• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Perangkat Simulasi

Perangkat simulasi budidaya bambang lanang dapat berguna untuk memprediksi pertumbuhan tegakan bambang lanang dan kelayakan usahanya. Pola budidaya bambang lanang dalam simulasi berupa monokultur. Kondisi ketinggian tempat tumbuh, tingkat suku bunga maupun umur tebang akan sangat berpengaruh terhadap kelayakan usaha budidaya bambang lanang.

Kelayakan usaha bambang lanang pada berbagai ketinggian tempat 1.

tumbuh

Pengembangan bambang lanang pada berbagai ketinggian tempat akan berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon yang selanjutnya berpengaruh terhadap kelayakan finansialnya. Simulasi pengembangan bambang lanang pada ketinggian 50 mdpl, 200 mdpl, 500 mdpl, 800 mdpl dan 1000 mdpl. Pada simulasi ini akan memberikan informasi perkembangan pertumbuhan baik pertumbuhan diameter, tinggi dan volume per hektar serta informasi kelayakan usahanya.

Pertumbuhan pohon bambang lanang pada berbagai ketinggian Gambar 4.7

tempat

Berdasarkan simulasi pengembangan bambang lanang pada berbagai ketinggian tempat memberikan gambaran pertumbuhan terbaik baik diameter, tinggi dan volumenya pada lahan yang memiliki ketinggian tempat tumbuh sekitar 200 mdpl. Tegakan bambang lanang memimiliki pertumbuhan kurang bagus pada lahan dengan ketinggian tempat lebih dari 800 mdpl dan pada ketinggian 50 mdpl. Pertumbuhan bambang lanang berdasarkan hasil simulasi di atas memberikan gambaran sangat terpengaruh besar dengan kondisi tempat tumbuh salah satunya ketinggian tempat tumbuh. Pengembangan bambang lanang dengan ketinggian tempat tumbuh sekitar 200 mdpl banyak terdapat

di wilayah Empat Lawang dan OKU Selatan. Dua wilayah ini merupakan sentra pengembangan jenis bambang lanang oleh masyarakat. Proyeksi pertumbuhan memberikan gamaran secara umum perkembangan diameter, tinggi dan volume tegakan pada tiap wilayah. Gambaran ini dapat menjadi pedoman dalam pengembangan bambang lanang baik bagi masyarakat pada lahan milik maupun perusahaan dalam bentuk hutan tanaman.

Ketinggian tempat tumbuh akan memengaruhi pertumbuhan diameter, tinggi dan volume tegakan. Pada empat ketinggian yang berbeda pertumbuhan tinggi dan volume tegakan yang menunjukkan perbedaan besar. Perbedaan pertumbuhan tegakan bambang lanang pada berbagai ketinggian tempat tumbuh dapat di proyeksikan pada Gambar 4.8 berikut ini.

Proyeksi pertumbuhan tegakan bambang lanang pada berbagai Gambar 4.8

ketinggian tempat pada umur 12 tahun

Pertumbuhan tinggi terbaik berdasarkan simulasi pada ketinggian 200 mdpl diikuti pada ketinggian tempat 500 mdpl dan pertumbuhan tinggi paling lambat pada ketinggian 1000 mdpl. Jenis bambang lanang berdasarkan hasil simulasi ini kurang cocok di kembangkan pada dataran tinggi atau dataran rendah yang kurang dari 50 mdpl.

Ketinggian tempat sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tegakan bambang lanang sehingga pengembangan bambang lanang pada berbagai ketinggian tempat tumbuh akan berpengaruh besar terhadap kelayakan usahanya. Dalam simulasi kelayakan usaha di asumsikan semua unsur biaya

budidaya di tiap wilayah sama mulai dari biaya lahan, penanaman sampai dengan pemanenan dianggap sama. Dalam simulasi ini untuk melihat pengaruh pengembangan bambang lanang pada berbagai ketinggian terhadap kelayakan usahanya.

Proyeksi finansial budidaya bambang lanang pada berbagai Gambar 4.9

ketinggian tempat

Pengembangan bambang lanang pada berbagai ketinggian tempat berdasarkan hasil simulasi pada gambar di atas memberikan gambaran budidaya bambang lanang tidak semua layak untuk di usahakan. Pada daerah dengan ketinggian tempat 50 mdpl hasil simulasi menunjukkan nilai NPV negatif dan BCR di bawah 1, hal ini menggambarkan budidaya bambang lanang tidak layak secara finansial. Pada ketinggian 800 mdp atau lebih juga memberikan gambaran usaha bambang lanang tidak layak untuk diusahakan. Hasil simulasi usaha bambang lanang paling layak diusahakan pada wilayah yang memiliki ketinggian tempat tumbuh 200 mdpl.

Kelayakan usaha bambang lanang pada ketinggian 200 mdpl dengan 2.

suku bunga yang berbeda 10%, 12 %, 14%, 16%, dan 18%.

Berdasarkan simulasi sebelumnya usaha bambang lanang paling layak diusahakan pada wilayah dengan ketinggian tempat tumbuh 200 mdpl. Pada simulasi selanjutnya akan menggunakan berbagai suku bunga untuk melihat kelayakan usaha bambang lanang.

Proyeksi finansial budidaya bambang lanang dengan berbagai Gambar 4.10

suku bunga

Pengembangan bambang lanang pada wilayah yang memiliki ketinggian tempat 200 mdpl dengan berbagai suku bunga memberikan gambaran memiliki kelayakan beragam. Pada tingkat suku bunga 16% lebih usaha bambang lanang pada ketinggian tersebut sudah tidak layak untuk diusahakan.

Kelayakan usaha bambang lanang pada kondisi lahan dengan ketinggian 3.

tempat 200 mdpl dan suku bunga 12% berdasarkan umur tebang 6 tahun, 8 tahun, 10 tahun, 12 tahun dan 16 tahun.

Simulasi selanjutnya dilakukan dengan merubah parameter umur tebang pada pengembangan bambang lanang pada ketinggian tempat 200 mdpl. Umur tebang memiliki pengaruh terhadap kelayakan usaha budidaya bambang lanang.

Proyeksi finansial bambang lanang dengan berbagai umur Gambar 4.11

tebang

Simulasi pengembangan bambang lanang pada daerah dengan ketinggian tempat 200 mdpl dengan suku bunga sebesar 12% dengan skenario umur tebang berbeda memberikan gambaran finansialnya berbeda. Umur optimal secara finansial dilakukan penebangan berada pada umur 10 tahun. Pada penebangan umur 10 tahun nilai NPV dan BCR nya terbesar. Penebangan bambang lanang pada umur muda sekitar 6 tahun memiliki nilai finansial terendah dibandingkan dengan sekenario umur tebang lainnya. Pada umur semakin tua nilai finansial baik NPV maupun BCR cenderung terus turun. Pada simulasi umur 16 tahun nilai NPV dan BCR lebih rendah dibandingkan dengan umur 14 tahun maupun 12 tahun. Berdasarkan simulasi berbagai umur tebang memberikan gambaran secara finansial pengembangan bambang lanang secara monokultur untuk di usahakan menjadi hutan tanaman maupun hutan rakyat umur 10 tahun merupakan umur tebang paling ekonomi.

Simpulan

Perangkat simulasi budidaya bambang lanang dapat dijadikan pedoman dalam pengembangan budidaya bambang lanang pada areal baru dengan pola monokultur. Hasil simulasi pada ketinggian tempat kurang dari 50 mdpl dan

lebih dari 800 mdpl usaha bambang lanang tidak layak. Pada ketinggian 200 mdpl usaha bambang lanang layak di usahakan pada suku bunga kurang dari 16% dan umur tebang optimal dalam budidaya bambang lanang pada umur 10 tahun. Perangkat ini dapat digunakan pada wilayah dengan karakteristik lahan serta standar biaya yang berbeda.

Daftar Pustaka

Apuy M, Lahjie, A Bakar M, Simarangkir BDAS, Yusuf S. 2014. Simulasi produksi dan aspek finansial kebun hutan (munaan) generasi kedua di Kabupaten Kutai Barat. Jurnal Hutan Tropis, 2(3), 249–260.

Aswandi. 2007. Model simulasi penjarangan hutan tanaman ekaliptus*).

Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, IV(2), 195–209.

Darmono R. 2005. Pemodelan System Dynamics Pada Perencanaan Penataan Ruang Kota. In Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2005

(SNATI 2005) (Vol. 2005, pp. B5–B10).

Lestari S, Winarno B, Premono BT. 2015. Saluran pemasaran kayu pertukangan jenis bambang lanang (Michelia chamaca) yang menguntungkan petani di Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan,

12(2), 89–97.

Maulana SI. 2016. Prediksi dampak perubahan iklim terhadap simpanan karbon berbagai jenis pohon tropis di papua barat: sebuah aplikasi pemodelan dinamis stella. In Prosiding Symbion (Symposium on Biology

Education) (pp. 65–82).

Meen E, Nielsen A, Ohlson M. 2012. Forest stand modelling as a tool to predict performance of the understory herb Cornus suecica. Silva

Fennica, 46(4), 479–499. https://doi.org/10.14214/sf.906

Permatayakti R, Nur R, Purnomo H. 2015. Model Simulasi Emisi dan Penyerapan CO 2 di Kota Bogor (Model Simulation of CO 2 Emission and Absorption in Bogor City). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 20(1), 47–52.

Prakosa D. 2013. Deteksi sebaran hutan Rakyat jenis Bambang Lanang (Michelia champaca) dengan menggunakan remote sensif dan GIS. In

Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang (pp.

255–260). Palembang: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan.

Sumadi A, Siahaan H. 2011. Pengaturan kerapatan tegakan Bambang berdasaran hubungan antara diameter batang dan tajuk. Jurnal Penelitian

Hutan Tanaman, 8(5), 259–265.

Yuniati D. 2011. Analisis finansial dan ekonomi pembagunan hutan dipterokarpa dengan teknik silin (studi kasus PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Barat). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 8(4), 239–249.

Sahwalita

5

Pendahuluan

Rotan jernang sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) telah lama dimanfaatkan masyarakat yang tinggal di dalam hutan, seperti Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimbo yang ada di wilayah Provinsi Jambi. SAD memanen rotan jernang yang ada di hutan kemudian mengolahnya menjadi resin jernang. Resin jernang mereka jual dengan pengepul yang ada di desa terdekat dan hasil penjualan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. SAD memanen rotan jernang dengan mematuhi aturan adat yang telah mereka sepakati seperti pembatasan wilayah jelajah kepemilikan berlaku bagi yang pertama menemukan dan lain-lain. Aturan adat ini menjadikan rotan jernang sebagai sumber penghidupan bagi mereka dalam waktu yang lama. Kepatuhan terhadap hukum adat dipengaruhi oleh peran Temenggung yang menjadi pimpinan di kelompok tersebut. Para Temenggung dapat menerapkan hukum adat dengan memberikan denda jika ada anggota rombong yang melanggar peraturan. Saat ini terjadi pergeseran sosial, kepatuhan anggota rombong terhadap Temenggung mulai memudar akibatnya hukum adat tidak dapat ditegakkan. Ketidakpastian hukum menyebabkan sebagian anggota rombong mengambil cara sendiri dalam menyelesaikan masalah termasuk pemanfaatan rotan jernang. Jika ada anggota rombong yang tidak patuh atau melanggar aturan maka anggota yang lain membentuk “tim khusus” dalam menyelesaikan masalah dengan membentuk TIM TEBAS. Tim ini akan masuk ke dalam hutan dengan menebas semua rotan jernang yang mereka temukan. Perilaku seperti ini akan merugikan mereka karena keberadaan rotan jernang semakin langka yang berimbas langsung terhadap berkurangnya sumber penghidupan.

Pemanfaatan rotan jernang meluas ke masyarakat di sekitar hutan akibat adanya informasi dari pengepul tentang tingginya permintaan dan harganya yang mahal. Masyarakat di sekitar hutan memanfaatkan rotan jernang sebagai sumber penghidupan alternatif disela-sela waktu mereka bertani. Setelah panen atau menunggu waktu panen tanaman pertanian mereka masuk ke dalam hutan memanen rotan jernang. Pemanfaatan rotan jernang oleh masyarakat di sekitar hutan bersifat open acces, siapa saja bisa mengambil dan tanpa batas. Pemanfaatan rotan jernang oleh masyarakat meliputi seluruh bagian rotan jernang yaitu batangnya dijual untuk bahan kerajinan, buahnya dijual untuk bahan baku industri dan umbutnya dijual sebagai bahan pangan bahkan akarnya dijadikan sebagai sumber obat tradisional. Multi manfaat ini akan mempercepat laju eksploitasi terhadap rotan jernang. Pemanfaatan rotan jernang oleh masyarakat sekitar hutan ini telah terbukti menambah penghasilan keluarga. Hal ini sangat berguna untuk menopang penghidupan mereka apalagi disaat menunggu waktu panan (musim paceklik) (Sahwalita

et al., 2015).

Pemanfaatan rotan jernang oleh masyarakat di dalam dan di sekitar hutan telah terbukti dalam menopang penghidupan mereka. Manfaat lain rotan jernang menjaga keseimbangan lingkungan karena berasosiasi dengan tumbuhan lain dan memiliki nilai sosial karena telah dimanfaatkan secara turun-temurun. Tingginya manfaat rotan jernang belum diimbangi dengan tindakan penyelamatan secara nyata, berupa konservasi baik in-situ dan ex-situ. Selain itu, budidaya yang dilakukan masih terbatas sehingga belum bisa mensubsidi hasil rotan jernang dari hutan alam. Dilain pihak, permintaan rotan jernang sebagai komoditas ekspor terus meningkat karena manfaatnya yang luas seperti bahan baku industri obat, industri kosmetik dan industri pewarna. Penelitian tentang rotan jernang telah banyak dilakukan tetapi masih bersifat parsial sehingga belum berimbas langsung terhadap penyelamatan dan pengembangan jenis ini. Perlunya kerjasama antar semua pihak dalam menggarap rotan jernang dari hulu sampai hilir sehingga benar-benar menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat dan menjadi sumber devisa bagi negara.

Realitas dan Harapan

Pemanfaatan rotan jernang sudah lama dilakukan masyarakat terutama untuk obat tradisional seperti obat sakit gigi, obat ambien dan obat pendarahan serta sumber pangan keluarga. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, pemanfaatan rotan jernang mulai bergeser menjadi bahan baku obat modern. Resin jernang juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kosmetik dan industri pewarna. Pergeseran ini menyebabkan kebutuhan terhadap resin jernang terus meningkat. Tingginya permintaan terhadap resin jernang belum diiringi dengan jaminan ketersediaannya baik melalui hutan alam maupun hasil budidaya di lahan masyarakat. Diperlukan upaya yang nyata untuk meningkatkan produksi dari hutan alam maupun produktivitas hasil budidaya.

Rotan jernang merupakan tanamn yang merambat sehingga memerlukan batang atau tonggak sebagai tempat menopang batangnya. Rotan merupakan jenis tumbuhan merambat dari family Palmae, hidupnya berumpun seperti bambu tetapi batang bagian dalamnya tidak berongga (Jasni et.al, 2007). Di hutan alam, rotan jernang memanfaatkan pohon-pohon yang ada di sekitarnya sebagai tempat merambat. Pohon ini hanya dijadikan sandaran, sedangkan untuk memenuhi proses kehidupannya rotan jernang mengambil hara langsung dari tanah. Untuk mendapatkan tempat merambat rotan jernang bahkan merambat jauh meninggalkan rumpunnya. Rotan jernang akan mengejar ruang di dalam hutan untuk mendapatkan sinar matahari, sehingga kebanyakan rotan menjulang di antara pepohonan. Asosiasi rotan jernang dengan tumbuhan lain di hutan alam memberikan banyak manfaat dalam menjaga lingkungan antara lain rumpun jernang sangat bermanfaat dalam menjaga tanah dari erosi permukaan. Tetapi pada hutan-hutan yang cukup rindang perkembangan anakan rotan jernang terhambat akibat kurangnya cahaya matahari yang sampai kepada mereka. Hal ini yang perlu diperhatikan untuk pemeliharaan rotan jernang di hutan alam, sehingga tetap lestari.

Rotan jernang merupakan tumbuhan yang memiliki beberapa tandan bunga/buah dalam satu batang yang dikenal dengan sifat pleonantik. Buah ini tersusun dengan tingkat kematangan yang berbeda dengan demikian rotan jernang dapat menghasilkan buah sepanjang tahun. Buah rotan jernang

yang siap panen adalah buah rotan jernang yang masih muda karena resin yang menempel dikulit buah masih tebal dan akan terus menipis seiring bertambahnya umur buah (Sahwalita et al., 2015). Selain itu hindari panen buah yang masih terlalu muda atau putik karena resinnya baru mulai terbentuk dan ukuran buah terlalu kecil yang akan mengurangi rendemen resin. Putik ini juga menyulitkan dalam proses ekstraksi untuk mendapatkan resin jernang (dragon blood). Proses ekstraksi merupakan proses pemisahan resin jernang dari buah rotan jernang. Proses ini terus mengalami perkembangan mulai dari proses tumbuh yang dilakukan oleh SAD dan suku melayu, proses basah dengan menggunakan air atau cairan tertentu sampai penggunaan mesin penggiling. Resin jernang menutupi bagian luar buah rotan jernang (Sahwalita, 2014). Resin jernang merupakan resin berwarna merah bata hasil sekresi buah rotan jernang (Waluyo dan Gunawan, 2013), dan untuk mendapatkannya melalui proses ekstraksi (Nugroho, 2013). Gambar 5.1 memperlihatkan buah rotan jernang siap panen dan resin jernang.

Buah rotan jernang dan resin jernang Gambar 5.1

Kondisi rotan jernang di hutan alam terus mengalami penurunan terutama disebabkan oleh pola pemanfaatan yang tidak lestari. Hal ini berlaku hampir di semua tempat baik di dalam maupun di sekitar hutan. Kasus yang terjadi pada masyarakat di dalam hutan seperti SAD dengan lemahnya peran Temenggung menyebabkan anggota rombong mengambil tindakan sepihak. Sementara untuk masyarakat di sekitar hutan eksploitasi terhadap rotan jernang disebabkan belum adanya aturan tingkat tapak yang membatasi pemanenan di dalam hutan. Masyarakat memanfaatkan rotan jernang untuk berbagai kepentingan, selain untuk kepentingan pribadi dalam menopang kehidupan rumah tangga juga bermanfaat untuk kepentingan bersama, seperti menjaga sumber perairan sawah (Sahwalita et al., 2015). Lemahnya kesadaran tentang pentingnya rotan jernang dalam menopang penghidupan dan adanya sifat mementingkan diri sendiri menjadi ancaman terhadap tumbuhan ini. Hutan milik bersama sehingga perlu dijaga bersama untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan bersama. Gambar 5.2 menunjukkan rumpun rotan jernang yang ditebas oleh masyarakat untuk mendapatkan bahan pangan.

Eksploitasi rotan jernang di hutan alam Gambar 5.2

Saat ini, keberadaan tumbuhan rotan jernang berada jauh dari pemukiman warga karena untuk wilayah yang dekat sudah di ekplotasi serta lahan hutan terdesak oleh pemanfaatan lainnya, seperti perkebunan dan ladang serta pemukiman. Para penjernang masuk ke dalam hutan dengan membentuk rombongan dengan anggota sekitar 2–7 orang. Mereka masuk ke dalam hutan selama 1–2 minggu untuk mencari rotan jernang. Jumlah yang mereka dapat

sangat minim dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, di konsesi PT. REKI sekitar tahun 1997 diperoleh 440 kg namun sekitar tahun 2010 diperoleh 55 kg resin jernang saja (Sahwalita et al., 2016). Di Sumatera, wilayah Bukit Barisan menjadi tempat tumbuh yang baik untuk rotan jernang mulai dari Provinsi Lampung sampai Provinsi Aceh Darusalam. Tempat ini sesuai dengan persyaratan alami tumbuhan rotan jernang dengan jenis tanah PMK, pH tanah bersifat asam berkisar 4–6, curah hujan berkisar 1.000–2.300 mm/tahun, suhu udara berkisar 24–32°C, kelembapan berkisar 60–85% (Soemarna, 2009) dan Nugroho (2013) menambahkan bahwa karakteristik lain habitat dari rotan penghasil jernang yaitu: intensitas cahaya berkisar 182–2180 lux, suhu tanah berkisar 23,4–31,9°C, pH tanah antara 5,5–6,2, kelembapan tanah antara 55–62%, suhu udara berkisar antara 23–29,4°C, kelembapan udara antara 60–92%, curah hujan berkisar antara 1.000–1.500 mm/tahun. Selain itu habitatnya masih terjaga dan pohon-pohon tempat merambat masih tersedia. Masyarakat yang berada di sekitar Bukit Barisan sudah memanfaatkan rotan jernang dan bahkan menjadi sumber penghidupan baru untuk menambah pendapatan keluarga. Gambar 5.3 menunjukkan lanskap dataran tinggi yang menyatukan hutan dengan manusia dengan berbagai aktivitas yang dilakukannya. Indahnya alam di dataran tinggi dengan kekayaan flora dan fauna yang tersimpan, termasuk juga tumbuhan rotan jernang.

Lanskap dataran tinggi Gambar 5.3

Rotan jernang memiliki peran secara langsung dan menjadi bagian penting dalam menopang penghidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, tetapi keberadaannya terus terdesak. Hal ini perlu secepatnya disadari secara bersama karena bukan saja berkurangnya peran dalam menopang kehidupan tetapi sampai pada ancaman kepunahan. Bahkan salah satu jenis rotan jernang telah termasuk daftar spesies yang terancam punah yang ditetapkan oleh

International Union for Conservation of Nature (IUCN) red of threatened spesies

pada tahun 2006, yaitu Daemonorops draco (Willd.) Blume (Gupta et al., 2008). Informasi mengenai rotan jernang masih terbatas pada beberapa jenis saja, sesuai yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Sementara jenis-jenis lain masih terabaikan sehingga informasinya masih kurang. Perlunya pendataan yang rinci untuk setiap jenis supaya pemanfaatannya lebih maksimal. Adanya jenis tertentu yang dulu tidak dimanfaatan bahkan disebut racun jernang (D.

hirsuta Blume), saat ini sudah mulai dimanfaatkan. Pergeseran pemanfaatan

ini disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan yang menyebabkan permintaan dari luar memerlukan resin jernang sesuai peruntukannya, seperti bahan baku obat, kosmetik dan pewarna. Setiap pemanfaatan memerlukan persyaratan atau kriteria masing-masing. Selain itu adanya kesulitan untuk memperoleh resin jernang dari jenis tertentu (D. draco (Willd.) Blume) sehingga pihak pembeli mulai melirik pada jenis lainnya.

Pemanfaatan resin jernang yang terus berkembang memberikan peluang dalam pengembangan pada semua jenis dan menjaga jenis tertentu yang mulai terancam. Pengembangan rotan jernang perlu memperhatikan sebaran dan karakteristik setiap jenis, ada jenis yang hanya tumbuh baik di dataran tinggi dan ada jenis yang memilih range tumbuh yang luas dari dataran rendah sampai tinggi mulai dari 20–1.600 m dpl (Sahwalita et al., 2016). Bahkan ada informasi jenis tertentu yang tumbuh di lahan gambut, tetapi ini masih perlu diteliti lebih lanjut karena informasi baru diterima dari pengepul buah rotan jernang. Sebaran rotan jernang yang luas dan terdiri atas beberapa jenis, memberikan peluang dalam memenuhi permintaan resin jernang.

Penelitian rotan jernang sudah banyak dilakukan mulai dari survei potensi, biologi, budidaya sampai kandungan yang dimiliki resin dan pemasaran. Tetapi sayangnya data ini belum menjadi satu rangkai dari hulu

sampai hilir serta jenis yang diteliti masih terbatas. Ke depan diperlukan data rotan jernang setiap jenis mulai dari sebaran alami sampai kandungan kimia resin yang dihasilkan serta potensi pemanfaatannya. Kandungan resin jernang setiap jenis diperlukan untuk memudahkan dalam pemanfaatan seperti untuk bahan baku obat, kosmetik atau pewarna. Pemanfaatan ini bisa ditentukan sesuai kandungan yang dimiliki resin jernang. Menurut para eksportir, pembeli dari luar memiliki kriteria tertentu sesuai dengan pemanfaatan yang mereka inginkan. Untuk Negara Hongkong mereka memerlukan resin untuk obat, Singapura yang banyak menyuplai negara-negara Barat memerlukan resin untuk kosmetik dan ada beberapa negara seperti Perancis memerlukan untuk bahan pewarna. Minimnya data kandungan bahan pada setiap jenis resin rotan jernang sangat merugikan karena harga resin jernang jadi tidak menentu. Bahkan resin yang memiliki kwalitas tinggi bisa dijual dengan harga murah. Informasi ini diperlukan untuk pengembangan rotan jernang dan pemasaran resinnya. Masih terbuka peluang untuk melakukan penelitian tentang rotan jernang karena informasi yang ada masih terbatas dan parsial.

Pengembangan rotan jernang dalam skala luas memerlukan kerjasama dari semua pihak. Selain penelitian yang lebih komprehensif dari hulu sampai hilir, diperlukan suatu lembaga atau instansi yang mengembangkan HHBK, misalnya rotan. Hal perlu menjadi pemikiran bersama untuk menjaga keragaman hayati dan pemenuhan kebutuhan pasar. Belajar dari tanaman perkebunan dan pertanian yang dikelolah dengan baik dan memerlukan wadah, seperti karet, sawit, padi, dan rempah. Tanaman sawit yang berkembang pesat setelah adanya dukungan dari semua pihak terutama pemerintah seperti mempermudah izin HGU dan memberikan fasilitas pinjaman kepada pengusaha sawit, pembangunan pabrik pengolahan, penyediaan bibit unggul dan kepastian pasar. Hal ini diperlukan masyarakat untuk mendukung kepastian berusaha di bidang kehutanan (HHBK).