• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka

5) Bilangan Pecahan

a) Pengertian Bilangan Pecahan

Menurut Priatna (2019: 66-67) istilah pecahan (fraction) merupakan konsep matematika yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pecahan dapat diartikan sebagai bilangan rasional, tetapi juga dapat diartikan sebagai lambang

3

50 bilangan untuk bilangan rasional. Pecahan sebagai bilangan rasional dinamakan bilangan pecah.

Bilangan pecahan adalah bilangan yang dapat dinyatakan sebagai, dengan p dan q adalah bilangan bulat dan q ≠ 0. Bilangan p disebut pembilang dan bilangan q disebut penyebut. Pecahan dapat dikatakan senilai apabila pecahan tersebut mempunyai nilai atau bentuk paling sederhana sama (Manullang, 2019 : 33).

Purnomo (2015: 10) mengemukakan bahwa pecahan (sederhana) adalah bilangan yang dapat dinyatakan dengan pasangan bilangan cacah atau di mana b ≠ 0. Dalam notasi himpunan, himpunan bilangan pecahan adalah

b) Cara Penanaman Konsep Pecahan pada Anak SD

Cara mengajarkan konsep pecahan pada anak SD sebenarnya cukup mudah, guru dapat menggunakan alat peraga yang sederhana untuk mengajarkan konsep pecahan kepada peserta didiknya, sebagai contoh dapat menggunakan karton yang sudah dibentuk sedemikian rupa sehingga membentuk bangun-bangun datar.

Selanjutnya, daerah bangun datar tersebut dibagi beberapa bagian sama besar kemudian diarsir.

Gambar 2.10 Ilustrasi Arsiran Pecahan

Pecahan ½ dibaca “satu per dua” atau “seperdua” dengan 1 sebagai pembilang sedangkan angka 2 sebagai penyebut. Guru dapat menggunakan alat

51 peraga lainnya yang dapat ditemukan dalam pembelajaran sehari-hari untuk mengajarkan konsep pecahan (Priatna, 2019: 67).

c) Pecahan Senilai

Pecahan senilai merupakan pecahan yang mewakili kuantitas yang sama dengan angka berbeda. Menentukan konsep pecahan senilai dapat diilustrasikan dengan model daerah, model panjang, ataupun model himpunan. Di samping itu, pecahan senilai juga dapat digunakan untuk mengenalkan konsep pecahan sebagai bagian dari keseluruhan pada peserta didik (Purnomo, 2015: 21).

Keterkaitan materi bilangan pecahan dengan produk penelitian ini adalah materi tersebut dikombinasikan dengan salah satu permainan yang terdapat di dalam produk yang dihasilkan, yaitu permainan tradisional dham-dhaman. Materi akan berbentuk undian yang berisi soal latihan dan soal tersebut akan diselesaikan oleh peserta didik pada saat peserta didik selesai menjalankan pion sesuai dengan aturan permainan dham-dhaman. Materi yang terdapat pada produk penelitian ini terbatas, yaitu menentukan posisi pecahan, menggunakan gambar untuk menyatakan pecahan, dan pecahan senilai dengan gambar.

5. Peserta Didik Kelas III Sekolah Dasar a. Teori Perkembangan Anak Menurut Piaget

Piaget (Thobroni, 2015: 81-82) mengungkapkan bahwa perkembangan kognitif memiliki empat tahapan, yaitu tahapan sensorimotor, tahap praoperasional, tahap operasional konkret, dan tahap operasional formal.

1) Tahap Sensori Motor

Pada tahap sensorimotor (0-2 tahun), seorang anak belajar mengembangkan dan mengatur kegiatan fisik dan mental menjadi rangkaian perbuatan yang bermakna.

2) Tahap Pra-operasional

Pada tahap pra-operasional (2-7 tahun), seorang anak masih sangat dipengaruhi oleh hal-hal khusus yang didapatkan dari pengalaman

52 menggunakan indera sehingga ia mampu untuk melihat hubungan-hubungan dan menyimpulkan sesuatu secara konsisten.

3) Tahap Operasional konkret

Pada tahap operasi konkret (7-11 tahun), seorang anak dapat membuat kesimpulan dari sesuatu pada situasi nyata atau dengan menggunakan benda konkret, dan mampu mempertimbangkan dua aspek dari situasi nyata secara bersama-sama (misalnya antara bentuk dan ukuran).

4) Tahap Operasional Formal

Pada tahap operasi formal (11 tahun ke atas), kegiatan kognitif seseorang tidak mesti menggunakan benda nyata. Pada tahap ini, kemampuan menalar secara abstrak meningkat sehingga seseorang mampu untuk berpikir secara deduktif. Pada tahap ini pula, seseorang mampu mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu situasi secara bersama-sama.

Urutan tahapan-tahapan mengenai perkembangan kognitif yang sudah dijabarkan di atas tidak dapat ditukar atau dibalik, karena tahapan sesudahnya mengandalkan terbentuknya tahapan sebelumnya dan saling berkaitan satu sama lain. Tetapi, rentang tahun / usia anak pada setiap tahapan tersebut dapat berubah-ubah menurut situasi seseorang. Perbedaan antara tahap sangat besar karena ada perbedaan kualitas pemikiran yang lain. Meskipun demikian, unsur dari perkembangan sebelumnya tetap tidak dibuang. Jadi, ada kesinambungan dari tahap ke tahap walaupun ada juga perbedaan yang sangat mencolok (Suparno, 2007: 25).

Piaget (Suparno, 2007: 103) menjelaskan perkembangan kognitif anak dengan melihat dari segi dasar pemikiran, cara pemikiran, dan ciri-ciri lain yang ditunjukkan anak pada setiap tahap perkembangan kognitif. Secara skematis, dapat digambarkan pada tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.3 Perkembangan Kognitif Piaget

Tahap Sensorimotor Pra Operasi Operasi Konkret Operasi Formal

Umur 0-2 tahun 2-7 tahun 7-11 tahun 11 tahun ke atas

53 konkret (concrete operations) dicirikan dengan perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada aturan-aturan tertentu yang logis. Anak sudah memperkembangkan operasi-operasi logis. Operasi itu bersifat reversibel, artinya dapat dimengerti dalam dua arah, yaitu suatu pemikiran yang dapat dikembalikan kepada awalnya lagi. Operasi ini selalu mengandung sifat kekekalan (konservasi) dan berkaitan dengan sistem operasi yang lebih menyeluruh. Oleh karena itu, Piaget dan Inhelder (Suparno, 2007: 69) menyimpulkan bahwa sering dikatakan ciri utama pemikiran operasi konkret adalah adanya transformasi reversibel dan sistem kekekalan. Yang juga sudah sangat maju dalam tahap ini adalah kemampuan anak untuk mengurutkan (seriasi) dan mengklasifikasi objek.

Dengan operasi itu, anak telah mengembangkan sistem pemikiran logis yang dapat diterapkan dalam memecahkan persoalan-persoalan konkret yang dihadapi.

Pemikiran anak juga lebih decentering daripada tahap sebelumnya, yaitu dapat menganalisis masalah dari berbagai segi. Tahap operasi konkret tetap ditandai dengan adanya sistem operasi berdasarkan apa-apa yang kelihatan nyata/konkret.

Anak masih menerapkan logika berpikir pada barang-barang yang konkret, belum bersifat abstrak apalagi hipotesis. Dapat dikatakan cara berpikir seorang anak tetap masih terbatas karena masih berdasarkan sesuatu yang konkret (Suparno, 2007: 69-70).

54 b. Tahapan Proses Belajar Menurut Piaget

Menurut Piaget (Thobroni, 2015: 81) proses belajar sebenarnya terjadi dari tiga tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbang).

1) Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak peserta didik.

2) Proses akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.

3) Proses ekuilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.

Piaget berpendapat bahwa perkembangan kognitif seorang peserta didik adalah melalui suatu proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah suatu proses tempat informasi atau pengalaman yang baru menyatukan diri ke dalam kerangka kognitif yang ada. Sedangkan akomodasi adalah suatu proses perubahan atau pengembangan kerangka kognitif yang ada agar sesuai dengan pengalaman baru yang dialaminya. Piaget juga mengemukakan bahwa selain disebabkan oleh proses asimilasi dan akomodasi di atas. Perkembangan kognitif seorang anak juga dipengaruhi oleh kematangan dari otak sistem saraf anak, interaksi anak dengan objek-objek di sekitarnya (pengalaman fisik), kegiatan mental anak dalam menghubungkan pengalamannya kerangka kognitifnya (pengalaman fisik), kegiatan mental anak dalam menghubungkan pengalamannya kerangka kognitifnya (pengalaman logico-mathematics), dan interaksi anak dengan orang-orang di sekitarnya (Thobroni, 2015: 82-83).

Berdasarkan hal-hal yang dapat mengembangkan kemampuan kognitif seseorang di atas, para pengikut Piaget menyatakan pentingnya kegiatan dalam proses belajar. Mereka meyakini bahwa sedangkan pengalaman belajar aktif cenderung meningkatkan perkembangan kognitif, sedangkan pengalaman belajar pasif cenderung mempunyai akibat yang lebih sedikit dalam meningkatkan perkembangan kognitif anak. Aktif dalam arti bahwa peserta didik melibatkan mentalnya selama memanipulasi benda-benda konkret (Thobroni, 2015: 83).

55 c. Pengajaran Matematika Menurut Piaget

Secara agak khusus, Piaget banyak berbicara tentang pengajaran matematika.

Piaget menyarankan agar dalam pengajaran matematika untuk peserta didik terlebih sebelum tahap operasi formal lebih ditekankan pada aktivitas, pengalaman, dan penggunaan metode aktif. Para psikolog menyarankan agar abstraksi peserta didik berkembang dari pengamatan yang real terhadap benda-benda yang nyata. Tetapi, para matematikus sering keberatan. Mereka merasa bahwa yang real itu dapat menghalangi kecepatan abstraksi peserta didik. Piaget sendiri lebih condong untuk mulai dengan konkret baru perlahan-lahan ke yang abstrak (Suparno, 2007: 149).

Menurut Piaget, metode pengajaran matematika atau yang lain dalam bentuk ceramah memang baik bagi orang yang sudah dewasa, tetapi banyak menyebabkan hambatan bagi peserta didik yang masih dalam level pengajaran.

Piaget (Suparno, 2007: 149-151) menekankan ada beberapa hal pokok dalam mengajarkan matematika pada peserta didik, antara lain:

1) Pengajaran matematika tidak boleh melalaikan peran kegiatan-kegiatan, khususnya pada anak-anak yang masih kecil.

2) Beberapa prinsip psikologis dapat digunakan dalam pengajaran matematika:

a) Menurut Piaget, seorang peserta didik dapat dikatakan paham, jika sudah dapat menemukan sendiri alasannya.

b) Dapat terjadi bahwa meskipun peserta didik dapat memecahkan persoalan, ia tetap belum memahami persoalan itu. Peserta didik tetap memerlukan latihan dalam mengungkapkan gagasan.

c) Formalisasi sebaiknya setelah pengertiannya dikenal. Lebih baik menggunakan intuisi lebih dulu daripada aksiomalisasi. Pengajaran mulai dari yang kualitatif baru numerik dan metrik.

d. Karakteristik Peserta didik Kelas III Sekolah Dasar

Secara umum peserta didik atau anak didik merupakan anak yang diproses untuk menjadi dewasa, menjadi manusia yang memiliki kepribadian dan watak bangsa yang diharapkan. Peserta didik tentunya memiliki karakteristik yang harus

56 dipahami oleh pendidik maupun orang dewasa, karakteristik tersebut antara lain adalah: (Surya, 2010: 25)

1) Anak itu makhluk individu yang memiliki dunia tersendiri yang tidak boleh disamakan dengan dunia orang dewasa.

2) Anak memiliki potensi untuk berkembang.

3) Anak memiliki minat dan bakat yang berbeda dengan yang lainnya.

Menurut Hosnan (2016: 58-60) peserta didik sekolah dasar memiliki karakteristik khusus yaitu: 1) senang bermain; 2) senang bergerak; 3) senang bekerja dalam kelompok; 4) senang merasakan atau melakukan, memperagakan sesuatu secara langsung; 5) suka menangis; 6) sulit dalam memahami isi pembicaraan yang dibicarakan orang lain; 7) senang diperhatikan oleh orang lain;

8) senang meniru apa yang dilakukan teman sebayanya.

Pada umumnya peserta didik kelas III sekolah dasar berusia mulai dari 6-12 tahun dan rentang usia tersebut termasuk ke dalam tahap operasional konkret.

Menurut Piaget (Theodora, 2013: 229-230) menyebutkan bahwa tahap perkembangan operasional konkret anak memiliki karakteristik tertentu, antara lain:

1) Anak belajar melalui berbagai pengalaman dengan objek nyata, serta mampu berpikir secara logis.

2) Anak mulai memahami adanya konservasi massa, angka, kuantitas, area, volume, dan juga berat.

3) Anak akan menyadari bahwa beberapa hal yang ada tidak selalu nampak sebagaimana adanya.

4) Anak akan menggunakan simbol-simbol dalam menulis, membaca, menggambar, not pada musik, matematika, bahkan juga menari, jika mereka dikenalkan pada hal-hal tersebut.

5) Anak dapat menyadari beberapa fitur benda-benda pada saat yang sama ketika mereka sedang mengklasifikasikan.

6) Anak akan dapat menikmati berbagai macam permainan dan menikmati aturan yang ada di dalamnya.

57 Jadi, peserta didik usia sekolah dasar yaitu pada umur 6-11 tahun, di mana pada tahap ini anak tidak bisa disamakan dengan orang dewasa, anak masih belum mampu berpikir secara abstrak, sehingga masih membutuhkan sesuatu yang dapat membantu anak memperoleh pemahaman contohnya menggunakan sesuatu yang bersifat konkret. Sesuai dengan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk membantu anak-anak memahami pembelajaran dengan membuat sebuah media pembelajaran yang konkret serta memberikan kepada guru sebuah referensi dalam memperbanyak penggunaan media khususnya yang berupa permainan tradisional.