• Tidak ada hasil yang ditemukan

mencengkeramkan kekuasaannya di Banten Masuk atas rekomendasi Agung Laksono.

Dalam dokumen POLITIK BISNIS RATU ATUT H A L A M A N 116 (Halaman 120-122)

Jusuf Kalla (kiri) saat menjabat Ketua Umum Partai Golkar bersama Ratu Atut Chosiyah di Stadion Utama Gelora Bung Karno, 28 Maret 2009. DOK . TE M P O / ZULK A R N A IN

kan lalu.

Chasan tak pernah menjadi pengurus Golkar. Namun posisinya sebagai Ketua Umum Persatuan Pendekar dan Ketua Umum Satuan Kerja Ulama Seluruh Indo- nesia membuat pengaruhnya kuat di Gol- kar. Sebagai jawara dan ulama, ketokohan Chasan dianggap bisa mendulang suara di ujung Pulau Jawa ini.

Dengan pengaruhnya, Chasan diang- gap sukses membawa putri sulungnya tak hanya di pemerintahan, tapi juga di Gol- kar. Irsjad yakin Chasan melobi para pe- tinggi Golkar di pusat untuk memasukkan Atut ke jajaran petinggi Golkar.

Seorang pengurus pusat Partai Beri- ngin berkata, Chasan dan Banten sangat diperhitungkan dalam peta politik Gol- kar. Apalagi posisi putri sulung Chasan se- bagai petinggi Banten saat itu cukup men- jadi kunci pengikat. ”Maka kebutuhannya adalah simbiosis mutualisme,” kata seo- rang ketua Golkar.

Dalam Musyawarah Nasional Golkar di Bali, 15-20 Desember 2004, Jusuf Kalla, yang terpilih menjadi ketua umum, me- masukkan Atut ke kepengurusan 2004- 2009. Atut dimasukkan sebagai wakil bendahara umum. Menurut seorang po- litikus, Atut disorongkan Agung Laksono, yang waktu itu menduduki jabatan Ketua Koordinator Golkar Wilayah Jawa Barat, DKI, dan Banten. Agung membenarkan

soal ini. ”Dia memang kader yang baik.

Kalau sekarang dia kena masalah, ya, kita tunggu saja masalahnya seperti apa,” ujar Menteri Koordinator Kesejahteraan Rak- yat itu.

Menurut Irsjad, perempuan pertama

yang menjabat gubernur di Indonesia ini bukan produk kaderisasi Golkar. Seorang politikus Golkar lain menyebutkan, sela- ma kepengurusan itu, Atut juga tak terli- hat aktif. ”Tapi ia sangat dekat dengan Ju- suf Kalla,” ujar politikus ini.

Posisi Atut kian kuat setelah pada 2006 mendapat rekomendasi dari Golkar untuk maju lagi di pemilihan Gubernur Banten. Berpasangan dengan H.M. Masduki, Atut memenangi pemilihan. Sejak itu, Atut me- luaskan jaringan kekuasaannya. Ia men- dudukkan kerabatnya dalam aneka jabat- an politik. Yang pertama diorbitkan Airin Rachmi, dalam pemilihan Bupati Tange- rang.

Kuasa Atut kian mencengkeram sete- lah ia bergabung dengan tim sukses peme- nangan Aburizal Bakrie dalam Musyawa- rah Nasional Golkar di Pekanbaru, Riau. Suara Banten saat itu mendua. Kubu peng- urus Golkar Banten menyokong Surya Pa- loh, sedangkan kelompok Atut mendu- kung Aburizal. Setelah Aburizal menang, Atut masuk jajaran elite Beringin. Ia dima- sukkan menjadi ketua bidang pemberda- yaan perempuan.

Atut membawa suami dan adik-adiknya masuk Golkar melewati ”jalur tol”. Mere- ka menempati jabatan penting di kepe- ngurusan Golkar Banten. Pada 2009, da- lam musyawarah daerah, Atut menyo- rongkan Hikmat Tomet, suaminya, seba- gai ketua menggantikan Mamat Rahayu.

Mamat, kini bergabung ke Partai Nas- Dem, dulu menyokong Surya Paloh dalam Musyawarah Nasional Golkar di Riau. To- met kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan duduk di Komi- si Infrastruktur merangkap Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Provinsi Ban- ten 2012-2017.

Agar posisi Tomet di DPD kuat, Atut juga menempelkan adiknya, Ratu Tatu, sebagai ketua harian. Sebelumnya, Tatu Ketua DPD Golkar Pandeglang. Atut juga menyorongkan Tubagus Chaeri Wardana sebagai Ketua Angkatan Muda Partai Gol- kar merangkap Bendahara Golkar. Adik- nya yang beda ibu, Ratu Lilis Kadarwati, juga dimasukkan sebagai Ketua Golkar Kota Serang.

Seorang politikus Golkar menyebut- kan penguasaan atas posisi kunci partai di tingkat kota hingga provinsi memudah- kan keluarga ini memuluskan jejaring kua- sanya. Soalnya, rekomendasi pencalonan bupati, wali kota, atau gubernur akan di- usulkan dari tingkat bawah hingga pusat. ”Di provinsi sudah ada keluarga, di pusat sudah ada Atut sendiri,” katanya.

Jalan mulus tak hanya soal rekomendasi pencalonan kepala daerah, tapi juga pen- calonan kursi legislatif. Dalam daftar ca- lon legislator yang diumumkan Komisi Pe- milu, nama keluarga Atut merajai empat wilayah di Banten. Andika Hazrumy, put- ra sulung Atut, yang kini menjadi anggo- ta Dewan Perwakilan Daerah, membelok menjadi calon legislator Golkar di daerah pemilihan Pandeglang-Lebak.

Istri Andika, Ade Rossi Khairunnisa, yang saat ini menjabat Wakil Ketua DPR dari Golkar untuk Kota Serang, mencalon- kan diri lagi di daerah yang sama. Anak kedua Atut, Andiara Aprilia Hikmat, kini disiapkan untuk bertarung di kursi DPD Banten. Dia siap menggantikan kakak- nya yang pindah ke Golkar. Adapun sua- mi Atut kembali bertarung sebagai calon anggota legislatif nomor satu untuk dae- rah pemilihan Banten 1.

Menurut Irsjad, meski rombongan ke- luarga masuk ”jalan tol”, hubungan Atut dan koleganya tak bermasalah. Atut cu- kup cakap menjaga hubungan elite Golkar

pusat dan daerah. ”Semua happy-happy

saja,” ujarnya.

Ketua Golkar Ade Komaruddin memas- tikan pencalonan keluarga Atut aman hingga 2014. Menurut dia, sebelum kelu- arga Atut mencalonkan diri, partainya su- dah menggelar survei internal, yang me- nyimpulkan mereka sangat populer. Da- lam wawancara 6 Mei lalu, Atut menye- butkan maju ke dunia politik merupakan hak setiap warga. ”Ini demokrasi, semua ditentukan rakyat,” katanya.

● WIDIARSI AGUSTINA, MARIA HASUGIAN, ANANDA BADUDU, SUNDARI, WASIUL ULUM, AYU CIPTA

FOTO : LITBA NG .BA NTE N P ROV .GO .I D

Tubagus Chasan Sochib (depan).

Bahasa!

D

ALAM sekejap, akun Twitter Vicky Prasetyo me- narik puluhan ribu pengikut. Meskipun bukan di- buat oleh pemilik asli, akan pembaca temukan gaya bahasa mantan tunangan penyanyi dangdut Zaskia Gotik itu, yang menabrak aturan berbahasa, meng- gunakan susunan bahasa Inggris yang kacau, dan tentu saja menghamburkan kata majemuk yang juga sembarangan. Tak ayal, banyak pemilik akun berbahasa model Vicky, seakan- akan mereka tak pernah melakukan hal serupa. Jelas, bahasa Inggrisnya berantakan, tapi tak pelak penuturnya bermak- sud gagah-gagahan. Artinya, siapa pun yang menyelipkan ko- sakata Inggris dalam tuturan bahasa Indonesia, meskipun benar, ia mengalami suasana hati seperti Vicky.

Walaupun tidak biasa, sebenarnya kata majemuk, seperti ”kontroversi hati”, yang diungkapkan Vicky masih mungkin dipertahankan, mengingat pembikinan neologisme itu bu- kan barang baru. Tokoh fi lsafat Martin Heidegger adalah sa- lah satu pemikir yang gemar menghadirkan gabungan kosa- kata lama dengan makna baru. Filsuf Jerman ini menghadir-

kan kata ada-di seberang (dasein), yang mengandaikan kon-

sep fi lsafat eksistensialisme tentang bagaimana setiap indivi- du mewujud secara unik, yang mempunyai makna berbeda dengan susunan kata dalam percakapan sehari-hari dan ka- mus.

Tentu saja, Vicky memerlukan glosari untuk meyakin- kan pembaca bahwa istilah yang diperkenalkan bisa dipertanggungjawabkan. Namun ia tidak bisa se- enaknya membuat istilah baru dengan meng- ingkari hukum tata bahasa, seperti ”labil eko- nomi”, yang tidak sesuai dengan kaidah DM dalam bahasa Indonesia. Tapi rekam jejak Vicky akan menerbitkan keraguan: ada- kah ia akan mempertanggungjawabkan pemilihan kata tersebut di hadapan pub- lik secara ilmiah?

Hiruk-pikuk dan perselisihan penda- pat tentang bahasa Vicky sebenarnya ada- lah cermin dari bahasa khalayak yang acap kacau-balau, baik lisan maupun tulisan. Tentu saja bahasa lisan yang bersifat individual cende- rung mengabaikan kaidah, karena ujaran semacam ini kadang bersifat emosional dan kontekstual. Berbeda dengan bahasa tulis: siapa pun akan mencoba mengungkap- kannya dengan tertib untuk mengelakkan kesalahpahaman. Hanya, mengapa banyak penulis di media massa memperso- alkan perilaku bahasa Vicky yang serampangan, tapi pada saat yang sama mereka melakukan hal yang serupa?

Ahmad Baedowi, dalam opini ”Tantangan Pendidikan

Agama dan Keagamaan di Indonesia” (Media Indonesia, 16

September 2013), mengutip pendapat ahli pendidikan Licko-

na bahwa di antara tanda-tanda kehancuran sebuah bangsa adalah penggunaan bahasa yang memburuk. Ia pun membe- ri contoh praktek berbahasa yang buruk, yaitu gaya berujar Vicky. Malangnya, dalam sekujur tulisannya, ia tidak bisa mengelak dari penyebutan lema bahasa Inggris, meskipun

padanannya dengan mudah ditemukan dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia, seperti integrative, hidden-curriculum, dan

direct-word. Demikian pula yang terjadi dengan Suhairi Ah-

mad dalam artikelnya di rubrik Buku Jawa Pos (15 September

2013).

Sebenarnya, bahasa itu tidak lebih sebagai alat untuk berko- munikasi. Chuang Tzu (369-286 SM), fi lsuf Cina, mengumpa- makan bahasa itu seperti jala yang berusaha menangkap ikan di air realitas. Ikan itu sendiri merupakan metafora dari mak- na, pikiran, dan konsep. Kesalahpahaman akan mudah mun- cul apabila penutur dan mitra tak mengandaikan jala yang sama dalam bertukar maklumat. Betapapun jala itu alat untuk sebuah tujuan, kesalingpahaman sebagai tujuan susah dicapai apabila alat yang digunakan berlubang tembus sehingga ikan dengan mudah terlepas.

Tentu saja, kita tidak bisa mengelak untuk meminjam kosa- kata dari bahasa asing, mengingat ketidakmemadaian bahasa Indonesia dalam menyampaikan pesan sebagai akibat dari se- makin pesatnya perjumpaan antara manusia sejagat dan per- kembangan teknologi. Namun, sebagai bahasa yang mem- punyai aturan, tentu saja ada tata cara dalam penye- rapan kata atau istilah. Bagaimanapun, bahasa In- donesia mempunyai kesamaan dengan baha- sa Inggris, sama-sama mengandaikan kaidah

yang mapan, meskipun yang terakhir berasal dari banyak bahasa dunia, yaitu Inggris, Ro-

mawi, Saksonia, Denmark, dan Norman- dia (Wilkins, 1968: 9-10). Ketika penyerap- an memungkinkan, ejaan bahasa asal tidak lagi dipakai, dan serapan bahasa sasaran di- utamakan.

Taat asas berbahasa mengandaikan ke- tertiban berpikir. Apabila seseorang bisa me- nata kata sesuai dengan aturan, ia tentu te- lah berhasil meletakkan sesuatu di tempatnya. Sama halnya dengan musikus yang baik: ia tidak sekadar menabuh alat musik, tapi juga berusaha agar nada itu tidak sumbang, sehingga enak didengar dan dinik- mati. Bayangkan, dalam sebuah opini, seorang penulis me-

nyebut gaya Vicky itu ngawur, yang seharusnya ”mengawur”.

Lalu mengapa yang bersangkutan dengan serampangan me- nuduh orang lain melanggar kaidah kebahasaan? Bukan- kah perilaku seperti inilah yang diandaikan oleh peribahasa

”menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri”?●

*) DOSEN FILSAFAT DAN ETIKA UNIVERSITAS UTARA MALAYSIA

MENCERCA VICKY,

Dalam dokumen POLITIK BISNIS RATU ATUT H A L A M A N 116 (Halaman 120-122)

Garis besar

Dokumen terkait