• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPERASI INTELIJEN DI TIMOR TIMUR BERTUJUAN MENGGALANG KEKUATAN PENDUKUNG INTEGRASI DENGAN INDONESIA.

Dalam dokumen POLITIK BISNIS RATU ATUT H A L A M A N 116 (Halaman 76-78)

HARAPAN ALI PUPUS DENGAN ADANYA OPERASI SEROJA.

Aloysius Sugyianto (tengah) berbincang dengan Joao Carrascalao di Bandara Dili, Agustus 1975.

DOK. ALOYSIUS SOEGIANTO

A

LOYSIUS Sugiyan-

to, kini 85 tahun, ingat betul perin- tah Ali Moertopo. ”Gi, kamu pergi ke Timor Timur. Cari tahu bantuan yang diperlukan.” Sebelumnya, Ali sudah menemui Jose Fernando Osario Soares, Ketua Associacao Popular Democratica de Timor (Apodeti)—semula bernama Asso- ciacao Integraciacao de Timor In- donesia (AITI)—partai politik di Ti- mor Timur yang menginginkan in- tegrasi dengan Indonesia.

Berbekal tiket pesawat terbang, akomodasi hotel, dan uang kontan untuk kebutuhan dalam opera- si intelijen tanpa nama, Sugiyanto terbang ke Bacau melalui Darwin, Australia. Dari Bacau, ia terbang ke Dili, ibu kota Timor Timur. Me- nyamar sebagai pedagang, Sugi- yanto menjalankan tugas yang di- perintahkan Ali: menggalang war- ga Timor Timur untuk bergabung dengan Indonesia. ”Saya orang Indonesia pertama yang masuk Dili,” kata Sugiyanto.

Berpakaian necis, berambut gondrong, dan berkacamata ge- lap, Sugiyanto tampil layaknya pengusaha. Sambil berdagang ba- han kebutuhan sehari-hari, Su- giyanto aktif mengumpulkan in- formasi dan bertemu diam-diam dengan tokoh-tokoh di Timor Ti- mur. Orang-orang yang ingin ber- gabung dengan Indonesia, seperti dari kelompok Apodeti, yang men- jadi target utama Sugiyanto.

Selama di Dili, Sugiyanto me- nyaksikan minimnya perlengkap- an orang-orang yang dia galang. Ia kemudian berbelanja mesin ketik

dan dua sepeda motor di kopera- si milik pegawai negeri di Timor Ti- mur. Selanjutnya, Sugiyanto meng- gelar berbagai pelatihan dan perte- muan yang berkaitan dengan ren- cana menyatukan bekas jajahan Portugal itu dengan Indonesia.

Tapi diam-diam Sugiyanto juga bertemu dengan tokoh-tokoh poli- tik yang tidak segaris dengan Apo- deti. ”Siang saya bertemu mere- ka, malam saya bertemu Apodeti. Mereka tidak ada yang tahu,” ujar- nya. Ia terus bergerak.

Menurut Jusuf Wanandi, salah satu pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang terlibat dalam Operasi Komo-

do di Timor Timur, dalam Shade of

Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia 1965-1998, Ali sebenar- nya sudah memantau Timor Ti- mur sejak awal 1970-an lewat Ko- lonel Muhammad, Louis Taolin, pengacara Thung Kim Liang.

Namun, setelah pecah revolusi di Portugal yang dikenal dengan Re- volusi Bunga atau Revolusi Anyelir pada 25 April 1974, Ali, yang men- jabat Wakil Kepala Badan Koordi- nasi Intelijen Negara, lebih memu- satkan perhatian. ”Ketakutan pada waktu itu adalah menjalarnya ko- munisme,” kata Jusuf.

Ketika itu terjadi pergeseran sig- nifi kan di Lisabon. Kelompok per- wira muda berhaluan kiri, Movi- mento das Forcas Armadas (MFA), dalam revolusi tak berdarah ber- hasil menjatuhkan diktator Mar- celo Caetano. Semangat kiri itu menular hingga ke Timor Timur, wilayah jajahan Portugal. Salah satu partai baru yang besar di Ti- mor Timur berhaluan Marxisme,

yaitu Associacao Social Democra- tica de Timor (ASDT) yang kemu- dian menjadi Frente Revoluciona- ria de Timor Leste Independente (Fretilin).

Setelah Revolusi Bunga, partai memang bermunculan di Timor Timur. Selain Apodeti dan ASDT, juga ada Uniao Democratica Ti- morense (UDT), yang pro-integra- si dengan Portugal, dan beberapa partai kecil lain.

Ali kemudian menggelar Opera- si Komodo. Dalam operasi yang di belakangnya ada CSIS, Bakin, dan Opsus tersebut, para agen tak lagi sekadar mengumpulkan informa- si, tapi juga menyiapkan Timor Ti- mur agar bisa bergabung dengan Indonesia melalui jajak penda- pat damai. Menurut Jusuf, model- nya seperti persiapan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Pa- pua yang dianggap sukses. ”Kami ingin mengulanginya di Timor Ti- mur,” tulis Jusuf.

A l i M o e r t o p o 20 OKTOBER 2013 | | 77 Louis Taulin (memakai topi dan berkacamata) bersama Lopes da Cruz dari UDT (kiri) dan Jose Martins dari KOTA (kedua dari k iri), 30 November 1975.

DOK. ALOYSIUS SUGYIANTO

Foto atas: Pemimpin Fretilin, Mario Ramos Horta (kanan), dan Nicolau Lobata menerima kenang-kenangan dari Ali Moertopo di Jakarta.

SUMBER: BUKU INTEGRASI

Sebenarnya, awalnya Presiden Soeharto belum begitu bersema- ngat dengan Timor Timur. Tapi dia berubah pikiran setelah ada per- ingatan dari Perdana Menteri Aus- tralia Gough Whitlam mengenai dampak Revolusi Bunga ke Timor Timur. Dia tak ingin pengaruh Viet- nam atau Cina yang komunis turun ke Timor Timur, setelah wilayah itu lepas dari Portugal.

Soeharto kemudian mengutus Ali bicara dengan pemerintah Por- tugal. Ia terbang ke Lisabon pada Oktober 1974. Namun sebulan se- belumnya ia telah mengirim Ko- lonel Muhammad bergabung de- ngan Duta Besar Indonesia di Bel- gia, Frans Seda, untuk bertemu dengan Deputi Menteri Luar Nege- ri Jorge Campinos.

Setelah itu beberapa pertemu- an masih digelar, yakni pada No- vember di London, Inggris—Ali ikut serta. Kemudian pada Ma- ret 1975, di Roma, Menteri Luar

Negeri Adam Malik bertemu de- ngan Menteri Luar Negeri Portu- gal Melo Antunes.

Meski Portugal memberi angin positif, di lapangan fakta berbeda: tak ada tindakan untuk merealisa- si kesepakatan Portugal mendu- kung keinginan Indonesia. Portu- gal memang menyatakan sepakat adanya periode transisi selama enam, tujuh, atau delapan tahun, yang juga disetujui Indonesia, tapi kenyataannya mereka bangkrut dan tidak mungkin mengurus Ti- mor Timur selama itu. Pada dasar- nya Portugal ingin menyingkirkan Timor Timur secepat mungkin de- ngan menggunakan referendum untuk Timor Timur merdeka.

Menurut Jusuf, Ali sampai kehi- langan kesabaran terhadap Por- tugal. Apalagi situasi di Timor Ti- mur semakin buruk dengan pe- cahnya perseteruan berdarah UDT-Fretilin mulai Mei 1975. Bah- kan, pada 28 November, Fretilin

yang kiri memproklamasikan ke- merdekaan Timor Timur. Orang- orang UDT melarikan diri ke Indo- nesia. Di daerah perbatasan, pu- luhan ribu pengungsi menyela- matkan diri.

Sebenarnya pada saat yang sama, mulai awal 1975, L.B. Moer- dani, yang menjabat Asisten I/In- telijen Kementerian Pertahanan, juga mulai terlibat lebih dalam ke Timor Timur.

Dalam buku Benny Moerdani:

Profi l Prajurit Negarawan, Benny menyatakan Operasi Komodo ku- rang memuaskan dan dia meng- inginkan operasi militer segera di- berlakukan. Ia awalnya mengge- lar Operasi Flamboyan, yang ber- tujuan mempersenjatai, melatih, dan memobilisasi orang Timor di perbatasan, tanpa perlu mener- junkan pasukan.

Namun rupanya para petinggi di Kementerian Pertahanan dan Markas ABRI di bawah Maraden Panggabean menginginkan ope- rasi militer besar-besaran. Ope- rasi militer gabungan dilaksana- kan dengan nama: Operasi Sero- ja. Pada 7 Desember 1975, orang- orang UDT, Apodeti, Trabalista, dan KOTA, bersama para sukare- lawan Indonesia dan tentara Indo- nesia, menyerbu Dili, membera- ngus Fretilin.

Misi operasi Ali pun berakhir. Namun Indonesia sebenarnya juga tak siap untuk operasi militer besar tersebut. Sugiyanto menge- nang, saat pasukan Operasi Sero- ja akan diterjunkan, mereka me- ngira warna hijau di bawah ada- lah hutan, padahal sebenarnya ilalang. ”Mereka cedera kaki dan punggung karena mendarat di batu,” ujarnya.

Benny juga tak menyembunyi- kan kekecewaannya. ”Pasukan ti- dak disiplin, saling tembak. Wah, pokoknya memalukan,” ujar Ben-

ny, seperti tertulis di buku Benny

Moerdani. Namun, setelah mela- lui banyak pertumpahan darah, pada 17 Juli 1976 Timor Timur res- mi menjadi provinsi termuda In-

S

ETELAH pemilih- an umum, Juli 1971, Jenderal Soemitro meminta waktu ber- temu dengan Pre- siden Soeharto. Ketika diterima di rumah pribadi Soeharto, Jalan Cendana, Jakarta Pusat, Pangli- ma Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kop- kamtib) itu melaporkan situasi ke- amanan Tanah Air menjelang pe- nyusunan kabinet.

Rupanya Soemitro juga menyim- pan keinginan lain. Ia mengusul- kan Brigadir Jenderal Ali Moerto- po diangkat menjadi Menteri Pe- nerangan. Menurut dia, Asisten Pribadi Presiden itu luwes dan ca- kap mengendalikan opini media untuk mendukung pemerintahan Orde Baru. Soeharto mengangguk setuju.

Wakil Panglima ABRI ini juga menyarankan Soeharto membu- barkan Kopkamtib serta Operasi Khusus atau Opsus yang dikoman- dani Ali Moertopo. Alasannya, dua organ itu diciptakan untuk kondisi yang tidak normal. Adapun situa- si politik setelah Pemilu 1971 yang memenangkan Golkar dianggap sudah stabil.

Soemitro juga menganggap, ka- lau Ali tak lagi memimpin Opsus, Badan Koordinasi Intelijen Nega- ra bisa berfungsi normal. ”Opsus bisa memunculkan konfl ik kepen-

KEBUN BINATANG

Dalam dokumen POLITIK BISNIS RATU ATUT H A L A M A N 116 (Halaman 76-78)

Garis besar

Dokumen terkait