• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fifin Fitriana dan Fatahul Azwar 14

Pendahuluan

Mendengar nama satwa tarsius, pasti terlintas dipikiran kita adalah satwa liar unik, kecil, langka dan dilindungi yang berasal dari Sulawesi. Hal ini wajar, mengingat publikasi ataupun pemberitaan tarsius lebih sering kita ketahui berada di Sulawesi, padahal terdapat 18 jenis tarsius dari famili Tarsiidae di dunia ini yang terklasifikasi menjadi 3 genus menurut Groves & Shekelle (2010) yaitu genus Tarsius penyebarannya di Pulau Sulawesi dan sekitarnya, genus Cephalopachus penyebarannya di Kalimantan, Sumatera bagian selatan, Pulau Bangka Belitung dan Kepulauan Natuna, serta genus Carlito yang penyebarannya di bagian selatan Filipina dan pulau-pulau sekitanya (Shekelle, 2008). Tarsius Sumatera dan Belitung sangat minim informasinya, hal ini yang menyebabkan juga persoalan konservasi jenis bagi satwa ini di kepulauan Sumatera minim dilakukan oleh parapihak terkait, dan bila hal ini terus dibiarkan tentunya akan menjadi ancaman besar bagi kelestarian jenis ini di Kepulauan Sumatera.

Salah satu jenis tarsius yang ada di kepulauan Sumatera yang keberadaannya masih bias kita lihat secara pasti adalah tarsius Belitung (Cephalopachus bancanus satator), sedangkan tarsius sumatera lebih sulit lagi perjumpaannya selain di pulau Bangka, tarsius Sumatera (Cephalopachus

bancanus) berdasarkan penelusuran penulis terakhir terlihat penampakannya

di pulau besar/induk (mainland) pada tahun 2013 di daerah Way Kanan, Lampung. Sama halnya dengan tarsius sumatera, tarsius belitung meskipun secara perjumpaan masih lebih pasti dapat dijumpai (karena bersifat endemik di satu pulau kecil saja). Oleh karena itu penyebarluasan informasi mengenai

14 Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, Fifinfitriana90@gmail.com Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup & Kehutanan - Palembang, rottenanarchist@ yahoo.com

jenis satwa ini harus lebih sering dipublikasikan guna merangsang berbagai pihak untuk melakukan upaya konservasi jenis baik melalui aksi langsung secara praktis maupun melalui kajian penelitian yang lebih dalam.

Secara umum, tarsius merupakan primate yang berukuran sangat kecil yaitu sekitar 13 cm untuk panjang badannya dan panjang ekor berkisar antara 15–20 cm, serta aktif pada malam hari (MacKinnon & MacKinnon, 1980). Tarsius beraktivitas mulai dari senja saat matahari terbenam dan kembali beristirahat pada saat fajar (Amnur, 2010). Tarsius merupakan satwa insectivora atau pemakan serangga, beberapa jenis serangga yang menjadi pakan utama tarsius adalah kumbang, belalang, jangkrik, kupu-kupu, ngengat, semut, rayap, dan kecoa. Ngengat, kupu–kupu dan jangkrik merupakan sumber makanan penting tarsius di alam di alam (Sumiyarni, 2005). Selain itu tarsius juga memakan cicak, mencit, ular kecil dan burung kecil (Sesa et al., 2014). Tarsius tidak dapat menggunakan matanya untuk bergerak kekanan maupun kekiri akan tetapi kepalanya dapat memutar sebesar 1800 tanpa memutar tubuh (Napier & Napier, 1985). Hewan ini memiliki kemampuan untuk mencengkram dan melompat secara vertikal (Jolly, 1972). Tarsius bisa melompat lebih dari lima meter atau hampir setara dengan 40 kali dari ukuran panjang kepala tubuhnya (Macdonald, 2006). Pola hidup tarsius selalu membentuk suatu unit sosial yang meliputi sepasang individu dewasa bersifat monogami dan tinggal bersama keturunannya dalam suatu teritorial (Whitten et al., 2002). Teritori ditandai dengan urin yang memiliki bau khas. Nietmietz (1979) menyatakan bahwa bau dengan urin dikenal sebagai komponen penting dalam perilaku tersius. Sistem perkawinan yang monogami menjadikan tarsius memiliki komposisi sex ratio antara jantan dan betina adalah 1:1 (Yustian, 2007). Adapun siklus hidup tarsius hanya 16 tahun.

Tarsius belitung (Cephalopachus bancanus satator) dalam bahasa daerah disebut pelilean adalah salah satu dari empat sub spesies Cephalopachus bancanus yang endemik di Pulau Belitung (Groves & Shekelle, 2010). Secara morfologi dan sistem sosial tarsius belitung memiliki perbedaan dengan jenis lainnya terutama pada jenis dari genus Carlito dan Tarsius. Tarsius belitung memiliki bulu cenderung tipis keabuan di bagian punggung, serta hidup secara individu

dan tidak berkelompok, selain itu tarsius belitung tidak mengeluarkan suara panggilan duet pada pagi hari (Fogden, 1974). Sebaliknya pada genus Tarsius dan Carlito mengeluarkan suara panggilan duet pada pagi hari serta hidup secara berkelompok. Sebagian orang yang mengetahui tarsius beranggapan bahwa tarsius berasal dari Sulawesi dan Filipina. Hal ini karena penelitian terhadap tarsius Filipina dan Sulawesi sudah banyak dilakukan. Sementara penelitian dan publikasi terhadap tarsius belitung masih sangat minim. Penelitian hanya pernah dilakukan oleh Indra Yustian pada tahun 2007 tentang populasi, ekologi dan wilayah jelajah, pada tahun 2010 oleh Indra Yustian & Nadya B. Silva Lestari tentang desain kandang dan pengkayaan kandang bagi tarsius belitung dan pada tahun 2017 oleh Fifin Fitriana tentang Model spasial dari prefersni habitat tarsius, sehingga penelitian dan publikasi terhadap tarsius belitung masih sangat diperlukan.

Sebelum tahun 2007 berdasarkan IUCN tarsius belitung termasuk satwa dalam kategori Vulnerable kemudian pada tahun 2008 berdasarkan penelitian Yustian (2007) status konservasi tarsius belitung menjadi Endangered Species. Meningkatnya status kerentanan tesebut dikarenakan tarsius belitung merupakan satwa endemik di Pulau Belitung yang luasan pulaunya hanya sekitar 4800 km2 dengan tekanan fragmentasi dan hilangnya habitat yang tinggi (IUCN, 2010). Yustian (2009) menyatakan bahwa kepadatan tarsius belitung di Pulau Belitung hanya sekitar 19-46 individu/km2. Angka tersebut diduga akan semakin berkurang karena adanya berbagai ancaman bagi keberadaan tarsius, baik pada populasi maupun habitatnya. Ancaman utama terhadap kelestarian tarsius belitung adalah reproduksi yang lambat dan sistem perkawinan monogami menjadi salah satu faktor kerentanan tarsius terhadap kepunahan (Norlaili, 2020). Ancaman terhadap habitat terjadi akibat adanya kegiatan perambahan dan konversi hutan karena kegiatan pertambangan timah dan perkebunan kelapa sawit dapat memicu proses kepunahan tarsius terjadi lebih cepat (Syafutra et al., 2017). Yustian (2009) menyebutkan kegiatan pertambangan dan perkebunan, terutama sawit menjadi faktor ancaman utama terhadap tarsius belitung. Adanya perubahan tutupan hutan yang dulunya mendominasi tutupan lahan di Pulau Belitung menjadi area tambang dan area perkebunan akan memengaruhi habitat alami tarsius belitung. Habitat alami tarsius belitung akan terfragmentasi menjadi

kantong-kantong habitat yang terisolasi. Indrawan et al., (2012) menyatakan bahwa satwa yang berada di habitat yang terisolasi akan terdorong pada fenomena kepunahan. Fragmentasi habitat dapat menyebabkan terjadinya perkawinan sedarah (inbreeding) yang akan mengarah pada kepunahan genetik (genetic

drift),Sehingga upaya konservasi sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian

tarsius belitung di alam sangat diperlukan mengingat secara ekologi tarsius berperan menjaga keseimbangan ekosistem (Lowing et al., 2013).

Realitas dan Harapan

Alikodra (2002) menyatakan bahwa keberhasilan satwa bertahan hidup dan meningkatkan populasinya tergantung pada kesesuaian habitat dengan kondisi spesifik yang dibutuhkannya. Kesesuaian habitat tarsius dapat diidentifikasi melalui pereferensi tarsius terhadap komponen habitat. Preferensi habitat adalah penggunaan habitat terpilih yang tidak proporsional dengan ketrersediaan habitat (Krausman, 1997). Habitat yang disukai menjadi suatu tapak yang ditempati atau ditemukan satwaliar lebih sering dibanding dengan seluruh tapak atau habitat yang tersedia (Petrides, 1975). Demikian juga pada jenis tarsius belitung. Tarsius belitung memiliki preferensi habitat untuk melangsungkan hidupannya (Fitriana et al., 2017). Preferensi tersebut diperlukan sebagai strategi dalam memperoleh mangsa (pakan), menghindari pesaing, menghindari predator dan ancaman (Petrides, 1975).

Keberadaan tarsius belitung berkaitan erat dengan tipe tutupan lahan yang menjadi habitatnya. Tarsius belitung memiliki preferensi terhadap tipe tutupan lahan pertanian lahan kering dan semak jika dibandingkan dengan tipe tutupan lahan seperti hutan sekunder yang berada di dalam kawasan hutan lindung atau di tutupan lahan perkebunan sawit (Fitriana, 2017) (Gambar 14.1). Hal ini ditandai dengan banyaknya perjumpaan tarsius belitung di lokasi tutupan lahan pertanian lahan kering dan semak. Di Belitung tipe tutupan pertanian lahan kering dan semak memiliki koposisi vegetasi yang beragam yakni terdiri atas berbagai perkebunan di antaranya kebun lada, kebun karet, kebun nanas, kebun buah (kelekak) serta patch-patch hutan sekunder yang terbentuk dari sisa perkebunan karet. Jenis tegakan yang terdapat dalam tipe tutupan lahan ini pun beragam dari karet, tanaman perkebunan hingga semak

(Fitriana, 2017). Komposisi tutupan lahan yang beragam menyebabkan serangga yang menjadi sumber pakan tarsius juga beragam. Jumlah jenis tumbuhan pada suatu tempat merupakan representasi dari keanekaragaman serangga yang berada di dalamnya (Murdoch et al., 1972). Erawati & Kahono (2010) menyatakan bahwa keanekaragaman serangga berkorelasi positif dengan tingkat kompleksitas lingkungannya. Lingkungan yang lebih kompleks (jenis tumbuhannya, iklim, ekosistemnya, dan landscape) biasanya memiliki keanekaragaman serangga yang lebih tinggi. Menurut MacKinnon & MacKinnon (1980) tarsius ditemukan hidup dan berkembang biak pada berbagai tipe habitat salah satunya adalah area perkebunan. Pendapat ini dikuatkan oleh Amnur (2010) bahwa serangga menyenangi jenis tanaman yang ditanam oleh penduduk. Tarsius kadang kala ditemukan di kebun dekat hutan (Napier & Napier 1967, Supriatna & Wahyono 2000). Hal inilah yang menjadikan tarsius banyak ditemukan di tutupan lahan pertanian lahan kering dan semak.

Kondisi habitat tutupan lahan pertanian lahan kering dan Gambar 14.1

Tarsius belitung juga diketahui menyukai lokasi di tepi hutan (Fitriana, 2017) (Gambar 14.2). Pemilihan area-area tepi hutan oleh tarsius belitung sehubungan dengan kebutuhan pakan tarsius berupa serangga banyak terdapat di tepi hutan. Tepi hutan merupakan area ekoton, Laliberte et al., (2007) dalam Sartika (2013) menyatakan bahwa ekoton merupakan tempat dengan komposisi komunitas yang berubah dan terdapat pula keragaman

evergreen hingga terdapat bermacam-macam karakteristik komunitas seperti

rumput semak dan tumbuhan merambat. Oleh karena itu, di area ekoton memiliki biodiversitas yang lebih banyak karena merupakan daerah peralihan dua habitat, termasuk serangga kelimpahannya lebih tinggi di habitat ekoton. Area-area tepi hutan dimanfaatkan tarsius untuk mencari pakan pada malam hari sedangkan untuk berlindung tarsius memanfaatkan tegakan yang ada di dalam kawasan hutan untuk berlindung dari predator dan gangguan manusia.

Berdasarkan penelitian Fitriana (2017) tarsius belitung juga menyukai area-area yang dekat dengan jalan setapak (Gambar 14.3). Meskipun tarsius sensitif terhadap keberadaan manusia namun preferensi tarsius terhadap area yang dekat dengan jalan setapak menunjukkan strategi tarsius belitung dalam berburu pakannya. Bismark (2009) dalam Hadinoto (2012) menyatakan bahwa keberadaan suatu spesies di suatu tempat tergantung dari adanya sumber pakan dan kondisi habitat yang sesuai. Tarsius menyukai area dekat dengan jalan karena tersedianya sumberdaya pakan. Cahaya matahari lebih banyak masuk di jalan dari pada di dalam hutan karena kondisi tutupan tajuk yang lebih terbuka. Rahmat (2010) menyatakan bahwa kondisi tajuk yang terbuka mengakibatkan banyaknya intensitas cahaya matahari yang masuk ke tanah. Hal ini mengakibatkan banyak semak yang tumbuh di pinggir-pinggir jalan sehingga banyak serangga yang menjadi pakan. Selain itu intensitas penggunaan jalan setapak tidak seperti penggunaan jalan utama yang sering dilalui manusia. Jalan setapak biasanya hanya dimanfaatkan masyarakat untuk ke kebun atau ke hutan sehingga keberadaan jalan setapak dapat sebagai salah satu area yang dimanfaatkan tarsius untuk mencari pakan.

Area ekoton yang menjadi preferensi habitat tarsius belitung Gambar 14.2

Area di sekitar jalan setapak yang menjadi preferensi tarsius Gambar 14.3

Tarsius belitung juga diketahui sering ditemukan di pekarangan rumah warga yang memiliki karaktersitik permukiman tidak padat dengan pekarangan berisi kebun buah maupun lada. Perkebunan di area permukiman memiliki kondisi yang hampir sama dengan perkebunan di tutupan pertanian lahan kering dan semak. Hal ini menjadikan sumber pakan tarsius juga melimpah seperti di tipe tutupan pertanian lahan kering dan semak.

Preferensi habitat tarsius belitung yang demikian menjadikan tarsius belitung banyak ditemukan di luar kawasan lindung. Tarsius justru menyukai areal-areal perkebunan masyarakat dan dekat dengan permukiman. Kondisi tersebut menjadikan terancamnya keberadaan tarsius belitung di habitat alaminya. Meskipun masyarakat tidak lagi membunuh tarsius karena anggapan bahwa tarsius monyet hantu pembawa sial, namun status lahan yang menjadi hak masyarakat membuat masyarakat dihadapkan kepada dua pilihan antara kebutuhan ekonomi dengan merubah lahan menjadi perkebunan atau ekologi yaitu dengan mempertahankan lahan dan tidak merubahnya menjadi perkebunan agar dapat menjadi habitat tarsius. Pada kenyataannya masyarakat akan cenderung memilih merubah lahan untuk dijadikan perkebunan dan berujung pada hilangnya habitat tarsius. Minimnya kesadaran terhadap peran ekologi tarsius belitung menjadikan masyarakat kurang bijak dalam menentukan pilihan.

Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah menjadikan tarsius sebagai satwa identitas Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berdasarkan Keputusan Mendagri No:522.53-958/2010, tetapi adanya kebijakan tersebut belum dibarengi dengan langkah konservasi yang tepat. Idealnya dengan dijadikannya tarsius sebagai satwa identitas bisa dibarengi dengan kegiatan-kegiatan penyadartahuan kepada masyarakat sekitar untuk melakukan konservasi terhadap tarsius. Selain itu, pemerintah setempat harus menjadikan tarsius belitung tersebut sebagai ikon daerah baik disetiap kegiatan maupun bangunan dan menjadikannya sebagai daya tarik wisata sehingga akan banyak wisatawan yang berkunjung ke Belitung, dengan demikian kesejahteraan masyarakat semakin meningkat dan rasa kebangaan memiliki tarsius akan semakin dimiliki oleh masyarakat. Sehingga akan timbul keinginan untuk mengkonservasi tarsius belitung. Tetapi pada kenyataanya upaya tersebut masih sangat minim.

Perkembangan tarsius belitung sebagai objek wisata telah dilakukan oleh pelaku usaha wisata. Diketahui beberapa tempat wisata menjadikan menjadikan tarsius sebagai objek daya tarik wisata. Seperti di Batu Mentas dan wisata Bukit Meramun. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang positif karena menjadi salah satu cara yang efektif untuk mengenalkan dan menyadartahukan masyarakat bahwa tarsius ada di Pulau tersebut, namun yang harus menjadi catatan adalah adanya kegiatan atraksi satwa tersebut harus dibarengi dengan kajian-kajian terkait aspek konservasi eksitu. Karena tarsius yang digunakan berasal dari alam, meskipun telah mendapatkan izin tetapi aspek kesejahteraan dan keberhasilan hidup di pengkaran harus menjadi fokus utama, mengingat tarsius merupakan satwa yang sensitif, dikhawatrikan ketika aspek-aspek tersebut tidak diperhatikan akan berdampak negatif terhadap populasi tarsius di alam. Sehingga penggalian informasi melalui penelitian terkait aspek penangkaran dengan bagaimana reproduksi, aktivitas dan kesejahteraan harus dikaji lebih lanjut serta laporan keberhasilan maupun kegagalan dalam mengkonservasi eksitu harus transparan.

Upaya pemerintah untuk mengurangi kegiatan pertambangan timah dan perkebunan sawit yang merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup tarsius belitung juga masih minim. Meskipun tarsius digolongkan sebagai edge species yang menyukai tempat di tepi hutan, dekat dengan jalan dan permukiman, namun tarsius membutuhkan pohon di dalam hutan untuk beristirahat dan berlindung dari predator, sehingga kegiatan deforestasi dari pertambangan dan perkebunan sawit harus dimininalkan agar tidak merusak area yang menjadi habitat tarsius. Dengan dijadikannya hutan Lindung Gunung Tajam sebagai area konservasi tarsius bukan berarti sudah berhasil melakukan upaya konservasi. Masih perlu adanya strategi konservasi dan kajian di berbagai aspek yang harus dilakukan dengan kerjasama berbagai pihak untuk menjaga kelestarian tarsius. Area-area di tepi hutan menjadi habitat yang disukai tarsius harus dijaga dan dipertahankan. Area konservasi tarsius belitung berdasarkan karakteristik habitat preferensial tarsius belitung semestinya harus dibuat. Program kegiatan untuk meningkatkan penyadartahuan masyarakat terhadap kelestarian tarsius serta inisiatif-inisiatif gerakan konservasi harus segera mulai digalakkan. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan seperti program penyuluhan terhadap peran tarsius dalam membantu menanggulangi hama,

pembentukan kelompok tani konservasi sebagai kader-kader konservasi agar dapat mengelola lahan perkebunan secara bijak dengan penggunaan pestisida yang tidak berlebihan, mengurangi pestisida dosis tinggi dan beralih ke biopestisida agar populasi serangga yang menjadi pakan tarsius tidak terganggu perlu dilakukan. Terlebih lagi kajian-kajian melalui penelitian diberbagai aspek terhadap tarsius belitung harus dilakukan agar memberikan pedoman yang lebih baik dalam mengelola dan mengkonservasi baik populasi maupun habitat tarsius belitung

Simpulan

Tarsius merupakan satwa unik dan secara ekologi dapat menjaga keseimbangan ekosistem ternyata tidak hanya terdapat di Sulawesi dan Filipina tetapi juga ada di Belitung. Sehingga masyarakat harus bangga dengan keberadaan satwa ini, terlebih lagi dengan dijadikannya tarsius belitung ini sebagai satwa identitas Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diharapkan kelestarian satwa ini dapat lebih diperhatikan. Kelestarian satwa ini bergantung pada kebijakan pemerintah dalam mengurangi tekanan kerusakan habitat, kesadaran masyarakat dalam menggunakan sumberdaya lahan serta kesadaran berbagai pihak untuk mengkaji dan melakukan penelitian terhadap setiap aspek pada tarsius belitung sehingga keberadaan tarsius belitung bisa banyak membawa manfaat dan populasinya lestari di alam.

Daftar Pustaka

Alikodra, H.S. (2002). Teknik Pengelolaan Satwa Liar dalam Rangka

Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor: Yayasan

Penerbit Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

Amnur, N. (2010). Karakteristik Habitat Preferensial Tarsius (Tarsius tarsier) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Maros, Sulawesi Selatan. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Erawati, N.V, & Kahono, S. (2010). Keanekaragaman dan kelimpahan belalang dan kerabatnya (Ortophera) pada dua ekosistem pegunungan di TN Gunung Halimun-Salak. Journal Entomologi Indonesia 7(2), 100-115.

Fitriana, F., Prasetyo, L.B., & Kartono, A. P. (2016). Habitat Preferensial Tarsius Belitung (Cephalopachus bancanus saltator Elliot, 1910). Media

Konservasi. 21(2), 174–182.

Fogden, M.P.L. (1974). A preliminary field study of the western tarsier Tarsius

bancanus Horsfield. Di dalam: Martin RD, Doyle GA, Walker AC,

editor. Prosimian Biology. London: Duckworth, 151-165.

Groves C, Shekelle M. (2010). The genera and species of tarsiidae. Int J

Primatol. 31(6), 1071-1082.

Hadinoto, Mulyadi, A., Siregar, Y.I. (2012). Keanekaragaman jenis burung di hutan kota Pekanbaru. J Ilmu Lingkungan 6(1), 25-42.

Indrawan, M., Primack, R.B., Supriatna, J. (2007). Biologi Konservasi. Jakarta (ID) :Yayasan Obor Indonesia

Isnaini, N. (2020). Pemetaan Tingkat Keterancaman Habitat Mentilin (Cephalopachus bancanus) di Taman Hutan Raya Gunung Menumbing. Yogyakarta: Universitas Gajahmada

Jolly, A. (1972). The Evolution of Primate Behaviour. Macmillan. New York [IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2011. Red List

of Threatened Species [internet]. [diacu 2015 Mar 07]. Tersedia dari: http://www.iucnredlist.org/.

Krausman, P.R. (1997). Some Basic Principles of Habitat Use. 85–90

Lowing, A.E., Rimbing, S.C., Peternakan, F., Sam, U., & Manado, R. (2013). Karekteristik Sarang Tarsius (Tarsius spectrum) di Cagar Alam. 32(5). Macdonald, D.W. (2006). The Encyclopedia of Mammals. Oxford: Oxford

University Press.

MacKinnon, J., & MacKinnon, K. (1980). The behavior of wild spectral tarsiers. International Journal of Primatology, 1(4), 361–379. https:// doi.org/10.1007/BF02692280

Murdoch, W.W., Evans, F.C., Peterson, C.H. (1972). Diversity and pattern in plants and Insects. Journal Ecology. 53(5), 819-829

Napier, J.R., Napier, P.H. (1967). A Handbook of Living Primates. London :Academic Press

Niemitz, C. (1979). Results of a field study on the western tarsier (Tarsius

bancanus borneanus Horsfield, 1821) in Sarawak. Sarawak Museum Journal. 27, 171-228

Petrides, G.A. (1975). Principal foods versus preferred foods and their relation to stocking rate and range condition. Biological Conservation. 7, 161– 169

Rahmat, U.M. (2012). Sebaran spasial dan model kesesuaian habitat badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Sartika, S. (2013). Keragaman dan Pola Distribusi Vegetasi pada Daerah Ekoton di Leuweung Sancang Garut Jawa Barat. Jakarta: Universitas Indonesia

Sesa, A., Yustian, I., & Negara, Z. (2014). Estimasi Populasi dan Habitat Tarsius Sumatera (Tarsius Bancanus Bancanus). Jurnal Penelitian Sains,

17(1), 168062.

Shekelle, M. (2008). Distribution and biogeography of tarsiers. Primates of

The Oriental Night, 1955, 13–27.

Sumiyarni, N. (2005). Aktivitas yang berhubungan dengan pola konsumsi pakan tarsius (Tarsius bancanus) di penangkaran pada malam hari. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Supriatna, J., Wijayanto, I., Manullang, B.O., Anggraeni, D., Wiratno, Ellis. (2002). The state of Siege for Sumatra’s forest and protected areas: Stakeholders view durirrg devolution, and political plus economic crises in Indonesia. Proceedings of IUCN/V Taipei Conference; 2002 Mar 18-23; Taipei. 39-458

Syafutra, R., Alikodra, H.S., & Iskandar, E. (2017). Distribution and population of mentilin (Cephalopachus bancanus bancanus) in Bangka Regency. Current Research Journal of Biological Sciences 9(1), 9–15. https://doi.org/10.19026/crjbs.9.3421

Yustian, I. (2007.) Ecology and conservation status of Tarsius bancanus saltator on Belitung Island, Indonesia. Gottingen: Cuvillier Verlag.

Yustian, I., Merker, S., Muehlenberg, M. (2009). Luas daerah jelajah dan estimasi kepadatan populasi Tarsius bancanus saltator di Pulau Belitung.

Journal Biologi Indonesia. 5 (4), 411-421

Whitten, A.J, Anwar. J, Damanik, S.J., Hisyam, N. (1984). The Ecology of

HARMONI MANUSIA