• Tidak ada hasil yang ditemukan

DI RUMAH NOMOR

Dalam dokumen POLITIK BISNIS RATU ATUT H A L A M A N 116 (Halaman 56-58)

A

LI Moersalam masih meng-

ingat satu kejadian pada 1970- an. Di rumah Ali Moertopo di Jalan Matraman Raya Nomor 18, Jakarta Timur, Soedjono Hoemarda- ni menegur sedikit keras sahabatnya itu soal sebongkah tulang babi yang tergan- tung di salah satu sudut rumah. Si empu- nya rumah percaya tulang babi bisa men- jauhkannya dari bahaya.

Soedjono, yang dikenal sebagai peng- anut aliran kebatinan dan penghayat spi- ritual, pun menganggap tulang babi tak baik bagi Ali Moertopo. ”Copot itu. Itu tidak hanya menjauhkan mara bahaya, tapi malaikat juga tidak mau masuk ke rumah kamu,” ujar Ali Moersalam meni- rukan ucapan Soedjono kepada kakak- nya, dua pekan lalu. Ali Moertopo meng- ikuti nasihat Soedjono dengan membu- ang tulang babi itu.

Ali Moertopo dan Soedjono selama ini dikenal sebagai dua orang kepercaya-

an Soeharto ketika membangun Orde Baru. Tapi tak banyak orang yang mengetahui kedekatan mereka di luar urusan pe- kerjaan. Menurut Moersalam, Soedjono dan Ali memiliki hu- bungan khusus. ”Keluarganya juga dekat. Mereka sudah se-

perti saudara,” ujar pria 81 tahun itu kepada Tempo.

Lucky Ali Moerfi qin, anak kedua Ali Moertopo, menutur- kan hubungan ayahnya dan Soedjono seperti kakak-adik. Soedjono beserta istri dan 12 anaknya kerap bertandang ke rumahnya untuk berdiskusi tentang pelbagai hal. Mereka berbincang berdua dan membiarkan anak-anak bermain. Is- tri mereka kerap pergi bersama karena sama-sama aktif di Yayasan Ria Pembangunan—yayasan istri pejabat Orde Baru yang dibentuk Tien Soeharto. ”Saya dulu sunatannya bareng sama anak Pak Soedjono, Mas Tony,” katanya.

Ali juga kerap meminta nasihat Soedjono jika hendak menggelar hajatan penting, seperti pernikahan atau sunat- an. Menurut Lucky, ayahnya sering meminta Soedjono meng- hitung tanggal baik untuk hajatan. ”Sewaktu saya dan kakak

saya menikah, Pak Soedjono yang menghitung tanggal baik, syaratnya apa saja.”

Mereka sudah bersahabat sejak sama-sama bertugas di Di- visi Diponegoro, Semarang, pada akhir 1950-an. Soeharto,

yang masih berpangkat kolonel, menja- bat panglima divisi itu. Soedjono sudah bertugas di sana sejak awal kemerdeka- an dan menjabat Kepala Urusan Keuang- an Teritorial IV pada 1958. Sedangkan Ali baru pindah ke Semarang pada akhir 1958, setelah menumpas pemberontak- an Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Ali, yang berpangkat kapten, menyandang jabatan Deputi Asisten V Divisi Dipone- goro. Keahlian Ali dalam bidang opera- si dan intelijen serta keahlian Soedjono dalam mengurus bisnis dan keuangan membuat mereka menjadi orang keper- cayaan Soeharto.

Namun, ketika Soeharto ditarik ke Ja- karta pada 1959, hanya Ali yang dibawa. Di Jakarta, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Abdul Haris Nasution me- nugasi mereka membentuk Korps Ten- tara Ke I/Cadangan Umum Angkatan Da- rat (Korra-I/Caduad), yang kemudian di- kenal sebagai Komando Cadangan Stra- tegis Angkatan Darat (Kostrad). Soedjono baru menyusul se- tahun kemudian, setelah Nasution mengangkatnya sebagai Asisten Deputi Keuangan Kepala Staf Angkatan Darat.

Menurut Moersalam, hubungan sepasang sahabat ini pun makin erat, terutama setelah mereka diangkat sebagai staf pri- badi Soeharto pada pertengahan 1966. Jabatan itu kemudian berubah menjadi asisten pribadi pada 1968. Soedjono menjadi asisten bidang ekonomi, sedangkan Ali bidang politik.

Keduanya juga dikenal sebagai pendiri Centre for Strategic

and International Studies (CSIS), yang menjadi lembaga think

thank Orde Baru. Moersalam mengatakan keberhasilan Soe- djono mendatangkan pengusaha Jepang berinvestasi di Indo- nesia tak lepas dari peran Ali Moertopo, yang bergabung da- lam Indonesia Lobby. Tim ini bertemu dengan Soedjono dan Menteri Luar Negeri Adam Malik pada 1966 di Jepang. Salah satu anggota tim lobi adalah Nakajima Shinzaburo, pengusa- ha yang pernah mendukung pemberontakan PRRI di Suma-

tera Barat yang ditumpas Ali. ●

Di lembaga baru itu, peran duet Ali dan Soedjono tetap dominan. Mereka diberi keleluasaan datang bertemu dengan Soeharto di Cen- dana tanpa melalui protokoler. ”Kalau Ali datang, Soeharto pasti menerimanya,” kata Sugiyanto.

Jusuf memiliki cerita lain ten- tang peran dua orang itu. Sebelum

mengambil sebuah keputusan, Soeharto pasti meminta pendapat Ali. Selanjutnya, Ali meminta ”pe- nerawangan” Soedjono sebelum memberikan jawaban. ”Soedjono memang dikenal jago soal kebatin- an,” ujarnya.

Dominasi kedua aspri itu me- mantik ketidaksenangan para se-

niornya di militer. Salah satunya Jenderal Soemitro, Panglima Ko- mando Operasi Pemulihan Ke- amanan dan Ketertiban (Kopkam- tib). Perseteruan mengemuka saat terjadi Malapetaka 15 Januari (Ma- lari) 1974. Ali tersingkir sebagai asisten pribadi dan Soemitro ter-

pental dari Kopkamtib. ●

Soedjono Hoemardani di DPR, Jakarta, 1979.

S

EMINAR di London School of Economics itu baru separuh ja- lan ketika tiba-tiba kegaduhan pecah di depan ruangan. Ratusan peng- unjuk rasa meminta diskusi itu di- hentikan. Mereka menuntut dele- gasi pemerintah Indonesia—yang hadir dalam seminar itu—menun- taskan berbagai kasus pelanggar- an hak asasi manusia di negerinya. Mereka menyasar ketua delega- si Indonesia, Ali Moertopo—yang sedianya akan berbicara seputar perkembangan politik dan strategi pembangunan Orde Baru.

Waktu itu, Ali didampingi Ben- ny Moerdani, A.R. Soehoed (Men- teri Perindustrian), serta Joseph Halim (dokter militer). Hadir juga

beberapa pendiri Centre for Stra- tegic and International Studies, se- perti Jusuf Panglaykim, Jusuf Wa- nandi, dan Sofj an Wanandi.

Tak puas berorasi di luar ru- angan, pengunjuk rasa menco- ba menerobos ke ruang seminar. Petugas keamanan bergerak ce- pat mencegah mereka—dan sege- ra mengunci pintu dari dalam. Bu- kannya mundur, para pendemo ”menyandera” peserta seminar. Sejumlah perwakilan pemerintah Inggris ikut tertahan.

Di tengah kepungan demon- stran, Benny menghubungi kenal- annya di dinas intelijen Inggris. Pi- hak keamanan Inggris lantas me- nawarkan petugas khusus mere- ka untuk memecahkan kerumun- an massa. Tapi Ali menyarankan

mereka membubarkan pengunjuk rasa tanpa kekerasan.

Pasukan keamanan Inggris akhir- nya hanya membuat koridor agar rombongan Indonesia bisa me- ninggalkan ruang seminar. Ali, Ben- ny, dan Halim masuk ke taksi perta- ma yang dapat membawa mereka keluar dari tempat itu. Tapi peng- unjuk rasa berupaya menahan tak- si itu. Mereka memekik-mekik, me- nanyakan Ali Moertopo.

Duduk di samping Ali, Benny memberikan isyarat bahwa Ali ada di mobil belakang. ”Kami lolos dari kepungan massa. Rombong- an Sofj an yang kena,” kata Halim

kepada Tempo mengenang peris-

tiwa pada akhir 1970-an itu. Kini berusia 86 tahun, Halim di masa itu juga salah satu perwira Opera- si Khusus kepercayaan Ali Moer- topo.

● ● ●

DI awal masa Orde Baru, Soe- harto memerlukan juru bicara yang bisa menjelaskan ke dunia luar bahwa dia tidak pernah me- ngudeta Sukarno. Tapi Soeharto belum sepenuhnya mempercayai pegawai di Kementerian Luar Ne- geri. Dia menganggap kementeri- an itu belum steril dari para peng- ikut tokoh PKI, Soebandrio. Soe- harto pun meminta bantuan Ali mencari orang-orang yang bisa menjalankan tugas tersebut.

Ali sendiri tak pernah menda- pat tugas resmi sebagai pejabat hu- bungan luar negeri. Namun, seba- gai tentara intelijen dan asisten pri- badi Soeharto, tanggung jawab Ali kerap melampaui batas-batas teri- torial Indonesia. Sewaktu meng- awali misi-misi penting, Ali biasa menunjuk orang-orang yang dia percayai. Tapi, pada tahap terten- tu, dia kerap ”turun gunung” ber- sama timnya.

Misi diplomatik penting yang dia emban antara lain ketika Indo- nesia berupaya mengakhiri kon- frontasi dengan Malaysia, mem- bebaskan Irian Barat, dan menya- tukan Timor Timur. Tugas diplo- masi Ali belum berakhir bahkan ketika konfrontasi dengan Malay-

INTEL DIPLOMAT

Dalam dokumen POLITIK BISNIS RATU ATUT H A L A M A N 116 (Halaman 56-58)

Garis besar

Dokumen terkait