• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jamur di Alam dan Perspektif Pemanfaatan

Alam Indonesia menyimpan mega potensi untuk dimanfaatkan secara arif oleh manusia. Bentuk kearifan tersebut berupa pemanfaatan untuk menjaga keberlangsungan hidup yang seimbang (homoestatis) pada manusia. Perspektif homoestatis tersebut bisa berupa hubungan antara manusia dengan alam (ekosistem) atau manusia dengan diri sendirinya. Salah satu organisme di alam yang dapat mendukung homoestatis manusia adalah jamur. Jamur di alam begitu banyak dan beragam yang mempunyai peran penting untuk mendukung keberlangsungan ekosistem dan kesehatan manusia. Untuk kesehatan manusia, jamur dapat menjadi sumber pangan (edible mushroom) dan obat (medicinal mushroom). Garibay-Orijel et al., (2009) mencatat lebih dari 3.000 spesies jamur liar yang dapat dimakan dikonsumsi di seluruh dunia dengan perkiraan nilai total $ 2 miliar, yang merupakan bagian dari 5,1 juta spesies yang berhasil diketahui dengan dukungan pendekatan identifikasi secara molekuler (Blackwell, 2011). Pendekatan molekuler juga mampu mendukung kelengkapan data identitas jamur tanah dunia, yaitu 2–3,4 juta spesies yang berasal dari 365 lokasi yang tersebar di beberapa negara (Tedersoo

et al., 2014).

Berbagai jenis jamur pangan dan obat yang ditemukan umumnya berawal dengan adanya penemuan di alam dan dilanjutkan dengan upaya budidayanya. Langkah budidaya dilakukan setelah ada legitimasi bahwa jamur

tersebut tidak beracun atau tidak mempunyai efek lain yang membahayakan kesehatan manusia. Hal tersebut lebih menjamin keamanan bagi kesehatan, jika dibandingkan mengonsumsi jamur liar yang ada di alam. Untuk mengonsumsi jamur di alam, penting untuk mengenal ciri khusus jamur beracun, yang tidak sembarang orang mempunyai kemampuan tersebut.

Pemahaman bahaya jamur yang beracun kini tidak hanya karena ciri tubuh buahnya yang beracun. Keluarga Amanitaceae, Amanita phalloides dan

A. virosa misalnya, tubuh buah jamur tersebut tidak mempunyai warna yang

mencolok, namun masing-masing ternyata menyandang nama The Death Cup dan Destroying Angel. Jamur-jamur tersebut termasuk dalam jamur amatoxins, yang gejala keracunan bermunculan setelah 12 jam setelah dikonsumsi. Status aman untuk dikonsumsipun dapat berubah, seperti yang dijumpai pada

Pleurocybella porrigens atau yang juga dikenal sebagai jamur Angel Wing. Jenis

tersebut pada awalnya aman untuk dikonsumsi, namun kemudian statusnya menjadi berbahaya setelah adanya laporan kematian. Dalam diskusi interaktif antar penggiat jamur di Indonesia, yang difasilitasi oleh Generasi Biologi dalam webinar GenbiTalks pada 13 September 2020, disampaikan bahwa penanggulangan awal yang penting ketika seseorang mengalami keracunan akibat jamur adalah berusaha untuk memuntahkannya disertai dengan meminum susu yang dikenal dapat menetralisir racun di dalam tubuh. Bagi para peneliti maupun penggiat jamur liar, umumnya untuk mencoba suatu jamur adalah aman atau tidak adalah dengan mengonsumsinya tidak lebih dari 300 gram karena pada kisaran berat tersebut jika suatu jamur mempunyai bioaktif racun, maka tidak mengakibatkan dampak fatal untuk kesehatan (Komunikasi pribadi, 2020).

Keamanan jamur pangan tidak hanya karena jamur tersebut tidak mengandung bioaktif beracun, tetapi juga penting untuk memperhatikan sensitivitas tubuh setiap individu setelah mengonsumsi jamur. Beberapa individu kadang mempunyai rekaman medis alergi terhadap jamur, yang disadari sebelumnya ataupun tidak. Gejala umum yang dirasakan adalah batuk, mata gatal, dan keluhan gatal pada kulit. Pencegahan terpenting agar tidak mengalami alergi terhadap jamur adalah selain menghindari konsumsi yang diyakini menimbulkan alergi, juga penting untuk menjaga stamina dan

imunitas tubuh. Apabila jamur penyebab alergi terlanjur ditelan, maka obat anti alergi dapat menjadi pertolongan awal untuk kemudian ditindaklanjuti dengan pemeriksaan intensif oleh dokter terkait.

Di alam Indonesia, sebenarnya banyak jamur yang bisa dikonsumsi namun belum dikenal dan dibudidayakan. Areal perkebunan kebun karet dan kelapa sawit di desa Padamaran OKI misalnya, ditemukan jamur yang lebih dikenal dengan nama kulat tiung atau yang dikenal dengan nama latin Hygrocybe spp., dan jamur sawit yang banyak ditemukan terutama pada kondisi lembap atau di musim hujan. Kulat tiung adalah jamur berwarna merah kekuningan dan mempunyai payung, biasanya diolah dalam bentuk olahan kuliner lokal. Kulat tersebut juga ditemukan di Kalimantan (Mulyani et al., 2014) dan Malaysia (Abdullah et al., 2017). Adapun jamur sawit di perkebunan sawit merupakan jamur yang masih satu genus dengan jamur merang (Volvariela

volvaceae) yang banyak ditemukan di Indonesia (Widiastuti & Panji, 2007),

dan Malaysia (Fui et al., 2018).

Jamur di perkebunan sawit yang tergolong dalam genus Gambar 8.1

Volvariela

Jenis jamur yang sering ditemukan di alam dan ditemukan di lingkungan kota adalah Macrolepiota spp., yang umumnya ditemukan di padang rumput. Jenis payung dan bercincin tersebut termasuk dalam keluarga Agaricaceae. Berdasarkan pengamatan di lokasi penemuan jamur, biasanya jamur tersebut akan muncul setelah sebelumnya terjadi hujan yang berlangsung lama.

Meskipun tidak muncul secara seketika, namun seolah-olah jamur tersebut mulai tampak bersamaan dengan suburnya rerumputan yang tumbuh subur karena pengaruh kelembapan optimal akibat musim hujan. Jamur dapat dilihat dan dikenal dengan mudah terutama di tempat-tempat yang lembap, misalnya pada serasah, dan tumbuhan. Substrat yang berbeda biasanya akan menyebabkan perbedaan jenis jamur yang tumbuh, begitu pula perbedaan kondisi lingkungan, seperti kelembapan udara, kelembapan tanah, suhu, keasaman (pH) tanah, intensitas cahaya. Hal ini karena faktor lingkungan sangat memengaruhi pertumbuhan jamur baik miselium maupun tubuh buah jamur (Roosheroe et al., 2006).

Berdasarkan penelusuran pustaka mengenai status pemanfaatannya, Ćirić

et al., (2019) menyebutkan bahwa Macrolepiota spp. dapat dikonsumsi dan

mempunyai potensi antioksidan, potensi antimikroba dan aktivitas sitotoksik untuk penanganan kanker. Jenis jamur lain yang berpotensi menjadi sumber obat dan tidak berpayung adalah Trametes versicolor, yang merupakan sumber yang kaya senyawa bergizi dengan sifat farmakologis penting seperti sifat antioksidan, antiinflamasi, dan anti kanker (Hobbs, 2005; Li et al., 2011; Pop

et al., 2018). Jenis tersebut lebih banyak ditemukan pada kayu sisa tebangan

atau yang rebah karena tumbang.

Jamur-jamur yang ditemukan di alam dan berpotensi sebagai Gambar 8.2

jamur pangan dan obat (a) Macrolepiota spp. dan (b) Trametes

Kesadaran pentingnya pemanfaatan jamur makrofungi sebagai solusi alami permasalahan manusia, baik dalam hal ekonomi, kesehatan, sumber pangan, dan lingkungan, telah ada sejak lama ketika jamur di habitusnya menjalankan perannya fundamental dalam fungsi ekosistem hutan, yaitu siklus hara dan proses dekomposisi. Pengetahuan tradisional Indonesiapun telah memanfaatkan jamur-jamur bertubuh buah sebagai obat dan olahan kuliner. Namun hal tersebut belum diproduksi secara massal dan hanya pada skala pemakaian yang insidentil. Jamur dapat berperan multi karena pertumbuhan dan perkembangannya secara artificial dapat dimodifikasi melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Jika budidayanya selama ini masih menggunakan baglog yang menghasilkan limbah plastik, maka perlu terobosan budidaya menggunakan

log murni, seperti yang telah dilakukan di areal hutan di timur laut Amerika

Selatan. Di areal tersebut akademisi dan peneliti Universitas Cornell (Anonimous, 2013) mengembangkan budidaya jamur shiitake menggunakan

log jenis kayu Quercus, Sugar maple, Ironwood (Ostrya virginia), Musclewood

(Carpinus caroliniana), American Beech (Fagus grandifolia). Budidaya juga dapat dilakukan pada hamparan media yang telah disiapkan untuk menjadi tempat semai spora, seperti yang dilakukan di China dengan melakukan manipulasi lingkungan tempat tumbuh yang dibutuhkan oleh jamur (Zhang

et al., 2014).

Tantangan global budidaya berbasis manipulasi lingkungan menjadi penting karena pemanfaatan jamur alam terus berkurang karena aktivitas manusia. Jika dalam hal jamur sebagai sumber obat masih mengandalkan hutan sebagai sumber materinya, maka tekanan terhadap habitus jamur akan mengancam ketersediaan jamur. (Dahlberg et al., 2010) menyebutkan bahwa tebang habis dan penebangan kayu menyebabkan penurunan atau penyusutan habitus tertentu dan menyebabkan berkurangnya kayu mati sebagai tempat hidup jamur. Sementara itu, dekomposisi bahan organik harus terus berjalan agar ketersediaan hara terus terjaga dan jamur akan terus eksis untuk menjalankan perannya (Wood, 2017). Teknologi budidaya jamur yang tepat guna menjadi hal penting, yang pelan tapi pasti dibutuhkan meskipun konsumsi jamur di Indonesia tidak setinggi tingkat konsumsi jamur di negara lain.

Pembinaan dan pendampingan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di masyarakat untuk membudidayakan jamur pangan penting untuk diupayakan terutama dalam masa pandemi Covid-19. Para stakeholder dapat berupaya dengan melakukan langkah nyata melalui program stimulasi bantuan oleh pemerintah, restrukturisasi kredit oleh bank, dan transfer ilmu teknologi budidaya jamur oleh lembaga Litbang yang kompeten. Transfer ilmu tidak hanya fokus pada jenis-jenis yang telah umum dipasarkan secara domestik, namun juga perlu untuk mengenalkan, melatih, dan mengenalkan segmen pasar jenis-jenis jamur berkualitas ekspor. Selain itu, juga perlu teknologi budidaya jamur yang mampu meningkatkan dan menjaga stabilitas produksi jamur. Kendala iklim dan kualitas isolat ternyata mempunyai peranan penting dalam kelangsungan budidaya jamur.

Simpulan

Iklim tropis Indonesia menjadikan biodiversitas jamur melimpah. Beberapa jamur yang dapat dikonsumsi (edible mushroom) dikenal pula oleh masyarakat, yang dibuktikan dengan beberapa olah kuliner yang menggunakan jamur sebagai bahannya. Namun budaya konsumsi jamur Indonesia masih kalah jika dibandingkan negara-negara lain, baik itu yang digunakan sebagai sumber pangan maupun obat. Wajar jika status riset dan pengembangannya masih tertinggal oleh negara lain.

Konsumsi jamur sebenarnya sangat cocok untuk masyarakat Indonesia yang masih sulit dalam memenuhi kebutuhan gizi yang lengkap terutama kebutuhan akan protein. Terutama masyarakat sekitar hutan, pemanfaatan jamur untuk dikonsumsi telah lama dilakukan dan kemudian ditingkatkan ke level budidaya untuk dipasarkan. Namun demikian, hingga kini budaya konsumsi jamur mulai bergeser karena makin terbatasnya sumber jamur dan karena hadirnya alternatif sumber protein lain, baik yang bersumber pada hewan maupun tumbuhan.

Upaya peningkatan budaya konsumsi dan teknologi budidaya jamur masih perlu ditingkatkan, baik dari segi kuantitas dan kualitas. Jenis jamur yang disasar tidak hanya jenis-jenis yang telah lazim dipasarkan, namun juga jenis-jenis yang mempunyai kualitas ekspor, yang pada akhirnya

mampu mendongkrak perekonomian masyarakat. Dalam hal ini, seluruh

stakeholder terkait harus berperan aktif untuk mendukung, mewujudkan, dan

mendampingi kemandirian pelaku bisnis jamur tersebut. Hal tersebut juga berlaku untuk masyarakat sekitar hutan yang telah memiliki pengetahuan otodidak mengenai jamur. Perilaku masyarakat sekitar hutan memanfaatkan jamur pangan yang selama ini tersedia di hutan menjadi cara dan langkah nyata untuk turut menjaga kelestarian hutan, selain kemudian memunculkan kemandirian pangan dan peningkatan perekonomian mereka

.

Daftar Pustaka

Abdullah, N., Abdulghani, R., & Ismail, S. M. (2017). Immune-stimulatory potential of hot water extracts of selected edible mushrooms. Food and

Agricultural Immunology, 28(3), 374–387. https://doi.org/10.1080/09

540105.2017.1293011

Anonimous. 2013. Best management practices for log-based shiitake cultivation in the Northeastern United States. University of Vermont, Extension. Universitas Cornell.

Blackwell, M. (2011). The fungi: 1, 2, 3 ... 5.1 million species? American Journal

of Botany, 98(3), 426–438. https://doi.org/10.3732/ajb.1000298

Ćirić, A., Kruljević, I., Stojković, D., Fernandes, Â., Barros, L., Calhelha, R. C., and Glamočlija, J. (2019). Comparative investigation on edible mushrooms Macrolepiota mastoidea, M. rhacodes and M. procera: Functional foods with diverse biological activities. Food and Function,

10(12), 7678–7686. https://doi.org/10.1039/c9fo01900f

Dahlberg, A., Genney, D. R., & Heilmann-Clausen, J. (2010). Developing a comprehensive strategy for fungal conservation in Europe: current status and future needs. Fungal Ecology, 3(2), 50–64. https://doi. org/10.1016/j.funeco.2009.10.004

Fui, F. S., Saikim, F. H., Kulip, J., Seelan, J., & Seelan, S. (2018). Distribution and ethnomycological knowledge of wild edible mushrooms in Sabah (Northern Borneo), Malaysia. Journal of Tropical Biology and

Garibay-Orijel, R., Córdova, J., Cifuentes, J., Valenzuela, R., Estrada-Torres, A., & Kong, A. (2009). Integrating wild mushrooms use into a model of sustainable management for indigenous community forests. Forest

Ecology and Management, 258(2), 122–131. https://doi.org/10.1016/j.

foreco.2009.03.051

Hobbs, C. (2005). Medicinal Value of Turkey Tail Fungus Trametes versicolor (L.:Fr.) Pilat (Aphyllophoromycetideae). International Journal of

Medicinal Mushrooms, 7(3), 346–347. https://doi.org/10.1615/

intjmedmushr.v7.i3.100

Komunikasi pribadi. (2020). Diskusi dalam webinar Biodiversitas Jamur Edible di Indonesia. GenbiTalks, 13 September 2020.

Li, F., Wen, H. A., Zhang, Y. J., An, M., & Liu, X. Z. (2011). Purification and characterization of a novel immunomodulatory protein from the medicinal mushroom Trametes versicolor. Science China Life Sciences,

54(4), 379–385. https://doi.org/10.1007/s11427-011-4153-2

Mulyani, R. B., Sastrahidayat, I. R., Abadi, A. L., & Djauhari, S. (2014). Exploring ectomycorrhiza in peat swamp forest of Nyaru Menteng Palangka Raya Central Borneo Faculty of Agriculture , the University of Palangka Raya , Central Borneo , Indonesia. Journal of Biodiversity and

Environmental Sciences, 5(6), 133–145.

Nurhakim, Y. I. (2018). Sukses Budidaya Jamur Tiram. Ilmu Cemerlang Group.

Pop, R. M., Puia, I. C., Puia, A., Chedea, V. S., Leopold, N., Bocsan, I. C., & Buzoianu, A. D. (2018). Characterization of Trametes versicolor: Medicinal mushroom with important health benefits. Notulae

Botanicae Horti Agrobotanici Cluj-Napoca, 46(2), 343–349. https://doi.

org/10.15835/nbha46211132

Siswanto, E. (2017). Petunjuk Praktis Budidaya Jamur Kuping, Jamur Merang,

Jamur Tiram, Jamur Shitake dan Jamur Kancing Sistem Semi Moderen.

Tedersoo, L., Bahram, M., Põlme, S., Kõljalg, U., Yorou, N. S., Wijesundera, R., … Abarenkov, K. (2014). Global diversity and geography of soil fungi 28, 346(November). https://doi.org/10.1126/science.aaa1185

Widiastuti, H., & Panji, T. (2007). Pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit Sisa Jamur Merang (Volvariella volvacea)(TKSJ) Sebagai Pupuk Organik Pada Pembibitan Kelapa Sawit. Menara Perkebunan, 75(2), 70–79.

Wood, A. R. (2017). Fungi and invasions in South Africa. Bothalia, 47(2), 1–16. https://doi.org/10.4102/abc.v47i2.2124

Zhang, Y., Geng, W., Shen, Y., Wang, Y., & Dai, Y. (2014). Edible Mushroom Cultivation for Food Security and Rural Development in China: Bio-Innovation, Technological Dissemination and Marketing. Sustainability,