• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyingkap yang tak Terungkap

Hasil-hasil penelitian merupakan suatu upaya menyingkap yang tidak terungkap. Fakta di lapangan menunjukkan kondisi sumber daya hutan di dataran rendah semakin menurun produktivitasnya. Upaya memulihkan kondisi hutan yang terdegradasi, merupakan tindakan mulia. Hasil-hasil penelitian telah mengungkapkan peluang-peluang untuk meningkatkan dan memulihkan sumber daya, seperti: kayu pelawan sebagai kayu energi, budidaya jamur pelawan, jamur alam, gajah sebagai alat angkut bibit di daerah yang remote, dampak kebakaran hutan terhadap kerentanan hama, dan satwa unik tarsius Belitung, serta keberhasilan memulihkan kondisi hutan alam tidak produktif.

Salah satu potensi di Sumatera Selatan yaitu jenis pelawan. Tanaman pelawan potensial digunakan sebagai kayu energi karena memiliki berat jenis mencapai 1,2 dan perbanyakannya bisa menerapkan sistem trubusan (Siahaan, 2020). Persyaratan jenis pohon menjadi kayu energi antara lain:

Nilai kalor kayu minimal 4.000 kkal/kg (Cahyono

1. et al., 2008). Besarnya

nilai kalor ditentukan oleh berat jenis kayu, kadar air, dan komposisi kimia kayu khususnya kadar lignin dan kadar ekstraktif. Berat jenis menunjukkan jumlah lignoselulosa pada volume kayu tertentu (Prayitno, 2007). Berat jenis berpengaruh terhadap nilai kalor yang dihasilkan oleh kayu sebagai sumber energi. Semakin tinggi berat jenis suatu biomassa, semakin tinggi pula nilai kalor yang dihasilkan.

Kadar air kayu sangat menentukan kualitas arang yang dihasilkan. Arang 2.

dengan nilai kadar air rendah cenderung memiliki nilai kalor tinggi dan menunjukkan arang ini dihasilkan dari jenis kayu yang memiliki kadar air rendah. Dalam proses karbonisasi, makin tinggi kadar air kayu, maka makin banyak pula kalor yang dibutuhkan untuk mengeluarkan air dalam kayu tersebut menjadi uap sehingga energi yang tersisa dalam arang menjadi lebih kecil (Prawirohatmodjo, 2004).

Kadar karbon terikat berhubungan dengan nilai kalor. Semakin tinggi 3.

kadar karbon terikat maka nilai kalor semakin tinggi pula karena reaksi oksidasi akan menghasilkan kalori (reaksi eksothermis). Arang yang bermutu baik adalah arang dengan nilai kalor dan kadar karbon terikat yang tinggi namun kadar abu rendah. Kadar karbon terikat tinggi bila lebih dari 60% (Sudrajat & Salim, 1994).

Spesies dengan pertumbuhan cepat dengan percabangan yang lebat, 4.

mudah tumbuh pada berbagai kondisi tempat tumbuh dan cepat bertunas setelah dipangkas (Alimah, 2016).

Potensi lainnya dari tanaman pelawan yaitu mampu berasosiasi dengan jamur ektomikoriza, di mana jamurnya mempunyai nilai ekonomi yang tinggi (Asmaliah, 2020). Adanya nilai ekonomi yang tinggi tersebut, maka peluang untuk membudidayakan baik sebagai penghasil kayu maupun penghasil non kayu menjadi penting. Saat ini jamur pelawan ini masih diambil dari alam dan belum berhasil dibudidayakan. Informasi awal ini menjadi penting untuk dilakukan penelitian lanjutan agar bisa membudidayakan pohon pelawan dan sekaligus untuk menghasilkan jamur pelawan.

Selain jamur pelawan, banyak jamur di alam yang berguna bagi manusia. selain bisa dikonsumsi, ada juga berfungsi sebagai obat (Ulfa, 2020). Begitu banyaknya sumber daya alam yang perlu digali kemanfaatannya. Jamur yang ada di alam yang bermanfaat bagi manusia, maka perlu upaya budidaya. Sumber daya hutan tidak hanya berupa kayu, akan tetapi hasil hutan non kayu begitu banyak yang belum dimanfaatkan secara optimal.

Upaya lainnya dalam keberhasilan dalam merehabilitasi hutan adalah kondisi bibit yang tetap dalam kedaan baik sampai lokasi penanaman. Kegagalan dalam merehabilitasi kawasan hutan salah satunya akibat bibit sudah rusak sampai di tempat penanaman. Untuk mengangkut bibit yang sulit dijangkau, maka satwa yang terlatih menjadi alternatif sebagai alat angkut bibit. Salah satunya adalah gajah sebagai alat transportasi bibit di daerah remote. Gajah mampu membawa bibit dalam jumlah banyak ke daerah dengan kondisi lahan yang terjal, dan bibit tetap dalam kondisi baik sampai di tempat penanaman (Purwanto, 2020). Dengan demikian, gajah bisa menjadi alternatif sebagai alat angkut bibit di daerah yang sulit dijangkau sehingga daerah tersebut dapat dipulihkan kondisi hutannya.

Aspek lainnya yang tidak boleh ditinggalkan dalam meningkatkan produktivitas yaitu perlindungan hutan. Upaya mengendalikan serangan hama penyakit menjadi penting untuk mempertahan produktivitas tegakan. Hasil penelitian Utami (2020) menyatakan bahwa dampak kebakaran hutan telah menimbulkan tanaman rentan terhadap serangan hama penyakit. Kondisi tegakan yang terluka akan lebih mudah dimasuki hama penyakit. Untuk itu, kebakaran hutan dan lahan menjadi pelajaran berharga timbulnya hama penyakit pada tanaman. Dampak serangan hama penyakit pada tanaman hutan telah menimbulkan kerugian secara finansial yang cukup besar. Munculnya hama penyakit di tenpat tertentu dan jika tidak dikendalikan akan menyebar kemana-mana sehingga akan menimbulkan kerugian semakin besar.

Menurut Lalena (2019), upaya mengendalikan serangan hama penyakit yang utama dilakukan selain menggunakan kimiawi dan biologi, maka pengendalian hama penyakit dilakukan dengan pendekatan menggunakan tanaman yang tahan. Epidemi penyakit tumbuhan terjadi jika ketiga komponen penyusun segitiga penyakit, yaitu inang, pathogen, dan lingkungan

berada pada kondisi yang mendukung untuk terjadinya penyakit dalam waktu yang sama (Agrios, 2005). Manipulasi yang dilakukan pada satu atau lebih komponen segitiga penyakit dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman, termasuk manipulasi pada inangnya (Lalena, 2019).

Upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan telah banyak dilaksanakan oleh berbagai pihak, baik dari aspek silvikultur, pemuliaan tanaman, dan teknologi hasil hutan. Salah satu langkah awal yang baik dalam upaya peningkatan produktivitas hutan adalah pemilihan jenis yang tepat. Jenis-jenis yang unggul dari hasil pemuliaan tanaman sudah saatnya untuk memperluas target dan fokus keunggulan sifat tanaman yang dihasilkan. Beberapa jenis tanaman hasil pemuliaan telah menghasilkan produktivitas yang tinggi antara lain jenis Acacia mangium, Acacia crassicarpa, Eucalyotus spp., akasia hybrid, dan jenis lainnya. Strategi pemecahan masalah untuk menghasilkan produk yang mampu menjawab tantangan tersebut telah dilakukan dari hasil penelitian yang bersifat adaptif, antsipatif dan inovatif (Nirsatmanto et al., 2019).

Upaya lainnya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas hutan yaitu mengembangkan jenis unggulan lokal. Pengembangan jenis-jenis unggulan lokal seperti tembesu, pelawan, bambang lanang harus terus dipromosikan untuk dibudidayakan di hutan tanaman maupun pengkayaan di hutan alam. Untuk itu, sudah saatnya untuk menggaungkan jenis-jenis unggulan lokal. Keberhasilan dalam membudidayakan komoditas unggulan lokal menjadi alternatif usaha hasil hutan sehingga semakin banyak jenis-jenis yang bisa dikembangkan. Kekayaan sumnberdaya hutan dataran rendah yang bergitu besarnya, jika dikelola secara optimal akan memberikan pendapatan kepada negara dan masyarakat sekitar hutan.

Pengalaman memulihkan kondisi hutan yang tidak produktif dengan penerapan penanaman sistem jalur untuk jenis-jenis dipterokarpa menjadi solusi memulihkan dan merehabilitasi hutan alam tidak produktif. Kurang berhasilnya penerapan penanaman jenis meranti pada sistem TPTJ-Silin yang dilakukan di kondisi hutan alam yang potensi tegakannya masih ”baik dan sedang” menjadi pelajaran berharga. Pertumbuhan Shorea leprosula jika ditanam pada kondisi tegakan yang “baik dan sedang”, maka S. leprosula

hanya mampu tumbuh baik sampai umur 4 tahun dengan riap diameter 0,57 cm/tahun (Darwo, 2015). Untuk itu, teknik penanaman sistem jalur pada kondisi hutan tidak produktif menjadi solusi meningkatkan produktivitas hutan. Darwo (2020) menyatakan bahwa:

Hutan alam tidak produktif di lahan kering dapat dipulihkan dengan a.

menggunakan jenis-jenis Dipterokarpa dengan pola tanam jalur. TPTJ-Silin hanya tepat diterapkan pada hutan alam bekas tebangan b.

(LOA) tidak produktif asalkan ada sisa tegakan tingkat tiang dan tidak tepat diterapkan di kondisi LOA yang masih baik.

Pemanenan kayu di jalur tanam dan “jalur antara” pada sistem c.

silvikultur TPTJ- Silin tidak menerapkan tebang habis, tetapi dilakukan sistem tebang pilih dengan diameter terbatas sesuai dengan aturan dalam TPTI.

Untuk rotasi berikutnya pada areal TPTJ-Silin, pengayaan bisa d.

dilakukan dengan sistem jalur atau cemplongan, sedangkan pemanenannya dilakukan tebang pilih dengan diameter terbatas seperti pada sistem silvikultur TPTI.

Jika diimplementasikan dengan target rehabilitasi di LOA tidak e.

produktif seluas 100.000 ha/tahun, maka selama 25 tahun yang akan datang mampu merehabilitasi LOA seluas 2,5 juta ha.

Apabila target potensi tegakan 75 m

f. 3/ha (riap 3 m3/ha/tahun) pada

siklus tebang 25 tahun, maka akan diperoleh tambahan produksi kayu pertukangan dari hutan alam 7,5 juta m3/tahun.

Lahan terdegrasi lainnya yaitu areal bekas tambang batubara yang perlu direklamasi. Keberhasilan dalam mereklamasi dengan jenis-jenis legum menjadi upaya menghijaukan lahan terdegradasi (Rosa, 2020). Bekas lahan tambang batubara harus memberikan dampak keberlanjutan terhadap masyarakat dan lingkungan setempat yaitu digunakan sebagai tempat wisata. Lahan bekas tambang yang telah difungsikan menjadi berbagai produk, maka akan memberikan nilai tambah.

Selain vegetasi di daran rendah, maka satwa juga perlu dipertahan keberadaannya. Seperti satwa unik tarsius, yaitu semacam kera dengan besarnya sekepal tangan. tarsius temukan di Belitung yang hidup di pinggir hutan dan sering ditemukan di perkebunan (Fitriana, 2020). Untuk menjaga kepunahan tarsius, maka vegetasi yang ada di hutan dataran rendah sebagai habitatnya perlu dijaga.

Peningkatan produktivitas dan pemulihan hutan menjadi penting untuk dilakukan. Para pelaku usaha jangan hanya mengeksploitasi kayunya saja, akan tetapi harus berkomitmen untuk merehabilitasinya. Darwo et al., (2017) menyatakan bahwa dalam pengelolaan sumber daya hutan harus ada pergeseran titik berat pengelolaannya, yaitu pengelolaan lahan hutan tidak hanya untuk memperoleh keuntungan finansial saja, tetapi ke arah berbagai produk dan jasa hutan untuk pemulihan ekosistem hutan dan ekonomi masyarakat tanpa mengabaikan fungsi hutan terhadap perlindungan lingkungan. Pengelolaan hutan alam dengan baik akan mewujudkan keberlangsungan makhluk hidup di ekosistem hutan menjadi harmoni. Satwa akan merasa nyaman berada di hutan alam sebagai tempat hidup dan berkembang biak, dan flora yang ada di hutan alam akan tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, pengelolaan hutan alam secara lestari merupakan wujud harmonisasi antara manusia dengan alam.

Pemulihan hutan yang terdegradasi menjadi wujud manusia harmoni dengan alam. Tindakan mulia ini harus terus menjadi suatu gerakan. Kondisi alam akan semakin baik jika manusia peduli terhadap alam. Jika alam rusak, maka manusia juga yang akan kena imbasnya.

Penutup

Dari hasil-hasil penelitian tersebut kepedulian manusia untuk menjaga dan memulihkan sumber daya alam merupakan upaya mewujudkan harmoni manusia dengan alam. Pulihnya sumberdaya hutan yang rusak menjadi tolok ukur adanya manusia untuk hidup berdampingan dengan alam. Pemanfaatan sumber daya hutan yang tidak melebihi produktivitas tegakannya menunjukan cara pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari. Dalam pengelolaan hutan tidak hanya hutan sebagai sumber penghasil kayu saja, tetapi perlu digali hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan.

Upaya merehabilitasi hutan tidak produktif merupakan suatu tindakan mulia untuk menjalin keharmonisan dengan alam. Suatu tindakan kerja sama antara berbagai faktor sedemikian rupa hingga faktor-faktor tersebut dapat menghasilkan suatu kesatuan yang luhur merupakan suatu tindakan yang harmoni. Harmonis dalam kehidupan merupakan suatu keadaan di mana manusia dapat saling merangkul bersama di setiap masalah sehingga terjadi keselarasan hidup guna mencapai kebahagiaan bersama dan berdampingan dengan alam.

Daftar Pustaka

Agrios, G.N. (2005). Plant Pathology – Fifth Edition. Elsevier Academic Press.

Alimah, D. (2016). Kayu Sebagai Sumber Energi. http://foreibanjarbaru. or.id/ wp-content/uploads/2016/07/Galam-Volume-V-Nomor-2-Tahun-2011-Kayu-Sebagai-Sumber-Energi.pdf.

Cahyono, T.D., Coto, Z., & Febrianto, F. (2008). Anisis nilai kalor dan kelayakan ekonomis kayu sebagai bahan bakar substitusi batu bara di pabrik semen. Forum Pascasarjana, 31(2), 105-116.

Darwo. (2020). Peningkatan Produktivitas Hutan Alam Tidak Produktif dengan Penerapan TPTJ-Silin. Pusat Penelian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim. Policy Brief, 14(2), 1-7.

Darwo. (2015). Evaluasi pertumbuhan Shorea leprosula Miq. pada areal TPTJ-Silin di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Masyarakat Silvikultur Indonesia III, Bogor, 19 Agustus 2015.

Darwo, Bramasto, Y., & Mindawati, N. (2019). Sintesa Hasil penelitian: Peningkatan Produktivitas Hutan (kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan.

Darwo, Tata, M.H.L., Heriansyah, I., Nugroho, A., Bogidarmanti, R., Butarbutar, T., Yuniati, D., & Mawazin. (2017). Laporan Hasil Kegiatan Pilot Project Implementasi Paludikultur dan Agroforestry di Lahan Gambut. Kerjasama antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dengan Badan Restorasi Gambut. Bogor.

Fitriana, F. (2020). Menilik Kehidupan Tarsius Belitung. Dalam: Harmoni baru Manusia dan Alam. IPB Press.

Kemenhut [Kementerian Kehutanan]. (2012). Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2011. Kementerian Kehutanan. Jakarta.

Lalena, N,E. (2019). Hama Penyakit pada Hutan Tanaman rakyat. IPB Press, 127 - 137.

https://www.forda-mof.org/berita/post/2448.

Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira, S.A, Kadir, K. (2005). Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan.

Mindawati, N. (2005). “Dampak Kenaikkan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Terhadap Kerusakan Hutan dan Alternatif Penanggulangannya”. Warta Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 2(4) : 3 - 5. Nirsatmanto, A., Sunarti, S., Setiyaji, T., Handayani, B.R., Kartikaningtiyas,

D., Surip, Yuliastuti, D.S., & Sumaryana. (2019). Pemuliaan tanaman penghasil kayu untuk bahan baku industry pulp dan kertas akasia eucalyptus. Dalam: Bunga Rampai: Peningkatan Produktivitas Hutan Menuju 100 Tahun Merdeka. IPB Press, 39-53.

Prawirohatmodjo, S. (2004). Sifat-sifat Fisika Kayu. Bagian Penerbitan Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Prayitno, T.A. (2007). Pertumbuhan Pohon dan Kualitas Kayu KTT 667. Program Studi Ilmu Kehutanan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Purwanto. 2020). Mengangkut bibit revegetasi dengan gajah. Dalam: Harmoni baru Manusia dan Alam. IPB Press.

Rosa, D.S. (2020). Taman Koleksi Reklamasi Pasca-Tambang. Dalam: Harmoni baru Manusia dan Alam. IPB Press.

Siahaan, H. (2020). Sistem Pangkas Pelawan untuk Energi. Dalam: Harmoni baru Manusia dan Alam. IPB Press.

Sudradjat & Salim. (1994). Petunjuk Teknis Pembuatan Arang Aktif. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Ulfa, M. (2020). Belajar dari jamur alam. Dalam: Harmoni baru Manusia dan Alam. IPB Press.

Utami, S. (2020). Hama dan Kebakaran Hutan. Dalam: Harmoni baru Manusia dan Alam. IPB Press.