• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agus Kurniawan 16

Pendahuluan

Indonesia memiliki areal gambut lebih dari 20 juta Ha atau sekitar 10,8 persen dari seluruh luas daratan dan tebagi dalam 673 kesatuan hidrologi gambut (KHG) yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua (webgis.dephut.go.id, 2019). Lahan rawa gambut merupakan bagian ekosistem yang memiliki karakteristik dan fungsi yang unik. Gambut memiliki fungsi hidrologis sebagai penampung air karena sifat gambut yang seperti spon yang dapat menyerap banyak air. Selain itu gambut merupakan penyimpan karbon yang sangat besar sehingga keberadaan dan fungsinya sangat penting dalam pengendalian perubahan iklim. Karakter gambut dan fungsi gambut tersebut dapat rusak apabila terjadi pengeringan dan kebakaran gambut.

Lahan gambut di Indonesia terbakar hampir setiap tahun dan mencakup luasan yang sangat besar (Adinugroho, Suryadiputra, Saharjo dan Siboro, 2005). Dampak karhutla gambut menimbulkan kerusakan yang luar biasa terhadap fungsi-fungsi ekologi yaitu menurunnya kuantitas dan kualitas sumberdaya alama hayati gambut beserta ekosistemnya sebagai penyangga kehidupan, antara lain rusaknya fungsi hidoorologi, berkurangnya keanekaragaman jenis flora fauna sebagai sumber plasma nutfah, penurunan kualitas tanah dan pemanasan global (Saharjo & Basuki, 2019). Selain itu karhutla gambut juga merusak fungsi ekonomi, sosial dan politik kawasan.

Karhutla gambut di Indonesia lebih luas dibandingkan karhutla di lahan mineral; 6. Pengendalian karhutla gambut jauh lebih sulit dan perlu biaya jauh lebih besar dibandingkan kebakaran di lahan mineral. Dampak kebakaran lahan gambut terhadap pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK),

gas beracun 16–45 kali juga lebih besar dibandingkan lahan mineral (Levine, 1999; Stockwell et al., 2016). Emisi GRK di Indonesia 45% bersasal dari lahan gambut dan meningkat menjadi 60–75% pada musim kering (Triadi, Adjie, & Lasmana, 2018).

Upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut melibatkan risiko keselamatan sumberdaya dan biaya yang sangat besar sehingga upaya pencegahan karhutla gambut harus selalu menjadi prioritas dibandingkan upaya pemadaman.

Lahan gambut merupakan laboratorium alam terbesar yang dimiliki oleh Indonesia yang selama ini masih belum sepenuhnya dapat dikelola dengan baik karena berbagai keterbatasan. Pengembangan ilmu pengetahuan sangat diperlukan untuk dapat mengelola lahan gambut dengan tepat. Lahan gambut yang sangat luas ini merupakan potensi besar untuk menggali ilmu seluas-luasnya sehingga potensi kebakaran hutan gambut dapat ditekan pada titik terendah di masa yang akan datang. Misteri dalam gambut masih sangat banyak yang belum diketahui dan ini merupakan objek penelitian yang menarik bagi dunia penelitian khususnya di Indonesia.

Karhutla ditinjau dari penyebabnya secara umum disebabkan oleh 3 faktor utama yaitu: 1. Adanya nyala api; 2. Tersedianya bahan bakar dan 3. Tersedianya lingkungan yang mendukung, terutama faktor oksigen (O2). Faktor nyala api yang menjadi penyebab karhutla di Indonesia 99,9% oleh manusia (Rachman, Saharjo, & Putri, 2020; Adinugroho, Suryadiputra, Saharjo, & Siboro, 2011) sehingga pendekatan pemecahan harus memperhatikan 3 faktor tersebut.

Faktor lingkungan adalah faktor alam yang tidak dapat dikendalikan. Faktor kondisi bahan bakar merupakan faktor utama yang menjadi kunci terjadinya kebakaran. Kondisi kelembapan bahan bakar (moisture content/

MC) merupakan penentu utama bahan bakar menyala atau tidak jika terdapat

nyala api (de Groot, Wardati, & A, 2005), sedangkan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh kebakaran ditentukan oleh volume/kelimpahan bahan bakar.

Realitas dan Harapan

Bahan bakar merupakan faktor penentu terjadinya kebakaran. Bahan bakar yang tersedia di lahan gambut tidak hanya tersedia di permukaan tetapi juga tersedia di bawah permukaan dan bahkan jauh lebih besar volumenya dibandingkan dengan bahan bakar yang ada di permukaan. Lahan gambut adalah bahan organik, oleh sebab itu gambut dalam kondisi kering merupakan bahan bakar yang tersedia luar biasa melimpah. Untuk memutus proses terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut salah satu solusinya adalah menjaga supaya gambut selalu dalam keadaan basah. Gambut identik dengan kondisi basah. Pada kondisi basah maka kelestarian ekosistem dan fungsi gambut akan terjaga. Sebaliknya apabila khitahnya gambut yang basah ini dirubah kondisinya menjadi kering maka menimbulkan banyak bencana.

Pengeringan gambut dapat terjadi secara alami karena adanya musim kering yang menyebabkan menurunnya tinggi muka air tanah dan juga dapat terjadi akibat upaya pengeringan yang dilakukan oleh manusia. Pengeringan oleh manusia umumnya dilakukan untuk kepentingan ekonomi yaitu pembukaan lahan perkebunan, hutan tanaman, pertanian dan kepentingan lainnya. Lahan gambut di Indonesia umumnya telah mengalami pengeringan akibat pembangunan kanal-kanal drainase. Kerusakan gambut dan risiko kebakaran hutan meningkat terutama disebabkan oleh pengeringan gambut tersebut (A Kurniawan, Graham, Applegate, & Utami, 2020). Gambut pada kondisi kering akan menjadi supply bahan bakar yang luar biasa melimpah dan berisiko terjadi karhutla yang sulit dikendalikan. Lahan gambut dalam kondisi kering adalah bahan bakar karena gambut tersusun oleh bahan organik dan berpotensi menjadi bahan bakar laten apabila gambut telah berubah sifat dari hidrofilic (menyerap air) menjadi hidrofobic (menolak air) karena telah mengalami pengeringan (A Kurniawan et al., 2020; Rachman et al., 2020).

Bahan bakar gambut bersifat dinamis tergantung dari faktor jenis vegetasi dan faktor-faktor kondisi lingkungan. Kondisi kelembapan bahan bakar gambut ditentukan oleh faktor suhu, kecepatan angin, kelembapan udara, tinggi muka air tanah (TMAT), ketebalan gambut, tingkat kematangan

gambut dan jenis vegetasi penyusun bahan bakar, semua faktor di atas sangat dipengaruhi oleh musim serta keberadaan kanal drainase. Sementara volume bahan bakar ditentukan oleh faktor (dominasi) jenis bahan bakar/jenis tumbuhan bawah/land cover, kerapatan (density), ketebalan gambut dan luas lahan.

Lahan gambut di Indonesia umumnya telah mengalami pengeringan akibat pembangunan kanal-kanal drainase. Kerusakan gambut dan risiko kebakaran hutan meningkat terutama disebabkan oleh pengeringan gambut tersebut (Wasis, Saharjo, Kusumadewi, Utami, & Putra, 2018). Gambut pada kondisi kering akan menjadi supply bahan bakar yang luar biasa melimpah dan berisiko terjadi karhutla yang sulit dikendalikan. Lahan gambut dalam kondisi kering adalah bahan bakar karena gambut tersusun oleh bahan organik dan berpotensi menjadi bahan bakar laten apabila gambut telah berubah sifat dari hidrofilic (menyerap air) menjadi hidrofobic (menolak air) karena telah mengalami pengeringan (Triadi et al., 2018; Utami, Maas, Radjagukguk, & Purwanto, 2013). Fungsi penyerapan air pada gambut yang sangat kering akan sulit dilakukan karena dalam keadaan tersebut, gambut sudah tidak berfungsi sebagai tanah dan sifatnya menjadi seperti kayu kering. Sifat hidrofobic gambut ini sering juga dikenal sebagai sifat gambut yang irreversible drying (kering tak balik). Berdasarkan penelitian bobot gambut yang kering mutlak akan turun signifikan menjadi sekitar sepertiga dari bobot awalnya (kondisi basah) dan sifatnya seperti kayu kering, mengapung di atas air (Agus Kurniawan, Nurlia, Graham, & Grahamme, 2020). Hal ini dapat sedikit menjelaskan mengapa kebakaran gambut terjadi dalam waktu yang lama karena sulit dipadamkan.

Simpulan

Kebakaran lahan gambut merupakan bencana yang menimbulkan kerusakan yang luar biasa besar terhadap fungsi-fungsi ekologi yaitu menurunnya kuantitas dan kualitas sumberdaya alama hayati gambut beserta ekosistemnya sebagai penyangga kehidupan, antara lain rusaknya fungsi hidoorologi, berkurangnya keanekaragaman jenis flora fauna sebagai sumber plasma nutfah, penurunan kualitas tanah dan pemanasan global untuk itu tindakan pencegahan merupakan hal yang perlu dikedepankan.

Pemahaman terhadap sifat fisik gambut dapat membantu dalam menentukan langkah pencegahan dan pengendalian karhutla gambut. Sifat

irreversible drying merupakan sifat unik dari gambut yang perlu diperhatikan

dalam upaya pencegahan karhutla gambut dalam jangka panjang, artinya ekosistem gambut yang basah harus selalu dijaga untuk tetap basah sehingga tidak ada celah yang dapat memicu nyala api yang dapat menyebabkan kebakaran gambut.

Daftar Pustaka

Adinugroho, W. C., I N.N. Suryadiputra, Bambang Hero Saharjo dan Labueni Siboro. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.

de Groot, W. J., Wardati, B., & A, Y. W. (2005). Calibrating the Fine Fuel Moisture Code for grass ignition potential in Sumatra , Indonesia.

International Journal of Wildland Fire, CSIRO, 14(2), 161–168. https://

doi.org/https://doi.org/10.1071/WF04054

Kurniawan, A, Graham, L., Applegate, G., & Utami, S. (2020). Highly grass fine fuel in contributing peat fire in South Sumatra. IOP Conference

Series: Earth and Environmental Science, 487, 012019. https://doi.

org/10.1088/1755-1315/487/1/012019

Kurniawan, Agus, Nurlia, A., Graham, L., & Grahamme, A. (2020). Mid-term

Project Report of ACIAR Project FST/2016/144: Impoving Community Fire Management and Peatland Restoration in Indonesia (p. 16). p. 16.

Levine, J. S. (1999). The 1997 fires in Kalimantan and Sumatra, Indonesia: Gaseous and particulate emissions. Geophysical Research Letters, 26(7), 815–818. https://doi.org/10.1029/1999GL900067

Rachman, A., Saharjo, B. H., & Putri, E. I. K. (2020). Forest and Land Fire Prevention Strategies in the Forest Management Unit Kubu Raya, South Ketapang, and North Ketapang in West Kalimantan Province. Jurnal

Ilmu Pertanian Indonesia, 25(2), 213–223. https://doi.org/10.18343/

Saharjo, B. H., & Basuki, W. (2019). Valuasi Ekonomi Kerusakan Lingkungan Akibat Kebakaran Gambut Di Desa Mak Teduh Provinsi Riau. Valuasi

Ekonomi Kerusakan Lingkungan Akibat Kebakaran Gambut Di Desa Mak Teduh Provinsi Riau, 10(1), 58–62.

Stockwell, C. E., Jayarathne, T., Cochrane, M. A., Ryan, K. C., Putra, E. I., Saharjo, B. H., Yokelson, R. J. (2016). Field measurements of trace gases and aerosols emitted by peat fires in Central Kalimantan, Indonesia, during the 2015 El Niño. Atmospheric Chemistry and Physics, 16(18), 11711–11732. https://doi.org/10.5194/acp-16-11711-2016

Triadi, L. B., Adjie, F. F., & Lasmana, Y. (2018). Emisi Carbon Di Lahan Rawa Gambut Tropika the Impact of Ground Water Dynamics on Carbon Emission. Jurnal Sumber Daya Air, 14(1), 15–30.

Utami, S. N. H., Maas, A., Radjagukguk, B., & Purwanto, B. H. (2013). Sifat Fisik, Kimia dan FTIR Spektrofotometri Gambut Hidrofobik Kalimantan Tengah. Journal of Tropical Soils, 14(2), 159–166. https:// doi.org/10.5400/jts.2009.v14i2.159-166

Wahyu Catur Adinugroho, Suryadiputra, I. N. N., Saharjo, B. H., & Siboro, L. (2011). Manual for the Control of Fire in Peatlands and Peatland

Forest. Retrieved from www.wetlands.or.id

Wasis, B., Saharjo, B. H., Kusumadewi, F., Utami, N. H., & Putra, M. H. W. (2018). Analysis of economic valuation of environmental damage due to sand mine in Gumulung Tonggoh, Cirebon District, West Java Province, Indonesia. Archives of Agriculture and Environmental Science,

3(4), 360–366. https://doi.org/10.26832/24566632.2018.030405 Webgis.dephut.go.id, 2019