• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mahkamah Agung mengurangi hukuman Pollycarpus Kemunduran besar yang membuat pembunuhan aktivis Munir semakin gelap.

Dalam dokumen POLITIK BISNIS RATU ATUT H A L A M A N 116 (Halaman 31-39)

Ali Moertopo saat menjadi Komandan Batalion 431 CBN IV Res Int XII di Tegal, 1957.

20 OKTOBER 2013 | | 35

A l i M o e r t o p o

D

ALAM sejarah politik Indone- sia, nama Ali Moertopo musta- hil luput dari perhatian. Dia dikenal bukan semata karena kedudukannya sebagai salah seorang asisten pribadi Presi- den Soeharto, Kepala Opera- si Khusus, atau sekurang-ku- rangnya Menteri Penerangan periode 1978-1983. Lebih dari itu, dia juga tokoh yang sanggup masuk ke berba- gai kelompok kepentingan serta lihai menggalang dan ”mengkapitalisasi” orang-orang yang—baik langsung maupun tak langsung—mendukung tujuan-tujuannya.

Jejak Ali nyaris ada di mana-mana. Di masa Orde Baru, sebagai intel, dia terlibat dalam operasi-ope- rasi intelijen yang bertujuan memberangus lawan- lawan politik pemerintahan Soeharto. Dia mengga- gas peleburan partai-partai politik menjadi bebera- pa partai saja agar lebih mudah dikendalikan; gagas- an ini terwujud pada 1973, ketika semua partai mele- bur menjadi hanya Golkar, Partai Persatuan Pemba- ngunan (penggabungan partai-partai berbasis Islam), dan Partai Demokrasi Indonesia (penggabungan par- tai-partai berbasis nasionalis).

Dialah, bersama Soedjono Hoemardani, karibnya dan sesama asisten pribadi Soeharto, yang merintis pendirian Centre for Strategic and International Stu- dies (CSIS). Lembaga penelitian kebijakan pemerin-

tahan ini merupakan think tank yang, melalui Ali, ikut

memberi masukan strategi dan kebijakan kepada Soe- harto. Ali juga menggalang pengikut di kalangan inte- lektual muda, menggerakkan diskusi dan demonstra- si, ”membidani” kelahiran sejumlah organisasi kepe- mudaan dan profesi, serta menyusupi dan ”mengga- rap” kelompok-kelompok Islam radikal.

Melihat peran dan pengaruhnya, orang bisa tergo- da untuk menyimpulkan dialah perancang utama ta-

tanan sosial-politik Orde Baru. Melalui Dasar-dasar

Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangun- an 25 Tahun, buku terbitan 1972 yang kemudian diteri- ma Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai strategi pembangunan jangka panjang, dia bahkan secara tak langsung mengisyaratkan dirinya sebagai bagian dari pemimpin Indonesia yang memiliki cita-cita sebagai- mana tercantum dalam buku itu.

Kesan dan klaim itu bisa jadi berlebihan. Walau de- mikian, fakta bahwa Ali telah menatahkan begitu ba- nyak faset dalam kehidupan politik di Indonesia tetap tak terbantahkan. Dia menjalankan—dengan cara apa pun—apa yang dia pikirkan. Sebagian dari yang Ali la- kukan itu, berkat kepintarannya memanfaatkan kede-

katan dengan Soeharto, juga kece- katannya berpikir taktis dan strate- gis, masih membekas pengaruhnya dan ”hidup” hingga sekarang.

Ketika majalah ini memutus- kan memilih Ali sebagai topik edi- si khusus, yang diterbitkan sehu- bungan dengan ulang tahun Ten- tara Nasional Indonesia pada 5 Ok- tober lalu, ”portofolio” sepak ter- jangnya sudah berbicara dengan sendirinya: aktivitas berderet-de- ret dan jejaring yang luas itu men- jadikannya tokoh yang penting, dengan kehidupan yang penuh warna: intrik, kasak-kusuk, adu domba, kontroversi. Tapi yang le- bih penting untuk diungkap, sebe- narnya, adalah mengapa dan ba- gaimana dia menjalankan semua- nya, dalam konteks sejarah.

Di situlah, seperti edisi-edisi khusus lain sebelumnya, majalah ini berusaha membidikkan per- hatian. Beberapa bagian kegiatan Ali, karena menyangkut operasi intelijen, tak jelas benar asal-usul dan alasannya. Karena itu, sejum- lah hal mesti dibuat terang.

Sejak awal, kami sudah meng- antisipasi banyak tugas reportase

dan wawancara yang mesti dila- kukan, di bidang-bidang kehidup- an politik yang begitu beragam, untuk menyusun gambaran utuh mengenai Ali. Hal itu tak terelak- kan mengingat, sejauh ini, sebagi- an besar kepingan cerita tentang Ali tersimpan di memori orang- orang yang pernah dekat atau ber- singgungan dengannya. Kalaupun mereka mau berbicara, kendala dalam situasi semacam itu jelas: ingatan selalu ada batasnya.

Kerja ekstra bukan dalam urus- an liputan saja. Saat baru menyu- sun bab dan bagian-bagiannya pun, di luar topik mengenai ke- hidupan pribadi Ali, tim redak- si mesti menyeleksi dengan ke- tat mana kegiatan atau ”episode” yang mesti berdiri sendiri, mana yang kecil saja porsinya, dan mana yang cukup menjadi bahan di ba- gian lain. Ini sedikit pelik, karena hampir selalu ada irisan di antara bagian-bagian yang ada.

Dari diskusi pengumpulan ba- han awal dengan sejumlah nara- sumber—di antaranya Rahman Tolleng, Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi, Aloysius Sugiyanto,

dan Busyro Muqoddas—kami men- dapatkan informasi berlimpah. Banyak cerita menarik di situ. Di- tambah bahan riset, dan memba- ca kembali sejumlah buku serta memoar, wawancara dengan ber- bagai sumber lalu dilakukan un- tuk memastikan kebenaran dan melengkapi informasi yang sudah dicatat lebih dulu itu. Sejumlah pe- nulis dan editor mengeroyok pe- ngerjaan akhirnya.

Sebagai ikhtiar untuk merekon- struksi satu fragmen sejarah, me- lalui penceritaan kehidupan pe- lakunya, liputan ini bukan upa- ya untuk mengagung-agungkan atau mencaci-maki. Sama halnya dengan yang sudah-sudah, mela- lui edisi khusus ini kami menco- ba menampilkan fakta sejarah de- ngan sedapat mungkin menghin- dari pandangan-pandangan su- byektif yang memuja dan mengu- tuk. Kami tak menambahi atau me- ngurangi. Dan, seperti bisa dibaca pada tulisan-tulisan yang ada, me- mang tergambar betapa Ali terlalu penting untuk dilupakan jika kita hendak mengambil pelajaran dari

masa lalu. ● Awak Tempo berdiskusi dengan Jusuf Wanandi (berbatik ungu), Harry Tjan (berbatik cokelat), dan Sofjan Wanandi (berbatik oranye) di Centre for Strategic and International Studies, Jakarta, 26 Agustus lalu.

TEMPO/ NITA DIAN

T I M E D I S I K H U S U S A L I M O E R T O P O

Penanggung Jawab: Purwanto Setiadi, Budi Setyarso Kepala Proyek: Widiarsi Agustina, Jajang Jamaluddin, Dwi Wiyana, Purwani Diyah Prabandari

Penulis: Purwanto Setiadi, Widiarsi Agustina, Jajang Jamaluddin, Dwi Wiyana, Philipus Parera, Purwani Diyah Prabandari, Agung Sedayu, Maria Rita Ida Hasugian, Riky Ferdianto, Rusman Paraqbueq, Febriyan, Akbar Tri Kurniawan, Agoeng Wijaya, Anton Septian, Sandy Indra Pratama, Yuliawati, Mustafa Silalahi, Amandra Mustika, Isma Savitri

Penyumbang Bahan: Widiarsi Agustina, Dwi Wiyana, Purwani Diyah Prabandari, Mustafa Silalahi, Agung Sedayu, Ahmad Fikri (Bandung), Sujatmiko (Blora)

Penyunting: Arif Zulkifl i, Purwanto Setiadi, Budi Setyarso, Hermien Y. Kleden, Idrus F. Shahab, Yosrizal Suriaji, Nugroho Dewanto, Bina Bektiati, Yosep Suprayogi, L.R. Baskoro, Seno Joko Suyono, Leila S. Chudori, Jajang Jamaluddin, Setri Yasra, Sapto Yunus, Y. Tomi Aryanto, Widiarsi Agustina, Purwani Diyah Prabandari, Philipus Parera

Periset Foto: Nita Dian, Ijar Karim Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian Desain: Djunaedi (koordinator), Agus Darmawan Setiadi, Ajibon, Eko Punto Pambudi, Kendra H. Paramita, Rizal Zulfadli, Tri Watno Widodo Pengolah Foto: Wahyu Risyanto

Busyro Muqoddas dan Rahman Tolleng

(kanan atas dan bawah).

Ali Moertopo, Soeharto, dan Siti Hartinah

jejak

Dalam dokumen POLITIK BISNIS RATU ATUT H A L A M A N 116 (Halaman 31-39)

Garis besar

Dokumen terkait