• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengangkut Bibit Revegetasi Menggunakan Gajah

Purwanto

10

, Andika Imanullah, Nuralamain, Agus Sumadi dan Hengki

Siahaan

Pendahuluan

Kerusakan hutan terus terjadi akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Merusak hutan dilakukan dengan berbagai alasan, baik disadari maupun atau tidak. Hal ini berdampak sangat buruk terhadap keberlangsungan hidup ekosistem baik di dalam maupun di sekitar hutan. Salah satu yang terancam akibat kerusakan tersebut adalah binatang/satwa liar yang hidup di dalam hutan. Hal ini karena tempat hidup/habitat dan sumber makanan satwa liar tersebut juga hilang atau rusak.

Irwanda, Astiani & Ekyastuti (2018); Hadiyan & Pambudi (2017); Saputra (2017) menuturkan eksploitasi hutan dengan pengambilan hasil kayu ataupun bukan kayu, perubahan fungsi lahan hutan menjadi fungsi yang lain turut andil dalam kerusakan hutan. Kerusakan hutan yang terus terjadi mengakibatkan lahan terdegradasi dan deforestasi tidak dapat dihindarkan. Akibatnya keseimbangan ekologis, biodiversitas, sumberdaya genetis dan sosial ekonomi terganggu. Konversi hutan dan pertambahan penduduk merupakan pemicu utama yang mempercepat degradasi hutan dan deforestasi.

Revegetasi merupakan salah satu bagian dari solusi usaha untuk melindungi dan memperbaiki keberlangsungan hidup ekosistem hutan. Karena hasil dari kegiatan revegetasi tersebut akan membuat lahan kosong menjadi berhutan kembali sehingga habitat kembali nyaman ditinggali. Revegetasi merupakan salah satu cara untuk memperbaiki vegetasi yang rusak.

Revegetasi dilakukan melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman. Revegetasi diharapkan dapat mengembalikan habitat satwa liar, memperbaiki lingkungan yang rusak, biodiversitas, dan memperbaiki kualitas serta kestabilan tanah. Revegetasi dengan tanaman sebaiknya dengan tumbuhan lokal, karena apabila dari tumbuhan yang direvegetasi bukan jenis lokal (eksotik) akan merubah ekosistem, dikhawatirkan akan menyebabkan terganggu atau hilangnya sebagian jenis tumbuhan maupun hewan (Wiranda

et al., 2019). Selain itu, kemampuan adaptasi untuk hidup akan lebih teruji

dan peluang tumbuh memiliki potensi lebih baik disbanding tanaman eksotik.

Di antara permasalahan penting yang harus dikaji dari kegiatan revegetasi adalah seberapa besar tingkat keberhasilan revegetasi dalam hal pemulihan kondisi fisik lahan dan pemulihan fungsi hutan, utamanya fungsi konservasi tanah dan air dan fungsi hutan sebagai habitat fauna. Pemulihan fungsi hutan sebagai habitat flora fauna perlu dilakukan suatu cara restorasi ekologi (ecological restoration) yaitu dengan pemilihan jenis yang tepat yang dapat mempercepat pulihnya biodiversitas (Soegiharto et al., 2017).

Di Sumatera Selatan secara bertahap terus-menerus dilaksanakan kegiatan revegetasi baik pada lahan basah maupun lahan kering. Hal ini sangat diperlukan untuk mengembalikan fungsi hutan yang sesuai fungsi aslinya, yaitu tercapainya kelestarian hutan beserta ekosistemnya khususnya di lahan basah. Di lahan basah wilayah Sumatera Selatan banyak ditemukan kawasan hutan yang rusak diakibatkan dari perbuatan manusia yang tidak bertanggungjawab. Sumatera Selatan menjadi salah satu bagian prioritas program Nasional untuk kegiatan revegetasi lahan basah. Salah satu kabupaten yang sedang melaksanakan kegiatan revegetasi lahan basah adalah Kabupaten Banyuasin.

Salah satu lokasi yang menjadi tempat pelaksanaan kegiatan revegetasi di wilayah Sumatera Selatan adalah Kawasan Suaka Marga Satwa Padang Sugihan. Suaka Margasatwa (SM) Padang Sugihan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 2585/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 16 April 2014 dengan luas 88.148,05 hektar. Secara administratif SM Padang Sugihan berada di Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).

SM Padang Sugihan merupakan habitat alami gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan di dalamnya terdapat pusat latihan gajah (Kunarso

et al., 2019). Suaka Margasatwa Padang Sugihan yang di dalamnya terdapat

salah satwa yang dilindungi yaitu Gajah. khusus untuk satwa gajah sudah didirikannya pusat penangkaran Gajah yang salah satu fungsinya untuk melestarikan populasi Gajah baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya.

Kendala dalam kegiatan revegetasi di areal SM Padang Sugihan adalah akses yang cukup sulit untuk dijangkau. Areal tersebut merupakan kawasan lahan basah yang didominasi oleh alang-alang dan belidang yang cukup lebat. Saat musim hujan, areal bisa tergenang hingga mencapai satu meter.

Dengan kondisi lahan basah demikian menyebabkan kegiatan pengangkutan bibit dan bahan lain yang diperlukan dalam kegiatan revegetasi seperti pupuk dsb, menjadi sangat sulit dilakukan. Sarana transportasi konvensional seperti motor dan mobil menjadi tidak efektif dan efisien. Karena itu diperlukan suatu sarana transportasi alternatif untuk menunjang dan mempermudah pelaksanaan kegiatan revegetasi tersebut.

Realitas dan Harapan

Pengangkutan bibit pada kegiatan revegetasi di areal konservasi pada umumnya dilakukan sebagai berikut:

Penggunaan tenaga manusia biasanya akan efektif dan efisien pada areal 1.

yang tidak jauh dari tempat pembibitan

Penggunaan kendaraan mobil. Mengangkut bibit dengan mobil baik 2.

dilakukan untuk lokasi penanaman yang jauh dari tempat pembibitan. Namun syarat utama lainnya adalah adanya jalan akses yang bias dilalui kendaraan mobil.

Pengangkutan bibit dengan menggunakan motor jika areal lokasi kegiatan 3.

revegetasi atau areal penanaman jauh dari tempat bibit dan tidak bisa di akses kendaraan mobil dan hanya bisa di akses kendaraan motor. Pengangkutan bibit dengan sepeda. Mengangkut bibit dengan sepeda 4.

untuk kondisi kondisi jalur rintisan menuju ke areal revegetasi sama kondisinnya dengan akses yang di gunakan untuk sepeda motor.

Mengangkut bibit dengan perahu bisa bermanfaat dan menjadi alternatif 5.

terbaik pada lokasi penanaman hanya bisa di akses lewat air seperti lokasi areal penanaman di pinggir sungai dan sangat berat untuk di akses melalu jalur darat.

Mengangkut bibit dengan menggunakan satwa. 6.

Dari keenam metode pengangkutan bibit yang tersebut terdapat satu metode pengangkutan bibit yang sangat menarik dan merupakan hal yang baru dari kegiatan revegetasi di areal SM Padang Sugihan yaitu pengangkutan bibit menggunakan tenaga gajah terlatih.

Ada beberapa hal yang mendasari dalam penggunaan gajah sebagai pengangkut bibit dari kegiatan revegetasi di areal Konservasi.

Areal SM Padang Sugihan yang di revegetasi sangat luas sehingga a.

jumlah bibit yang dibutuhkan banyak. Di sisi lain lokasi penanaman juga cukup jauh dari perkampungan atau pemukiman penduduk sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan mengangkut bibit revegetasi terbatas.

Akses menuju areal lokasi penanaman jauh dan sulit. Saat musim b.

penghujan, lahan revegetasi kondisinya sangat basah/tergenang, alang-alang yang lebat dan tinggi sangat mendominasidan dijumpai banyak tumbuhan yang berduri seperti belidang. Kondisi inilah yang menyebabkan penggunaan tenaga manusia tidak efektif dalam pengangkutan bibit.

Keberadaan sumberdaya tenaga gajah terlatih di dekat lokasi c.

proyek revegetasi yaitu berasal dari Pusat Pelatihan Gajah (PLG). Lokasi kegiatan penanaman secara alami merupakan areal jelajah gajah sehingga merupakan wilayah yang mudah bagi gajah untuk menjelajahinya.

Gajah jantan dan gajah betina kedua-duanya dapat dimanfaatkan dengan baik karena keduanya memiliki kemampuan dan kekuatan yang besar untuk kegiatan mengangkut bibit. Sejauh ini belum ditemukan kendala yang signifikan dalam penggunaan tenaga gajah akibat perbedaan jenis kelamin. Dengan kata lain kedua jenis kelamin tersebut dapat membantu kegiatan pengangkutan bibit dengan efektif dan efisien.

Gajah yang digunakan (Gambar 10.1) untuk mengangkut bibit di areal konservasi yang direvegetasi adalah gajah yang sudah terlatih. Areal konservasi yang di revegetasi merupakan habitat gajah sehingga tidak membutuhkan adaptasi terhadap areal lokasi penanaman.

Gajah yang digunakan untuk mengangkut bibit Gambar 10.1

Keuntungan lain dari pemanfaatan gajah tersebut adalah kemudahan dalam mendapatkan sumber pakan. Karena di lokasi kegiatan revegetasi tersedia dengan melimpah jenis-jenis rumput yang merupakan pakan alami bagi gajah tersebut. Sehingga sembari bekerja mengangkut bibit, gajah-gajah tersebut tetap dapat makan sepanjang jalan yang dilaluinya di alam.

Pengangkutan bibit dengan gajah terlatih ternyata juga memberikan keuntungan dari sisi rendahnya tingkat kerusakan bibit selama proses pengangkutan sampai ke lokasi penanaman. Tidak ditemukan atau minim terjadi cabang yang patah, daun yang rontok maupun polybag yang rusak seperti yang terlihat pada Gambar 10.2a dan 10.2b berikut.

Gambar 10.2a Gajah sedang

mengangkut bibit Gambar 10.2b Bibit hasil pengangkutan gajah Ini menunjukkan bahwa gajah mempunyai potensi yang besar untuk membantu meringankan pekerjaan manusia dalam mengangkut bibit, terutama pada areal yang sulit dijangkau.

Pemanfaatan gajah sebagai pengangkut bibit sejauh ini baru terbatas di areal konservasi yang direvegetasi. Pemanfaatan gajah sebagai alat angkut di luar areal konservasi dinilai berpotensi untuk dilakukan namun memerlukan prosedur dan syarat administratif yang lebih sulit. Selain itu, dalam pemanfaatan gajah tentunya harus diperhatikan tingkat kemampuan gajah itu sendiri dengan tidak melampaui beban yang mampu dibawa gajah. Durasi waktu pengangkutan sebaiknya tidak terlalu lama, dan asupan gizi serta kesehatan gajah perlu mendapatkan perhatian.

Pemanfaatan gajah dalam pengangkutan bibit di SM Padang Sugihan juga didasarkan pada rasa hubungan yang baik dan saling menguntungkan antara manusia dengan gajah.

Simpulan

Gajah mempunyai potensi yang sangat besar untuk membantu kegiatan revegetasi di areal konservasi. Kegiatan yang dilakukan oleh gajah membantu meringankan kegiatan dengan mengangkut bibit ke areal konservasi yang sulit diakses seperti lokasi areal revegetasi yang jauh karena adanya okupasi tumbuhan seperti jenis alang-alang dan belidang, atau jalan yang mengalami genangan.

Lokasi kegiatan revegetasi adalah tempat alami gajah mencari pakan sehari-hari. Gajah dengan tenaganya yang kuat mampu menembus lokasi tersebut dengan baik. Di lokasi tersebut ditemukan sedikit sekali kerusakan seperti

polybag rusak, cabang tanaman yang patah maupun daun yang rontok.

Daftar Pustaka

Hadiyan, Y., & Pambudi, H. (2017). Memahami dan membangun pendekatan penyelesaian deforestasi dan degradasi hutan di Region Sumatera dan Kalimantan. Proceeding Biology Education Conference, 14, 166–169. Irwanda, H., Astiani, D., & Ekyastuti, W. (2018). Pengaruh degradasi hutan

pada populasi anggrek epifit dan karakteristik tempat tumbuh anggrek di kawasan Gunung Ambawang Kabupaten Kubu Raya. Jurnal Hutan

Lestari, 6(1).

Kunarso, A., Syabana, T.A.A., Mareti, S., Azwar, F., Kharis, T., & Nuralamin, N. (2019). Analisis spasial tingkat kerusakan kawasan Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Hutan

Dan Konservasi Alam, 16(2), 191–207. https://doi.org/10.20886/

jphka.2019.16.2.191-206.

Saputra, H. (2017). Program Forclime (Forest And Climate Change) dalam Penanggulangan Masalah Kerusakan Hutan dan Emisi Karbon di Wilayah Kalimantan 2010-2014. JOM FISIP, 4(1), 1–8.

Soegiharto, S., Zuhud, E. A. M., Setiadi, Y., Masyud, B., Penelitian, B. B., & Dipterokarpa, E. (2017). Indikator Kunci Pemulihan Fungsi Habitat Burung di Lahan Reklamasi dan Revegetasi Pasca Tambang Batubara (Key Indicator for Recovery of Bird Habitat Function in The Land of Reclamation and Revegetation of farmer Coal Mine). In Jurnal Biologi

Indonesia (Vol. 13, Issue 2). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

https://doi.org/10.14203/JBI.V13I2.3404.

Wiranda, J., Wibowo, H., & Yulianto, E. (2019). Kajian revegetasi lahan basah konservasi (Studi kasus Sungai Kelik 2.600 ha) | Wiranda | JeLAST : Jurnal Elektronik Laut, Sipil, Tambang. Jurnal Elektronik Laut, Sipil,

Tambang, 6(3), 1–7. https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JMHMS/

Asmaliyah

11

Pendahuluan

Meskipun saat ini obat tradisional sudah cukup banyak digunakan oleh masyarakat dalam usaha pengobatan, namun profesi kesehatan atau dokter masih enggan untuk menggunakan atau meresepkan obat tradisional. Alasan utama keengganan profesi keesehatan menggunakan atau meresepkan obat tradisional karena bukti secara ilmiah mengenai khasiat dan keamanan dari obat tradisional masih kurang, sehingga masih enggan menggunakannya dalam pelayanan kesehatan. Oleh karena itu agar obat tradisional dapat dipercaya dipelayanan kesehatan formal, maka bukti empiris harus didukung dengan bukti secara ilmiah adanya khasiat dan keamanan penggunaan terhadap manusia. Bukti ini hanya dapat diperoleh dari penelitian secara sistemik agar nantinya dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan dalam pelayanan kesehatan formal oleh para dokter dan tenaga kesehatan lainnya baik secara tunggal atau secara integratif dengan obat modern. Kondisi ini sangat berbeda dengan yang terjadi di China, Korea dan India yang telah memadukan cara dan pengobatan tradisonal dalam sistem pelayanan kesehatan formal (Sudirman, Djuria, & Pratiwi, 2019)

Salah satu jenis tanaman yang belum banyak dibahas khasiatnya sebagai obat adalah pohon pelawan (Tristaniopsis spp.). Hasil penelusuran literatur menunjukkan masih sangat sedikit kajian secara ilmiah untuk mengkonfirmasi atau membuktikan potensi tumbuhan pelawan sebagai obat dan studi yang sudah dilakukan pun masih dalam tahap awal. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan dalam rangka mengidentifikasi potensi pelawan sebagai tumbuhan obat adalah analisis fitokimia daun pelawan yang telah dilakukan

11 Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang, asmaliyah_bp2ht@yahoo. com

oleh Enggiwanto, Istiqomah, Daniati, Roanisca, & Mahardika (2018b) yang menunjukkan bahwa di dalam daun pelawan yang berasal dari Kepulauan Bangka Belitung terkandung senyawa aktif dari golongan flavonoid, saponin, tanin, alkaloid. Selanjutnya hasil penelitian (Mahardika & Roanisca, 2019; Mahardika, Roanisca, & Puspita, 2020), juga menunjukkan adanya kandungan senyawa aktif flavonoid, alkaloid dan tanin dalam ekstrak daun pelawan. Hasil penelitian (Asmaliyah et al., 2015), juga menunjukan adanya kandungan senyawa aktif golongan flavonoid, saponin, tanin, steroid, dan alkaloid di dalam daun pelawan

Hasil penelitian secara invitro menunjukkan bahwa ekstrak air daun pelawan ini bisa menjadi sumber antioksidan alami karena kemampuannya yang baik dalam menangkap sel radikal bebas (Asmaliyah et al., 2017; Enggiwanto et al., 2018; Al Kadri, Sunarni, Pamudji, & Zamzani, 2019) dan juga berpotensi sebagai antikolesterol (Asmaliyah et al., 2017) serta antidiabetes karena dapat menghambat aktvitas σ-glukosidase (Asmaliyah et

al., 2017; Mahardika, Roanisca, & Sari, 2020). Hasil penelitian (Ramadani,

2017), menunjukkan adanya aktivitas antibakteri dari ekstrak kulit batang pelawan T. merquensis secara invitro karena dapat menghambat perkembangan bakteri Bacillus subtilis ATCC 6633. Lebih lanjut hasil penelitian (Handayani, Achmadi, & Agusta, 2014; Safitri, Samsiar, Astuti, & Roanisca, 2019), juga mengungkapkan adanya potensi antibakteri dari ekstrak kloroform dan ekstrak etanol daun pelawan karena dapat menghambat perkembangan bakteri Escherichia coli, Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus.

Dari kondisi ini menunjukkan bahwa masih banyak celah kosong yang bisa dilakukan untuk temuan ini sampai pada pengembangan pelawan menjadi fitofarmaka. Penelitian yang dilakukan mulai dari penapisan farmakologi secara invitro dan invivo, proses ekstraksi dan isolasi, uji toksisitas, standarisasi simplisia/ekstrak/formulasi sampai uji klinik serta upaya budidayanya. Sampai saat ini masih sangat sedikit sekali kegiatan penelitian budidaya untuk menghasilkan tumbuhan obat bermutu tinggi dengan kandungan farmakologi yang kuat, produktivitas tinggi dan kandungan abu yang rendah. Penelitian ini diawali dengan kegiatan studi etnomedisin yang bertujuan untuk menganalisis pemanfaatan tanaman pelawan sebagai obat secara tradisional.

Realitas dan Harapan

Studi etnomedisin ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian utama yaitu “Pengembangan dan Budidaya Tumbuhan Berkhasiat Obat Penyakit Degeneratif Di Sumatera Bagian Selatan”. Pohon pelawan (Tristaniopsis spp.) merupakan salah satu anggota dari famili Myrtaceae yang termasuk jenis cepat tumbuh (fast growing). Tumbuhan pelawan ini merupakan jenis yang mendominasi hutan sekunder dan banyak tersebar di hutan-hutan Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Jawa Barat dan Kalimantan. Pohon pelawan ini banyak ditemukan di Indonesia pada dataran rendah, rawa, lahan gambut, disepanjang aliran sungai, daerah berbatu dan tanah kritis bekas tambang. Pelawan ini tahan terhadap salinitas tinggi sehingga dapat tumbuh dan berkembang ditanah pantai dan tepi pantai. Salah satu jenis pelawan yang paling dominan dan mempunyai sebaran luas serta paling banyak dimanfaatkan oleh masyakarat adalah pelawan merah (Tristaniopsis

merquensis Griff.) atau pelawan padang (Hartanto, Sulistyaningsih, & Walujo.

2018), yang sebelumnya bernama Tristania merquensis (Yarli, 2011).

Pelawan merah (T. merquensis Griff.) merupakan pohon endemik dari Kepulauan Bangka Belitung yang termasuk anggota dari famili Myrtaceae. Pelawan merah ini mempunyai ciri batang berwarna merah dengan bagian kulit luar yang mengelupas. Daunnya berbentuk bulat telur sampai jorong. Ujung daun tumpul sampai membulat, pangkal daun meruncing kearah tangkai daun, duduk daun berseling, tangkai daun bersayap. Panjang daun berkisar antara 10–15 cm dan lebar 3–5 cm. Permukaan daun kasar, tidak berambut. Bunga majemuk,padat dan putih. Buah kapsul dengan 3 lokus. Di hutan alam pelawan, pertumbuhan tinggi bisa mencapai 4–18 m dengan pola sebaran mengelompok untuk setiap fase pertumbuhannya. Pertumbuhan diameternya yang hidup dipinggir air biasanya kecil berkisar 8–10 cm dan membentuk koloni, sedangkan yang hidup di sekitar daratan yang berawa cenderung lebih besar sekitar 20–25 cm dan soliter (Lawing, 2014) (Gambar 11.1). Teknik budidayanya belum banyak tersedia. Selama ini masyarakat membudidayakan pohon pelawan dengan anakan dan biji (Gambar 11.1). Menurut pelestari pelawan dan penangkar bibit dan hasil temuan kami, perbanyakan menggunakan biji relatif lebih mudah dan persentase hidupnya

tinggi bisa mencapai 90%. Namun pertumbuhan sangat lambat, dibutuhkan waktu sekitar 9–12 bulan mulai dari perkecambahan sampai bibit siap tanam.

Selama ini pohon pelawan lebih dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kayu bakar, karena menghasilkan api yang bagus, panasnya lama dan abunya sedikit (Yarli, 2011; Akbarini D, 2016. Di Sumatera Selatan kayu pelawan ini sering digunakan untuk memasak nasi minyak yang merupakan makanan khas sumatera selatan berupa olahan nasi yang dimasak dengan minyak samin dan rempah-rempah khas nusantara dan Timur Tengah. Selain itu kayu pelawan juga digunakan untuk bahan konstruksi, bagan rakit dan bagan apung karena kayunya yang sangat kuat (Hartanto et al., 2018). Bagan adalah rumah tradisonal yang dibangun seperti rumah panggung di atas laut atau sungai yang digunakan sebagai tempat berlindung atau tempat istirahat nelayan ketika pergi kelaut untuk menangkap ikan (Aliyubi, F, Boesono, & Setiyanto, 2015). Pemanfaatan lain dari pohon pelawan ini adalah sebagai inang jamur pelawan dan produksi madu pelawan yang lebih dikenal dan sering dimanfaatkan sebagai bahan obat. Jamur pelawan merupakan bahan pangan yang bergizi dan sumber antioksidan alami karena kemampuannya dalam menangkap radikal bebas (Akbarini, Iskiandar, & Partasasmita, 2017).

Sampai saat ini jamur pelawan belum dikuasai budidayanya. Namun menurut kepercayaan masyarakat munculnya jamur pelawan terjadi setelah musim kemarau, adanya hujan petir dimusim hujan. Beberapa hari setelah hujan petir, jamur akan tumbuh dan bertahan selama tiga hari, setelah itu itu jamur akan membusuk (Henri, Hakim, & Batoro, 2018). Madu pelawan dihasilkan oleh lebah madu liar raksasa (Apis dorsata) yang menghisap nektar dari bunga pelawan. Madu pelawan memilki rasa agak pahit dan mempunyai banyak manfaat untuk kesehatan, antara lain untuk obat batuk, diabetes, tumor dan kanker (Henri et al., 2018). Jamur pelawan dan madu pelawan ini bernilai ekonomis yang tinggi dengan harga 2 juta per kg jamur pelawan kering (Henri et al., 2018) dan 200 ribu rupiah per 300 ml madu pelawan (Akbarini, 2016).

Namun potensi pohon pelawan sebagai tumbuhan obat belum banyak dibahas. Hasil studi etnomedisin, ternyata pohon pelawan ini mempunyai potensi sebagai tumbuhan obat dan telah banyak dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional oleh etnis di Sumatera dan Kalimantan untuk terapi berbagai penyakit, mulai dari penyakit ringan sampai penyakit berat, antara lain adalah penyakit darah tinggi, demam, batuk, diabetes, stroke, mag kronis/ gastritis dan lain-lain (Gambar 11.2). Cara pengolahan atau pemanfaatannya beragam, bisa memakan langsung pucuk/daun muda segar atau rebusan dalam bentuk segar dan kering atau menyeduh serbuk daun pelawan kering dan daun kering seperti teh celup dan teh tubruk (Gambar 11.3).

a

c d

b

e f

Pohon pelawan (a. pohon pelawan, b. koloni pohon pelawan, Gambar 11.1

c. pohon pelawan yang soliter, d. daun dan bunga pelawan) dan e. biji pelawan dan f. anakan pelawan

Cara pengobatan tradisonal Gambar 11.2

Cara konsumsi daun pelawan untuk kesehatan Gambar 11.3

Studi etnomedisin adalah studi yang mempelajari sistem medis etnis tradisonal (Silalahi, 2016). Lebih lanjut Walujo (2009) dalam Silalahi (2016) menyatakan bahwa dalam studi etnomedisin dilakukan untuk memahami budaya kesehatan dari sudut pandang masyarakat (emic), kemudian dibuktikan secara ilmiah (etic). Studi etnomedisin merupakan salah satu cara (1) untuk mendokumentasikan pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan obat oleh berbagai etnis dan (2) untuk menemukan bahan-bahan kimia baru yang berguna dalam pembuatan obat-obatan modern penyakit. Silalahi (2016) mengemukakan bahwa ada beberapa obat yang berasal dari pengetahuan lokal, di antaranya (1) kuinin yang diadaptasi dari pengetahuan suku asli Incas yang telah lama menggunakan Chinchona sebagai obat malaria, dan (2) reserpin yang berasal dari Rauwolfia serpentina telah lama digunakan penduduk India sebagai obat untuk menurunkan tekanan darah.

Dari hasil penggalian kami lebih dalam, cara penggunaan atau pengolahan tanaman pelawan untuk terapi kesehatan berbagai penyakit oleh masyarakat lokal adalah beragam, yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Pelawan untuk terapi kesehatan dan cara penggunaannya oleh etnis Tabel 1.

di Sumatera dan Kalimantan

No. Kegunaan

Bagian tanaman yang digunakan

Etnis Cara Penggunaan

1. Darah tinggi Daun pucuk/

Daunmuda Suku Jering, Jeruk dan Sikak, di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Memakan langsung daun pucuk/ daun muda pelawan sebanyak segenggem ditambah sedikit garam

2. Demam Daun Idem a. Daun pelawan

diremas-remas sampai keluar airnya, kemudian airnya diminum, sedangkan ampas daunnya diusapkan keseluruh tubuh b. Daun pelawan sebanyak

7–12 daun secara tunggal atau dicampur dengan daun kelingkahan (Callicarpa

longifolia) direbus dalam

1–1,5 liter air sampai mendidih, lalu diminum (tidak boleh dari 600 ml perhari), kemudian sisa air rebusan yang masih hangat digunakan untuk mandi

3. Batuk Akar Idem Akar pelawan disadap yang pada

malam hari kemudian diambil pada pagi hari, lalu diminum

4. Diabetes Daun Bangka Tengah,