• Tidak ada hasil yang ditemukan

SETELAH ALI MENYIKUT SUMISKUN

Dalam dokumen POLITIK BISNIS RATU ATUT H A L A M A N 116 (Halaman 46-49)

Ali Moertopo berorasi dalam kampanye Golkar di Sumatera Barat, 1971.

20 OKTOBER 2013 | | 47

A l i M o e r t o p o

berbicara lagi.

Seusai pertemuan, Ali dan Sumiskun cs berkumpul di Tanah Abang. ”Keputusannya sudah be- gitu, pemilu mesti dilanjutkan,” kata Ali. ”Sekarang mari perku- at posisi dan cari cara memenangi pemilu.”

Waktu itu Soeharto memang belum memiliki kendaraan po- litik. Sejak 1968, Ali menyaran- kan dia membentuk partai poli- tik baru untuk menopang kekua- saannya. Soeharto menolak. Alas- annya, pembentukan partai baru terlalu sensitif dan berpotensi me- micu gejolak di tentara. Soeharto lantas meminta Ali dan Kelompok Tanah Abang menggunakan Sek- ber Golkar sebagai kendaraan.

Tapi ini bukan pekerjaan gam- pang. Organ yang didirikan pada 1964 oleh Angkatan Darat itu di- buat untuk merangkul masyara- kat anti-Partai Komunis Indone- sia. Lembaga tempat berhimpun lebih dari 250 organisasi kema- syarakatan ini sangat cair. Sekber Golkar juga tidak memiliki struk- tur kelembagaan yang jelas. Ken- dala lain, menurut Jusuf, Sekber Golkar terkenal dengan reputa- sinya yang buruk di mata masya- rakat. Sebagian pemimpinnya korup dan suka main perempu- an. ”Itu salah satu alasan meng- apa kami memaksa supaya pemi- lu 1971 diundur,” kata Jusuf.

Tak banyak pilihan, Ali meng- ambil langkah menguasai Golkar. Ia, misalnya, mengeluarkan se- jumlah pengurus yang dianggap bermasalah. Badan Pemenang- an Pemilu (Bappilu) Golkar dikua- sai. Wewenang memilih kandidat yang akan mewakili Golkar di par- lemen mereka rebut. Untuk biaya awal Bappilu, Ali menyuntikkan dana Rp 50 juta. ”Ia juga memberi Rp 50 juta lagi untuk mendirikan

koran Suara Karya,” kata Jusuf.

Tim Ali bergerak cepat. Jusuf

Wanandi dalam Shades of Grey: A

Political Memoir of Modern Indone- sia 1965-1998 menulis bahwa Gol- kar juga memanfaatkan organisa- si-organisasi binaan militer untuk

mempromosikan diri. Pengurus- nya mendatangi setiap rumah, menyebarkan propaganda bahwa hanya Golkar yang mampu men- jamin stabilitas dan kemajuan pembangunan. Ancaman juga di- tebar: jika tak mendukung Golkar akan dicap tak mendukung mili- ter atau dianggap bersimpati pada PKI. Dalam kampanye, artis-artis Ibu Kota diboyong untuk mena- rik massa. Dana kampanye dipe- roleh dari pengusaha yang ingin mendapat perlindungan dan ke- mudahan.

Di tempat lain, diam-diam Ali menggelar operasi berbeda. Par- tai Nasional Indonesia (PNI), pesa- ing terbesar saat itu, menjadi tar- get utama penggembosan. Kere- takan partai dimanfaatkan. Se- jumlah sumber menyebutkan, terpilihnya Hadisubeno sebagai Ketua Umum PNI dalam kongres pada 1970 di Semarang tak lepas dari peran Ali. Hadisubeno yang propemerintah dimanfaatkan un- tuk mendepak Hardi, ketua umum lama, yang dianggap menentang dwifungsi ABRI.

Partai-partai Islam bernasib sama. Misalnya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang didiri- kan sejumlah tokoh Masyumi pada 1968. Dalam kongres pertama Par- musi di Malang, Mohamad Roem sebenarnya terpilih sebagai ketua

umum menggantikan Djarnawi Ha- dikusumo. Namun, karena peme- rintah tidak merestui Roem, pim- pinan Parmusi kembali diambil alih Djarnawi. Begitu pula saat kongres 1970. Manuver Djaelani Naro, yang dikenal dekat dengan Ali Moertopo, membuat H.M.S. Mintaredja yang propemerintah terpilih. Ali juga memanfaatkan Mintaredja mem- bendung masuknya orang-orang Masyumi antipemerintah mengen- dalikan Parmusi.

Tidak cukup di situ. Kelompok Ali juga mengagas konsep massa

mengambang atau fl oating mass

untuk memperkukuh Golkar. Me- nurut Rahman Tolleng, salah satu pencetus massa mengambang, ga- gasan itu sebenarnya antitesis kon- sep politik Orde Lama yang mem- bolehkan partai membangun or- gan atau sayap di masyarakat. ”Itu menyebabkan masyarakat tidak independen dalam memilih dan bersikap,” kata Rahman, 75 tahun. Konsep itu juga melarang adanya kepengurusan partai politik di tingkat desa. Massa yang ”lepas” dari partai politik itulah yang dise- but sebagai massa mengambang.

Tokoh Nahdlatul Ulama, Subchan Z.E., sempat memprotes keras gagasan itu. Ia menuding

fl oating mass bersumber dari teori diktator proletariat. ”Bisa menghi- langkan sistem cek dan kontrol,”

Dari kiri: Sofjan Wanandi, Ali Moertopo, Jusuf Wanandi, dan Soehadi di Badan Pemenangan Pemilu Golkar, Jakarta, 1971. DOK. KELUARGA

KORAN 50 JUTA

RUPIAH

S

EBUAH pertemuan digelar di Tanah Abang, Ja- karta Pusat, awal 1971. Ali Moertopo bersama se- jumlah aktivis muda berkumpul membicarakan strategi memenangkan Golkar pada pemilu yang akan digelar Juli tahun itu. Menjadikan Golkar pemenang je- las bukan perkara gampang. Sebagai partai baru, Golkar ha- rus bersaing dengan partai lama, termasuk Partai Nasional Indonesia, yang menjadi penyokong utama Presiden Sukar- no. Untuk mempercepat penguatan partai, Ali mengusulkan Golkar memiliki koran sendiri.

Rahman Tolleng, salah seorang aktivis yang hadir dalam pertemuan itu, awalnya menolak. Menurut dia, partai politik membuat media sendiri untuk kepentingan politiknya meru- pakan gaya Orde Lama—orde yang mereka gulingkan. Rah-

man, yang pernah mendirikan tabloid Mahasiswa Indonesia,

justru berharap Orde Baru mampu membangun pers yang in- dependen. ”Kalau ada koran partai, berarti tidak ada pemba- ruan di Orde Baru,” ujar Rahman, 75 tahun.

Ali berkukuh meminta Golkar memiliki media. ”Pemilu su- dah dekat dan partai butuh koran sendiri," kata Ali. Keputus- an sudah fi nal. Rahman melunak, tapi ia mengajukan syarat: koran itu tidak boleh memiliki rubrik editorial. "Tujuan saya

untuk menghilangkan opini atau sikap media. Namun itu di- tolak juga."

Lalu Suara Karya, harianyang menjadi corong Golkar, di-

dirikan. Menurut Jusuf Wanandi, yang ikut hadir dalam per- temuan itu, Ali Moertopo memberikan uang Rp 50 juta seba- gai biaya.

Sumiskun dipilih sebagai pemimpin umum sekaligus pe- nanggung jawab. Posisi pemimpin redaksi dipercayakan ke-

pada Djamal Ali, mantan Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat.

Adapun Rahman Tolleng menjadi wakil pemimpin redaksi. Di jajaran redaksi ada sejumlah tokoh, seperti Syamsul Bisri, Sayuti Melik, David Napitupulu, dan Cosmas Batubara.

Mereka bergerak cepat. Hanya dalam tiga hari, persiapan

rampung. Suara Karya terbit perdana pada 11 Maret 1971, ber-

samaan dengan peringatan Supersemar.

Rizal Mallarangeng, dalam Pers Orde Baru: Tinjauan Isi

Kompas dan Suara Karya, mengatakan Suara Karya memang sejak awal didirikan sebagai media partisan Golkar. Koran itu dirancang untuk memobilisasi opini buat mendukung Orde Baru. ”Ironis sebab koran semacam ini menjadi ciri pers Orde Lama—orde yang justru ingin diperangi," tulis Rizal.

Suara Karya edisi perdana dengan gamblang menggambar- kan keberpihakan media itu terhadap Golkar dan Soeharto. Seperempat halaman pertama berisi ucapan selamat atas ter- bitnya koran itu dari Presiden Soeharto. Edisi itu menurun- kan berita utama berisi dukungan atas keabsahan Superse- mar yang memberi mandat bagi Soeharto untuk melakukan pembaruan pasca-Orde Lama. Tajuk rencana edisi perdana berjudul ”Misi Suara Karya”. Editorial ini berisi penjabaran

misi koransekaligus pernyataan dukungan terhadap Golkar.

Jusuf Wanandi bercerita, edisi-edisi awal Suara Karya diju-

al Rp 10 per eksemplar. Namun koran itu jarang pembelinya. ”Bagaimana bisa laku? Semua orang tahu itu koran Golkar bi- kinan Soeharto," kata Jusuf. Kondisi ini membuat Ali Moerto-

po resah dan mengumpulkan awak redaksi Suara Karya. Dia

meminta pendapat bagaimana agar koran itu dibaca banyak orang dalam waktu singkat.

Jusuf mengusulkan Ali agar membuat surat bagi para men- teri supaya mewajibkan semua instansi pemerintah berlang-

ganan. Cara itu terbukti manjur. Oplah Suara Karya langsung

melonjak menjadi 25 ribu eksemplar. Satu tahun kemudian,

oplahnya naik dua kali lipat menjadi 54 ribu eksemplar. Suara

Karya kemudian menjadi salah satu koran dengan angka sir-

kulasi terbesar saat itu. ●

ujarnya di majalah Tempo edisi 17

Juli 1971. Protes Subchan sesung- guhnya bersumber dari hilangnya massa pendukung NU di pedesa-

an. Juga dukungan dari onderbouw

partai, yang sebelumnya menjadi penyumbang suara. Hal serupa di- alami partai politik lain.

Sebaliknya, bagi Golkar, fl oating

mass sama sekali tidak menggang-

gu. Sebagai organisasi baru, Gol-

kar belum membangun organ po- litik. Struktur Golkar belum men- jangkau desa-desa. Justru, dalam perkembangannya, Ali mengga- lang massa mengambang dalam or- ganisasi-organisasi profesi yang di- kendalikan Golkar. Organisasi ha- sil penggalangan Ali antara lain Fe- derasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI), Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), dan Komite Na-

sional Pemuda Indonesia (KNPI). Siasat ini terbukti manjur. Pada Pemilu 1971, Golkar menang te- lak dengan meraup 34,3 juta sua- ra atau 63 persen dari total pemi- lih. Golkar memperoleh 236 kur- si dari total 360 kursi anggota De- wan Perwakilan Rakyat. Golkar terus menjadi pemenang pemilu hingga 1998, saat kekuasaan Soe-

harto berakhir. ●

Rahman Tolleng di Jakarta, 1971. DOK. TEMPO/ ED ZOELVERDI

S

etelah renovasi total di se- luruh bagian bangunan, Aston Bali Beach Resort & Spa secara resmi berganti nama menjadi Grand Aston Bali Beach Resort pada 27 September 2013.

Transformasi Grand Aston Bali Beach Resort ini dominan pada peremajaan kamarnya yang mewah. Terinspirasi oleh perpaduan gaya kontemporer dan arsitektur Bali yang autentik, serta diperkaya desain modern dan sentuhan kayu yang hangat.  

Setiap kamar menawarkan pemandangan taman, kolam renang atau laut, dengan balkon pribadi. Dengan total kamar 187, menyediakan pi- lihan deluxe room hingga ocean view suite.

Resor ini juga melakukan peluncuran kembali empat restorannya, dua bar dan Samudra Lounge. Grand Benoa Resto resmi dibuka pada Februari 2013 dengan berbagai menu sarapan pagi dan masakan Asia. Sementara, Bali Luna menawarkan hidangan andalan executive chef un- tuk menu makan siang dan makan, plus Giorgio Italian Restaurant yang lezat. Sedangkan ’By The C Restaurant & Bar’ menyajikan seafood BBQ, pizza dan pemandangan langsung ke arah laut yang memukau. z

A

rchipelago International memperkenalkan NEO ho- tel ketiga di Ibu Kota Indo- nesia, 9 Oktober 2013. Archipelago International menandai pembu- kaan NEO Tendean Jakarta, sete- lah NEO Hotel Cideng dan NEO Hotel Melawai sukses beroperasi. Dengan konsep standar minima- lis, NEO Tendean Jakarta memadukan seni kontemporer autentik dan desain interior menyegarkan dengan fasilitas kamar yang mewah. Ke- 95 kamar tamu ini memilik desain stylish dan kenyamanan modern, dilengkapi fasilitas kolam renang dan kafe.

Termasuk ruang parkir luas, dua ruang pertemuan modern dan Wi-Fi berkecepatan tinggi di seluruh hotel sehingga memudahkan pelancong bisnis untuk tetap terhubung dengan bisnisnya. Hotel ini cukup dekat dengan tempat makan favorit di daerah Senopati dan Santa. Hotel ini juga dekat dengan jalan bebas hambatan (jalan tol) dan hanya 25 menit dari pusat perbelanjaan terkenal Blok M, Kemang Pacific Place, Sena- yan City, serta satu jam berkendara dari pusat perbelanjaan mewah Mal Pondok Indah. z

Dalam dokumen POLITIK BISNIS RATU ATUT H A L A M A N 116 (Halaman 46-49)

Garis besar

Dokumen terkait