• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Pendidik Islam

Dalam dokumen Pendidikan Karakter Bangsa (Halaman 158-164)

Pendidikan Moral

D. Peran Pendidik Islam

Imam al-Ghazali, Ibn Jama’ah dan Imam Zarnuji sepakat mengatakan bahwa untuk mencapai kesuksesan dalam melahirkan murid-murid yang bertauhid dan berakhlak mulia, maka seorang guru haruslah mempersiapkan dirinya dengan berbagai modal utama , yaitu: a) Seorang guru harus benar-benar takut kepada Allah swt. Semua aktivitasnya harus benar-benar menunjukkan bahwa dia benar tunduk dan patuh kepada Allah; b). Guru harus bermartabat dan sikapnya harus sungguh-sungguh/khidmat.

Imam Syafi’i mengatakan bahwa jika mendapatkan sedikit informasi dengan secara tergesa-gesa bukanlah ilmu namanya, akan tetapi yang dikatakan ilmu adalah perlu kesungguhan, harga diri, kerendahan hati, ketundukan dan keta’atan kepada Allah. Imam Malik pada suatu saat menasehatkan Khalifah Harun al-Rasyid, jika anda mencari ilmu maka anda harus mempunyai karakter ilmu itu sendiri, yaitu ilmu itu bermartabat sifatnya, ilmu itu serius (sungguh-sungguh) dalam mencarinya, dan toleran sifatnya.

Imam Malik mendasarkan pendapatnya pada hadis Nabi

137 Lihat Dr. Ismail Ali dalam Hasan Langgulung (1981). Beberapa Tinjauan Dalam

saw yang artinya :” orang-orang yang berilmu adalah pewaris Nabi saw.” Khalifah Umar juga menganjurkan umat Islam untuk mencari ilmu dan mempunyai martabat dan serius dengan ilmu yang telah dimilikinya. c). Setiap tindakan guru harus sesuai dengan Syari;at; d). Guru tidak boleh berhenti belajar; e). Guru tidak perlu malu dan segan belajar walaupun pada orang yang lebih muda atau kepada muridnya sekalipun; f). Guru harus berpikiran terbuka. 138

Namun kebanyakan guru dalam tradisi pendidikan Islam dewasa ini sangat mengharapkan agar dimuliakan oleh muridnya, didengar pendapatnya, dan tidak suka jika muridnya membantah pendapatnya apalagi berbeda pendapat dengan mereka. Misalnya kalau seorang murid berjumpa dengan gurunya harus mencium tangannya, kalau tidak dilakukan maka dia dianggap tidak menghormati gurunya. Padahal budaya cium tangan sangat erat kaitannya dengan ajaran Budha. Budha dan Balkh adalah dua hal yang identik di masa lalu.

Buddhisme dibawa ke Balkh oleh seorang biksu yang bernama Ballika, murid Sidharta Gautama. Ballika mendirikan sebuah Wihara di kota tempat tinggalnya Balkh. Kelak sejarah ini terus berkembang hingga sekarang terkenal dengan Wihara Nawbahar. Ini semua dilakukan oleh sebuah keluarga terhormat Barmakid. Menurut riwayat Barmakid ini sesuai dengan Budha. Sehingga terkenallah negeri Balk ini dengan negeri Budha. Karena Barmakid tidak bisa memisahkan dirinya dengan Budha. Mereka sangat dihormati. Sehingga setiap raja di wilayah Budha yang datang ke sana harus mencium tangan keluarga Barmakid sebelum masuk ke Wihara. Begitu terhormat keluarga Barmakid dalam agama Buddha. Namun ketika ekspansi Islam di bawah Khalifah Umar bin Khattab negeri Balkh ini di Asia Tengah dan juga Afrika Utara semua diislamkan dan dihapuskan budaya-budaya yang menindas

138 Lihat Mansoor A. Quraish (1983). Some Aspects of Muslim Education. Lahore: Universal Books, hal.61-67

manusia.139

Disamping pendidik, institusi, dan metode mengajar, persoalan kurikulum pendidikan Islam juga tidak kalah pentingnya dalam rangka pembinaan generasi muda sebagai penerus cita-cita bangsa di masa depan. Dalam penyusunan kurikulum al-Ghazali sangat mendahulukan ilmu-ilmu agama untuk menentukan arah kehidupan masyarakat.

Beliau menginginkan agar umat Islam memiliki gambaran yang makro, dan utuh tentang agama, sehingga mereka terbekali dalam dirinya sebuah pola keilmuan agar dapat dijadikan landasan dalam hidupnya. Selain dari itu al-Ghazali menambahkan bahwa guru yang cerdas, sempurna akalnya, baik akhlaknya, kuat fisiknya merupakan kriteria yang perlu diperhatikan dalam rekrutmen guru. Ini merupakan bahagian dari kurikulum pendidikan Islam.

Peran rumah tangga muslim, masayarakat muslim, dan pemerintahan muslim dan institusi-institusi pendidikan Islam sangat dinanti-nantikan dalam rangka mendidik generasi muda untuk menjadi manusia yang beriman, tawadhu, khusyu. toleran, dan berwawasan. Rumah tangga adalah universitas pertama dalam kehidupan anak dan mulai dari sinilah pendidikan mulai disemaikan. Jika rumah tangga gagal memberikan pendidikan awal bagi anak, maka pendidikan lanjutannya akan mengikuti jejak pendidikan awalnya di rumahtangga. Dengan demikian peran rumah tangga (ayah dan ibu ) sangat dominan dan menentukan untuk kesinambungan pendidikan anak.

139 Tofik Pram. (2015). Tujuh Mualaf Yang Mengharumkan Islam. Bandung: Noura Books: hal. 3-4

Referensi

Aba Firdaus al-Halwani. (2003).Membangun Akhlak Mulia dalam Bingkai al-Qur’an dan as-Sunnah, Yogyakarta: Al-Manar.

Abu Aqilah As-Sawiti. (2002). Pesona Akhlak Rasulullah saw : Buah Manis Memakmurkan Mesjid. Yogyakarta: UIII Press.

Abdul Rahman MD. Aroff dan Chang Lee Hoon. (1994). Pendidikan Moral, Selangor –Malaysia, Longman Malaysia Sdn. Bhd.

Abdullah Ishak. (1995). Pendidikan Islam dan Pengaruhnya di Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia.

Amru Khalid. (2005). Semulia Akhlak Nabi SAW, Solo: Aqwam. Ahmad Mohd Salleh. (2002). Pendidikan Islam Dinamika Guru. Shah

Alam , Selangor: Karisma Publications SDN. BHD.

Ahmad Qadiry al-Addal, Tanggung Jawab dalam Islam, Klang, Selangor, Klang Book Centre.

Ali Abdul Halim Mahmud. (2003). Tarbiyah Khukuqiyah, penerjemah Afifuddin Lc. Solo, Media Insani Press.

Al-Abrasyi dalam Abdullah Ishak. (1995). Pendidikan Islam dan Pengaruhnya di Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia.

Atan Long. (1982). Psikologi Pendidikan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Darmiyati Zuhdi. (2008).Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan Yang Manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara.

Fadhli Ilahi.(2006). Lemah Lembut dalam Dakwah, penerjemah Abu Muhammad Miftah, Yogyakarta..

http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/27, diakses tanggal 12 Maret 2012.

Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdispliner. Edisi Revisi, Jakarat: Bumi Aksara.

Ismail Ali dalam Hasan Langgulung (1981). Beberapa Tinjauan Dalam Pendidikan Islam. Kuala Lumpur: Pustaka Antara.

Lihat Mansoor A. Quraish 1983). Some Aspects of Muslim Education. Lahore: Universal Books.

Lihat Zawawi Haji Ahmad. (1984). Pendidikan Islam: Kaedah dan Teknik Pengajaran. Kuala Lumpur. International Book Service. Maktabah al-Khanji.

Lihat Muhammad AR. (2003). Pendidikan Di Alaf Baru: Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan. Yogyakarta: Prismasophie.

Lihat Muhammad AR. (2010). Akulturasi Nilai-Nilai Persaudaraan Islam Model Dayah Aceh, Kementerian Agama Republik Indonesia. Lihat Abdul Rahman Md. Aroff. (1999). Pendidikan Moral: Teori Etika

dan Amalan Moral, Serdang: Universiti Putra Malaysia.

Mahdy Saeed Reziq Krezem. (2002). Studi Islam Praktis, Jakarta. Dewan Dakwah.

Marwan Ibrahim al-Kaysi. (1994). Petunjuk Praktis Akhlak Islam, Jakarta: Lentera.

Miqdad Yaljin. (1977). Al-Tarbiyah al-akhlaq al-Islamiyyah. Kahirah. Mohd Fadhil. (1967). Al-Jamalie Tarbiyat al-Insan al-Jadid. Tunisia.

Syarikah Tunisiyyah Li al-Tauzi’.

Matthew McKay and Patrick Fanning. (1987). Self-Esteem : The Ultimate Program for Sel-Help, New York: MJF Books.

Muhammad Ali Al-Hasyimi dalam Muhammad AR. (2010). Bunga Rampai Budaya, Sosial, dan Keislaman, Yogyakarta: Arruz Media. Sayyid Qutb in Dinesh D’Souza. (2002). What’s So Great About America.

New York: Penguin Books.

Nabi, penerjemah MuhammadAbdul Abbas dan Saifuddin Zuhri Qudsy, Yogyakarta: Mitrapustaka.

Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfury. (2006). Sirah Nabawiyah, penerjemah Kathur Suhardi, cetakan kedua, Jakarta: Al-Kautrsar.

Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas. (1990). Konsep Pendidikan Dalam Islam. Bandung: Mizan, cetakan III.

Tofik Pram. (2015). Tujuh Mualaf Yang Mengharumkan Islam. Bandung: Noura Books

William K. Kilpatrick. (1992). Why Johnny Can’t Tell Right From Wrong, New York: Simon & Schuster.

BAB III

Ilmu, Manfaat, Bencana

Dalam dokumen Pendidikan Karakter Bangsa (Halaman 158-164)