• Tidak ada hasil yang ditemukan

TOM DAN JERRY DI TUBUH MILITER

Dalam dokumen POLITIK BISNIS RATU ATUT H A L A M A N 116 (Halaman 62-64)

K

EDATANGAN Jenderal Soemitro, Panglima Ko- mando Operasi Pemulihan Keamanan dan Keter- tiban, dari Konferensi Tingkat Tinggi Nonblok di Aljazair disambut laporan rencana kerusuhan da- lam waktu dekat. Saat itu September 1973. Tapi informasi dari Mayor Jenderal Soedjono Hoemardani, orang kedua di tim Operasi Khusus (Opsus), itu tidak terlalu dihiraukan.

Setelah laporan Soedjono dibenarkan Mayor Jenderal Su- topo Juwono, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Ba- kin), Soemitro baru percaya. Dia tersentak karena laporan berupa dokumen itu menyebut dalang kerusuhan adalah di- rinya sendiri. Tujuannya melengserkan Soeharto.

Dalam biografi yang ditulis Ramadhan K.H., Soemitro ber- tanya kepada Sutopo apakah Soeharto mengetahui dokumen itu. Koleganya ini menjawab bahwa Presiden tidak percaya begitu saja. Mendengar itu, Soemitro merasa tenang.

Laporan yang menyudutkan Soemitro itu dikenal sebagai ”Dokumen Ramadi”. Ramadi adalah anggota Majelis Permu- syawaratan Rakyat dari Golongan Karya pada 1971. Pria kela- hiran 12 Maret 1912 itu juga penasihat Gabungan Usaha Pem- baruan Pendidikan Islam (GUPPI), organisasi yang dimanfa- atkan Ali Moertopo, Kepala Opsus, untuk menarik kelompok Islam ke dalam Golkar. Di GUPPI, Soedjono aktif sebagai pe- lindung organisasi.

Soemitro, menurut biografi itu, baru mengetahui rincian ”Dokumen Ramadi” setelah pensiun. Menurut dia, Ramadi menyebutkan bakal ada revolusi sosial pada 4 April dan 6 Juni 1974. ”Revolusi sosial mesti meletus dan Pak Harto mesti ja- tuh dan akan diganti oleh seseorang yang bernama ’S’, mak- sudnya Soemitro.”

Dalam buku Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: Dari

Pemilu sampai Malari, yang ditulis Heru Cahyono, ”Dokumen Ramadi” disebut merupakan salah satu bukti yang meng- gambarkan persaingan Soemitro dan Ali. Dokumen itu dise- but-sebut dibuat Opsus untuk menggasak Soemitro.

Benang merah ”Dokumen Ramadi” dengan Ali terlihat dari kesibukan rahasia yang meningkat di kantor GUPPI. Terja- di penggalangan aktivis Darul Islam/Tentara Islam Indone- sia (DI/TII), yang tidak ada hubungannya dengan aktivitas GUPPI sebelumnya. Bukan rahasia di kalangan elite militer

bahwa bekas aktivis DI/TII berhubungan erat dengan Ali. GUPPI dimanfaatkan untuk menggalang massa demon- stran. Penggalangan itu berjalan tertutup dan hanya dike- tahui segelintir elite organisasi. Dalam wawancara Heru Ca- hyono dengan Maizir Achmaddyns, politikus Masyumi yang ikut rapat kelompok Ramadi di GUPPI, disebutkan dokumen itu bukan ditulis oleh Ramadi. ”Ada intelijen tak dikenal yang mengantarkan ke kantor GUPPI,” katanya. Dokumen diteri- ma Ramadi, lalu diserahkan kepada Soedjono Hoemardani.

Kendati Soemitro sudah diberi tahu, kerusuhan meletus juga. Pembakaran pabrik dan pasar menyertai demonstrasi mahasiswa pada 15 Januari 1974, yang dikenal dengan Mala- petaka 15 Januari (Malari). Pasca-Malari, Soeharto memang- gil Soemitro dan mengungkap kembali dokumen panas itu. Jabatan Soemitro dilucuti. Sedangkan Ali naik pangkat men- jadi Wakil Kepala Bakin.

Soemitro curiga pencopotannya bagian dari skenario Ali Moertopo. Dalam buku biografi nya, Soemitro mengatakan ta- waran Soeharto kepadanya menjadi duta besar di Amerika telah didengarnya tiga hari sebelumnya dari Kepala Kepolisian Jakar- ta Widodo Budidarmo. Menurut Widodo, kabar itu disampaikan Bambang Trisulo, anak buah Ali Moertopo di Opsus. Anehnya, kedua anak Soemitro, Mely dan Nieke, juga mengetahuinya.

Ketika tawaran itu disodorkan, Soeharto menyangkal te- lah membicarakannya dengan orang lain. Soemitro pun ke- sal. ”Aneh ya, Pak. Saya ini bintang empat, kok, nasib saya di- tentukan orang di tepi jalan.” Ujung rivalitas itu pada akhir-

nya ditentukan Soeharto, yang memilih Ali. ●

Grup Kelinci, kelompok Sukarno- is ke dalam Grup Geladak, dan ke- lompok Islam dimasukkan ke Grup Kembang Sepatu. ”Saya lihat dan bertemu dengan mereka. Alasan penangkapannya aneh-aneh,” ujar Hariman dua pekan lalu.

Dampak Malari menjalar juga di tubuh militer. Soemitro men- jadi korban. Jabatannya sebagai

Panglima Kopkamtib dilucuti. Ma- yor Jenderal Sutopo Juwono, Kepa- la Badan Koordinasi Intelijen Ne- gara (Bakin), juga dilengserkan. Kedua jenderal ini disebut-sebut satu kubu melawan Ali. Soetopo ”dilempar” menjadi duta besar di Belanda. Adapun Soemitro meno- lak tawaran sebagai duta besar di Amerika Serikat.

Di kubu Ali, Soeharto hanya membubarkan institusi asisten pri- badi. Ali sendiri naik pangkat men- jadi letnan jenderal dan diberi ja- batan Wakil Kepala Bakin. Pasca- Malari, gelombang protes berhen- ti bak ditelan bumi. Peristiwa Mala- ri dimanfaatkan dengan sukses un- tuk menyikat kelompok yang ber-

potensi merongrong kekuasaan. ●

Soemitro (kiri) dan Ali Moertopo menghadiri Konferensi Bilateral Indonesia-Jepang Pertama di gedung CSIS, Desember 1973.

A

LI Moertopo menge- luh ketika membuka sidang Majelis Mu- syawarah Perfi lman Indonesia (MMPI) di Gedung Dewan Pers, 10 September 1982. Tien Soeharto menegurnya

tentang fi lm Sundel Bolong. Menu-

rut Ibu Negara, fi lm horor yang di- bintangi Suzanna itu jorok, tak la- yak beredar di masyarakat. Penje- lasan Ali kepada Ibu Negara, bah- wa fi lm itu diangkat dari legenda Indonesia, tidak mempan.

Akibat teguran itu, Ali mengha-

dapi situasi yang dilematis. Sundel

Bolong telanjur beredar dan, seba- gai Menteri Penerangan, dia ingin menegur Dewan Film Nasional. ”Tapi saya sendiri ketuanya,” kata Ali, seperti ditirukan Ilham Bin- tang, yang kini menjadi bos tabloid

Cek & Ricek. Kala itu Ilham menja-

di wartawan harian Angkatan Ber-

senjata sekaligus pengurus Persa- tuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya seksi fi lm.

Setelah Ali dilantik menjadi Menteri Penerangan pada Ma- ret 1978, hari-hari yang dilalui- nya mulai berubah. Ali, yang se- belumnya berada di ”dunia ba- wah tanah” sebagai Wakil Kepa- la Badan Koordinasi Intelijen Ne- gara (Bakin), kini beralih ke ling- kungan selebritas. Dia menye- butnya masyarakat seluloid alias pita—kini jarang dipakai lagi kare- na tergerus teknologi digital. Toh, tak butuh waktu lama bagi Ali un- tuk menancapkan pengaruhnya

di lingkungan barunya itu. Sebelum Ali berpindah ke kan- tor Departemen Penerangan di Ja- lan Medan Merdeka Barat, Jakar- ta Pusat—kini kantor Kementeri- an Komunikasi dan Informatika— fi lm nasional sedang gencar-gen- carnya digarap. Tercatat 135 judul fi lm lahir pada 1977—tertinggi da- lam sejarah. Penyebabnya Mashu- ri Saleh, Menteri Penerangan se- belum Ali, mewajibkan importir fi lm membuat satu judul untuk se- tiap lima judul fi lm yang didatang- kan dari luar negeri. Itu pun ma- sih ditambah dengan aturan wa- jib edar dan wajib putar fi lm na- sional. Gara-gara itu, banyak fi lm dibuat asal jadi untuk memenuhi syarat impor.

Ali merespons dengan mengha- pus kewajiban produksi bagi im- portir fi lm. Produksi fi lm pun jeb- lok. Pada tahun kedua Ali menja- bat, fi lm lokal kurang dari seperti- ga rekor 1977. Untuk memperbaiki kualitas perfi lman, Ali memben- tuk Dewan Film Nasional (DFN) gaya baru dengan melibatkan para pakar perfi lman dan budayawan.

Ali sebagai ketua umum ex-offi cio,

sedangkan ketua hariannya Asrul Sani.

Lewat DFN, Ali mewajibkan im- portir menyetor dana sertifi kat produksi Rp 3 juta untuk setiap ju- dul fi lm impor. Menurut Narto Era- wan, mantan Direktur Film Depar- temen Kebudayaan dan Pariwisa- ta, dana itu dipakai untuk penye- lenggaraan Festifal Film Indonesia

(FFI), membiayai tugas Kelompok Kerja Tetap Promosi dan Pemasa- ran Luar Negeri yang dipimpin Ro- sihan Anwar, serta membuat fi lm

percontohan, seperti Halimun dan

Titian Serambut Dibelah Tujuh. Walhasil, sejak saat itu, FFI di- gelar megah secara bergantian di kota-kota besar Indonesia. Keti- ka FFI digelar di Semarang pada 1980, dia menyewa gerbong ke- reta. Setahun kemudian, di Sura- baya, semua peserta diangkut de- ngan Boeing 747. ”Pesawat itu di- paksakan parkir di salah satu lan- dasan karena bandaranya belum bisa melayani pesawat sebesar itu,” kata Ilham, yang ikut dalam rombongan.

Pada masa itu juga Ali memben- tuk tiga asosiasi importir fi lm un- tuk menggantikan empat konsor- sium perusahaan importir fi lm. Kuota fi lm impor berkurang dras- tis dari 360-an judul menjadi ha- nya 250 judul. Namun besarnya pengaruh Departemen Penerang- an terhadap bisnis mereka mem- buat asosiasi-asosiasi tersebut ikut menyumbang dana untuk wilayah tugas Kementerian Penerangan di luar industri perfi lman, termasuk dunia pers.

Asosiasi importir fi lm Amerika Serikat menyumbang dana untuk revitalisasi Museum Pers Nasio- nal di Solo. Adapun importir fi lm Mandarin mendanai pembangun- an Gedung Dewan Pers di Jalan Ke- bon Sirih, Jakarta Pusat yang saat itu merupakan kompleks peru-

ALI MOERTOPO TAK HANYA MENGAYOMI, TAPI JUGA MENYEBAR TEROR

Dalam dokumen POLITIK BISNIS RATU ATUT H A L A M A N 116 (Halaman 62-64)

Garis besar

Dokumen terkait