• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa menit sebelumnya

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 43-50)

Bukankah dua perempuan itu seperti penghuni langit? Tubuh mereka seolah bersayap. Raga keduanya seperti disusupi kekuatan yang tidak bisa dinalar. Nusaibah, dia tidak muda lagi. Dua anaknya bahkan telah sampai usia untuk meng ang kat senjata di Perang Uhud. Dia meng-ayunkan pedang de ngan kekuatan yang asalnya seolah tersembunyi dalam tu buh femininnya. Di tangan satunya, perisai besi terangkat sesekali, ketika pedang lawan menerjang. Kain jubah dan penutup ke-palanya telah koyak dan semakin terkoyak.

Ummu Sulaim, perempuan lainnya, mencolok di antara sebarisan lelaki yang menjadi perisai hidup mengelilingi engkau: sang Pangli-ma yang membawa kabar gembira. Tangan Ummu Sulaim bergantian mengayun pedang dan meluncurkan anak panah. Pancaran matanya

PERISAI MANUSIA

17

tak tersentuh rasa jerih atau jenuh. Meski kondisinya tidak lebih baik dibanding Nusaibah yang mulai berdarah-darah.

Nusaibah terus bergerak seolah mendapat tenaga dari matahari. Tidak ada habisnya. Bersama Ummu Sulaim dan beberapa orang lain termasuk anaknya, ia menamengimu seolah seribu orang menjaga seorang raja. Seperti tidak ada celah supaya lawan bisa menusukkan pedangnya, meluncurkan panahnya, atau menyorongkan tombaknya ke arahmu.

Nusaibah dan Ummu Sulaim seperti dua titik putih di antara ba-yangan hitam, saking mencoloknya mereka oleh ke perempuanannya dalam perisai manusia itu. Keduanya me ngelilingi engkau, mengusir setiap bahaya yang mengancam jiwamu.

“Tidak akan kubiarkan kalian mengotori kesucian Rasulullah!” teriakan Nusaibah seperti bunyi terompet perang. Menggetarkan la wan yang datang bergantian. Perempuan itu sepertinya sudah ke-hilangan rasa sakit. Seolah kulit ari nya telah tiada. Sabetan pedang berulang di punggung dan tangannya tidak membuatnya berhenti. Merah mengubah warna kain yang ia kenakan. Napasnya pun sepeng-gal-se peng gal. Wajahnya licin oleh keringat.

Lima pemuda Anshar3 tumbang satu per satu, tak jauh dari garis terakhir pertahananmu. Pemandangan itu meledak kan semangat Nu-saibah ke puncak perjuangan. NuNu-saibah mengetahui, mereka seketika mati, kecuali satu di antaranya yang terluka parah. Tetesan darah para pemuda itu justru menjadi percik api baru di ujung pedang Nusaibah.

Para sahabat utama: ‘Ali, Zubair, Th alhah, dan Abu Dujanah mun-dur dari garis depan untuk bergerak mendekati posisimu. Bayangan mereka berkelebat seperti kombinasi warna yang menciptakan gelom-bang kematian. Bulu-bulu putih jubah ‘Ali, menantu tercintamu, ser-ban merah Abu Dujanah, serser-ban kuning Zubair, dan sinar keperakan pedang Th alhah berkelindan, berselang-seling dengan teriakan lawan ketika nyawa mereka tercekik di tenggorokan.

Engkaulah pusat perisai manusia itu. Matahari bagi pla net-planet yang mengelilinginya. Engkau tidaklah mematung dan menunggu tak-dir menentukan hidupmu. Engkau memberi perintah-perintah kepada

setiap orang yang ada di sekelilingmu dengan instruksi yang spesifi k dan jitu.

Matamu yang seputih tepung dan hitam mengilat pada bulat di tengahnya awas melihat perkembangan. Bahkan da lam keadaan be-gini menjepit, engkau mampu mengeluarkan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, tetapi sangat bisa dirasakan.

Wajahmu seolah memberi efek cahaya, jejak perjalan an hidupmu yang lurus dan tepercaya. Beberapa sahabat me nyandingkan wajahmu dengan sinar purnama dan menga takan wajahmu masih lebih cemer-lang dibanding cahaya bulan paling cemercemer-lang.

Hidungmu kukuh, teriakanmu lantang. Saat engkau me ngeluarkan perintah, mengatur metode tempur sahabat-sahabatmu, tampak su-sunan gigimu yang sempurna—mutiara yang berjajar dengan propor-si yang benar.

Gerakanmu saat memberi komando menyebarkan wibawa, terban-tu bangun terban-tubuhmu yang seolah dipersiapkan un terban-tuk keperluan iterban-tu. Tinggi tidak terlalu menjulang, tetapi juga bukan pendek. Bahu lebar, dada terbentuk oleh latihan fi sik sepanjang usia. Otot matang oleh latihan panjang, keseharian yang penuh gerak, juga berbagai persiap-an perpersiap-ang ypersiap-ang mengencpersiap-angkpersiap-an. Topi baja melindungi kepala.

“Mana Ummu ‘Ammarah?” teriakmu dengan suara yang jernih lagi lembut dan menenangkan, meski di tengah kecamuk perang.

Tahukah engkau apa yang dirasakan Nusaibah, sang Ummu ‘Am-marah, ketika engkau menyebut namanya, wahai Kekasih Tuhan? Seolah dia telah memperoleh segala kebaik an yang dia inginkan. Dia bersegera mendekatimu tanpa mengendurkan genggaman pedang-nya. Tangan kirinya mencengkeram sebongkah batu yang kerasnya me nyaingi baja.

“Saya, wahai Rasulullah.” “Lemparkan! ”

Hanya satu kata perintah dan tangan yang menunjuk ke satu arah. Nusaibah cepat memahami apa maksudmu. Se kuat yang dia bisa, Nu-saibah melemparkan batu itu ke se orang Quraisy yang datang dengan menunggang kuda. Meleset. Batu itu mengenai mata kuda

tunggang-PERISAI MANUSIA

19

an lawan. Si Quraisy terpental dari punggung kuda tanpa mampu me-nahan tunggangannya yang tak lagi terkendali.

Nusaibah puas melihat hasil perkerjaannya meski dalam waktu bersamaan, dia mulai merasakan sekujur tubuhnya bereaksi terha-dap luka-luka oleh tebasan senjata lawan. Engkau terkesiap melihat pemandangan itu. Koyak-koyak pada pakaian Nusaibah telah tertu-tup sepenuhnya oleh aliran darah. Engkau lantas meneriaki ‘Abdullah, anak laki-laki Nusaibah yang juga tak berhenti meliukkan pedang.

“Ibumu, ibumu ... balutlah lukanya. Ya, Allah, jadikanlah mereka sahabatku di surga.“

Mendengar kata-katamu, Nusaibah menoleh sembari ber teriak lebih kencang dibanding kapan pun. ”Saya tidak hirau lagi apa yang menimpa saya di dunia, wahai Utusan Allah! “ Menjadi sahabat Kekasih

Tuhan di surga, lalu apa pen tingnya semua kesakitan di dunia? Nusaibah

meneruskan per tarungannya dengan senyum paling melegakan se pan-jang hidupnya.

Perang terus berkembang ketika engkau menangkupkan tangan, menutupi bibirmu. Rembesan merah menelusup di sela jemarimu. Sa-tu gigi tanggal. Apa yang terjadi kepada mu? Apakah lemparan baSa-tu musuh mengenai wajahmu?

‘Ali sang menantu, Zubair, Th alhah, dan Abu Dujanah yang su-dah ada di sekelilingmu merapat untuk memeriksa kondisimu. Abu Bakar, sahabat tepercayamu, ayah ‘Aisyah—istri yang paling engkau cintai—menyusul kemudian.

Duhai yang lembut hatinya, apa yang engkau katakan kepada ‘Ali? Engkau meyakinkan keadaanmu baik-baik saja sedangkan darahmu yang suci telah menetesi bumi?

“Engkau yakin tidak ada yang serius dengan lukamu, wahai Rasul-ullah?” Engkau seorang pemimpin sejati maka eng kau ingin pasukan-mu yakin bahwa engkau dalam kondisi baik-baik saja. Kaupandangi sahabat-sahabatmu lalu meyakinkan mereka bahwa lukamu tak se-perti yang mereka khawatirkan.

Tidakkah engkau menangkap kekhawatiran di wajah ‘Ali, menan-tumu, kekasih putrimu tercinta: Fathimah? Barangkali tergetar juga

hatimu menyaksikan keadaan sahabat-sahabatmu yang mulai terluka. Engkau mengetahui keadaan Th alhah begitu tak menguntungkan. Dia kehilangan begitu banyak darah lalu perlahan kehilangan kesadaran-nya. Engkau sapa Abu Bakar agar dia tak melupakan saudaranya itu, “Perhatikan sepupumu, Abu Bakar.”

Apakah yang engkau rasakan, wahai Lelaki yang Tidak Pernah Marah, ketika ‘Ali dan para sahabat lain kembali mem buat gelombang penghancur dengan senjata-senjata mereka? Memukul mundur orang-orang Quraisy yang bernafsu melenyapkan riwayatmu.

Perlahan, para penyerang pun terdesak mundur hingga tampak tubuh lima pemuda Muhajirin yang beberapa menit sebelumnya am-bruk ke tanah terbabat senjata-senjata orang Quraisy.

Perih semacam apakah yang engkau rasakan di dadamu ketika me-nyaksikan keadaan kelima pemuda itu? Engkau lan tas membisikkan sebuah doa kepada Tuhan khusus untuk kelimanya.

Keajaiban apa ini? Ada satu di antara lima pemuda Muhajirin itu yang mampu mempertahankan napasnya. Kepala nya bergerak-gerak. Engkau memandanginya ketika pemuda itu berusaha menegakkan tu buh, sekadar agar mampu me rangkak menghampiri dirimu. Berat nian rupanya, menopangkan berat tubuh pada kedua lengan semen-tara sekujur tubuh dipenuhi luka.

“Angkat dia! Angkat dia!” perintahmu. Apakah itu geletar yang terdengar dari bibirmu? Tidak adakah orang yang membantumu? Th al-hah yang tadi pingsan siuman dengan cepat. Meski nyeri di sekujur tubuh masih mendera, dia me nguatkan diri: berusaha bangkit, men-dampingimu. Sahabatmu yang lain, termasuk Abu Bakar telah hilang dari pandang an, bergabung dengan sahabat utama lainnya, ‘Umar bin Khaththab, bertempur menerjang kaum Quraisy.

Perintahmu terdengar juga oleh orang-orang di sekelilingmu. Dua orang sahabat segera mendatangi pemuda Mu hajirin ini, lalu meng-angkatnya mendekatimu. Engkau men julurkan kakimu sebagai pe-nyangga kepala sang prajurit. Sudah tidak bersisa kata-kata darinya. Sepertinya, prajurit itu berusaha menjadikanmu sebagai citra terakhir yang ia saksikan sebelum jiwanya meninggalkan tubuh. Engkau

mem-PERISAI MANUSIA

21

berikan senyum terbaikmu. “Ketahuilah bahwa surga ada di bawah bayang-bayang kelebatan pedang-pedang itu,” bisikmu hampir bersa-maan dengan tuntasnya napas sang prajurit.

“Mana Muhammad? Mana Muhammad?”

Engkau mendengar teriakan itu? Lolongan lantang sese orang yang baru saja datang dibarengi derap kaki kuda. Dia seorang lelaki Quraisy yang berhasil mendekati lokasimu sementara kekuatan Mus-lim semakin menipis. Anak panah hampir habis. Jumlah pasukan pun tinggal sisa-sisa, ditinggal mati atau melarikan diri.

“Aku tidak mau hidup selama ia masih hidup!” teriaknya lagi. Dia Ibn Qami’ah, orang Quraisy pinggiran yang telah membantai banyak Muslim. Ringkikan kuda yang ia tunggangi seperti memberi nada pada jantung majikannya. Ibn Qami’ah melihat ke semua arah dan meyakinkan diri bahwa orang yang dia cari sedang dalam kondisi pa-ling lemah untuk diserang.

Ibn Qami’ah memacu kudanya lagi. Pedang besarnya terayun se-kuat yang dia mampu. Rasanya semua sudah diperkirakan dengan tepat. Topi baja buatan negara paling cang gih pun tak akan mampu menahan hantaman pedang nya. Posisimu sungguh tak menguntung-kan. Namun, Ibn Qami’ah tidak memperhitungkan perisai hidup yang menge lilingimu. Th alhah yang menyiapkan jiwanya untuk melin-dungimu seketika melompat. Dia menyambut pedang Ibn Qami’ah dengan tangannya.

Terasakah olehmu, wahai Lelaki yang Dicintai Langit dan Bumi? Seringai Th alhah saat kehilangan beberapa jema rinya demi melin-dungimu tidak sepadan dengan kebahagiaannya karena berhasil me-ngurangi akibat hantaman pedang Ibn Qami’ah terhadapmu.

Memang hanya mengurangi. Sebab, mata pedang Ibn Qami’ah nyaris menghantam topi bajamu, menyerempet candil topi itu. Tebas an pedangnya melukai pelipismu lalu membentur keras dua bahumu. Pada urutan sebelumnya, serangan itu menghantam kepalamu demikian keras. Betapa cadasnya pedang itu melukaimu, hingga roboh tubuhmu, wahai Cucu ‘Abdul Muththalib. Engkau kehilangan kesadaranmu dan itu membuat Ibn Qami’ah merasa telah mengakhiri hidupmu.

Ia segera meluncur kabur dengan kudanya. Beberapa detik kemu-dian, para Quraisy lainnya berdatangan melimpahkan serangan. Para sahabatmu menyambut kedatangan mere ka dengan pedang terhunus. Nusaibah, perempuan perwira itu tidak ingin tertinggal. Meski pikir-annya terpecah oleh kekhawatiran akan kondisimu, dia tahu benar saat ini bukan waktunya sedu-sedan. Angkat pedang, mati-hidup urus-an Tuhurus-an.

Sementara engkau berada dalam ketidaksadaranmu, te riakan Ibn Qami’ah melolong seperti serigala kelaparan, memancing kalimat sama yang diulang-ulang. “Muhammad sudah mati! Muhammad su-dah mati!”

Nusaibah nyaris menghentikan langkahnya. Dadanya serasa hen-dak melehen-dak. Rasulullah telah pergi? Tihen-dak mungkin! Napas Nusaibah menderu. Jantungnya serasa tertekan begitu hebat. Bagaimana jika

memang demikian? Siapa lagi yang menyampaikan kata-kata Tuhan? Si-apa lagi yang akan menjadi matahari? Nusaibah nanar, menolehkan lagi

wajah nya ke musuh. Dia mengeratkan pegangan tangannya ke gagang pedang. Pandangannya menajam, “Kalau begitu aku akan menemani Rasulullah!”

Nusaibah menghamburi musuh dengan semangat pe nuh. Seolah terhampar surga di depannya. Pedang menerjang, “Syahid! Syahid!”

4. Sang Pemindai Surga

4. Sang Pemindai Surga

Dalam dokumen Muhammad LPH (Halaman 43-50)