• Tidak ada hasil yang ditemukan

pembunuh Munir dari 20 tahun menjadi 14 tahun Dua hakim menyatakan berbeda pendapat.

Dalam dokumen POLITIK BISNIS RATU ATUT H A L A M A N 116 (Halaman 146-149)

Pollycarpus Budihari Priyanto (kiri) dan Mohamad Assegaf menjelang sidang perdana peninjauan kembali di Pengadian Negeri Jakarta Pusat, 7 Juni 2011. T E MP O/ A M S T ON PROBEL

20 OKTOBER 2013 | | 139

Garuda. Jaksa pun menuntut Polly dihu- kum penjara seumur hidup.

Pada 20 Desember 2005, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Polly 14 tahun penjara. Dia dianggap terbukti me- lakukan pembunuhan berencana dengan memasukkan racun arsenik ke minuman Munir. Polly pun terbukti memalsukan su- rat penugasan yang membuat dia bisa satu pesawat dengan Munir. Pengadilan Ting- gi DKI Jakarta lantas menguatkan putusan ini.

Tapi, di tingkat kasasi, hukuman bagi Poly berubah drastis. Pada 3 Oktober 2006, majelis hakim kasasi menyatakan Polly tak terbukti melakukan pembu- nuhan terencana. Menurut hakim, Pol- ly hanya terbukti memalsukan surat. Ha- kim pun hanya menghukum pria itu dua tahun penjara. Hukuman tersebut impas dengan masa penahanan, sehingga Polly pun dibebaskan.

Jaksa lantas menempuh upaya hukum luar biasa: peninjauan kemba- li. Argumen jaksa, hakim keli- ru menerapkan hukum. Jak- sa mempersoalkan putusan hakim yang menyebutkan Polly terbukti memalsukan surat penugasan, tapi tidak menjadikan pemalsuan itu sebagai bukti rangkaian ren- cana pembunuhan.

Jaksa juga menyampaikan fakta yang belum tersingkap pada persidangan sebelumnya. Jaksa, misalnya, menyebut- kan ada dua agen Badan Intelijen Negara, Raden Mohamad Patma Anwar dan Sen- tot, yang ditugasi petinggi BIN membu- nuh Munir sebelum pemilihan presiden 2004. Caranya dengan disantet atau dira- cun. Tapi Patma dan Sentot gagal melak- sanakan tugas itu.

Sebelum kematian Munir, Patma per- nah melihat Polly di tempat parkir kantor BIN di Pejaten, Jakarta Selatan. Waktu itu Polly memakai mobil Volvo hitam. Kepa- da Patma, Sentot menjelaskan bahwa Pol- ly adalah orang Garuda yang ingin berte-

mu dengan ”bos-bos saja”.

Selanjutnya, sekitar Juni 2004, Direk- tur Utama Garuda Indonesia Indra Setia- wan menerima permintaan tertulis dari Wakil Kepala BIN M. As’ad. Indra dimin- ta menerbitkan surat penugasan Polly se- bagai Staf Perbantuan (Aviation Security) Garuda. Tapi surat permintaan dan surat penugasan itu raib ketika mobil Indra di-

bobol maling.

Pada 4 September 2004, sebe- lum Munir berangkat ke Am- sterdam, Polly menghubungi

nomor telepon seluler Mu- nir. Yang menerima Suciwa- ti, istri Munir. Polly bertanya kapan Munir berangkat ke Belanda.

Setelah tahu Munir berang- kat pada 6 September 2004, Polly meminta petugas Garuda, Rohainil Aini, mengubah jadwal terbang pria itu. Seha- rusnya Polly terbang ke Peking pada 6-8 September 2004. Mengklaim telah disetu- jui atasan, Polly minta terbang pada 6 Sep- tember 2004 ke Singapura, satu pesawat bersama Munir.

Di pesawat, Polly menawari Munir bertu- kar tempat duduk. Seharusnya Munir du- duk di kelas ekonomi nomor 40-G. Adapun Polly seharusnya duduk di kelas bisnis kur- si 3-K. Setelah Munir bersedia, Polly mon-

dar-mandir di pantry, mengawasi pramu-

gari yang menyajikan minuman pembuka untuk penumpang, termasuk Munir.

Semula jaksa mendakwa Polly mencam- purkan arsenik ke jus jeruk yang diminum Munir ketika pesawat bertolak dari Jakar- ta ke Singapura. Namun, belakangan, jak- sa mengungkap fakta lain.

Sewaktu pesawat transit di Bandar Uda- ra Changi, Singapura, Polly tak langsung ke hotel seperti kru pesawat lain. Dia meng- ikuti Munir ke tempat transit. Tiga saksi melihat Polly duduk bersama Munir di Cof- fee Bean. Ada juga saksi yang melihat Pol- ly membawakan dua gelas minuman untuk dia dan Munir. Polly baru menuju Hotel No- votel setelah ”menjamu” Munir.

Sekitar 15 menit setelah pesawat lepas landas menuju Amsterdam, Munir mun- tah-muntah dan meminta obat sakit pe- rut. Tiga jam sebelum pesawat mendarat di Schipol, ia meninggal. Jaksa menyim- pulkan: Polly meracun Munir di Changi.

Setelah Munir diberitakan meninggal, agen BIN, Patma Anwar, mendapat pen- jelasan dari Sentot bahwa pembunuhan Munir bukan lagi urusan mereka. ”Tapi urusan bapak-bapak yang di atas.”

Jaksa juga menemukan fakta bahwa Polly pernah 41 kali menelepon Muchdi Purwoprandjono, Deputi V Bidang Peng- galangan BIN, sebelum dan sesudah Mu- nir meninggal. Namun jaksa mengaku tak mengetahui pembicaraan Polly dengan Muchdi.

Menurut jaksa, Polly juga sempat me- nelepon dua kru Garuda, Yetty Susmiyar- ti dan Oedi Irianto. Polly mengajak mere-

Raden Mohamad Patma Anwar bersaksi pada persidangan peninjauan k-embali kasus pembunuhan Munir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 22 Agustus 2007. Zaharuddin Utama (bawah).

DO K . IS TI M E W A , DO K . TE M P O / A R IE BA SU K I

HUKUM

ka bertemu untuk menyamakan persepsi bila dimintai keterangan oleh polisi. ”Agar jawabannya bersesuaian,” tulis jaksa da- lam berkas.

Setelah mempelajari fakta yang diso- dorkan jaksa, majelis hakim yang dipim- pin Bagir Manan menyatakan peninjauan kembali oleh jaksa bisa dikabulkan. Tapi majelis hakim berbeda pendapat soal be- ratnya hukuman untuk Polly.

Dua hakim agung, M. Harifi n Tumpa dan Parman Suparman, berpendapat hu- kuman untuk Polly tak boleh melebihi hu- kuman yang dijatuhkan pengadilan ne- geri, yakni 14 tahun. Dua hakim agung ini merujuk pada Pasal 266 ayat 3 Kitab Un- dang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal itu menyebutkan, ”Pidana yang dijatuh- kan dalam putusan PK tidak boleh mele- bihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.”

Adapun Bagir Manan beserta Djoko Sar- woko dan Paulus E. Lotulung punya pen- dapat lain. Menurut mereka, hukuman 14 tahun terlalu ringan untuk kejahatan Pol- ly. Dia melakukan pembunuhan berenca- na dengan sangat keji. Korbannya peju- ang hak asasi yang akan menuntut ilmu. Itu membuat Indonesia dipermalukan di mata dunia. Tiga hakim agung ini sepakat menghukum Polly 20 tahun penjara.

Karena dalam musyawarah tak ada kata sepakat, pada 25 Januari 2008, majelis ha- kim melakukan pemungutan suara. Hasil- nya 2 : 3. Polly pun dihukum 20 tahun pen- jara. Sempat menghirup udara bebas, Pol- ly kembali dikirim ke bui.

Lewat kuasa hukumnya, Mohamad As- segaf, Polly mengajukan permohonan pe- ninjauan kembali pada 30 Mei 2011. Mere- ka mempersoalkan putusan hakim agung yang menerima PK oleh jaksa. ”Menurut hukum acara pidana, yang berhak meng- ajukan peninjauan itu terdakwa dan ahli

warisnya,” kata Assegaf kepada Tempo pe-

kan lalu.

Soal boleh-tidaknya jaksa mengajukan permohonan peninjauan kembali sebe- narnya masih jadi perdebatan. Sebab, fak- tanya ada empat kasus yang jadi yurispru- densi jaksa boleh mengajukan permohon- an PK. Pada 1997, misalnya, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan pe- ninjauan kembali oleh jaksa atas putus- an bebas di sidang kasasi untuk terdakwa Muchtar Pakpahan, aktivis buruh, yang didakwa berbuat makar.

Total ada 15 poin yang diajukan Assegaf

untuk mematahkan putusan hakim. Salah satunya vonis bebas Muchdi. Jaksa dan ha- kim tak bisa membuktikan rapat dan surat tugas BIN untuk Polly agar Munir dihabisi

(lihatBelum PK untuk Muchdi”).

Upaya peninjauan kembali oleh Polly ini memang sempat menjadi sorotan. Soal- nya, sebagai upaya hukum luar biasa, pe- ninjauan kembali semestinya hanya bisa di- lakukan sekali. Mahkamah Agung juga per- nah membuat edaran yang tidak membo- lehkan PK di atas PK. Tapi, menurut sum- ber di Mahkamah Agung, majelis hakim kasus Polly tak memperdebatkan masalah itu. Menurut mereka, peninjauan kemba- li pada dasarnya merupakan hak terpida- na dan ahli warisnya. Karena itu, ”PK oleh jaksa tak boleh menghilangkan hak Polly

mengajukan PK,” ujar sumber itu. Majelis hakim, sumber itu melanjut- kan, juga tak memperdebatkan lagi soal salah-tidaknya Polly dalam pembunuhan Munir. Tapi majelis hakim semata berbe- da pendapat soal beratnya hukuman un- tuk Polly. Posisinya kini bahkan berbalik menjadi 3 : 2.

Tiga hakim agung berpendapat hukum- an buat Polly tak boleh melebihi hukuman di pengadilan negeri. Di kubu ini ada Za- haruddin, Dudu, dan Sri. Adapun dua ha- kim lain, Sofyan dan Salman, berpenda- pat hukuman bagi Polly tak bisa dibatasi

hukuman semula. Karena dalam musya- warah tak ada kata sepakat, Sofyan dan Salman menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion).

Diskon besar yang diberikan majelis ha- kim peninjauan kembali ini tentu saja di- sambut gembira pihak Polly. ”Sejak awal kami berjuang mati-matian. Kami bersyu- kur MA mengabulkan,” kata Assegaf.

Sejauh ini Polly sudah menjalani sekitar lima tahun hukuman sejak masuk penja- ra Sukamiskin pada Juni 2008. Selama itu pula dia sudah mendapatkan 11 kali remi- si. Total korting masa penahanannya su- dah 3 tahun 6 bulan. Dengan muncul pe- ngurangan hukumannya itu lagi, kebebas- an kini sudah berada ”di pelupuk mata”. ”Setelah ada putusan PK baru ini, dia bisa

ikut program asimilasi dan bisa diusulkan mendapat pembebasan bersyarat,” ucap Kepala Lembaga Pemasyarakatan Suka- miskin Giri Purbadi pekan lalu.

Sebaliknya, dikabulkannya peninjauan kembali Polly ini membuat istri Munir, Su- ciwati, kecewa. Pemerintah, kata dia, ber- tubi-tubi memberikan pengurangan hu- kuman buat Polly, sementara hingga kini mereka belum mengungkap dalang pem- bunuh suaminya. ”Sebagai korban, saya jelas sakit hati,” ujar Suciwati.

● JAJANG JAMALUDIN, INDRA WIJAYA, NUR ALFIYAH, SUKMA N.L., ERICK PRIBERKAH HADI (BANDUNG)

POLLYCARPUS

Indra Setiawan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 25 Januari 2008.

T E M P O / WA H Y U S E T IAWA N

S

URAT bernomor 120/IV/KIP-PS-M-A/2011 tertang- gal 4 Januari 2012 itu berkop Komisi Informasi Pusat (KIP). Ditandatangani ketua majelis Ahmad Alam- syah Saragih dan anggota Henny S. Widyaningsih serta Ramli Amin Simbolon, dokumen setebal 30 halaman itu bukti penting kasus pembunuhan Munir. Itulah putusan hasil sengketa informasi antara Koordinator Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) dan Badan Intelijen Negara pada 2011.

Pada halaman 14 putusan itu disebutkan BIN tak pernah mengeluarkan surat tugas kepada Muchdi Purwoprandjono untuk berangkat ke Malaysia pada 6-12 September 2004. ”Su- rat ini membantah alibi Muchdi, yang membebaskan dia dari tuntutan,” ujar Koordinator KASUM Choirul Anam kepada

Tempo pekan lalu.

Sengketa antara BIN dan KASUM bermula dari putus- an bebas Muchdi yang dike- luarkan Mahkamah Agung pada 2008. Dalam kasus pembunuhan Munir, Much- di dituding sebagai otak di balik pembunuhan Munir. Jaksa Cirus Sinaga dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Agustus 2008 mengatakan Deputi V BIN itu mempu- nyai motif sakit hati kepada Munir. Kariernya di militer mentok setelah terungkap- nya kasus penculikan aktivis pada 1997-1998.

Selain itu, sebelum dan se- sudah Munir tewas, setidak- nya ada lebih dari 40 kali komunikasi telepon anta- ra Muchdi dan Pollycarpus Budihari Priyanto. Bahkan, pada hari Munir dibunuh, terdapat 15 kali hubungan te-

lepon Muchdi dengan Pollycarpus. Muchdi juga yang membe- rikan rekomendasi untuk Polly sebagai personel pengamanan internal penerbangan Garuda Indonesia. Anak buah Muchdi di BIN, Budi Santoso, dalam berita acara pemeriksaannya me- nyatakan pernah diminta Muchdi memberikan uang kepada Polly Rp 10 juta pada 14 Juni 2004.

Namun, di persidangan, Muchdi membantah semua tuduh- an itu. Dia menunjukkan paspor miliknya yang menyatakan ia tengah berada di Malaysia pada 6-12 September, sehingga tak mungkin ia berhubungan telepon dari Surabaya dengan Pollycarpus. Atas alibi inilah majelis hakim membebaskan Muchdi dari semua tuntutan.

Surat keputusan KIP adalah satu dari sekian banyak alat bukti baru yang, menurut Anam, bisa dijadikan kejaksaan un- tuk mengajukan permohonan peninjauan kembali atas pu- tusan bebas Muchdi. Menurut Anam, sejumlah alat bukti lain sebenarnya sudah lama dikantongi jaksa.

Misalnya rekaman pembicaraan Muchdi dan Pollycar- pus, yang dinyatakan sudah berada di kantong jaksa. ”Kalau- pun belum, kejaksaan bisa memintanya ke operator dengan alasan penegakan hukum. Itu kalau ada kemauan,” ujarnya. KASUM, menurut Anam, sudah mengirimkan salinan kepu- tusan KIP ke Kejaksaan Agung pada awal 2012. Saat itu, KA- SUM bertemu dengan Jaksa Agung Basrief Arief. Namun hing- ga kini tak ada tindak lanjut yang dilakukan kejaksaan.

Asisten Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan

Agung Hardiyanto menyatakan pihaknya sampai saat ini be- lum mengajukan permohonan peninjauan kembali atas bebas- nya Muchdi. Menurut Agung, kejaksaan hingga kini belum me- nemukan alat bukti baru yang bisa dijadikan landasan untuk mengajukan permohonan PK. Ia juga mengaku belum mene- rima keputusan KIP yang dikirim KASUM. ”Kalaupun sudah kami terima, tentu akan kami pelajari dulu,” katanya.

Usman Hamid, bekas Koordinator Komisi untuk Orang Hi- lang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menyatakan sudah bisa menebak alasan kejaksaan itu. ”Ini karena tidak ada keberanian dan komitmen Presiden SBY,” ujar Usman.

●FEBRIYAN TE M P O / A M S TON PROB E L

Dalam dokumen POLITIK BISNIS RATU ATUT H A L A M A N 116 (Halaman 146-149)

Garis besar

Dokumen terkait