmu dan serta-merta engkau sambut dengan senyum. Dia pikir, tidak usah berbasa-basi. “Ya, Rasulullah, kami melihat seolah-olah engkau menanggung pen-deritaan yang amat berat. Sakitkah engkau, ya, Rasul?”

Engkau tersenyum sembari menggeleng, “Tidak, wahai ‘Umar. Alhamdulillah, aku sehat.”

‘Umar menahan kata-katanya, supaya tidak terburu-buru jadinya. “Mengapa setiap kali engkau menggerakkan tubuh, ka mi mendengar seolah-olah sendi di tubuhmu bergesekan?” Ekspresi ‘Umar memperlihatkan rasa prihatin, penuh sayang, dan rasa khawatir. “Kami yakin engkau sedang sakit.”

KABARDARI MAKKAH

159

Engkau tersenyum lagi. Tidakkah wajahmu memang terlihat se-dikit pucat hari ini? Toh, senyummu seperti menjadi pelipur lara ter-baik bagi sesuatu yang tidak engkau katakan, meski kepada ‘Umar, sesuatu yang tidak engkau katakan tidak mampu membuatnya tidak kentara.

Karena merasa jawaban “tidak” atau “aku baik-baik saja” sudah tak mencukupi lagi, engkau lantas berdiri, mengangkat jubahmu, hingga bagian perutmu terlihat nyata. Seketika ‘Umar dan setiap orang yang ada di masjid itu terpana. Tampak begitu kempis perutmu. Perut itu dililit oleh kain yang membuntal, berisi kerikil-kerikil. Engkau meng-ganjal laparmu dengan kerikil-kerikil itu. Kerikil-kerikil yang menim-bulkan suara berisik ketika dia mengimami shalat. Ke rikil-kerikil yang memancing keingintahuan ‘Umar dan menyangka dirimu sedang da-lam kondisi sakit yang serius.

“Ya, Rasul,” suara ‘Umar bergetar oleh rasa iba dan penyesal an, “apakah jika engkau mengatakan sedang lapar dan tidak punya ma-kanan, kami tidak akan menyediakannya untuk engkau?”

Engkau menutup lagi perutmu dengan helai jubahmu yang men-juntai. Engkau menatap ‘Umar dengan pancaran cinta yang utuh, “Ti-dak, ‘Umar. Aku tahu, apa pun akan kalian korbankan demi aku. Akan tetapi, apa yang harus aku katakan di hadapan Allah nanti jika sebagai pemimpin aku menjadi beban bagi umatku?”

Engkau mengedarkan pandanganmu ke sahabat-sahabatnya yang lain, “Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah dari Allah untukku agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia, terlebih di akhirat.”

Siapa pun yang mendengar kalimatmu seketika terdiam. Ada yang berdenyar merambat ke bola ma ta mereka. Beberapa terisak oleh haru. ‘Umar maklum bahwa dia tak akan sanggup melangkah lebih jauh, memaksa engkau untuk mengikuti kehendaknya. Dia pun hanya terdiam membiarkan detik-detik berjalan satu per satu.

Ketika engkau tengah berkumpul bersama sahabat-sa habatmu itu lah beberapa laki-laki yang datang dari jauh meminta izin untuk menemuimu. Seorang pembawa berita yang memacu binatang tung-gangannya tanpa beristirahat kecuali sedikit. Siang malam memacu

langkah tanpa me ngeluh. Dia seorang lelaki yang mendapat perintah dari Abbas, pamanmu yang masih tinggal di Makkah. Apakah paman-damu itu menjadi bagian dari sistem intelijenmu yang terkenal raha-sia, canggih, dan akurat?

Orang-orang mempersilakan lelaki itu menemuimu di dalam mas-jid. Seperti halnya berbagai permasalahan umat diselesaikan di tempat yang sama. Engkau membaca keter buru-buruan lelaki itu sebagai se-buah pertanda. Ada hal serius yang ingin dikatakan oleh Abbas, anak kakekmu, ‘Abdul Muththalib.

Lelaki utusan Abbas itu diberi waktu sesaat untuk menenteram-kan jantungnya. Berhari-hari dalam perjalanan yang nyaris tanpa jeda membuat seluruh fi siknya tampak ke lelahan. Namun, sinar mata lela-ki itu jelas memperlihatkan kepuasan. Dia telah berhasil menemuimu sesuai target misinya.

“Menurut data kami, wahai Rasulullah, Abu Sufyan te ngah menyi-apkan koalisi besar-besaran untuk menyerang Madinah. Kami datang untuk memperingatkan Anda akan bahaya itu dan memberikan gam-baran kekuatan musuh secara detail.”

Apakah engkau merasakan degup yang lebih pada jantungmu ke tika mendengar berita itu? Itu tak tampak mencolok dan terbaca oleh orang-orang, memang. Sementara para sahabatmu mulai saling berbisik satu sama lain. Apa kah yang sekarang terpikir olehmu, wahai Pemimpin Umat? Apakah itu yang terkesan dari wajahmu? Tidakkah itu sebuah ekspresi seolah engkau tengah menahan seikat beban bagi orang lain akan demikian tak tertanggungkan?

23. Parit

23. Parit

S

ementara engkau berdiri di hadapan sahabat-sahabat-mu, sepuluh ribu orang Makkah dan sekutunya bergerak dengan keyakinan menang dalam genggaman. Mereka berada pada jarak satu minggu perjalanan dari Madinah.

Ini serangan besar-besaran. Setelah serentetan persing-gungan militer, dimulai dari Badar, ini akan men jadi perang yang melibatkan jumlah manusia terbesar. Pertempuran Makkah dan Madinah terakbar. Kenangan akan Perang Badar dan Perang Uhud berkelindan di benak orang-orang yang engkau kumpul-kan hari itu. Kejayaan di Badar dan kepiluan di Uhud.

Alangkah berperang, mengayun senjata, menjadi klimaks kehidupan tatkala kekerasan sungguh tak ter elakkan. Bagaima-na rasanya ketika engkau dan para sahabatmu berada dalam ti-tik waktu keti-tika tanah Arab diceng keram kebingungan dan per-pecahan? Bukankah saat itu, kedamaian tampaknya hanya bisa dicapai melalui jalan pe dang, betapa pun engkau lebih senang dengan rekonsiliasi?

Kini, serangan raksasa dari Makkah mungkin menjadi titik tempur penghabisan. Quraisy dan sekutunya bergerak ke luar Makkah, bergelombang menyisir sepanjang pesisir barat

menu-ju Madinah, napak tilas rute sama ketika mere ka bertempur de ngan pasukan Madinah di Gunung Uhud. Sekutu lain para Quraisy berjum-lah satu unit, memblokade jalur menuju Madinah dari arah Timur, jalan dari dataran Najd. Jika disatukan, jumlah mereka tiga kali lipat pasukan musuhmu di Perang Uhud. Membawa serta tiga ratus pasu-kan berkuda. Ini air bah kematian. Nasib Madinah di ujung sejarah.

Ketegangan seolah menjadi penyakit menular. Kabar yang dibawa para penunggang kuda suruhan Abbas, pamanmu, dari Makkah me-mastikan serangan itu sanggup meluluhlantakkan kekuatan Madinah. Sebuah bocoran informasi intelijen yang memberi sedikit peluang un-tuk persiapan.

Sekarang, engkau berusaha menyeleksi solusi untuk mematah-kan serangan itu. Engkau kumpulmematah-kan para sahabatmu untuk berem-buk. Mungkin, engkau berpendapat, banyak kepala lebih berpeluang dibanding satu pemikiran.

“Adakah pandangan dan rencana terbaik kalian, para sahabatku, untuk menghadapi serangan musuh kali ini?” Engkau menatapi sa-habat-sahabatmu yang telah berkali-kali menyertaimu dalam berbagai pertempuran. Semua orang pada perkumpulan hari itu sadar benar, ini perang habis-habisan. Quraisy Makkah tengah menguras semua simpanan kekuat an mereka untuk bertempur. Jika menang, habislah riwayat Islam. Jika kalah, tak akan bersisa pula kekuatan Makkah yang selama ini menjadi pembencimu, penghalang semua gerakanmu.

Beberapa saat, tak ada yang bersuara.

“Wahai Rasulullah, izinkan saya mengusulkan sebuah strategi.” Se orang laki-laki muda bangkit dan berkata-kata dengan cara yang tunduk. Dia begitu menghargaimu. Ada sedikit pembeda jika orang jeli, bahwa dia bukan seorang Arab ataupun Yahudi. Kulitnya sedikit kecokelatan, mata nya setajam kilatan pedang. Garis wajahnya meng-gambarkan se buah perjalanan panjang, fi sik dan mental. Pancaran aura nya antara ketenangan dan kegelisahan. Rambutnya ikal meng-ayun sampai ke bahu. Badannya teguh, demikian juga caranya berdiri yang penuh keyakinan.

PARIT

163

Tampaknya, engkau menyiapkan sebuah perhatian pe nuh yang lalu diikuti oleh seluruh orang yang berkumpul di tempat itu. Ketika tidak seorang pun mampu memikirkan sebuah rencana meyakinkan untuk menghadapi lawan beri ngas yang jumlahnya tiga kali lipat di-banding yang mereka punya, Salman bersuara dan tampaknya bukan untuk hal sia-sia. Siapa pun merasa sanggup dengan serius untuk me-nyimaknya.

“Wahai Rasulullah, di Persia, jika kami takut terhadap serangan kuda, kami akan menggali parit mengelilingi rumah kami. Maka, mari kita menggali parit semacam itu untuk melindungi Madinah.”

Ini ide yang datang dari dunia antah-berantah. Tidak dikenal di tanah Arab. Metode perang yang tidak lazim. Sebagian sahabatmu ter-diam. Sebagian lagi terlongo dan berpikir. Mungkinkah itu dilakukan? Madinah cukup diuntungkan secara geografi s. Kota ini dikelilingi oleh jurang curam dan batu-batuan vulkanis dari tiga sisi. Peluang menye-rang Madinah ada di utara. Artinya, pasukan gabungan yang hendak menggerus Madinah masih butuh waktu berhari-hari sampai ke titik itu. Sisa waktu yang membutuhkan sebuah ide revolusioner agar cu-kup untuk membangun sebuah pertahanan yang efektif.

Engkau tampak takzim dalam pikirmu, analisis-analisismu. Ke-tika terangkat wajahmu, terpancarlah sebuah harap an dan rencana. Sesuatu telah diputuskan. Engkau bersuara. Engkau meminta pen-duduk Madinah mengumpulkan hasil panen dari luar kota, agar mu-suh tidak memiliki cadangan makanan untuk hewan-hewan mereka. Engkau pun meminta semua orang melaksanakan usulan Salman. Gali parit besar di sekililing wilayah utara oase.

Siapakah yang tak takjub? Usulan Salman yang begitu asing, se-perti dirinya yang dulu pun merupakan orang asing, dipilih olehmu. Hari itu belumlah lama terhitung dari saat terakhir Salman menjadi budak seorang Yahudi Bani Quraizhah. Bertahun-tahun, budak per-kasa itu dibebani pekerjaan yang harusnya dipikul sepuluh laki-laki.

Dia mengurus tanah majikannya di pinggir Madinah hing ga tak ada waktu untuk berkumpul dengan manusia lain, terutama para Mus-lim yang datang dari Makkah. Pada hal kedatangan pemimpin imigran

dari Makkah itu yang menjadi alasannya meninggalkan Persia, kam-pung halamannya. Suatu hari di atas batang pohon kurma, Salman mendengar keluhan kerabat majikannya yang menggerutu dengan wajah terlipat beku.

“Celaka betul Bani Qa‘ilah12 itu. Mereka berkumpul di Quba me-nyambut seseorang dari Makkah yang mereka anggap sebagai nabi.”

Seseorang yang disebut-sebut oleh majikan Salman itu adalah di ri mu. Engkau memasuki Quba, melepas lelah sebelum memasuki Madinah, dan mulai mengumumkan tanggung jawab paling menda-sar seorang Muslim. “Tebarkan kedamaian, beri makan orang yang kelaparan, hormati hubungan kekeluargaan, shalatlah saat orang ter-tidur lelap, maka engkau akan memasuki surga dengan kedamaian,” ka tamu.

Gemetaran seketika tubuh Salman mendengar kabar kedatangan-mu. Tidak ada sebuah pencarian yang dilakukan seseorang sehebat apa yang dilakukan Salman. Meninggalkan api sesembahan, berkelana ke berbagai negara untuk mencari seseorang yang ia yakini sebagai seorang nabi. Sayang, kini dia terbelenggu oleh stempel budak pada dirinya yang berarti tak ia miliki kemerdekaan hidupnya.

Sesuatu yang menumbuhkan keinginan untuk merdeka di dada Salman. Sekali lagi sayang, harga kemerdekaannya demikian mahal: em-pat puluh ons emas dan tiga ratus batang pohon kurma. Itu jumlah tebus-an ytebus-ang disebut majiktebus-an Salmtebus-an ketika lelaki itu berttebus-anya, apa ytebus-ang ha-rus dia berikan untuk menebus kemerdekaannya. Sampai napasnya ha bis sekalipun tak akan sanggup Salman melunasi tebusan itu.

Pada suatu hari yang terberkahi, Salman menyelinap dari perke-bunan untuk menemuimu dan meminta solusi. Tidak berpikir dua kali, engkau menyuruh Salman untuk mengiyakan permintaan sang majikan. Ditulislah surat perjanjian. Engkau kemudian meminta para sahabatnya untuk patungan, melunasi jumlah tunas pohon kurma yang mesti dibayarkan demi kemerdekaan Salman. Seorang penam-bang menyumpenam-bangkan sebongkah emas untuk menutupi sisa tun tut-an stut-ang majiktut-an. Lunas sudah, tiga ratus battut-ang pohon kurma dtut-an empat puluh ons emas murni. Merdekalah Salman kemudian.

PARIT

165

Kemerdekaan itu barangkali memang dipersiapkan takdir untuk menjawab ancaman hari ini, ketika sepuluh ribu pasukan Quraisy dan sekutunya mengepung Madinah.

“Bani Quraizhah memiliki semua peralatan yang kita butuhkan untuk melakukan penggalian. Cangkul, pangkur, sekop, bahkan ke-ranjang-keranjang serat batang kurma me reka punya. Kita bisa me-minjam peralatan itu.”

Salman tampak menjadi laki-laki paling bersemangat dalam per-kumpulan itu. Idenya dipilih olehmu dan dia menyiapkan rencana teknis untuk mengeksekusi ide itu. Dia menatap para sahabatmu. Menangkap keraguan di mata beberapa orang, “Mereka tak akan me-nolak meminjamkan alat-alat itu demi menghadapi serangan Makkah, untuk keamanan bersama.” Salman meyakinkan orang-orang dengan pilihan katanya yang tegap dan meyakinkan, “Lagi pula, me reka ti-dak akan mengabaikan perjanjian mereka dengan Rasulullah demi ke-pentingan politik.”

Salman menyinggung fase awal Hijrah ketika engkau datang dari Makkah. Kali pertama saat engkau menamai Muslim Madinah seba-gai kaum Anshar yang berarti para peno long. Sedangkan para Mus-lim yang datang bersamamu dari Makkah diberi nama Muhajirin, maknanya orang-orang yang berpindah. Maka dibuatlah perjanjian dengan kelompok ketiga penduduk Madinah yang bukan pengikutmu dan tidak mengimani kenabianmu: para Yahudi.

Mereka engkau rangkul sebagai bagian dari satu komunitas orang-orang yang mengimani satu Tuhan. Engkau hidupkan tole ransi di an-tara kedua agama ini. Muslim dan Yahudi memiliki kedudukan sama. Jika ada yang salah, wajib bagi keduanya untuk saling meluruskan. Jika terjadi peperangan melawan kaum penyembah selain Tuhan, kedua penganut agama Ibrahim ini sepakat untuk solid dalam satu barisan.

Perjanjian itu yang disinggung oleh Salman kali ini. Ini waktunya menguji efektivitas perjanjian itu. Ketika Madinah terancam serang-an kaum penyembah berhala, seharusnya setiap kepala menyatukserang-an pemikiran dan tenaga untuk mempertahankan kehidupan di kota oase itu. Orang-orang mengangguk-angguk. Engkau pun tampak

ter-kesan dengan cara Salman berargumentasi. Setiap benak telah lebih dulu membangun parit itu dalam imajinasi, sebelum wujudnya benar-benar terealisasi.

e

Pada hari yang sama setelah strategi pertahanan parit dise pakati, k erja pun dimulai. Engkau membagi setiap warga Madinah yang mendu-kungmu ke dalam kelompok-kelompok kerja yang efektif. Setiap hari, beriringan dengan munculnya matahari, semua warga ke luar rumah untuk melakukan penggalian, pulang pada petang hari.

Di titik mana parit harus digali sudah ditentukan. Gundukan bu-kit atau lekuk tebing mana yang secara alami akan menahan serangan musuh dipastikan. Engkau turun tangan menikmati debu. Lengan-mu menyingsing, pori-poriLengan-mu ikut berpeluh. Jubah berkibar merah, dadamu bersimbah tanah. Rambut hitammu terurai ke bahu. Eng-kau membakar semangat kerja orang-orang Madinah dengan dirinya sendiri sebagai api.

“Ya, Allah, tak ada kebaikan selain dari-Mu. Ampuni kaum Anshar dan kaum Muhajirin!” dendangmu dengan suara yang menggelegar.

Para pekerja menoleh. Seolah-olah, mereka berusaha me resapi e nergi yang menyebar ke segala penjuru berasal dari suaramu. Senan-dung itu pun bertaut. Beranak-pinak ke mudian. Diulang beramai-r amai. Sebagian lagi menyahut dengan lagu yang beberamai-rbeda-beda nada, “Ya, Allah, tiada kehidupan sejati kecuali dari-Mu. Lindungi kaum An-shar dan kaum Muhajirin!”

Di antara para pengikutmu itu, Salman menjadi bintang. Setiap orang melihatnya dengan decak kagum. Bekas budak dari Persia itu bertubuh seperti patung dewa Yunani. Ototnya berpilin-pilin oleh ker ja fi sik bertahun-tahun seba gai pekerja tanpa upah orang Yahudi Quraizhah. Otaknya cemerlang, taktis, dan tahu bagaimana mengek-sekusi ide-idenya.

Pemuda itu menjadi magnet kekaguman. Seperti hari itu, ketika setiap kelompok orang mulai membangga-banggakan dirinya sebagai bagian dari kelompok mereka.

PARIT

167

“Salman itu orang kami,” kata seorang Muhajirin. Dia tengah mengacungkan cangkulnya mencongkel tanah di da sar parit. “Bukan-kah kami sama-sama pendatang di Madinah? Kami dari Mak“Bukan-kah se-dangkan Salman dari Persia.”

“Tidak! Mana bisa begitu?” sahut orang Anshar yang tengah me-nyekop tanah galian ke dalam keranjang. “Dia orang Anshar seperti kami. Kami lebih berhak terhadap dia dibanding kalian.”

Ini masalah sensitif. Perihal kebanggaan dan harga diri yang oleh sebagian orang akan dibela sampai mati. Orang-orang Anshar dan Mu-hajirin masih terus belajar untuk sa ling menyayangi. Hal-hal semacam ini bisa membuat proses itu terhenti dan menjelma menjadi bara api.

Jubah merahmu diterpa angin ketika engkau berjalan melewati dua kelompok yang sedang berdebat. Engkau berpatroli, melihat se-jauh mana orang-orangnya telah bekerja. Engkau berkeliling dan mem-bantu proses penggalian di wilayah kerja para Anshar juga Muhajirin. Bergantian, demi menjaga rasa diperlakukan adil dan sama di antara kedua nya. Apakah engkau mendengar perdebatan tentang Salman itu, wahai Pemilik Hati yang Peka? Tentu risau hatimu jika perselisihan itu berkembang menjadi lebih besar dibanding seharusnya.

Engkau tersenyum lantas mendatangi para pengikutmu yang ber-beda pendapat itu. “Apa yang sedang kalian perdebatkan?”

Tidak ada jawaban kecuali bahasa tubuh kedua orang itu yang memperlihatkan ketidaknyamanan. Tidak mungkin mengulang perde-batan semacam itu di depan nabi mereka.

Engkau tersenyum. Engkau tahu apa sebab mereka berbeda pen-dapat. “Salman adalah anggota kami. Dia adalah ahlul baitku.”

Selesai sudah. Kedua orang dan kelompok yang bertukar perdebat-an itu terdiam. Kata-katamu memperdebat-angkas persoalperdebat-an dengperdebat-an cepat luar bi-asa. Lebih cepat dibanding bagaimana perdebatan itu bermula. Pernyata-anmu bahwa Salman ada lah bagian dari keluargamu membuat tidak ada yang me nang di antara Anshar dan Muhajirin dalam hal klaim terhadap kedekatan Salman. Dua-duanya menang. Salman milik semua.

Kerja pembuatan parit dilanjutkan lagi. Dalam dan le bar parit disesuaikan dengan matematika Salman. Semua pas persis dengan

ke-inginan dan hitung-hitungannya. Batu-batu dan cadas hasil galian di-kumpulkan di sepanjang parit yang mengelilingi Madinah. Tanah sisa galian diangkut dengan keranjang-keranjang serat pohon kurma yang ulet dan kuat. Bergantian, keranjang-keranjang itu kemudian diisi dengan batu-batu, diletakkan kemudian di pinggir-pinggir parit.

Orang-orang yang tidak kebagian keranjang, menanggalkan jubah dan menyulapnya sebagai alat angkut darurat. Bertelanjang dada, mereka kemudian mengangkut tanah de ngan jubah-jubah yang telah diikat sedemikian rupa.

Tak terhitung berapa banyak bocah-bocah dan para re maja yang bergabung dengan ayah-ayah mereka. Semua ingin merasakan proses itu. Tahapan penting untuk melindungi kota mereka dari serangan musuh. Anak-anak itu kemudian dipilah. Mereka yang terlalu muda diminta pulang, karena pekerjaan itu tentu berisiko tinggi. Sedang-kan para remaja yang memiliki fi sik kuat dibolehSedang-kan untuk membantu kerja ayah-ayah mereka.

Engkau kembali berkeliling. Seperti apakah dentuman dalam da-damu menyaksikan semangat orang-orang yang mengimani dirimu sebagai nabi? Orang-orang itu hatinya telah lebih dulu menjejak surga. Konsisten terhadap kebenar an dan tertib menghindari apa-apa yang bisa mendatangkan keburukan, sekecil apa pun.

Perhatianmu berpindah kepada seorang laki-laki dari Bani Dham-rah. Dia laki-laki saleh meski sejak kecil orang lebih memperhitungkan fi siknya yang tidak terlalu menarik. Bahkan orangtuanya menamai laki-laki itu Ju’ail yang arti nya kumbang kecil. Bukan nama yang men jadi doa. Ju’ail belum lama mengungsi ke Madinah dan menjadi seorang ahli suff ah, tinggal di masjid, karena belum memiliki rumah.

Engkau menaruh simpati kepada laki-laki itu dan meng ubah na-manya menjadi ‘Amr yang bermakna kehidupan, pencerahan spiritual, dan agama. Namanya kini telah menjadi doa. Di tengah keasyikan para pekerja menyiapkan parit mengelilingi Madinah, ingatan orang-orang tentang pergantian nama Ju’ail menjadi guyonan yang jenaka. Sesuatu yang membuat kerja keras mereka tak melulu terasa penuh beban.

PARIT

169

“Namanya telah berubah, dari Ju’ail menjadi ‘Amr. Bantulah dia, si orang miskin.” Orang-orang berdendang dengan humor orang Arab yang khas dan spesifi k. Oleh lagu itu me reka tertawa-tawa lepas, tak terkecuali ‘Amr sendiri. Engkau bergabung dalam keriangan itu tanpa larut di dalamnya. Engkau ikut bernyanyi hanya pada dua kata dari keseluruhan syair lagu dadakan itu. Engkau mengucapkan kata ‘Amr dan bantulah dengan penekanan yang tegas.

Ketika lagu itu telah diulang beberapa kali dan berpotensi mengge-ser niat awal untuk menceriakan suasana, eng kau lantas mengalihkan

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 185-200)