Pendidikan Dari Sudut Pandang Islam
1.9 Batas Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pendidikan Anak
Sebenarnya kalau kita berbicara tentang pendidikan atau tentang pencarian ilmu pengetahuan, maka ianya tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Dalam hadis Rasulullah SAW dijelaskan bahwa ;”Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahad.”. Ini sebuah pertanda bahwa menuntut ilmu itu sebuah kewajiban dan tidak mengenal batas umur, tempat dan waktu. Dalam sistim pendidikan dunia juga dikenal dengan “Longlife Eduactaion”. artinya pendidikan
39 Fatimah Saleh, Khadijah Zon, dan Zurida Ismail, “Kurikulum Pendidikan Awal; Ke Arah Pendekatan Holistik”, Jurnal Pendidik dan Pendidikan, Universiti Sains Malaysia, Pulo Pinang, Jilid 12 1992/93, Hal. 36
40 Darmiyati Zuchdi. (2008). Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan
seumur hidup. Tidak ada hari tanpa menuntut ilmu walau satu kalimat. Jika kita tidak tau tentang suatu perkara, maka kita akan bertanya kepada orang yang mengetahuinya. Dalam bahasa Allah dalam al-Qur’an artinya: “Bertanyalah kepada para ahlinya jika kamu tidak mengetahui.” Bertanya inilah namanya pendidikan dan jawabannya adalah pengajaran. Maka tidak habis-habis prose pendidikan berlangsung saban hari selagi kita masih hidup di atas dunia ini.
Tugas orang tua atau ibu bapak dalam mendidik anaknya adalah sehingga seorang anak sudah mengenal halal dan haram, mengenal baik dan buruk, atau sudah mandiri dari segi pemikiran dan matang dalam membuat kebijakan dan mengambil kesimpulan. Dalam pendidikan Islam memang inilah yang dijadikan batas tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anaknya. Jadi kalau anak sudah terpetunjuk ke arah yang baik, positif dan bermanfaat baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk orang lain, maka orang tua sudah bisa melepaskan tanggung jawabnya dalam mendidik anak.
Namun demikian, disamping adanya tugas khusus orang tua dalam mendidik anak, negara dan seluruh lembaga pendidikannya juga bertanggung jawab untuk mendidik generasi muda/ anak bangsa ini. Setiap lembaga pendidikan dan orang-orang yang bertugas di dalamnya mempunyai tanggung jwab untuk melahirkan individu-individu yang cerdas dan berakhlak mulia. Jika kedua kriteria ini (individu yang cerdas dan berakhlak mulia) terbentuk, maka akan terwujudnya kehidupan social yang ideal, yang diwarnai semangat mengembangkan potensi diri dan memanfaatkannya agar mencapai kebahagiaan lahir dan batin dunia dan akhirat.41
Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Masing-masing kamu adalah pemimpin. Masing-masing akan diminta pertanggungjawaban terhadap kepemimpinannya. Kepala negara adalah pemimpin yang akan 41 Darmiyati Zuchdi. (2008). Humanisasi Pendidikan …, hal. 141
dimintai pertanggungjawaban terhadap kepemimpinannya, seorang lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjwaban terhadap kepemimpinannya, begitu juga pelayan adalah pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Masing-masing kalian adalah pemimpin dan masing-masing akan dimintai pertanggungjawaban terhadap kepemimpinannya. “ (Mutafaqqun ‘alaih).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah anak yang dilahirkan itu melainkan lahir dengan membawa fithrah. Maka orang tuanya-lah yang akan me-Yahudikannya, yang me-Nasranikannya, atau yang Memajusikannya. Sebagaimana seekor binatang ternak yang melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna (tanpa cacat), apakah lantas kamu lihat terdapat cacat pada telinganya?”
Firman Allah SWT”
“(Demikian itu adalah) fithrah Allah, manusia diciptakan menurutnya. Tiada perubahan dalam ciptaan (fithrah) Allah. Itulah agama yang lurus. (Rum: 30)
Tanggung jawab orang tua terhadap anak telah Allah sebutkan dalam al-Qur’an, misalnya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (yang) bahan bakarnya adalah manusia dan batu; dijaga oleh malaikat yang keras dan kasar, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan.” At-Tahrim: 6
Ali karramallahu wajha menafsirkan ayat di atas yaitu “Jagalah dirimu dan keluargammu dari api neraka”, adalah kita harus mengajarkan kebaikan kepada diri kita sendiri dan kepada keluarga kita. Kemudian Imam Fakhrul Razi dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” adalah memerintahkan kepada diri pribadi kita dan keluarga kita agar meninggalkan semua larangan
Allah. Selanjutnya Muqatil, mengatakan bahwa “Seorang muslim hendaklah mendidik diri sendiri dan keluarganya, serta memerintah mereka agar melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan.42
Rasulullah SAW sangat memuji wanita-wanita Quraisy karena mereka memiliki sifat penyayang terhadap anak-anak mereka dan juga memberi perhatian yang lebih terhadap suami-suami mereka. Sehingga Rasulullah Saw bersabda yang artinya: “Sebaik-baik wanita penunggang unta adalah wanita shalihah dari kaum Quraisy. Mereka sangat sayang kepada anak-anak dan suami mereka.” H.R. Bukhari, dari Abu Hurairah).
Pada suatu hari Asma’ binti Yazid menghadap Rasulullah SAW mewakili kaum wanita untuk mengungkapkan perasaan mereka. Asma, berkata: “Wahai Rasulullah,” Sesungguhnya Allah telah mengutus engkau untuk kaum lelaki dan perempuan. Kami-pun beriman kepada engkau dan mengikuti seluruh perintahmu. Sedangkan kami, khususnya orang perempuan, memiliki banyak kekurangan. Hanya menjadi penunggu di rumah. Manakala kaum lelaki diberi kelebihan dengan shalat berjama’ah, menghadiri kematian dan berjihad. Jika mereka keluar berjihad, dan kami tetap berada di rumah menjaga harta dan mendidik anak-anak, apakah kami mendapat pahala yang sama seperti mereka?”
Rasulullah langsung menghadapi para sahabat yang hadir pada waktu itu dan kemudian bertanya, “Apakah kalian pernah mendengar pertanyaan seorang wanita tentang agamanya lebih baik dari hal ini?”
“Belum pernah”, wahai Rasulullah SAW!” jawab mereka. “Wahai Asma’, kata Nabi SAW “Pulanglah kamu dan katakan kepada para wanita di belakangmu, sesungguhnya pelayanan seorang isteri yang baik kepada suaminya, berusaha menyenangkan suaminya dan mengikuti apa yang diperintahkannya, mengikuti
42 Lihat Ir. Muhammad Ibnu Abdul Hafidh Suwaid. (2004). Cara Nabi SAW
Mendi-dik Anak. Penterjemah Hamim Thahari, Thalhah Nuhin dan Said Mubarak, Jakarta:
keinginannya, maka pahalanya berbanding dengan semua apa yang dilakukan oleh kaum lelaki (suami mereka) yaitu seperti pahala shalat berjama’ah dan berjihad di jalan Allah. (H.R. Muslim).