• Tidak ada hasil yang ditemukan

ALI PECANDU ROKOK DAN KOPI IA JUGA PECANDU KERJA SAYANGNYA, SEMUA ITU TAK DIBARENGI DENGAN OLAHRAGA

Dalam dokumen POLITIK BISNIS RATU ATUT H A L A M A N 116 (Halaman 108-111)

TERATUR.

bat Wakil Ketua Dewan Pertim- bangan Agung (DPA), sebelumnya telah mendapatkan tiga serangan. Serangan pertama terjadi pada 1978 saat Ali sedang di Kuala Lum- pur, di masa pemilihan umum. Menurut Jusuf Wanandi dalam

buku Shades of Grey, A Political

Memoir of Modern Indonesia 1965-

1998, pagi itu Ali direncanakan

menemui para pendukung teman- nya, Menteri Dalam Negeri Malay- sia Ghazali Shafi e, di Pahang. Tapi, sekitar pukul empat pagi, ia terke- na serangan jantung.

Pada 1978 itu, Lucky masih du- duk di Sekolah Menengah Perta- ma 1, Cikini, Jakarta. Dia dijem- put dari sekolah ketika bapaknya terkena serangan jantung. Bersa- ma ibu dan kakaknya, Harris Ali Moerfi , Lucky terbang ke Kuala Lumpur dengan pesawat khusus. Anggota keluarga besar lainnya menyusul.

Selama sekitar enam pekan Ali dirawat di Kuala Lumpur, banyak orang dari Jakarta menengoknya. ”Ibu Tien (Siti Hartinah) datang, dikirim Pak Harto,” ucap Ali Moer- salam, adik Ali Moertopo yang menjadi anggota Dewan Perwakil- an Rakyat dari Fraksi ABRI selama lima periode.

Menurut Ali Moersalam, Siti Hartinah membawa surat dari suaminya yang dimasukkan ke amplop tanpa alamat. ”Saya ditun- juki surat itu,” katanya.

Ali Moersalam ingat ada sejum- lah poin isi surat yang mengguna- kan bahasa campuran Indonesia

dan Jawa. Tapi hanya beberapa yang ia ingat isinya, di antaranya mendoakan Ali segera sembuh se- hingga bisa segera pulang. Ali juga diberi tahu bahwa di Jakarta se-

dang terjadi gegeran, jenderal-jen-

deral sudah ikut-ikutan. Kalau ia tidak menengahi, bisa jadi mala- petaka.

Begitu sembuh, Ali Moertopo diingatkan dokter agar berhenti merokok. Ali memang dikenal se- bagai perokok berat, selain pemi- num kopi. Setiap hari, asbaknya yang sebesar piring selalu penuh puntung rokok. Di meja kerja dan meja tamu di rumahnya memang selalu tersedia kaleng rokok yang diberikan oleh orang secara rutin. ”Bapak merokok Gudang Garam,” ujar Lucky. Tapi, setelah menda- pat peringatan dokter, Ali berhen- ti merokok.

Menurut Joseph Halim, dok- ter dari Operasi Khusus yang ke- rap mengikuti Ali Moertopo bertu- gas ke luar negeri, kalau Ali sedang pergi, tasnya bukan penuh pakai-

A l i M o e r t o p o

an, melainkan rokok. Saat ber- tugas ke New York, ia memberi- kan tip rokok kepada pegawai ho- tel. Ali memang tak pernah mem- bawa uang. Halimlah yang sela- lu menyiapkannya. Mereka per- nah janjian sarapan bersama. ”Si- alnya ada perubahan jam,” kata Halim. Ia pun datang terlambat dan Ali sudah makan. Saat meme- san makanan, Halim baru sadar tak membawa uang. Gudang Ga- ram-lah penggantinya, tapi dito- lak oleh pegawai hotel.

Yang membuat kondisi Ali se- makin buruk, selain kecanduan rokok dan kopi, ia tak lagi berolah- raga. Padahal dia gila kerja. Jende- ral TNI Purnawirawan Agum Gu- melar, yang pernah menjadi aju- dannya, mengisahkan, setiap ma- lam, Ali selalu meletakkan setum- puk dokumen sekitar pukul de- lapan. Pada pukul enam pagi, se- mua dokumen sudah penuh co- retan dan disposisi. Padahal ham- pir setiap malam Ali bertemu de- ngan orang-orang. Kerap perte- muan itu berakhir hingga pukul dua pagi. ”Gila, dia tidur jam bera- pa,” ucap Agum saat itu.

Lucky pun mengaku tidak tahu jam berapa bapaknya tidur. Setiap malam, jika sedang di rumah, ba- paknya yang gemar membaca itu masuk ruang kerja. Selain meng- urusi pekerjaan, ia selalu memba- ca buku. ”Kalau bahasa Inggris, dia membaca dengan dilafalkan,” kata Lucky.

Dua tahun kemudian, 14 Juli 1980, serangan kedua terjadi. Saat itu, ia terjatuh di atas tangga kan- tor Departemen Penerangan.

Ali lantas dibujuk untuk ke Ame- rika Serikat buat melihat kemung-

kinan operasi bypass. Perjalanan

ini juga direncanakan untuk me- ngecek matanya yang sensitif de- ngan sinar, yang membuatnya ke- rap mengenakan kacamata gelap bahkan di ruangan tertutup.

Dalam bukunya, Jusuf mengi- sahkan, rombongan Ali Moerto- po mengunjungi Cleveland, Ohio, untuk melakukan pengecekan jantung. Pada saat prosedur ope- rasi dijelaskan oleh tim dokter, Ali

bertanya, ”Setelah bypass, apa-

kah saya bisa melakukan semua- nya yang biasa saya lakukan sebe- lumnya?” Dokter menjawab tegas: tidak.

Ali pun mengatakan, ”Lalu ke- napa saya harus melakukan ini?” Ia kemudian menutup obrolan, ”Mari kita pulang.”

Jusuf Wanandi langsung pulang ke Jakarta, sementara Ali dan ke- luarga meneruskan perjalanan ke New York dan Los Angeles. Saat ia di Los Angeles, serangan ketiga

terjadi. Tak ada lagi negosiasi, Ali harus dioperasi. Ia pun diterbang- kan ke Houston, Texas. Ia kembali selamat setelah serangan jantung ketiga.

Meski demikian, rupanya kelu- arga sudah ”dipersiapkan” untuk menghadapi kemungkinan terbu- ruk. Sebelum ke Amerika, keluar- ga dikumpulkan dan membicara- kan soal pengobatan yang meng- andung risiko ini.

Harris Ali Moerfi (almarhum),

dalam buku Ali Moertopo 1924-

1984, mengungkapkan pesan ba-

paknya pada suatu hari setelah se- rangan kedua, ”Ris, bagaimana-

pun, kamu anak sulung. Prepare

for the worst.”

Mungkin pesan untuk putranya itu sekaligus untuk dirinya sendi- ri. Ali menyerah pada serangan keempat, yang terjadi pada 15 Mei 1978. Saat itu, ia sendirian di ruang kerjanya. ”Ketika jatuh sempat terbentur di meja ini, dan kemu- dian ke sofa itu,” tutur Lucky sam- bil menunjuk meja dan sofa tanpa sandaran yang berada di Ruang Ali Moertopo di Centre for Strate- gic and International Studies, pe- kan ketiga September lalu. Kali ini Ali benar-benar pergi.

Seperti diberitakan Harian

Merdeka pada 17 Mei 1984, anggo- ta DPA, Barlianta Harahap, me- ngatakan Ali Moertopo masih ha- dir pada rapat panitia kecil Ko- misi Pertahanan dan Keamanan DPA, yang berakhir sekitar pukul 12.30. Sebelum itu, Ali berbincang dengannya tentang ceramah yang akan diberikan kepada peserta pe- nataran Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila serta kepemimpinan Pemuda Muslimin Indonesia di Ciawi, Bogor. Ali di- jadwalkan berbicara pada Rabu.

Tapi Ali Moertopo tak sempat membacakan makalahnya. Ia di- kubur di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara militer. Ia pergi seperti keinginannya. ”Ba- pak pernah bilang ingin mati se- waktu bekerja, karena itu seperti tentara mati waktu perang,” kata Harris kepada wartawan tentang

kepergian bapaknya. ● Pemakaman Ali Moertopo di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Mei 1984.

DOK. TEMPO/ILHAM SOENHARJO Tan Sri Ghazali Shafi e memegang tangan Ali

disaksikan Aloysius Sugiyanto (kanan), Mun’im Idries (kedua dari kanan), dan keluarga setelah Ali dirawat akibat serangan jantung pertama di rumah sakit di Kuala Lumpur, 1978.

DOK. ALOYSIUS SUGIYANTO

NASIONAL AKIL MOCHTAR NASIONAL

Akil Mochtar di Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

T

AK ada penanda bahwa bangunan dua lantai itu se- buah kantor. Bentuknya pun seperti hunian lain di seki- tarnya. Berdiri di atas lahan dengan luas sekitar 500 meter persegi, rumah bernomor 20 di Jalan Karya Baru, Parit Tokaya, Pontianak, itu dibentengi pagar jangkung. Kamis siang pekan lalu, lampu teras tampak menyala.

Di Badan Pelayanan Perizinan Terpa- du Pontianak, alamat rumah itu terdaftar sebagai kantor CV Ratu Samagat. Pemilik perusahaan itu Ratu Rita Akil, istri Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Ratu Rita juga tercatat sebagai direktur. Ada- pun wakilnya Aries Adhitya Shafi tri, anak mereka.

Sukiran, ketua rukun tetangga permu- kiman di sana, mengatakan pernah dida- tangi seorang utusan Akil Mochtar yang meminta surat pengantar izin usaha. Di buku tamunya, orang Akil ditulis datang pada 13 Agustus 2010. ”Saya buatkan su- rat pengantarnya,” ujar Sukiran, Kamis pekan lalu. Dia ingat, utusan Akil itu, ”Orangnya pendek, kulitnya putih.”

Badan Pelayanan Perizinan lalu menge- luarkan tiga surat untuk CV Ratu Sama- gat. Surat izin tempat usaha terbit pada 31 Agustus 2010. Sebulan kemudian, pada 22 September, surat izin usaha perdagang- an keluar. Dalam berkas inilah tercantum nama istri Akil, Ratu Rita, sebagai pemi- liknya. Modal usahanya Rp 100 juta.

Menurut surat kedua itu, bisnis perusa- haan meliputi perdagangan barang dan jasa, yang terentang dari jasa administrasi umum, penyediaan alat tulis kantor, per- kebunan, hingga kontraktor. Namun, da- lam surat terakhir, tanda daftar perusa- haan, yang bernomor 14.03.3.52.04847,

LALU LINTAS

Dalam dokumen POLITIK BISNIS RATU ATUT H A L A M A N 116 (Halaman 108-111)

Garis besar

Dokumen terkait