• Tidak ada hasil yang ditemukan

Subekti Rahayu 18

Pendahuluan

Jelutung rawa (Dyera polyphylla (Miq.) Stenis) tumbuh di hutan-hutan rawa gambut Sumatra dan Kalimantan. Jenis ini memiliki manfaat ganda, selain dimanfaatkan getahnya untuk bahan baku permen karet juga dimanfaatkan kayunya sebagai bahan baku furnitur, kayu lapis, dan pensil (Tata et al., 2015). Dalam lima tahun terakhir ini, tepatnya sejak kebakaran besar melanda areal gambut di sebagian besar wilayah bergambut Sumatra dan Kalimantan, jelutung rawa menjadi spesies yang dipromosikan dalam pemulihan ekosistem gambut karena kemampuannya beradaptasi pada kondisi tergenang.

Pemulihan ekosistem gambut mengusung konsep Rewetting, Revegetation and Revitalization (3R). Konsep rewetted dengan membangun sekat-sekat kanal menyebabkan aliran air pada musim kemarau tertahan dan gambut di sekitar kanal menjadi basah. Namun, pada musim penghujan justru menahan aliran air dan menyebabkan genangan berlebih pada lahan gambut, sehingga vegetasi yang tumbuh akan terendam. Hilangnya mikrotopografi pada lahan gambut yang telah terbakar menyebabkan peluang regenerasi vegetasi menjadi sangat terbatas dalam keadaan tergenang. Perbukitan pada microtopografi dalam ekosistem gambut menyediakan tempat bagi benih untuk tumbuh karena terhindar dari genangan air di musim penghujan. Jelutung rawa adalah salah satu spesies yang mampu hidup dalam kondisi teredam, paling tidak selama periode musim penghujan.

Di lain pihak, revitalization livelihood yang diusung dalam konsep pemulihan ekosistem gambut tentunya juga mempertimbangkan manfaat ekonomi dari spesies yang digunakan dalam upaya pemulihan ekosistem

gambut. Tidak hanya mampu memulihkan tutupan lahan, tetapi juga mampu memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan atau bahkan masyarakat yang menggarap lahan pada kawasan hutan.

Jika menengok ke belakang mengenai jelutung, ternyata pengusahaan jelutung di Jambi sudah tercatat sejak tahun 1903 (Aminah et al., 2016). Di kawasan hutan gambut Tesso Nilo, Kabupaten Pelalawan, Riau, jelutung juga sudah disadap sejak lama, yaitu sebelum tahun 1970an sebagai sumber pendapatan masyarakat (Sutan 2018, mantan penyadap jelutung di Kabupaten Pelalawan, Riau, komunikasi pribadi).

Meskipun jelutung telah dimanfatkan getahnya sejak lama di beberapa ekosistem rawa gambut di Indonesia seperti Jambi, Riau dan Kalimantan Tengah, tetapi dokumentasi dan data mengenai produksi, harga serta nilai perdagangannya sangat terbatas.

Pada periode tahun 1957–1961 tercatat bahwa Indonesia telah mengekspor getah jelutung dari Jambi ke Amerika Serikat dengan nilai rata-rata per tahun sebesar 1.549,46 Dollar Amerika (William 1963 dalam Tata et

al., 2015). Ekspor jelutung dari Indonesia ke beberapa negara juga dilaporkan

oleh FAO 1995 pada periode 1988–1993 dengan total terbesar adalah ekspor ke Singapura dan Jepang sebesar 21.838 ton (Joshi et al., 2010). Harun (2015) melaporkan bahwa ekspor getah jelutung dari Kalimantan Tengah ke Singapura, Jepang dan Perancis sampai dengan tahun 2011 mencapai nilai 1.348 Dollar Amerika per tahun (Harun 2015). Pada periode tahun 2010–2015 ekspor getah jelutung yang dilakukan oleh Lotte Co. ke Jepang mengalami penurunan tajam, dari sekitar 2.100 ton per tahun pada tahun 2010 dan 2011 menjadi kurang dari 100 ton pada tahun 2015 (Perdana et

al., 2016).

Suku Anak Dalam di Jambi termasuk suku yang telah memanfaatkan getah jelutung dari pertumbuhan alami sejak sebelum tahun 1984 (Aminah

et al., 2016). Jambi Dalam Angka tahun 1985–2010 mencatat bahwa pada

periode tersebut produksi jelutung sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun berkisar antara 55–1.290 ton dan menunjukkan kecenderungan menurun. Puncak produksi terjadi pada tahun 1989 (1.290 ton), 1999 (1.155 ton) dan 2006 (617,5 ton) hingga tidak ada produksi sejak tahun 2008–2010

Berdasarkan dokumen mengenai produksi dan nilai ekspor yang berhasil dikumpulkan menunjukkan bahwa getah jelutung di Indonesia pernah mengalami masa kejayaan dan Indonesia menjadi negara pengekspor getah jelutung ke Jepang dan Amerika terbesar yaitu pada periode antara tahun 1980–1990. Setelah tahun 1990 produksi dan nilai ekspor getah jelutung dari Indonesia, yang tercatat dari Jambi dan Kalimantan Tengah mengalami penurunan, bahkan tidak ada lagi data atau dokumentasinya. Hal ini sejalan dengan informasi yang disampaikan oleh Sutan (2018, komunikasi pribadi) bahwa tidak ada lagi yang menyadap jelutung di Pelalawan sejak tahun 1994.

Penurunan jumlah populasi dan nilai ekspor serta produksi getah jelutung setelah tahun sejak 1990 merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji, ketika jelutung rawa dipromosikan menjadi spesies rekomendasi untuk pemulihan ekosistem gambut, terutama pada ekosistem gambut terdegradasi yang telah digarap oleh masyarakat menjadi kebun. Identifikasi mengenai faktor-faktor penyebab penurunan jumlah populasi, produksi dan nilai ekspornya perlu dilakukan.

Data mengenai nilai ekspor getah jelutung tidak memisahkan antara getah jelutung yang disadap dari jelutung darat (Dyera costulata) dan jelutung rawa (Dyera polyphylla), karena keduanya dapat disadap dan menghasilkan getah. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kualitas dan kuantitas getah dari kedua jenis jelutung tersebut. Kualitas getah jelutung darat (Dyera

costulata) lebih baik karena memiliki kandungan perca yang tinggi (Sahwalita

2009 dalam Aminah et al., 2016). Secara kuantitas, menurut Suku Anak Dalam jelutung rawa menghasilkan getah lebih banyak dibandingkan dengan jelutung darat (Aminah et al., 2016), sedangkan Boer (2016) menyebutkan sebaliknya.

Jelutung rawa menjadi salah satu spesies rekomendasi untuk pemulihan ekosistem hutan gambut terdegradasi seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup No. P.16 tahun 2016 dan termasuk hasil hutan bukan kayu berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.35/ Menhut-II/2007. Melalui peraturan perundangan tersebut memungkinkan jelutung rawa sebagai spesies yang dapat ditanam di dalam kawasan hutan

khususnya hutan rawa gambut yang dalam kondisi tergenang untuk tujuan pemulihan ekosistem gambut, getahnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai hasil hutan bukan kayu.

Pemilihan jelutung rawa sebagai spesies rekomendasi dalam pemulihan ekosistem gambut dinilai cukup strategis karena memiliki karakter bioekologi yang sesuai dengan lahan gambut tergenang sebagai habitat aslinya, memiliki manfaat ekonomi yang menghasilkan getah sebagai hasil hutan bukan kayu dan memiliki nilai-nilai budaya karena masyarakat telah memanfaatkan dari sejak lama.

Meskipun demikian, untuk menuju pada tahap implementasi pemulihan ekosistem gambut dengan menggunakan jelutung rawa sebagai salah satu spesiesnya, memerlukan pemecahan masalah dan perencanaan yang integratif. Apalagi bila melihat bahwa pasar getah jelutung saat ini seperti mati suri, bahkan perusahaan-perusahaan pengekspor getah jelutung sudah sulit ditemukan, sehingga masyarakat kurang tertarik untuk menanam jelutung.

Membangun model bisnis jelutung dalam kerangka kerja pemulihan ekosistem gambut menjadi salah satu langkah yang perlu dilakukan agar upaya pemulihan ekosistem gambut dengan menanam jelutung rawa mampu memberikan manfaat bagi masyarakat dan memperbaiki ekosistem gambut terdegradasi secara berkelanjutan.

Dalam membangun model bisnis getah jelutung memerlukan kajian-kajian dari berbagai aspek secara terintegrasi, yang mencakup bioekologi dari jelutung rawa itu sendiri, teknologi budidaya hingga pascapanen, peran dan fungsi jelutung rawa dalam pemulihan ekosistem gambut, peningkatan kapasitas dan penyadaran kepada masyarakat mengenai pentingnya pemulihan ekosistem gambut, pemasaran produk dan tata kelolanya. Dalam Obrolan Pelepas Lelah, hal-hal tersebut dibahas dan hasil pembahasannya dirangkum dalam artikel ini.

Realitas dan Harapan

Karakteristik kunci jelutung rawa