• Tidak ada hasil yang ditemukan

Realitas dan harapan

Pada tahun 2018 terjadi kebakaran pada tegakan bambang lanang (Michelia champaca) umur 6 tahun yang terdapat di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Luasan tegakan bambang lanang yang terbakar kurang lebih 1 ha. Tegakan bambang lanang yang terbakar, kulit batangnya menghitam karena terkena panas dan terluka atau mengelupas. Secara umum sekitar 30–50% tegakan bambang lanang terbakar. Pasca kebakaran daun mengering karena terkena asap panas dan lama kelamaan akan mengalami kerontokan. Sebagian besar tumbuhan bawah yang terbakar akan mengering dan mengalami kematian (Gambar 9.1).

Kondisi tegakan bambang lanang pasca kebakaran hutan Gambar 9.1

Pada 3 bulan pasca kebakaran dilakukan pengamatan pada tegakan bambang lanang yang terbakar dan ditemui fenomena yang berbeda pada saat tegakan bambang lanang belum terbakar. Sebelum terjadi kebakaran hutan, tidak dijumpai serangan hama pada tegakan bambang lanang umur 6 tahun. Tiga bulan pasca kebakaran dijumpai serangan hama penggerek batang yang menginfeksi kurang lebih 30% tegakan dari total tegakan bambang lanang yang terbakar. Fakta ini menunjukkan bahwa peristiwa kebakaran hutan bisa memberikan dampak positif dan negatif terhadap keberadaan dan serangan hama. Koivula & Spence (2006) melaporkan bahwa tingkat

keparahan kebakaran berpengaruh signifikan terhadap keberadaan serangga khususnya Carabidae dan bersifat spesifik tergantung jenis serangganya. Beberapa referensi yang diulas sebelumnya menunjukkan bahwa hama yang tergolong ulat (Ordo Lepidoptera) terutama menyerang bagian daun cenderung menurun populasinya pasca kebakaran hutan. Hal ini disebabkan pengaruh asap panas dan partikel-partikel kimia yang terkandung dalam asap hasil kebakaran mengakibatkan kematian hama ulat. Fenomena yang ditemui di lapangan menunjukkan bahwa pasca kebakaran hutan justru muncul serangan ulat penggerek batang yang kemungkinan diduga karena adanya pengelupasan pada kulit batang yang memicu munculnya hama penggerek batang. Selain itu kondisi lingkungan mikro seperti suhu dan kelembapan udara yang mendukung munculnya serangan hama penggerek batang pada tegakan bambang lanang.

O’Connor et al., (2015) melaporkan bahwa terjadi outbreak kumbang cemara/Spruce beetle (Dendroctonus rufipennis) pada hutan konifer pasca kebakaran hutan, yang disebabkan karena iklim yang cenderung hangat dan kondisi kering setelah kebakaran hutan. Demikian halnya Catry et al., (2017) melaporkan bahwa terjadi peningkatan populasi kumbang ambrosia pada hutan oak Mediterania pasca kebakaran hutan. Lebih lanjut Catry et

al., (2017) melaporkan bahwa semakin tinggi intensitas kebakaran dan

keparahan tegakan oak yang terbakar, semakin banyak populasi kumbang ambrosia yang ditemukan. Demikian halnya dengan adanya kemunculan hama penggerek batang pada bambang lanang pasca kebakaran menunjukkan bahwa terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan terkait ekosistem pasca kebakaran. Kondisi ekosistem yang perlu diperhatikan di antaranya kondisi tanaman/tegakan, lingkungan fisik/abiotik dan lingkungan biotik. Terkait kondisi tanaman/tegakan yang harus diperhatikan yaitu tingkat kerusakan/ tingkat keparahan tegakan yang terbakar, kondisi fisik pohon yang terbakar, dan ketahanan tanaman sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi lingkungan pasca kebakaran hutan. Lingkungan fisik yang harus diperhatikan di antaranya suhu udara, kelembapan udara, curah hujan, suhu dan kelembapan tanah, dan faktor fisik lainnya. Faktor biotik yang menjadi bahan pertimbangan dalam manajemen pasca kebakaran hutan di antaranya tumbuhan bawah (jenis, kerapatan dan dominansi) dan organisme yang terdapat di sekitar tegakan.

Organisme di sekitar tegakan dalam hal ini arthropoda (termasuk serangga), jamur, bakteri, dan organisme lainnya. Keberadaan arthropoda baik yang tergolong serangga herbivor maupun musuh alami perlu untuk dimonitor. Musuh alami adalah organisme yang berperan sebagai agen pengendali hama yang terdiri atas predator dan parasitoid. Kondisi pohon/tegakan, lingkungan fisik dan biotik juga berinteraksi satu sama lainnya. Sebagaimana dilaporkan Jactel et al., (2019) bahwa komponen lingkungan biotik dan abiotik (suhu dan kelembapan udara) memengaruhi hama hutan secara langsung atau tidak langsung melalui interaksi dengan pohon inang dan musuh alami.

Gejala yang tampak pada bambang lanang yang terserang hama penggerek yaitu adanya liang gerek pada batang disertai adanya kotoran berbentuk silindris dan berwarna merah kehitaman yang keluar dari liang gerek. Kerusakan yang terlihat berupa liang gerek. Apabila larva nya masih aktif di dalam, maka akan terlihat adanya serbuk gerek berbentuk bulat kecil. Larva yang telah membuat lubang gerek akan terus menggerek menembus kulit batang, xylem dan bahkan kayu gubalnya. Pada bagian kulit batang atau cabang bambang lanang yang digerek terdapat lubang gerek berdiameter kurang lebih 2 mm. Pada permukaan tanah dekat pangkal batang banyak juga ditemukan kotoran hama penggerek berwarna merah kehitaman.

Tegakan bambang lanang yang terserang hama penggerek Gambar 9.2

Tegakan bambang lanang yang terserang hama penggerek batang, daunnya lama kelamaan menguning, mengering, dan rontok. Gejala lanjut dengan tingkat keparahan yang berat mengakibatkan tanaman mengalami penggundulan (Gambar 9.2). Penggundulan tanaman bisa terjadi karena serangan penggerek pada batang mengakibatkan terhambatnya proses transportasi hara ke bagian tanaman lainnya. Hal ini berdampak pada terhambatnya proses fotosintesis sehingga mengakibatkan daun mengering dan mengalami kerontokan. Selain itu, adanya liang gerek terutama yang melingkar batang akan membuat pohon bambang lanang menjadi rentan terhadap tiupan angin sehingga sering kali dijumpai pohon-pohon yang mengalami patah tajuk atau patah batang.

Pada lubang gerek dalam batang bambang lanang ditemukan ulat (Gambar 9.3). Berdasarkan hasil identifikasi di laboratorium menunjukkan bahawa ulat penggerek batang tersebut yaitu Zeuzera sp. Hama ini termasuk ordo Lepidoptera famili Cossidae. Ulat atau larvanya berwarna kecokelatan dengan panjang kurang lebih 3–5 mm. Pada bagian kepala dan ujung tubuh ulat berwarna cokelat gelap dan terdapat garis berwarna hitam. Pupanya berwarna kecokelatan. Imagonya memiliki sayap berwarna putih, pada bagian toraks terdapat bintik hitam.

Ulat

Gambar 9.3 Zeuzera sp. (tanda panah)

Kondisi yang terekam di lapangan selain munculnya serangan penggerek batang pasca kebakaran hutan, yaitu kehadiran tumbuhan bawah pada tegakan bambang lanang. Pada tegakan bambang lanang bekas terbakar dilakukan upaya pemeliharaan atau pembersihan gulma/tumbuhan bawah sehingga keberadaannya tidak menganggu pertumbuhan bambang lanang dan tidak memicu munculnya dan meningkatnya serangan hama. Pembersihan

gulma yang dilakukan dengan penebasan secara jalur dan total. Berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penebasan tumbuhan bawah secara jalur memberikan pengaruh signifikan terhadap serangan hama penggerek batang dibandingkan penebasan secara total. Penebasan secara jalur dilakukan dengan membersihkan tumbuhan bawah secara jalur di sekitar pohon bambang lanang dengan tetap mempertahankan tumbuhan bawah yang berbunga. Beberapa jenis tumbuhan bawah yang dipertahankan di sekitar tegakan bambang lanang yaitu babandotan (Ageratum conyzoides), rumput kancing ungu (Borreria laevis), dan ajeran (Bidens pilota). Tiga jenis tumbuhan tersebut yang dipertahankan dan dikelola keberadaannya karena memiliki bunga, regenerasinya cepat, dan pertumbuhannya tidak menjalar sehingga tidak menganggu tegakan utama.

Tiga jenis tumbuhan bawah yang dikelola keberadaannya di bawah tegakan bambang lanang tersebut tergolong refugia. Refugia adalah tumbuhan (baik tanaman maupun gulma) yang tumbuh di sekitar tanaman yang dibudidayakan, yang berpotensi sebagai mikrohabitat bagi musuh alami (predator atau parasitoid) agar pelestarian musuh alami bisa tercipta dengan baik. Refugia dapat menyediakan tempat perlindungan atau habitat, sumber pakan, dan sumber daya lain bagi musuh alami seperti predator dan parasitoid. Keppel et al., (2012) melaporkan bahwa refugia merupakan area tumbuhan/gulma yang tidak menganggu karena perannya sebagai mikrohabitat yang menyediakan tempat berlindung secara spasial dan/atau temporal bagi musuh alami hama (seperti predator dan parasitoid), serta mendukung komponen interaksi biotik pada ekosistem seperti polinator atau serangga penyerbuk. Sementara itu Ahmad & Pathania (2017) melaporkan bahwa refugia merupakan salah satu jenis tumbuhan yang digunakan dalam rekayasa ekologi yang mampu melindung musuh alami pada periode yang tidak menguntungkan seperti musim dingin di dataran tinggi atau musim kemarau di daerah tropis.

Manipulasi habitat merupakan salah satu cara untuk meningkatkan potensi musuh alami dalam pengelolaan hama tanaman. Gurr (2009) menyatakan bahwa manipulasi habitat merupakan salah satu program dalam pengelolaan hama terpadu, dan dapat digunakan bersamaan dengan teknik budidaya yang

lain. Pemanfaatan refugia merupakan salah satu contoh manipulasi habitat yang dilakukan dengan mengelola refugia dalam manajemen pengendalian hama secara terpadu.

Berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa insidensi dan tingkat serangan hama penggerek batang menurun pada tegakan bambang lanang yang dilakukan pembersihan secara jalur dibandingkan pada pembersihan secara total. Tegakan bambang lanang yang sebelumnya terserang ulat penggerek batang dengan tingkat serangan yang tergolong sedang dan berat, lambat laun mengalami pemulihan. Lestari & Purnomo (2018) melaporkan bahwa faktor sanitasi pertanaman merupakan salah satu faktor yang memengaruhi tingkat serangan hama Zeuzera, selain faktor pola tanam dan jarak tanam. Yulinto (2007) juga melaporkan kondisi pertanaman dan gulma sangat memengaruhi insidensi serangan ulat penggerek Zeuzera.

Kehadiran beberapa jenis serangga predator dan parasitoid pada tumbuhan refugia yang terdapat di sekitar tegakan bambang lanang juga memengaruhi penurunan tingkat serangan ulat penggerek. Berdasarkan pengamatan juga dijumpai parasitoid yang memarasit larva Zeuzera sp. Parasitoid yang ditemukan yaitu Apanteles sp. yang tergolong parasitoid larva. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan refugia memberikan pengaruh signifikan terhadap keberadaan musuh alami dalam hal ini parasitoid. Refugia bisa menyediakan pakan bagi serangga parasitoid seperti nektar, serbuk sari dan embun madu yang tersedia pada refugia tersebut. Tumbuhan berbunga menarik kedatangan serangga menggunakan karakter morfologi dan fisiologi dari bunga yaitu ukuran, bentuk, warna, keharuman, serta kandungan nektar dan polen. Altieri et al., (2005) melaporkan bahwa kebanyakan serangga lebih menyukai bunga yang berukuran kecil, cenderung terbuka, dengan waktu berbunga yang cukup lama biasanya terdapat pada bunga famili Compositae atau Asteraceae.

Berdasarkan temuan di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan refugia mampu mendatangkan musuh alami bagi hama Zeuzera sp. sehingga bisa menekan serangan hama Zeuzera sp. pada tegakan bambang lanang bekas terbakar. Seperti halnya yang dilaporkan oleh Skirvin et al., (2011) bahwa keberadaan refugia bisa meningkatkan populasi musuh alami dan menekan

populasi hama kutu aphid. Zhu et al., (2013) juga melaporkan bahwa refugia

Emilia sonchifolia dan Impatiens balsamina dapat meningkatkan populasi

parasitoid telur Anagrus nilaparvatae.

Manipulasi habitat sebagai upaya mengkonservasi musuh alami tersebut merupakan salah satu aspek atau bagian dari Pengelolaan Hama Terpadu (PHT), dengan tetap memperhatikan aspek ekologi dan ekonomi. Manipulasi habitat dengan mengelola refugia di bawah tegakan bambang lanang pasca kebakaran mampu menekan serangan penggerek Zeuzera sp. Dengan penurunan serangan penggerek batang, tegakan bambang lanang bekas terbakar bisa melakukan recovery secara cepat. Pada 5 bulan pasca kebakaran sudah muncul terubusan, membentuk kuncup-kuncup baru, dan batang baru pada tegakan bambang lanang. Tegakan bambang lanang lambat laun mempunyai daun dan tajuk yang mulai rimbun. Batang bambang lanang bekas gerekan juga mulai pulih dan terstimulasi pertumbuhannya.

Simpulan

Kebakaran hutan memberikan pengaruh secara signifikan terhadap keberadaan dan tingkat serangan hama pada tegakan bambang lanang. Pengelolaan hama terpadu dengan manipulasi habitat mampu menekan serangan hama penggerek batang yang menyerang tegakan bambang lanang pasca kebakaran hutan. Temuan ini memiliki implikasi terhadap dunia praktis dan penelitian lanjutan. Beberapa hal yang perlu dilakukan dan dijawab terkait dengan lanjutan temuan ini di antaranya apakah serangan hama penggerek batang memengaruhi kualitas kayu bambang lanang yang pernah terbakar? dan bagaimana pengaruh kombinasi jenis refugia memengaruhi kelimpahan dan tingkat parasitisme parasitoid dalam mengendalikan serangan hama penggerek batang pada tegakan bambang lanang?

Daftar Pustaka

Ahmad M, dan Pathania SS. 2017. Ecological Engineering for Pest Management in Agro Ecosystem-A Review. International Journal of

Current Microbiology and Applied Sciences 6(7): 1476–1485.

Altieri MA, Nicholls CI, Fritz MA. 2005. Manage Insects on Your Farm: A Guide

to Ecological Strategies. Sustainable Agriculture Network. Beltsville.

Catry FX, Branco M, Sousa E, Caetano J, Naves P, Nobrega F. 2017. Presence and Dynamics of Ambrosia Beetles and Other Xylophagous Insects in a Mediterranean Cork Oak Forest Following Fire. Forest Ecology and

Management 404: 45–54.

Elia M, Lafortezza R, Tarasco E, Colangelo G, Sanesi G. 2012. The Spatial and Temporal Effects of Fire on Insect Abundance in Mediterranean Forest Ecosystems. Forest Ecology and Management 263: 262–267. Feisal A. 2018. Identifikasi Faktor Penyebab Dan Dampak Kerugian Kebakaran

Hutan Gambut Di Tingkat Rumah Tangga Di Desa Pulau Semambu Kecamatan Indralaya Utara Kabupaten Ogan Ilir. [Skripsi] Universitas Sriwijaya. Indonesia: Palembang.

Gurr GM. 2009. Planthoppers: new threats to the sustainability of intensive rice production systems in Asia. Prospects for Ecological Engineering for Planthoppers and Other Arthropod Pests in Rice. Los Banos (Philippines): International Rice Research Institute.

Jactel, Hervé, Julia Koricheva, and Bastien Castagneyrol. 2019. Responses of Forest Insect Pests to Climate Change: Not so Simple. Current Opinion

in Insect Science 35: 103–8.

Keppel G, Van Niel KP, Johsnon GWW, Yates CJ, Byrne M, Mucina L, Schut AGT, Hopper SD, Franklins SE. 2012. Refugia: Identifying and Understanding Safe Havens for Biodiversity under Climate Change.

Global Ecology and Biogeography 21(4): 393–404.

Kim SS dan Kwon TS. 2018. Changes in Butterfly Assemblages and Increase of Open-Land Inhabiting Species after Forest Fires. Journal of

Koivula M, dan Spence JR. 2006. Effects of Post-Fire Salvage Logging on Boreal Mixed-Wood Ground Beetle Assemblages (Coleoptera, Carabidae).” Forest Ecology and Management 236(1): 102–112.

Lestari P, dan Purnomo. 2018. Intensitas Serangan Hama Penggerek Batang Kakao Di Perkebunan Rakyat Cipadang, Gedongtataan, Pesawaran.”

Jurnal Agro Industri Perkebunan 6(1): 1-8.

Nunes L, Silva I, Pite M, Rego F, Leather S, Serrano A. 2006. Carabid (Coleoptera) community changes following prescribed burning and the potential use of carabids as indicators species to evaluate the effects of fire management in Mediterraean region. Silva Lusitana 14: 85-100. O’Connor, Christopher D., Ann M. Lynch, Donald A. Falk, and Thomas

W. Swetnam. 2015. Post-Fire Forest Dynamics and Climate Variability Affect Spatial and Temporal Properties of Spruce Beetle Outbreaks on a Sky Island Mountain Range. Forest Ecology and Management 336: 148–162.

Skirvin DJ, Garde KL, Reynolds KW, Mead A. 2011. The Effect of Within-Crop Habitat Manipulations on the Conservation Biological Control of Aphids in Field-Grown Lettuce. Bulletin of Entomological Research 101(6): 623–631.

Utami S. 2018. Bioekologi Ulat Daun Arthroschista Hilaralis Walk.

(Lepidoptera: pyralidae) Pada Tanaman Jabon (Neolamarckia Cadamba

(Roxb.) Bosser) di Sumatera Selatan. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Indonesia: Bogor.

Yulinto. 2007. Pengendalian Hama Penggerek Batang (Zeuzera Coffeae Neitner) Pada Tanaman Kelengkeng (Dimocarpus Longan (Lour) Steud.). Jurnal

Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 10 no 3: 218–225.

Zhu P, Gurr GM, Lu Z, Heong K, Chen G, Zheng X, Xu H, Yang Y. 2013. Laboratory Screening Supports the Selection of Sesame (Sesamum

Indicum) to Enhance Anagrus Spp. Parasitoids (Hymenoptera:

Mengangkut Bibit Revegetasi