• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Persoalan klasik kehutanan dan lingkungan hidup adalah bagaimana menghadirkan manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial dari sebuah unit ekosistem (desa, kabupaten, provinsi, pulau, kawasan tertentu, dan lain sebagainya) secara bersamaan. Di sisi lain, permintaan terhadap pangan, energi, kayu, dan jasa-jasa lingkungan terus meningkat dan saling berkompetisi. Banjir, tanah longsor, karhutlah, konflik, isu kemiskinan, perubahan iklim, pencemaran lingkungan adalah gejala dari ketidakseimbangan outcome ekosistem. Persoalan dan tantangan fenomena tersebut memerlukan pendekatan, gagasan, dan cara-cara yang lebih efektif untuk menanganinya.

Semangat pembangunan dan modernisasi pasca perang dunia kedua mendorong penguatan peran negara/pemerintah (top-down approach) dalam banyak aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Kesadaran, kritik, ilmu pengetahuan dan praktik pemanfaatan SDA turut berkembang. Tahun 1980-an, David Korten mengkritik model pembangunan “blue-print”, sebuah cara pembangunan dengan desain dari pemerintah tanpa melibatkan pihak lokal (Korten, 1980). Korten menganjurkan “people-centre development” sebagai pendekatan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat, keadilan sosial, dan pembuatan keputusan secara partisipatif (Korten, 1987).

Pada tahun 1990-an, Robert Chambers memperkenalkan Participatory

Rural Appraisal (PRA), sebagai pendekatan untuk memasukkan pengetahuan

dan opini masyarakat desa dalam perencanaan dan pengelolaan program-program pembangunan (bottom-up). Pada dekade tahun 2000-an, beberapa ilmuwan menyadari bahwa masalah krisis lingkungan, kemiskinan, dan

pengelolaan sumber daya alam makin problematis. Pendekatan monodisiplin dan multidisiplin tidak mampu menyelesaikannnya. Max-Neef (2005) menegaskan bahwa hanya pendekatan transdisiplin yang sesuai dengan karakter masalah kekinian. Pertanyaannya, metode apakah yang secara operasional dapat mewadahi beragam model pendekatan pembangunan sekaligus; top-down, bottom-up, dan transdisiplin?

Publikasi Hardin (1968) tentang “The tragedy of the commons”, membuka kesadaran tentang bahaya kelebihan populasi manusia terhadap sumber daya dengan kepemilikan bersama. Tragedi kepemilikan bersama terjadi ketika individu-individu manusia berusaha mengambil kekayaan alam yang menjadi milik bersama, dengan prinsip keuntungan sebanyak-banyaknya, sehingga merugikan makhluk hidup lain. Perikanan, margasatwa, air tanah dan permukaan, padang penggembalaan, dan hutan merupakan sumber daya dengan kepemilikan bersama. Dari sisi karakteristik ukuran sumber daya, pengelolaan sumber daya milik bersama memerlukan biaya tinggi.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, isu the commons didekati pemecahannya melalui penerapan tata kelola yang baik (good governance); sebuah cara menegosiasikan, membuat dan menegakkan hasil keputusan bersama para pihak dalam pengelolaan sumber daya. Inisiatif-inisiatif untuk merekonsiliasi kompetisi tata guna lahan dan untuk mencapai produksi manfaat baik produksi maupun konservasi disebut sebagai pendekatan lanskap (Sayer et al., 2013). Situasi kekinian menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi tantangan utama bagaimana merestorasi lanskap yang rusak akibat dari klaim-klaim yang saling bertentangan (Sayer et al., 2020).

Tulisan ini bertujuan menawarkan konsep Blusukan Lanskap (BL), sebagai sebuah pendekatan dan metodologi khas nusantara dalam pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Gagasan orisinil ini diuraikan secara singkat sebagai hasil elaborasi diskusi webinar Obrolan Pelepas Lelah (OPL), tanggal 5 November 2020.

Realitas dan Harapan

Di Indonesia dan kebanyakan negara berkembang, hutan dikuasai oleh negara. Penguasaan hutan oleh negara didasari pertimbangan bahwa hutan memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia sehingga harus dipertahankan, dijaga, dan diurus. Sebagai sumber daya dengan kepemilikan bersama (common-pool resource), kawasan hutan umumnya terletak terpencil dan sulit diakses. Sementara, berbagai data dan fakta menunjukkan bahwa ekosistem hutan cenderung menurun kondisinya. Oleh karena itu, pengelolaan hutan berkelanjutan memerlukan pendekatan dan metodologi tertentu yang sesuai dengan karakter sumber daya dan kebudayaan masyarakat lokal.

Nilai hutan sebagai sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat mengundang banyak pihak untuk mengurus dan peduli; secara aktif atau pasif, secara legal-formal atau informal. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan pengelolaan hutan tersisa dan rehabilitasi hutan erat kaitannya dengan kata kunci kolaborasi (Abdurrahim, 2015; Abrams et al., 2020; Bixler, 2014; Butler, Monroe, & McCaffrey, 2015; Butler & Schultz, 2019; Carter & Gronow, 2005; Mandal et al., 2013; Mohammed, Inoue, & Shivakoti, 2017; Schultz et al., 2018; Schultz, Jedd, & Beam, 2012; Suhardjito & Wulandari, 2019; Whyte, 2013; Wiersum, Singhal, & Benneker, 2004). Subjek atau aktor kolaborasi paling tidak terdiri atas pihak luar (outsiders) dan penduduk lokal (local residents).

Kolaborasi adalah hasil dari interaksi sosial dan rasa saling percaya. Berdasarkan pengalaman penulis melaksanakan penelitian tentang praktik-praktik terbaik pengelolaan hutan dan riset aksi pengelolaan hutan oleh masyarakat (misalnya Martin et al., 2016, 2019, 2020; Martin, Premono, and Nurlia 2012; Martin and Winarno 2010, 2015) dan beragam hasil kajian peneliti lain secara global, bahwa interaksi sosial positif dan rasa saling percaya antarpihak dalam pengelolaan hutan dan lingkungan adalah akibat dari praktik sekumpulan aktivitas, yang dapat disebut sebagai Blusukan Lanskap (BL).

Aktivitas menjelajahi, merasakan suasana lokal, dan mempelajari keadaan sesuatu secara langsung merupakan wujud dari konsep blusukan. Situs badanbahasa.kemendikbud.goi.id menjelaskan makna dari diksi blusukan,

“blusukan secara etimologi berasal dari bahasa Jawa, dari kata dasar blusuk

‘masuk’ dan akhiran –an (afiks verba) yang berarti ‘masuk-masuk ke tempat tertentu untuk mengetahui sesuatu’. Dalam bahasa Jawa blusukan merupakan verba…”. Jika dipelajari konteks penggunaan kata, blusukan digunakan untuk menggambarkan subjek masuk atau mendatangi tempat tertentu yang kurang nyaman. Oleh karena itu, tindakan seseorang atau sekompok orang mendatangi dan bercengkerama dengan penduduk lokal yang hidup dalam kesederhanaan dan atau memasuki hutan belantara yang penuh onak duri (Gambar 6.1) merupakan blusukan.

Masyarakat di dalam dan sekitar hutan hidup dalam Gambar 6.1

kesederhanaan (kiri); Hutan dan vegetasi penyusunnya menyimpan sejuta misteri dan potensi ilmu pengetahuan, namun sulit untuk dijelajahi (kanan)

Dalam konteks pengelolaan hutan dan lingkungan, objek blusukan adalah lanskap, bukan hutan. Situs simple.wikipedia.english menjelaskan arti lanskap (landscape) yaitu, “an area of land as one can see it. This

includes landforms, flora, fauna and human elements, for instance human activity or the built environment”. Menurut arti tersebut, lanskap adalah semua dalam

bentang lahan yang terlihat oleh seseorang pada satu waktu dan dari tempat tertentu. Lanskap merupakan agregat situasi alamiah dan budaya manusia. Pada umumnya (Gambar 6.2), lanskap hutan terdiri atas bentuk lahan, flora dan fauna alamiah, flora dan fauna budidaya (pertanian), dan lingkungan buatan manusia (misalnya pemukiman/desa/dusun).

Lanskap hutan tidak dapat dipandang hanya hutan saja, tetapi Gambar 6.2

merupakan agregat yang saling berhubungan antara fenomena alamiah dan budaya.

Ketika lanskap menjadi objek dari blusukan, maka blusukan menjadi kata kerja bertujuan (purposeful activity). Blusukan tidak sekadar mempelajari atau memahami lanskap tertentu, tetapi mengubahnya menjadi lebih baik. Hasil analisis Scoones (2016) tentang politik kelestarian dan pembangunan menyebut bahwa transformasi tidak dapat dikelola dan dikendalikan, namun harus sebagai hasil dari keterlibatan banyak aktor dan beragam pengetahuan. Lanskap Hutan Desa, sebagai contoh kasus, pada awalnya didominasi kebun kopi monokultur (Gambar 6.3). Melalui serangkaian aktivitas penelitian aksi yang melibatkan para pihak, pengelola Hutan Desa kemudian dapat memroduksi bibit pohon penghasil buah, bekerja sama dengan instansi pemerintah, dan mengubah kebun kopi monokultur menjadi agroforest. Jadi, konsepsi BL mengandung makna mentransformasikan lanskap.

Blusukan Lanskap bukan sekadar usaha memahami lanskap Gambar 6.3

tetapi mengupayakan transformasi menuju visi konsensus para aktor.

BL adalah pendekatan atau sekumpulan metode yang mendorong interaksi positif antara para pihak, masyarakat lokal, dan lanskap tertentu, agar terjadi proses reflektif-kreatif menuju transformasi kelestarian lanskap. Sebagai sebuah pendekatan (approach), BL memegang asumsi bahwa sistem sosial dan sistem ekologi adalah saling terkait dan bersifat dinamis. Hubungan positif antarpihak akan mendorong perubahan positif pada lanskap. BL adalah memahami realitas untuk mengubah fenomena.

Sebagai sekumpulan metode, BL meliputi kegiatan observasi, refleksi, dan silaturahmi. Kegiatan tersebut meskipun dapat dilakukan secara terpisah, tetapi saling terkait dan bercampur. Silaturahmi (making dan maintaining

good relationship) selalu melekat pada kerja observasi dan refleksi. Cara kerja

BL tidak linier, tetapi melingkar/siklik.

BL paling tidak melingkupi beberapa kegiatan/metode: (1) Mengamati kehidupan masyarakal lokal (participant observation); (2) Mengamati jalur transek-biofisik flora fauna; (3) Wawancara mendalam sambil berjalan (walking interview); (4) Melakukan analisis diakronis-sinkronis; (5) Menghasilkan pengetahuan bersama (co-production of knowledge), sehingga menghasilkan aksi-aksi bersama (co-creation of innovation), untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik; (6) Menjalin silaturahmi tanpa henti, sebagai ciri khas pendekatan BL. Metode nomor 1 s.d. 4 dikategorikan sebagai observasi.

Metode nomor 5 adalah refleksi. Silahturahmi sebagai metode diaplikasikan dalam wujud komunikasi intensif dan dialogis antaraktor; antara pihak luar dan penduduk lokal.

Dari sisi metodologi, BL bukanlah kumpulan metode baru, tetapi merupakan gabungan beragam metode transdisiplin penelitian sistem sosial-ekologi yang sudah dikenal. Metode-metode penelitian yang biasa digunakan oleh disiplin ilmu antropologi, geografi, sosiologi, biologi, ekologi, agroekologi, sejarah, kehutanan, dan lain-lain dapat diaplikasikan dalam BL. Karena bersifat reflektif dan menjaga hubungan baik antarpihak secara berkelanjutan, metode-metode khas semacam progressive contextualization (lihat Vayda, 1983), walking interview (lihat Evans & Jones, 2011; Jones et

al., 2008), Participatory Action Research (lihat Kemmis & Wilkinson, 2002;

Kindon, Pain, & Kesby, 2007; McIntyre, 2008), dan Participatory Rural

Appraisal/PRA (lihat Chambers 1994c, 1994a, 1994b) adalah pilihan.

Jika BL menggunakan metode PRA, lantas apakah perbedaan BL dan PRA? Sebagaimana diketahui, teknik-teknik yang dipakai PRA dipengaruhi oleh analisis agroekosistem, sementara BL menggunakan analisis pendekatan lanskap. Artinya, unit analisis BL lebih luas dan memberi tekanan pada rekonsiliasi kompetisi tata guna lahan; antara kepentingan produksi dan konservasi. Posisi pihak luar (outsiders) dalam PRA adalah penyelenggara dan fasilitator pengumpulan data oleh kelompok kecil masyarakat lokal. Sementara, BL menekankan kerja sama antara pihak luar dan lokal untuk menghasilkan pengetahuan bersama tentang lanskap; pihak luar dan masyarakat lokal sama-sama memiliki kepentingan, pengetahuan, dan visi terhadap lanskap. Jadi, BL merupakan evolusi dari PRA, bahkan Participatory, Learning, and Action/PLA (lihat Chambers, 2007).

Secara paradigma, BL tidak mengikuti perubahan sebagaimana yang dianut PRA/PLA; dari top-down menjadi bottom-up, dari standar menjadi beragam, dari kontrol menjadi pemberdayaan. BL adalah pendekatan, alat, sikap, dan perilaku saling melengkapi, antara kepentingan negara dan masyarakat lokal, antara pihak luar dan penduduk setempat. BL adalah pertemuan antara

top-down dan bottom-up, menggunakan standar dan keberagaman, menguatkan

Simpulan

Sebagai sebuah konsepsi baru yang berasal dari praktik dan terminologi lokal (Jawa-nusantara), Blusukan Lanskap dapat menyempurnakan metodologi yang sudah dikenal yaitu PRA. BL melengkapi kegiatan-kegiatan yang berbasis disiplin ilmu alam, misalnya Eksplorasi. BL bahkan bisa menggantikan istilah dan praktik yang selama ini identik dengan kerja birokrasi, yaitu kunjungan kerja, dinas luar, patroli, jagawana, anjang sana, demplot uji coba, dan wawancara. BL bukan hanya alat tetapi pilihan sikap dari para pihak, untuk saling menghargai dan bekerja sama menuju lanskap lingkungan hidup dan kehutanan yang lebih baik.

Daftar Pustaka

Abdurrahim AY. 2015. Skema hutan kemasyarakatan (Hkm) kolaboratif sebagai solusi penyelesaian konflik pengelolaan Hutan Sesaot, Lombok Barat. Sodality : Jurnal Sosiologi Pedesaan, 03(03), 91–100.

Abrams J, Huber-Stearns H, Gosnell H, Santo A, Duffey S, Moseley C. 2020. Tracking a Governance Transition: Identifying and Measuring Indicators of Social Forestry on the Willamette National Forest. Society

and Natural Resources, 33(4), 504–523. https://doi.org/10.1080/08941

920.2019.1605434

Bixler RP. 2014. From community forest management to polycentric governance: Assessing evidence from the bottom up. Society & Natural

Resources, 27(February 2015), 155–169. https://doi.org/10.1080/0894

1920.2013.840021

Butler WH, Monroe A, McCaffrey S. 2015. Collaborative Implementation for Ecological Restoration on US Public Lands: Implications for Legal Context, Accountability, and Adaptive Management. Environmental

Management, 55(3), 564–577.

https://doi.org/10.1007/s00267-014-0430-8

Butler W, Schultz CA. 2019. A New Era for Collaborative Forest Management. In WH Butler & CA Schultz (Eds.), A New Era for

Collaborative Forest Management (Issue January). Routledge. https://

Carter, J., & Gronow, J. (2005). Recent Experience in Collaborative Forest Management A Review Paper. CIFOR Occasional Paper, 43.

Chambers, R. (1994a). Participatory rural appraisal (PRA): Analysis of experience. World Development, 22(9), 1253–1268. https://doi. org/10.1016/0305-750X(94)90003-5

Chambers, R. (1994b). Participatory rural appraisal (PRA): Challenges, potentials and paradigm. World Development, 22(10), 1437–1454. https://doi.org/10.1016/0305-750X(94)90030-2

Chambers, R. (1994c). The origins and practice of participatory rural appraisal.

World Development, 22(7), 953–969.

https://doi.org/10.1016/0305-750X(94)90141-4

Chambers, R. (2007). From PRA to PLA and Pluralism: Practice and Theory. In Institute of Development Studies (Vol. 286, Issue July).

Evans, J., & Jones, P. (2011). The walking interview: Methodology, mobility and place. Applied Geography, 31(2), 849–858. https://doi. org/10.1016/j.apgeog.2010.09.005

Hardin, G. (1968). The tragedy of the commons. Science, 162(3859), 1243– 1248. https://doi.org/10.1080/19390450903037302

Jones, P., Bunce, G., Evans, J., Gibbs, H., & Hein, J. R. (2008). Exploring space and place with walking interviews. Journal of Research Practice,

4(42). http://www.jrp.icaap.org/index.php/jrp/rt/printerFriendly/150/

161%5Cnhttp://jrp.icaap.org/index.php/jrp/article/view/150/161 Kemmis, S., & Wilkinson, M. (2002). Participatory action research and the

study of practice. In B. Atweh, S. Kemmis, & P. Weeks (Eds.), Action

Research in Practice. Routledge.

Kindon, S., Pain, R., & Kesby, M. (Eds.). (2007). Participatory Action Research

Approaches and Methods Connecting people, participation and place.

Routledge Taylor & Francis Group.

Korten, D. C. (1980). Community Organization and Rural Development: A Learning Process Approach. Public Administration Review, 40(5), 480. https://doi.org/10.2307/3110204

Korten, D. C. (1987). Third generation NGO strategies: A key to people-centered development. World Development, 15(SUPPL. 1), 145–159. https://doi.org/10.1016/0305-750X(87)90153-7

Mandal, R. A., Dutta, I. C., Jha, P. K., & Karmacharya, S. B. (2013). Evaluating sustainability in community and collaborative forests for carbon stocks.

Proceedings of the International Academy of Ecology & Environmental Sciences, 3(2), 76–86. http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=t

rue&db=eih&AN=89809744&lang=es&site=ehost-live

Martin, E., Ulya, N. A., Waluyo, E. A., Kunarso, A., & Winarno, B. (2019). Forest, sawah, and culture: Civilization of food sovereignty by Semende communities at South Sumatra. IOP Conference Series: Earth

and Environmental Science, 298(1).

https://doi.org/10.1088/1755-1315/298/1/012026

Martin, E, Herdiana, N., Nurlia, A., & Premono, B. T. (2020). Kebun-Ghepang : Ecological and Institutional Reference for Social Forestry at Highlands of Sumatra. IOP Conference Series: Earth and Environmental

Science. https://doi.org/10.1088/1755-1315/533/1/012023

Martin, Edwin, Premono, B. T., & Nurlia, A. (2012). Penting tetapi tidak mendesak: Rasionalitas penanam bambang lanang (Michelia champaca) di Hulu DAS Musi, Sumatera Selatan. In Widiyatno, E. Prasetyo, T. S. Widyaningsih, & D. P. Kuswantoro (Eds.), Seminar Nasional Agroforestri

III 29 Mei 2012. Indonesia Networks for Agroforestry Education

(INAFE).

Martin, Edwin, Suharjito, D., Darusman, D., Sunito, S., & Winarno, B. (2016). Tunggu Tubang and Ulu Ayek: Social Mechanism of Sustainable Protected Forest Management. JMHT, 22(2), 85–93. https://doi. org/10.7226/jtfm.

Martin, Edwin, & Winarno, B. (2010). Peran parapihak dalam pemanfaatan lahan gambut; Studi kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatn. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 7(2), 81–95.

Martin, Edwin, & Winarno, B. (2015). Resiko antroposentrisme: Fenomenologi dinamika pengelolaan hutan adat di Dusun Tebat Benawa, Pagaralam, Sumatera Selatan. In Pratiwi, N. Gintings, L. Sundawati, & P. Suryanto (Eds.), Prosiding Workshop Nasional Pengembangan Mata Pencaharian

Alternatif- 2015 (pp. 28–39). Puslitbang Hutan, Balitbang dan Inovasi

Kemen LHK.

Max-Neef, M. A. (2005). Foundations of transdisciplinarity. Ecological Economics,

53(1), 5–16. https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2005.01.014

McIntyre, A. (2008). Participatory Action Research. Sage Publications.

Mohammed, A. J., Inoue, M., & Shivakoti, G. (2017). Moving forward in collaborative forest management: Role of external actors for sustainable Forest socio-ecological systems. Forest Policy and Economics, 74, 13–19. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2016.10.010

Sayer, J., Boedhihartono, A. K., Langston, J. D., Margules, C., Riggs, R. A., & Sari, D. A. (2020). Governance challenges to landscape restoration in Indonesia. Land Use Policy, November 2019. https://doi.org/10.1016/j. landusepol.2020.104857

Sayer, J., Sunderland, T., Ghazoul, J., Pfund, J.-L., Sheil, D., Meijaard, E., Venter, M., Boedhihartono, A. K., Day, M., Garcia, C., van Oosten, C., & Buck, L. E. (2013). Ten principles for a landscape approach to reconciling agriculture, conservation, and other competing land uses. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United

States of America, 110(21), 8349–8356. https://doi.org/10.1073/

pnas.1210595110

Schultz, C. A., Jedd, T., & Beam, R. D. (2012). The Collaborative Forest Landscape Restoration Program: A History and Overview of the First Projects. Journal of Forestry, 110(7), 381–391. https://doi.org/10.5849/ jof.11-082

Schultz, C., Mclntyre, K., Cyphers, L., Kooistra, C., Ellison, A., & Moseley, C. (2018). Policy Design to Support Forest Restoration: The Value of Focused Investment and Collaboration. Forests, 9(9), 512. https://doi. org/10.3390/f9090512

Scoones, I. (2016). The Politics of Sustainability and Development. Annual

Review of Environment and Resources, 41(1), 293–319. https://doi.

org/10.1146/annurev-environ-110615-090039

Suhardjito, D., & Wulandari, C. (2019). A reflection of social forestry in 2019: Towards inclusive and collaborative government approaches. Forest and

Society, 3(1), 137–140. https://doi.org/10.24259/fs.v3i1.6099

Vayda, A. P. (1983). Progressive contextualization: Methods for research in human ecology. Human Ecology, 11(3), 265–281. https://doi. org/10.1007/BF00891376

Whyte, K. P. (2013). On the role of traditional ecological knowledge as a collaborative concept: a philosophical study. Ecological Processes, 2, 7. https://doi.org/10.1186/2192-1709-2-7

Wiersum, K. F., Singhal, R., & Benneker, C. (2004). Common Property and Collaborative Forest Management: Rural Dynamics and Evolution in Community Forestry Regimes. Forests, Trees and Livelihoods, 14(October 2014), 281–293. https://doi.org/10.1080/14728028.2004.9752498

HARMONI MANUSIA