• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Barangan, begitulah masyarakat Suku Semende di Sumatera Selatan menyebut Castanopsis argentea (Blume) A.DC, salah satu pohon lokal yang tumbuh di hutan pegunungan. Masyarakat di beberapa daerah lain, seperti di Riau, Bengkulu, Sumatera Utara dan Bangka juga mengenal tumbuhan ini dengan nama Barangan, sementara masyarakat di Jawa menyebutnya dengan nama Saninten atau Rambutan Hutan, mungkin karena daun dan buahnya mirip rambutan. Barangan merupakan tumbuhan asli Indonesia yang hidup di Sumatera dan Jawa (Heyne, 1987; Whitmore dan Tantra, 1986), pada daerah dengan ketinggian mulai dari 150–1.400 m dpl, bahkan bisa juga mencapai 1.750 m dpl (Cahyo, 2018). Dengan ketinggian tempat tumbuhnya yang demikian, barangan merupakan tanaman lokal penting di daerah hulu yang merupakan daerah pegunungan dan perbukitan (Rinandion dan Hariri, 2018).

Masyarakat lokal, terutama di Sumatera, mengenal tumbuhan ini tidak hanya sebagai penghasil kayu dengan kualitas yang baik, tetapi juga memanfaatkan buahnya sebagai penganan lokal yang telah dikenal sejak lama secara turun-temurun. Mereka menyebutnya sebagai kacang barangan. Jika kita berkunjung ke masyarakat Semende pada awal tahun, mungkin kita bisa menjumpai penganan ini sebagai suguhan camilan yang telah di rebus dan menjadi teman minum kopi semende yang sudah terkenal. Kacang barangan memiliki rasa manis, gurih dan teksturnya empuk, sebenarnya rasanya mirip biji kluwih yang lebih dikenal luas di masyarakat. Tanpa disadari bahwa barangan sejak lama sudah menjadi salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan.

Pemanfaatan barangan oleh masyarakat lokal memang masih sangat terbatas, mereka hanya mengumpulkan buah matang yang jatuh di bawah tajuk pohon yang tumbuh liar di hutan, di sekitar pemukiman atau kebun. Buah yang terkumpul bisa jadi hanya sebagai sisa binatang liar. Hasilnya pun hanya sekadar untuk konsumsi sendiri atau dijual terbatas di sekitar tempat tinggal mereka. Upaya pengolahan kacang barangan juga belum ada, hanya sekadar direbus atau digosngseng. Dengan menjual kacang barangan dalam bentuk yang masih mentah dan terbatas, tentu harganya pun masih murah, biasanya hanya sekitar Rp2.000–5.000/kaleng bekas susu kental manis.

Kondisi di atas ternyata sangat berbanding terbalik dengan chestnut atau kacang kastanya yang tumbuh dan dikembangkan di Eropa, Amerika atau negara Asia lainnya seperti Jepang dan Cina. Jika barangan termasuk marga Castanopsis, maka chestnut atau kacang kastanya masuk ke dalam marga Castanea, tetapi keduanya termasuk ke dalam suku Fagaceae. Kastanya telah dikenal sejak lama sebagai bahan makanan penting di Eropa dan Asia. Penyebaran dan budidaya chesnut yang terbesar adalah kawasan Eropa diikuti Cina, Jepang dan Amerika Latin (Castanea sativa di Eropa; Castanea dentata di Amerika; Castanea mollissima di Asia Timur dan Castanea crenata di Jepang). Tingginya produksi chestnut sebagai hasil budidaya intensif telah menjadikannya sebagai komoditas ekspor penting. Saat ini China telah berhasil menjadi negara eksportir kastanye dunia yang paling kontinu. Pada tahun 2007, China mampu mengekspor chestnut sebanyak 34.000 ton, senilai $ 73 juta atau Rp. 1,108 Triliun (Cahyo, 2018). Nilai produksi sebesar itu tentunya tidak berasal dari produksi hutan alam, tetapi dari hutan tanaman dengan luasan dan produkstivitas yang tinggi. Selain nilai produksi yang tinggi, aneka olahan dan produk turunan yang dihasilkan juga sangat bervariasi. Peningkatan nilai tambah produk sangat intensif dilakukan melalui usaha produktif yang turut menggerakan perekonomian masyarakat.

Pohon, bunga, buah dan biji barangan Gambar 3.1

Meskipun barangan (Castanopsis) tidak sama dengan chesnut, tetapi sejak masa penjajahan Belanda telah memanfaatkan dan memasukan barangan (saninten) sebagai sebagai sumber daya nabati yang ada di Jawa (Cahyo, 2018). Oleh karena itu, potensi barangan sebagai bahan pangan cukup potensial dan menjanjikan. Ke depan, barangan atau saninten sebagai kerabat

chestnut bisa turut menjadi komoditas ekspor penting yang bernilai ekonomi

tinggi. Tidak menutup kemungkinan jika barangan dikelola dengan baik akan mendatangkan manfaat yang tinggi dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat sekitar hutan.

Realitas dan Harapan

Sejak dulu masyarakat lokal, baik di Jawa maupun di Sumatera, telah mengenal pohon barangan atau saninten sebagai penghasil kayu dengan kualitas yang baik dan penggunaan yang cukup luas. Kayu barangan memiliki kelas kuat II dan kelas awet III (Martawijaya et al., 1989), sehingga kayunya banyak digunakan sebagai bahan baku kontruksi bangunan, jembatan dan bahkan digunakan sebagai bahan baku perabot rumah tangga (furnitur). Kayu Barangan juga termasuk ke dalam jenis kayu yang baik untuk digunakan sebagai bahan pembuatan alat musik dan kayu energi, baik untuk kayu bakar maupun arang (Rinadio dan Hariri, 2018). Dengan kondisi tersebut, maka ekploitasi kayu, baik legal maupun pembalakan liar, telah dilakukan secara intensif sejak dulu. Selain itu adanya konversi lahan hutan yang merupakan habitat alaminya menjadi penggunaan lain, seperti perkebunan karet, sawit atau kopi di Sumatera dan menjadi pemukiman di Jawa telah mempercepat penurunan jumlah pohon di habitat aslinya.

Sebenarnya, permasalahan penurunan populasi barangan tidak hanya muncul akibat ekploitasi atau kerusakan habitat alaminya saja, tetapi juga disebabkan oleh rendahnya kemampuan regenerasi alami barangan itu sendiri (Efendi, 2018). Di lapangan akan sangat jarang bisa menemukan anakan atau tingkat pertumbuhan lainnya secara alami di sekitar pohon induk. Keterbatasan regenerasi barangan terkait dengan musim buah dan perkecambahan benihnya. Musim buah barangan umumnya tidak setiap tahun, rata-rata terjadi setiap dua tahun sekali. Musim buah barangan biasanya di awal tahun, mulai bulai januari sampai april. Buah barangan juga bisa dimakan atau edible, tidak hanya dikonsumsi oleh manusia, tetapi menjadi pakan penting bagi berbagai satwa liar di hutan, mulai babi, tupai, tikus, musang, monyet dan binatang pemakan buah lainnya. Dengan kondisi seperti itu maka benih barangan yang tertinggal dan berpotensi tumbuh menjadi anakan di lantai hutan akan sangat berkurang. Benih berangan juga memiliki karakter rekalsitran, cepat rusak, sehingga tidak tahan lama jika disimpan. Daya berkecambah benih barangan segar hanya sekitar 75% dan akan cepat berkurang dengan cepat jika tidak langsung dikecambahkan (Rinandio dan Hariri, 2018; Cahyo, 2018).

Dengan kondisi seperti itu, tidak mengherankan jika populasi alami pohon barangan saat ini menjadi sulit dijumpai di lapangan. Di bebeberapa lokasi, pohon barangan atau saninten ini hanya bisa dijumpai di areal konservasi atau taman nasional, seperti di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Gunung Halimun, lereng Taman Nasional Gunung Ciremai dan Kebun Raya Cibodas. Merujuk pada salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Heriyanto et al., (2007), bahwa jumlah populasi barangan atau saninten pada lokasi sebaran alaminya hanya mencapai 18 individu/ha. Oleh karena itu, berdasarkan Permen LHK Nomor P.20/MENLHK/SETJENKUM.1/6/2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi, menegaskan dan memasukan barangan atau saninten sebagai tumbuhan yang dilindungi. Sementara berdasarkan IUCN Red List of Thretened Species, barangan masuk ke dalam status genting atau endangered, artinya memiliki risiko kepunahan di alam liar yang tinggi pada waktu yg akan datang (Efendi, 2018).

Di Sumatera sendiri, khususnya di daerah hulu seperti di Semende Muara Enim sebagai salah satu daerah sebaran alaminya, saat ini pohon barangan bisa dijumpai di hutan atau kebun di sekitar pemukiman masyarakat, hutan sekunder dan semak belukar yang belum dibuka, di batas kebun masyarakat atau pinggir sungai. Pohon barangan yang terutama masih tumbuh di sekitar pemukiman atau kebun tersebut sebenarnya merupakan sisa pohon yang tidak ditebang oleh masyarakat, karena kurang bagus jika dijadikan sebagai penghasil kayu, biasanya berbatang bengkok dan pendek. Selain itu, masyarakat juga masih berharap untuk bisa panen buah barangan.

Dari sisi produksi buah, tentunya dengan semakin berkurangnya jumlah dan sebaran populasi barangan alam akan berimplikasi langsung terhadap potensi buah yang dapat dihasilkan, baik untuk kebutuhan regenerasi maupun konsumsi. Di sisi lain, seperti telah diungkapkan di atas, pemanfaatan buah barangan oleh masyarakan lokal di daerah juga masih sangat terbatas, sederhana dan belum ada upaya pengolahan. Hal tersebut tentunya belum bisa menjadikan barangan sebagai komoditas ekonomi yang diharapkan turut mampu memberikan tambahan pendapatan dalam angka peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Keterbatasan produksi bahan baku, pemasaran dan tata niaga mapun upaya peningkatan nilai tambah produk menjadi kendala yang harus dipecahkan bersama. Dibutuhkan upaya konprehensif dalam rangka pemangembangan dan pemanfaatan barangan sebagai komoditas ekologi dan ekonomi. Sebagai komoditas ekologi, kondisi ini tidak lepas dari status barangan sebagai tumbuhan dilindungi dengan potensi populasi dan sebaran alaminya yang semakin menurun. Di sisi lain, potensi pemanfaatan kayu dan buah barangan yang cukup potensial menjadikannya sebagai komoditas ekonomi menjanjikan.

Dalam upaya pengembangan barangan, terdapat dua kegiatan penting yang harus dikerjakan bersamaan dan berkesinambungan, yaitu kegiatan di hulu dan di hilir. Kegiatan di hulu diarahkan sebagai upaya penyediaan bahan baku buah barangan, sedangkan kegiatan di hilir lebih diarahkan kepada upaya peningkatan nilai tambah barangan dan pemasarannya. Upaya komesrsialisasi kacang barangan tidak akan berhasil jika pasokan bahan baku tidak tersedia dan kontinu. Begitupula dengan upaya peningkatan nilai tambah yang tidak hanya diarahkan sebagai upaya penambahan variasi dan nilai ekonomi produk, tetapi juga merupakan upaya pemberdayaan masyarakat melalui usaha produktif.

Upaya teknis yang dilakukan dalam rangka menjamin pasokan dan meningkatkan produksi barangan juga tidak lepas sebagai upaya konservasi barangan sebagai tumbuhan langka Indonesia. Kegiatan rehabilitasi populasi alami barangan bisa dilakukan melalui pengayaan atau re-stocking di hutan alam (areal lindung atau areal konservasi). Sementara penanaman barangan di areal budidaya masyarakat bisa diposisikan sebagai upaya untuk mengurangi tekanan terhadap barangan alam. Kegiatan penanaman di masyarakat bisa dilakukan sebagai budidaya intensif, menggunakan bahan perbanyakan berkualitas yang dikombinasikan dengan tindakan manipulasi lingkungan yang tepat, sehingga diharapkan akan meningkatkan produktivitas tanaman. Pola campuran atau agroforestri bisa menjadi salah satu pilhan yang logis bagi masyarakat. Kombinasi dan diversifikasi komoditas yang dibudidayakan, baik tanaman berkayu yang tahunan (barangan) termasuk berbagai jenis tanaman semusim, diharapkan akan mampu memberikan keragaman hasil

dan pendapatan, periode panen berjenjang, padat tenaga kerja dan ramah lingkungan (Huxley, 1999; Sahwalita et al., 2011). Pola tanaman ini juga akan lebih mudah diterima oleh masyarakat lokal, karena memanfaatkan pengetahuan, teknologi dan sesuai dengan budaya masyarakat setempat (Nair, 1987).

Kegiatan budidaya akan berkaitan dengan ketersediaan bahan tanaman dan materi genetik. Penurunan populasi alami barangan yang telah terjadi di berbagai tempat dikhawatirkan akan mempersempit genetik base jenis dimaksud. Dari sisi konservasi genetik dan kepentingan budidaya intensif tentu saja akan menjadi kendala yang penting. Oleh sebab itu dibutuhkan upaya inventarisasi dan koleksi materi gentik sebagai langkah preservasi genetik dan bahan baku kegiatan pemuliaan. Secara teknis, jika hasil evaluasi genetik di sutu sebaran alami, maka bisa langsung dilakukan infusi materi genetik dari lokasi sebran alami lain yang diketahui atau dianggap berbeda. Ke depan, dengan adanya proses kawin silang, maka diharapkan akan terjadi peningkatan genetik base barangan di suatu lokasi.

Upaya budidaya barangan juga terkait dengan kualitas materi genetik yang telah dikoleksi di suatu lokasi. Kegiatan dalam penyediaan materi perbanyakan tanaman seyogyanya diawali dengan valuasi dan seleksi materi genetik unggul. Evaluasi parameter atau karakter fenotipe, seperti karakter pertumbuhan tanaman, luas tajuk, produktifitas buah, kualitas buah, ketahanan hama dan penyakit merupakan sebagian dari karakter seleksi yang dilakukan. Upaya selanjutnya berupa penyediaan bahan perbanyakan yang diperoleh dari pohon induk lokal unggul pada sumber benih yang telah ditetapkan, bila perlu berasal dari kegiatan pemuliaan. Pada praktiknya, kegiatan penyediaan bahan perbanyakan saninten yang dilakukan selama ini masih konvensional, dengan mengecambahkan benihnya langsung atau stek tunas (Fitria, 2015). Metoda ini terkadang akan terkendala dengan ketersediaan benih yang dihasilkan oleh pohon induk unggul. Upaya lain yang cukup potensial untuk diterapkan adalah dengan cara in vitro atau kultur jaringan (Surya et al., 2017).

Dalam jangka pendek, upaya penghentian atau moratorium ekploitasi kayu barangan akan bisa menahan penurunan produksi buah dan diharapkan juga akan membantu upaya regenerasi alaminya. Di saat produksi buah

hasil budidiya belum tersedia, produksi buah barangan alam masih menjadi tumpuan. Untuk menjaga kelestarian dan tingkat produktivitasnya, maka dibutuhkan upaya pengaturan pemanenan, baik teknis pemanenan maupun aturan kelembagaan yang diterapkan di masyarakat. Barangan sebagai tanaman dilindungi, maka legalitas pemanfaatannya tidak bisa sembarangan, berdasarkan Peraturan Pemerintah dalam hal ini berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 35 Tahun 2007, buah saninten termasuk salah satu komoditas HHBK yang diperkenankan untuk dimanfaatkan.

Upaya peningkatan nilai tambah barangan melalui diversifikasi produk seyogyanya segera dilakukan, berkaca pada kasus kacang kastanya atau

chestnut yang memiliki aneka produk turunan yang bernilai ekonomi tinggi

dan marketable, maka kacang barangan juga bisa diposisikan seperti demikian. Kacang barangan tidak hanya sekadar dijual berupa kacang barangan mentah atau kacang barangan gongseng, tetapi sudah diolah lebih lanjur menjadi berbagai olahan jadi maupun olahan sebagai bahan baku pembuatan makanan, semacam pasta atau tepung kacang barangan. Selain meningkatkan nilai ekonomi, pengolahan produk juga akan meningkatkan peluang dan jangkauan pasar yang lebih luas.

Peran berbagai pihak, swasta, institusi pendidikan dan penelitian, pemerintahan dan stakeholder terkait lainnya dalam kegiatan pembuatan dan pengembangan produk kacang barangan harus dilakukan secara komprehensif. Upaya tersebut juga tidak lepas dari identifikasi, pembuatan dan penyediaan jaringan pemasaran dan tata niaga yang profitable dan transparan. Sehingga bisa meningkatkan nilai jual produk yang dihasilkan tanpa menambah biaya pemasaran. Pendekatan pemasaran daring pada saat ini sudah menjadi tren yang umum untuk berbagai produk. Belanja online sudah menjadi kebiasaan dan budaya masyarakat, apalagi ditengah kondisi pandemi seperti sekarang. Luasan jangkauan dan efisiensi promosi menjadi nilai lebih dibandingkan dengan pemasaran secara konvensional.

Pengelolaan kacang barangan sebagai HHBK unggulan dengan pelaku utama masyarakat lokal sekitar hutan akan membutuhkan peran penting pemangku kawasan, dalam hal ini KPH. KPH Mandiri tidak hanya mampu mengelola kawasan yang dipangkunya menjadi tetap lestari, tetapi

harus produktif, termasuk masyarakat yang ada di dalamnya (Effendi dan Rostiwati, 2014). Kelembagaan lokal di masyarakat yang didukung oleh lembaga otoritas legal, dalam hal ini KPH, bisa menjadi kombinasi apik dalam mengelola komoditas ini. Seperti yang diungkapkan oleh Uphoff (1992) dalam publikasinya “Local Institutions and Participation for Sustainable

Development” bahwa kelembagaan lokal lebih dimungkinkan untuk berhasil

dalam mengelola sumberdaya alam, jika sumberdayanya bersifat jelas dan hasilnya dapat diprediksi, dikelola oleh pengguna yang teridentifikasi dan didukung oleh struktur otoritas.

Ke depan, perhatian dan keterlibatan berbagai pihak dalam rangka pengembangan komoditas barangan sebagai HHBK unggulan bagi masyarakat hulu tidak hanya mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga mampu memberikan sumbangan devisa bagi negara.

Simpulan

Barangan merupakan HHBK potensial dengan nilai ekonomi yang cukup tinggi, tapi pemanfaatan di masyarakat masih terbatas, hanya konsumsi langsung atau sekadar dijual di pasar kalangan, di masyarakat juga belum ada upaya pengolahan menjadi produk turunan yang komersil. Di sisi lain, ekplotasi kayu yang berlebihan, alih fungsi lahan dan keterbatasan regenerasi alami telah menyebabkan rendahnya potensi alami barangan dan menjadikannya sebagai tumbuhan langka.

Dalam rangka pengembangan barangan sebagai sumber pangan potensial dan ekonomis, dibutuhkan upaya penyediaan bahan baku di hulu melalui kegiatan pengayaan di areal konservasi/lindung dan penanaman di areal budidaya masyarakat. Selain itu, upaya diversifikasi produk, pengaturan pasar dan tata niaga diharapkan turut mendukung peningkatan nilai ekonomi produk. Nilai manfaat yang diperoleh tidak hanya mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga mampu memberikan sumbangan devisa bagi negara.

Daftar Pustaka

Cahyo YID. 2018. Saninten: Kudapan dari hutan yang langka. Dalam Cerita 100 Pohon. A. Apriono, A. Melanie, E. Erfianto, F. Nurdiasih, H. Mahbub, M. Dominique dan R. El Hida (Editor). Fauna & Flora Internasional.

Efendi M. 2018. Asa saninten dan kerabatnya di tengah ancaman kepunahan di Pegunungan Jawa. Dalam Cerita 100 Pohon. A. Apriono, A. Melanie, E. Erfianto, F. Nurdiasih, H. Mahbub, M. Dominique dan R. El Hida (Editor). Fauna & Flora Internasional.

Effendi R, T Rostiwati. 2014. Pengelolaan HHBK menuju KPH mandiri (studi kasus di KPH Boalemo). Dalam Operasionalisasi KPH: langkah awal menuju kemandirian. B. Herwanto dan S. Ekowati (Editor). Kanisius. Yogyakarta.

Fitria FN. 2015. Pembiakan saninten (Castanopsis argentea (Blune) A.DC.) melalui stek tunas dengan zat pengatur tumbuh komersil. Departemen Silvikultur Fahutan IPB. Bogor.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid 1. Badan Litbang Departemen Kehutanan, Jakarta

Huxley PA. 1999. Tropical agroforestry. Blackwell Science Publisher. Oxford. London, united Kingdom.

Martawijaya A, I Kertasujana, YI Mandang, SA Prawira,K Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Bogor: Badan Penelitian Dan PengembanganKehutanan. Departemen Kehutanan.

Nair PKR. 1987. Agroforestry System Inventory. Agroforestry System. Netherland: Kluwer Academic Publishers.

Permen LHK Nomor P.20/MENLHK/SETJENKUM.1/6/2018 Tentang jenis tumbuhan dan satwa yagn dilindungi. ( http://ksdae.menlhk. go.id/assets/news/peraturan/P.20_Jenis_TSL_.pdf)

Rinandio DS, MR Hariri. 2018. Konservasi jenis lokal langka berpotensi untuk rehabilitasi DAS: Studi kasusu pada Castanopsis argente (BL) A.DC. Dalam Cerita 100 Pohon. A. Apriono, A. Melanie, E. Erfianto, F. Nurdiasih, H. Mahbub, M. Dominique dan R. El Hida (Editor). Fauna & Flora Internasional.

Sahwalita, AH Lukman, A Sofyan, S Utami. 2011. Peningkatan Produktivitas Lahan Melalui Penanaman Pola Campuran. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Introduksi Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan di Lahan Masyarakat Melalui Pembangunan Hutan Tanaman Pola Campuran, Musi Rawas, 13 Juli 2011.

SK Menteri Kehutanan No. 35 Tahun 2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu (http://arsip.rimbawan.com/images/stories/aturan-pdf/P.35%20 Menhut%20II7%202007.pdf)

Surya MI, NI Kurnita, L Setyaningsih, L Ismani, Z Mutaqin. 2017. Perbanyankan Castanopsis argentea secara in vitro. Prosiding Seminar Nasional Biodiversity Indonesia. 3(1) Februari 2017.

Uphoff N. 1992. Local Institutions and Participation for Sustainable Development. Gatekeeper Series SA31. IIED, London.