• Tidak ada hasil yang ditemukan

Iwan Tri Cahyo Wibisono 15

Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu negara dengan lahan basah terluas di dunia, suatu anugerah yang tidak ternilai harganya. Luas lahan basah di Indonesia diperkirakan lebih dari 30 juta hektar, termasuk di dalamnya 14,6 juta hektar lahan gambut dan 3,8 juta ekosistem mangrove. Namun di sisi lain, memiliki lahan basah dengan luasan yang luar biasa ini juga merupakan amanah dan tantangan.

Lahan basah dan manusia pada dasarnya memiliki ikatan yang sangat erat, membentuk suatu harmoni yang telah berlangsung sejak lama. Keberadaan lahan basah menjamin tersedianya air tawar yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan untuk konsumsi atau mendukung berbagai kegiatan manusia sehari-hari. Lahan basah juga mampu mengatur serta mengendalikan keseimbangan hidrologi sehingga dapat menghindarkan kekeringan di musim kemarau dan kebanjiran di musim penghujan. Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar lahan basah, berbagai manfaat telah diperoleh melalui berbagai produk seperti kayu, aneka produk herbal, getah, rotan, madu, dan masih banyak produk lainnya.

15 Program coordinator of wetlands conservation and restoration - Wetlands International Indonesia (Yayasan Lahan Basah/YLBA). Email: wibisono_itc@yahoo.com; wibisono_ yoyok@wetlands.or.id

Kondisi Hutan Rawa Gambut di Taman Nasional Berbak (@ Gambar 15.1

WII)

Potensi ikan yang diperoleh masyarakat sekitar hutan rawa Gambar 15.2

Mengingat berbagai kebaikan lahan basah, manusia sudah seharusnya memberikan timbal balik positif melalui upaya pelestarian lahan basah. Namun sayang manusia sendiri terdiri atas berbagai ragam latar belakang, sudut pandang, dan kepentingan. Di dalam suatu lanskap lahan basah, banyak pihak yang berkepentingan, Masih ada kalangan yang peduli dan konsisten dalam melestarikan lahan basah. Di saat yang sama ada juga kalangan yang melihat lahan basah (wetlands) sebagai wasteland (lahan tidak berguna) sehingga tidak begitu memperdulikan keberadaan lahan basah. Ironisnya terdapat juga banyak kalangan yang menilai lahan basah sebagai lahan yang bisa dieksploitasi dan diusahakan semaksimal mungkin untuk mencapai keuntungan ekonomi. Bentuk pengusahaan ini sebagian besar dengan cara merubah lahan basah menjadi aneka bentuk usaha termasuk kebun sawit atau hutan tanaman. Dikarenakan komoditas tersebut merupakan jenis asing (eksotik) yang tidak memilki ketahanan terhadap kondisi alami di lahan basah yang selalu lembap dan basah, maka dibuatlah saluran air yang menguras air di lahan gambut. Alhasil muka air tanah di lahan gambut menjadi kering dan rawan terbakar.

Berbeda dengan lahan kering, lahan basah terikat dalam satu kesatuan hidrologi di mana satu lokasi memiliki keterkaitan hidrologis dengan lokasi lain di dalam suatu lanskap. Sebagai contoh: pembangunan saluran drainase oleh suatu perusahaan menyebabkan turunnya muka air tanah di desa sekitarnya meskipun tidak ada masyarakat yang membangun parit atau kanal di desa. Dalam hal ini, suatu pepatah berlaku “seseorang yang memakan nangka, namun orang lain yang kena getahnya”.

Pada saat ini, kenyataannya sebagian besar lahan basah telah mengalami perubahan dan kerusakan. Hal ini tidak terlepas dari aktivitas manusia yang dilakukan di lahan gambut. Pengeringan terjadi secara masif. Di sisi lain, luas hutan mangrove juga menurun drastis dari tahun ketahun. Konversi hutan mangrove menjadi tambak di pulau jawa, sumatera dan kalimantan sangat marak terjadi di era tahun 1980-1990an. Ironisnya, saat ini sebagian besar tambak tersebut terlantar menyusul serangan virus white spot yang melumpuhkan budidaya udang saat itu. Dalam lima tahun terakhir, banyak sekali media yang memberitakan alih fungsi hutan mangrove menjadi kebun sawit. Dari pemberitaan pula, kita mengetahui berbagai cerita menyedihkan

sepanjang tahun; kebakaran lahan gambut di musim kemarau dan kebanjiran di musim penghujan. Sedih sekali mengetahui masyarakat di sekitar lahan yang terdampak secara langsung dari bencana ini, sekalipun mereka tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keberlangsungan lahan basah. Di musim kemarau, mereka meghirup asap yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Sementara di musim penghujan, mereka menanggung risiko dari kebanjiran.

Kerusakan yang terjadi di lahan gambut (@WII) Gambar 15.3

Strategi pengelolaan yang kemprehensif sangat diperlukan untuk menata kembali tata kelola lahan basah dalam rangka perbaikan ke depan. Dalam konteks ini, kondisi lahan basah perlu dipetakan dengan baik sebagai basis dalam penentuan intervensi yang perlu dilakukan. Secara garis besar, terdapat tiga tipologi lahan basah yang ada saat ini yaitu: 1) lahan basah yang masih alami (intake), 2) lahan basah yang terlanjur dikelola atau dimanfaatkan, dan 3) lahan basah yang telah mengalami kerusakan atau degradasi. Untuk lahan basah yang masih tersisa, maka perlindungan dan konsevrasi merupakan

intervensi yang perlu dilakukan. Untuk lahan basah yang telah terlanjur dimanfaatkan, maka best management practices merupakan langkah yang perlu di dorong. Dengan melakukan hal ini, maka risiko atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari pemanfaatan lahan basah dapat diminimalisir. Sementara untuk lahan basah yang telah mengalami kerusakan, maka restorasi merupakan intervensi yang harus diilakukan.

Menyingkap yang tak Terungkap

Obrolon Pelepas Lelah disingkat OPL merupakan salah satu webinar daring yang menyajikan berbagai muatan-muatan strategis terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem lahan basah (wetlands). Sesuai dengan namanya, webinar ini dikemas secara santai sehingga sangat tepat untuk diikuti peserta sambil beristirahat melepaskan penat dan lelah. Meskipun disajikan secara santai namun sama sekali tidak mengurangi esensi dan pesan kuncinya.

Materi yang berjudul “Api di lahan gambut” oleh Agus Kurniawan secara gamblang mengupas berbagai penyebab kebakaran di lahan gambut serta dampak yang ditumbulkannya. Secara spesifik ditekankan bahwa lahan gambut yang mengalami pengeringan akan sangat rentan terhadap risiko kebakaran. Penting juga untuk diketahui apabila gambut telah terbakar, maka fungsi penyerap air akan hilang dan bahkan akan terjadi irreversible drying atau pengeringan tak balik. Upaya restorasi hidrologi perlu dilakukan melalui program pembasahan kembali atau rewetting mnelalui penyekatan kanal atau penimbunan kanal.

Mengambil isyu yang berbeda, Ibnu Budiman yang merupakan peneliti WRI menyampaikan topik menarik bertajuk “Paludikultur, dari Jerman hingga Pedamaran”. Diawali dengan pengalaman negara-negara eropa dalam menerapkan budidaya lestari di lahan gambut basah, konsep paludikultur disebutkan memiliki peluang untuk diterapkan di Indonesia. Menariknya, meskipun masyarakat Desa Padamaran-Kabupaten OKI belum pernah mengenal istilah paludikultur, justru mereka telah menerapkannya di lapangan sejak dahulu kala. Melalui pengelolaan padang purun, masyarakat secara lestari memanfaatkan purun dan mengolahnya menjadi aneka produk kerajinan

seperti tas, tikar, dan serta aneka produk berbasis anyaman. Mengingat paludikultur merupakan hal yang baru di Indonesia, tentunya perlu upaya untuk mengenalkan konsep ini secara lebih luas serta memberikan perspektif terhadap beberapa pebdekatan dalam konsep paludikultur. Dalam konteks ini. Dalam paparannya, Ibnu Budiman menekankan perlunya kerjasama antar program paludikultur, fungsi monitoring, dan inovasi dalam menunjang pengembangan paludikultur di Indonesia.

Dalam paparan yang lain, isu tentang pohon jelutung diangkat oleh Surbekti Rahayu yang merupakan peneliti senior dari ICRAF. Malalui paparan yang berjudul “jelutung riwayatmu dulu”, nara sumber memberikan atensi yang khusus tentang hilangya pasar getah jelutung yang pada masa lalu potensi ekonimi yang tinggi. Mengingat jelutung merupakan jenis pohon asli gambut, maka sangat diharapkan untuk dapat memulihkan pasar getah jelutung sepeti sediakala. Apabila ini terjadi maka aspek ekologi dan ekonomi akan bertemu dan menjadi salah satu solusi dalam pengelolaan lahan gambut di masa mendatang.

Paparan lanjutan yang terkait adalah “Mendulang sineol di lahan gambut” oleh Iman Muslimin. Dalam paparan ini, tanaman kayu putih atau gelam (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) memiliki kandungan sineol yang merupakan bahan utama dalam pembuatan minyak kayu putih. Berdasarkan penelitian, penyulingan daun menjadi minyak kayu putih memiliki nilai rendemen 0,65 %. Artinya setiap 100 kg daun kayu putih akan menghasilkan 0,65 kg atau setara dengan 0,58 liter minyak kayu putih. Melihat potensi ini maka perlu kiranya dipikirkan upaya budidaya yang intensif, menjadikan jenis tanaman ini untuk revegetasi, serta mengoptimalkan potensi sineol untuk diolah menjadi minyak kayu putih.

Terdapat juga pokok bahasan yang sangat menarik tentang pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Kayu (HHBK), sebagaimana tema yang diangkat oleh Mamat Rahmat yaitu “Madu Mangrove”. Dari kajian yang dilakukannya, dijumpai potensi yang besar berupa madu di hutan mangrove sembilang. Namun sayang, pola pemanfaatan yang dilakukan saat ini masih belum tertata dengan baik. Pemananen madu yang dilakukan masyarakat masih menganut hukum rimba “siapa yang cepat maka dialah yang dapat”. Pola pemanfaatan

seperti ini sayangnya berdampak terhadap menurunnya kualitas madu sehingga berpengaruh terhadap harga jual. Penataan atau pengaturan pola pemanfaatan madu perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas madu mangrove serta menjamin kelestarian hasil di masa mendatang. Dengan dukungan para pihak sangatlah diperlukan untuk meningkatkan penghidupan masyarakat sekitar sekaligus melestarikan hutan mangrove di Taman Nasional Sembilang melalui pemanfaatan madu mangrove secara lestari.

Selanjutnya, Tubagus Angga Anugrah Syabana mengajak sahabat OPL untuk “mengenali lahan sebelum menanam”. Mengambil contoh program KUD di daerah lalan dalam mengelola perhutanan sosial. Sebelum dilakukan pemanaman, anggota KUD Bersama dengan peneliti melakukan survei untuk melihat karakteristik lahan yang akan ditanami. Dalam kegiatan ini, tim survei mengukur kedalam gambut, menganalisa PH dan melakukan pengecekan pirit. Hasil survei kemudian dijadikan dasar sebagai penentuan jenis tanaman untuk dikembangkan di lokasi tersebut.

Isu gender diangkat oleh Ari Nurlia melalui paparannya yang bertajuk “pelibatan perempuan dalam pengelolaan lahan gambut”. Mengawali paparannya, disampaikan bahwa pelibatan perempuan dalam kegiatan pengelolaan dan restorasi gambut masih sangat kurang. Hal ini tidak terlepas dari unsur budaya di mana sistem patriarki yang dianut sebagian penduduk Indonesia sering kali menempatkan perempuan menjadi warga negara nomor dua. Padahal perempuan cenderung lebih dekat dengan lingkungan. Banyak perempuan yang menjadi penyangga ekonomi rumah tangga disaat terjadi kerentanan akibat adanya kebijakan larangan membakar lahan, misalnya menjadi pencari dan penganyam purun, para perempuan pencari ikan dan lain-lain. Selain itu terdapat suatu karakteristik perempuan yang cenderung melindungi dan menjaga nama baik suami maupun keluarganya saat berada diluar rumah. Di saat yang sama perempuan dalam dinamika rumah tangga sering kali bersifat lebih dominan dibanding laki-laki terutama dalam menentukan arah dan kebijakan dalam keluarga. Pada umumnya perempuan memiliki peran dibelakang layar namun dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi laki-laki. Mengakhiri paparannya, narasumber

menyatakan bahwa pemahaman yang baik dari perempuan akan dapat memengaruhi pemahaman yang baik juga dalam lingkup kehidupan rumah tangganya terkait ekosistem gambut.

Pohon sebagai roh perekonomian rumah tangga gambut dibawakan secara menarik oleh Nur Arifah Ulya. Mengutip Gregersen dan Contreras (1979), pohon diibaratkan sebagai “pabrik sekaligus produknya”. Dengan demikian menebang pohon di hutan berarti juga menutup pabriknya. Di lahan gambut, pohon juga berfungsi sebagai sumber biomassa melalui proses paludifikasi. Begitu besar peran pohon dilahan gambut maka penerapan paludikultur perlu didorong implementasinya di dalam restorasi gambut. Lebih jauh, nara sumber merekomendasikan suatu multi usaha berbasis pohon dalam restorasi lahan gambut. Multi usaha berbasis pohon yang prospektif untuk dikembangkan antara lain karbon, ekowisata, dan HHBK (buah buahan, getah, ikan, dan madu).

Penutup

Dari beragam topik OPL lahan basah ini, terlihat irisan yang sangat jelas dan keterkaitan dengan strategi pengelolaan lahan basah melalui tiga intervensi sebagaimana dijelaskan sebelumnya yaitu perlindungan-konservasi, pemanfaatan secara bijaksana/best practices, dan restorasi. Relasi antara materi yang dibahas dan diiskusikan dalam OPL digambarkan melalui diagram berikut.

Diagram alir yang menggambarkan relasi materi OPL dengan Gambar 15.4

tiga intervensi dalam strategi pengelolaan lahan basah

Kembali kepada harmoni antara manusia dan lahan basah yang sudah terkikis, diperlukan suatu keputusan dan langkah konkret menuju perbaikan pengelolaan lahan basah di masa mendatang. Berikut ini adalah langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka memperbaiki pengelolaan lahan basah di Indonesia serta memperbaiki harmoni antara manusia dan lahan basah.

Pertama, perbaikan tata kelola lahan basah. Dalam konteks ini, peran pemerintah sangatlah penting terutama untuk mengeluarkan kebijakan yang menjamin keberlangsungan lahan basah. Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 tahun 2014 jo. PP no. 57 tahun 2016 telah memberikan arahan tentang perlindungan dan pengelolaan lahan gambut. Peraturan yang untuk beberapa tipe ekosistem yang ada di lahan basah tentunya sangat diharapkan untuk perbaikan tata kelola lahan basah secara keseluruhan.

Kedua, lindungi lahan basah yang masih tersisa. Belajar dari pengalaman yang ada, mencegah kerusakan jauh lebih baik dari pada memperbaiki kerusakan. Terlebih bagi lahan gambut, bila telah terganggu maka sangatlah sulit untuk dapat mengembalikan kondisi seperti semula. Moratorium hutan primer dan lahan gambut yang telah dimulai tahun 2011 dan kemudian dipermanenkan tahun 2019 merupakan salah satu contoh kebijakan yang

tepat dan sungguh bermakna bagi pelestarian lahan basah. Kebijakan lain masih perlu diambil untuk lebih memperkuat upaya perlindungan lahan basah.

Ketiga, restorasi lahan basah yang mengalami kerusakan. Di lahan gambut, pembasahan kembali atau rewetting merupakan langkah yang bisa ditempuh untuk memperbaiki kerusakan hidrologi sebagai akibat pembuatan kanal. Di zona budidaya, penyekatan kanal (canal blocking) perlu dilakukan untuk menakkan muka air tanah sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun untuk di zona perlindungan, maka penimbunan kanal menjadi opsi terbaik untuk membuat lahan gambut sebasah atau selembap mungkin. Apabila yang terganggu adalah vegetasinya, maka kegiatan revegetasi perlu dilakukan dengan cara melakukan penanaman berbagai jenis tanaman asli. Dengan mandat presiden, Badan Restorasi Gambut (BRG) sejak tahun 2016 telah melakukan berbagai upaya dalam mengkoordinasikan serta melaksanakan kegiatan restorasi lahan gambut di Indonesia. Langkah ini tentunya perlu mendapatkan dukungan dari para pihak, termasuk komitmen untuk terus melakukan restorasi di wilayah kelola masing-maisng di masa mendatang. Untuk tipe eksosistem lain di lahan basah, restorasi juga harus dilakukan terhadap lokasi yang mengalami kerusakan. Pemetaan kerusakan perlu dilakukan terlebih dahulu untuk menentukan langkah terbaik dalam upaya restorasi ini.

Sekat kanal dan reforestasi di areal ex PLG (@WII-CKPP) Gambar 15.5

Rehabilitasi mangrove di areal pertambakan (@WII) Gambar 15.6

Keempat, pengelolaan bijaksana (responsible management) untuk kegiatan pemanfaatan yang terlanjur dilakukan oleh pelaku usaha. Demikian luasnya lahan gambut yang telah terlanjur diusahakan sebagai hutan tanaman dan kebun sawit, maka komitman para pelaku usaha sangatlah vital. Tata kelola air haruslah dilakukan dengan serius dan terus-menerus untuk menjaga muak

air tanah di lahan gambut tidak lebih dari 0,4 m sebagai mana diamanatkan oleh pemerintah. Beberapa infrastruktur perlu dibangun untuk mengatur tata air di lahan gambut, termasuk sekat kanal. Hal yang penting untuk diketahui adalah, tata kelola air di wilayah konsesi tidak dapat subsidensi lahan gambut, hanyalah mengurangi lajunya saja. Cepat atau lambat subsidensi akan mencapai ambang batasnya dan umur pakai lahan gambut untuk kegiatan budidaya konvensional mencapai titik akhir. Apabila ini terjadi, maka lahan gambut akan tergenang permanen sehingga kegiatan budidaya sudah tidak bisa dilakukan. Untuk mengantisipasi hal ini, pelaku usaha perlu mulai memikirkan berbagai komoditas lokal yang memiliki nilai ekonomis sebagai opsi kegiatan budidaya di masa mendatang. Dalam konteks ini, konsep paludikultur (budidaya di lahan gambut basah) perlu dipertimbangan untuk pemanfaatan lahan gambut ke depan.

Kelima, memberikan ruang dan peran aktif kepada masyarakat dalam pengelolaan lahan basah. Dengan pengalaman mengelola sumbedaya alam secara tradisional dan kerifan lokal yang dimiliki, masyarakat memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat menjaga dan mememelihara lahan basah. Peran pemerintah dalam memfasilitasi masyatakat dalam pengelolaan lahan basah sangatlah penting, disamping juga dukungan dari para pihak.

Keenam, kesadaran lingkungan para pihak. Peningkatan kesadaran lingkungan perlu ditingkatan agar terjadi kesadaran bersama untuk menjaga dan melestarikan lahan basah. Perhatian lebih perlu ditujukan kepada para pengambil keputusan mengingat peran kunci mereka dalam pengelolaan sumberdaya alam. Upaya ini perlu ditunjang dengan pemberian informasi yang memadai agar mereka mengetahui peran dan fungsi lahan basah. Dengan demikian maka setiap keputusan strategis yang diambil akan terus mempertimbangkan aspek ekologis lahan basah.

Potret lahan basah telah dibingkai dan langkah-langkah perbaikan telah diurai. Tibalah saatnya manusia untuk mengambil langkah konkret dalam upayanya mengembalikan harmoni dengan lahan basah. Dengan niat dan komitmen bersama, niscaya upaya yang ditempuh akan dapat berjalan dengan baik dan harmoni dapat dicapai.