• Tidak ada hasil yang ditemukan

BEKERJA DI BALIK LAYAR UNTUK MEMPERSENJATAI MAHASISWA HINGGA MENYINGKIRKAN PENDUKUNG SUKARNO DI PARLEMEN.

Dalam dokumen POLITIK BISNIS RATU ATUT H A L A M A N 116 (Halaman 42-45)

Partai Komunis Indonesia sebagai pelaku pembunuhan.

Perbincangan di halaman mar- kas Kostrad, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, menggambarkan suasana sehari setelah pembu- nuhan. Ali Moertopo, Asisten Inte- lijen Komando Tempur II Kostrad, berbicara dengan Kepala Intelijen Kostrad Kolonel Yoga Soegomo.

”Pak Yoga jangan tergesa-gesa. Nanti bisa keliru,” kata Ali Moer- topo.

”Tidak. Ini mesti perbuatan PKI. Kita tinggal mencari bukti-bukti- nya,” Yoga menjawab tegas.

”Waduh, kok PKI. Kalau salah, bagaimana?”

”Sudahlah. Siapkan semua pen- jagaan, senjata, bongkar gudang. PKI memberontak.”

Pagi itu, Yoga datang paling awal ke markas Kostrad. Ali Moer- topo dan Kapten Aloysius Sugiyan- to, orang kepercayaannya, datang menyusul. Sekitar pukul 07.20,

demikian tercatat dalam buku Me-

mori Jenderal Yoga, mereka men-

dengarkan siaran Radio Republik

Indonesia.

Siaran itu mengumumkan ter- jadinya ”Gerakan 30 September” yang dipimpin Letnan Kolonel Un- tung, Komandan Batalion I Resi- men Tjakrabirawa, pasukan peng- awal Presiden Sukarno. Gerakan itu pun mengumumkan pemben- tukan Dewan Revolusi untuk men- jalankan pemerintahan.

Nama Untung meyakinkan Yoga bahwa PKI berada di balik Gerak- an 30 September. Yoga menyata- kan sudah lama mencurigai Un- tung, yang pernah menjadi bawah-

annya, sebagai perwira berhaluan kiri. Dalam rapat singkat hari itu, Yoga pun meyakinkan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto bahwa penculikan para jenderal didalangi PKI.

Dewan Revolusi yang diumum- kan Untung hanya bertahan dalam hitungan jam. Soeharto mengge- rakkan TNI Angkatan Darat dan se- gera menguasai kembali Ibu Kota, termasuk mengusir pasukan Un-

tung dari Radio Republik Indonesia.

Beberapa hari berselang, meski dalang kerusuhan belum jelas, ge- rakan pengganyangan PKI segera merebak. Tuntutan agar PKI dibu-

Soeharto

(berkacamata) pada pemakaman jenazah perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang gugur dalam peristiwa September 1965, di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. ARSIP NASIONAL

20 OKTOBER 2013 | | 43

A l i M o e r t o p o

barkan kian nyaring. Presiden Su- karno bergeming. Sebaliknya, ge- rakan mendukung Soeharto agar mengambil alih kekuasaan mun- cul. Soeharto mengambil sikap berhati-hati.

Ali Moertopo segera menyo- kong dan melindungi gerakan ma- hasiswa serta kelompok lain yang menginginkan kejatuhan Sukarno. Misalnya, ketika intel Tjakrabira- wa memburu para aktivis, Ali me- nyembunyikan mereka di kantor- nya, markas Komando Tempur II Kostrad, Jalan Kebon Sirih, Jakarta.

Ketika sekretariat Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia di kam-

pus Universitas Indonesia menja- di sasaran barisan pendukung Su- karno, Ali memberi tempat kepa- da kelompok itu untuk bermar- kas di Komando Tempur. Sofj an Wanandi dan sejumlah pentolan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indo- nesia sering menginap di ”rumah aman” Ali. Di kantor Ali Moertopo pula mereka untuk pertama kali- nya mendengar kabar bahwa Pre- siden Sukarno mengeluarkan Su- rat Perintah Sebelas Maret atawa Supersemar.

Ali Moertopo tak hanya menye- diakan tempat bersembunyi. Agar para aktivis merasa lebih aman, Ali

membantu mereka memperoleh senjata api. Belakangan, para akti- vis tahu bahwa senjata itu tak ber- fungsi. ”Waktu dicoba, pelurunya hanya terlontar beberapa meter,” ujar Jusuf Wanandi, aktivis Angkat- an 1966, yang pernah dibekali pis- tol FN selama berbulan-bulan.

● ● ●

SETELAH menerima Superse- mar, Soeharto membubarkan PKI. Ia juga merombak kabinet. Mente- ri yang dianggap ”pro-komunis” di- singkirkan. Toh, pendukung Soe- harto tetap khawatir Sukarno men- cabut Supersemar sewaktu-waktu.

Karena itu, mereka mendesak Ma- jelis Permusyawaratan Rakyat Se- mentara (MPRS) mengukuhkan Su- persemar menjadi ketetapan.

Pada akhir Juni sampai awal Juli 1966, MPRS yang dipimpin Na- sution menggelar sidang. Perwa- kilan TNI Angkatan Laut, di ba- wah pimpinan Laksamana Mulya- di dan Jenderal Maritim Hartono, melawan setiap serangan kepada Sukarno. Tapi upaya mereka sia- sia. Pidato pertanggungjawaban Sukarno berjudul ”Nawaksara” di- tolak MPRS.

Setelah bersidang selama 14 hari, MPRS menghasilkan 24 ketetapan. Salah satunya Ketetapan Nomor IX Tahun 1966 tentang Kelanjutan dan Perluasan Penggunaan Superse- mar. Isinya mengulangi persis kata- kata dalam Supersemar, minus ke- wajiban melindungi Pemimpin Be- sar Revolusi.

Posisi Soeharto sebagai pene- rima Supersemar semakin kuat. Mandat untuk dia datang dari MPRS, bukan hanya dari Sukarno. Sebagai mandataris MPRS, Sukar- no tak bisa lagi menarik atau me- lakukan tindakan apa pun atas pe- megang Supersemar.

Pada Februari 1967, MPRS kem- bali menggelar sidang. Kali ini, Presiden Sukarno menyampaikan

pembelaan tambahan berjudul ”Pel. Nawaksara” (Pelengkap Na- waksara). Tapi penjelasan khusus tentang Gerakan 30 September itu pun ditolak.

Jalan bagi Soeharto makin la- pang saja, walau dia belum tegas menyatakan kesediaan. Difasilitasi Ali Moertopo, para aktivis Angkat- an 1966 menemui Soeharto di ru- mahnya, Jalan Agus Salim, Jakar- ta. Mereka meminta kesediaan Soe- harto menjadi presiden. Tapi Soe- harto mengaku tak bisa menggan- tikan Sukarno. Kalaupun diberi ke- percayaan, dia hanya mau menjadi ”pelaksana tugas kepresidenan”.

Dalam memoar politiknya,

Shades of Grey, Jusuf Wanandi me- nerangkan, sebenarnya hanya ter- jadi perbedaan interpretasi atas huruf-huruf. Ketika ditawari status ”Pd. Presiden”, Soeharto menyata- kan bersedia bila singkatan ”Pd” di- artikan sebagai ”Pemangku Djabat- an”, bukan ”Pedjabat” Presiden. Beberapa jam kemudian, Soehar- to pun diangkat sebagai ”Pd. Presi- den”. Adapun Sukarno tetap seba- gai presiden, tapi kekuasaan ekse- kutifnya dijalankan Soeharto.

Untuk mengurangi ganggu- an terhadap Pejabat Presiden, Ali Moertopo dan kelompoknya terus ”melapangkan” jalan di Senayan.

Mereka berusaha menyingkirkan sekitar 90 anggota parlemen pro- Sukarno. Ali meminta Jusuf Wa- nandi dan kawan-kawan mencari kelompok yang pro-kepemimpin- an baru. ”Itu pekerjaan pertama dari Pak Ali setelah PKI dibubar- kan,” kata Jusuf Wanandi.

Tak mudah mencari orang seba- nyak itu dalam waktu singkat. Ju- suf menyodorkan daftar yang ter- diri atas 90 nama. Soeharto mang- gut-manggut tanda setuju.

Lalu keluarlah Keputusan Pre- siden Nomor 7 Tahun 1967 yang mengatur penambahan anggota DPR-GR. Masuklah 45 orang dari kalangan partai dan 63 orang dari Golkar. ”Proses pengangkatan anggota baru DPR dengan keppres ditandatangani Jenderal Soehar- to…,” ujar Nasution dalam sebuah wawancara.

Dengan memasukkan orang baru, jaringan pendukung Soe- harto semestinya bisa menguasai penuh forum sidang MPRS. Tapi, menjelang sidang MPRS 1968, gan- jalan datang dari kubu Nasution. Pimpinan MPRS rupanya tak mau memberi cek kosong bagi Soehar- to. Mereka menginginkan MPRS efektif mengontrol kekuasaan Pejabat Presiden. Nasution pun ingin pimpinan dan Badan Pekerja MPRS aktif sepanjang periode, ter- masuk meminta laporan tahunan dari Pejabat Presiden.

Beberapa pekan sebelum si- dang, Badan Pekerja MPRS yang di- pimpin Nasution, bersama wakil- nya, Subchan Z.E., sudah menyi- apkan rancangan amendemen Un- dang-Undang Dasar 1945 dan Ga- ris-garis Besar Haluan Negara. Me- nurut kubu pendukung Soeharto, rancangan GBHN yang sangat rin- ci itu sulit dilaksanakan dalam wak- tu singkat oleh presiden mana pun. Misalnya soal anggaran pendidik- an sebesar 20 persen. ”Itu uangnya dari mana,” kata Harry Tjan Silala- hi, aktivis gerakan Front Pancasi- la dan pendiri Centre for Strategic and International Studies.

Malam hari sebelum sidang MPRS digelar, Ali Moertopo dan kelompoknya, antara lain Jusuf

Soeharto (kiri) bersalaman dengan A.H. Nasutionsetelah dilantik sebagai Penjabat Presiden RI, 12 Maret 1967. PERPUSTAKAAN NASIONAL

20 OKTOBER 2013 | | 45

A l i M o e r t o p o

TIGA LEMBAR

Dalam dokumen POLITIK BISNIS RATU ATUT H A L A M A N 116 (Halaman 42-45)

Garis besar

Dokumen terkait