• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gugus Pulau Kaledupa

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.7 Budi Daya Rumput Laut

Rumput laut tergolong tanaman berderajat rendah, umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun sejati; tetapi hanya menyerupai batang yang disebut thallus. Rumput laut tumbuh di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu, dan benda keras lainnya. Selain benda mati, rumput laut pun dapat melekat pada tumbuhan lain secara epifitik (Anggadiredja 2008).

Sebutan rumput laut terhadap alga makro di Indonesia telah memasyarakat walaupun secara ilmiah sebenarnya tidak tepat. Rumput laut (seaweed) adalah alga makro yang bersifat bentik dan termasuk tumbuhan tingkat rendah (thallophyta) yang tidak berbunga dan hidupnya berasosiasi dengan hewan karang, karena itu rumput laut senantiasa hidup pada hewan karang (Dahuri 1998 diacu dalam Hikmah 2002).

Rumput laut (seaweed) merupakan nama dalam perdagangan nasional untuk jenis alga yang dipanen dari laut. Cara hidup alga bersifat fitoplankton

maupun fitobentos. Sepintas banyak alga yang nampak mempunyai akar, batang, daun, bahkan bunga atau buah padahal hanya merupakan bentuk semu. Pada dasarnya bagian tersebut adalah batang atau thallus (Aslan 1991 diacu dalam Hikmah 2002).

Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut sangat tergantung dari faktor-faktor oseanografi (fisika, kimia, dan pergerakan atau dinamika air laut) serta jenis substrat dasarnya. Untuk pertumbuhannya, rumput laut mengambil nutrisi dari sekitarnya secara difusi melalui dinding thallusnya. Perkembangbiakan dilakukan dengan dua cara, yaitu secara kawin antara

gamet jantan dan gamet betina (generatif) serta secara tidak kawin dengan melalui vegetatif dan konjugatif (Anggadiredja 2008).

Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut seperti halnya biota perairan lainnya, sangat dipengaruhi oleh toleransi fisiologi dari biota tersebut untuk beradaptasi dengan faktor-faktor lingkungan seperti substrat, salinitas, temperatur, intensitas cahaya, tekanan, dan nutrisi. Secara umum, rumput laut dijumpai tumbuh di daerah perairan yang dangkal (intertida dan sublitorral) dengan kondisi dasar perairan berpasir, sedikit lumpur, atau campuran keduanya. Rumput laut memiliki sifat benthic (melekat) dan disebut juga

benthic algae. Di samping itu, rumput laut juga hidup sebagai fitobentos dengan cara melekatkan thallus pada substrat pasir, lumpur berpasir, karang, fragmen karang mati, kulit kerang, batu atau kayu (Anggadiredja 2008).

Budi daya rumput laut di Indonesia telah dirintis sejak tahun 1980-an dalam upaya merubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan sumberdaya alam ke proses budi daya rumput laut yang ramah lingkungan, dapat meningkatkan pendapatan pembudidaya dan juga dapat digunakan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan perairan pantai (Sukardi et al.

diacu dalam Amarullah 2007).

Pengembangan budi daya rumput laut merupakan suatu alternatif pemberdayaan masyarakat pesisir yang mempunyai keunggulan dalam hal:

(1) produk yang dihasilkan mempunyai kegunaan yang beragam, (2) tersedianya lahan perairan untuk budi daya yang cukup luas dan (3) mudahnya teknologi budi daya yang diperluas (DKP 2001 diacu dalam

Amarullah 2007).

Bibit rumput laut yang baik untuk dibudidayakan adalah mono species, muda, bersih, dan segar. Selanjutnya pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan bibit harus selalu dilakukan dalam keadaan lembab serta terhindar dari panas, minyak, air tawar dan bahan kimia lainnya. Kualitas dan kuantitas produksi rumput laut sangat ditentukan oleh bibit rumput lautnya, maka kegiatan penyediaan bibit harus direncanakan (Kadi dan Atmadja 1988 diacu dalam Sirajuddin 2008).

Keberhasilan budi daya rumput laut bergantung antara lain kepada pemilihan lokasi yang tepat, pemilihan lokasi merupakan salah satu faktor penentu. Gambaran tentang biofisik air laut yang diperlukan untuk budi daya rumput laut penting diketahui agar tidak timbul masalah yang dapat

menghambat usaha itu sendiri dan mempengaruhi mutu hasil yang dikehendaki (Amarullah 2007).

Rumput laut hidup dengan cara menyerap zat makanan dari perairan dan melakukan fotosintesis. Jadi pertumbuhannya membutuhkan faktor-faktor fisika dan kimia perairan seperti gerakan air, suhu, kadar garam, nitrat, dan fosfat serta pencahayaan matahari (Atmadja et al. 1996 diacu dalam Hikmah 2002).

Lokasi dan lahan budi daya untuk pertumbuhan rumput laut jenis

Eucheuma di wilayah pesisir dipengaruhi berbagai faktor ekologi oseonagrafis yang meliputi parameter lingkungan fisik, biologi dan kimiawi perairan (Puslitbangkan 1991 diacu dalam Amarullah 2007). Parameter-parameter tersebut, diuraikan sebagai berikut:

(1) Kondisi Lingkungan Fisika

• Suhu lingkungan berperan penting dalam proses fotosintesa, dimana semakin tinggi intensitas matahari dan semakin optimum kondisi temperatur, maka akan semakin nyata hasil fotosintesanya (Lee et al. 1999 diacu dalam Sirajuddin 2008). Kecukupan sinar matahari sangat menentukan kecepatan rumput laut untuk memenuhi kebutuhan nutrient seperti karbon (C), nitrogen (N) dan fosfor (P) untuk pertumbuhan dan pembelahan selnya. Rumput laut memiliki toleransi terhadap kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim, dan akan tumbuh subur pada daerah yang sesuai dengan suhu di laut yaitu pada kisaran suhu 20–30 0C (Luning 1990 diacu dalam Sirajuddin 2008).

• Dalam pertumbuhannya, Eucheuma membutuhkan suhu sekitar 27–30 0C dan Gracilaria 20–28 0C. Menurut Hutagalung (1988), batas ambang suhu untuk pertumbuhan alga hijau, coklat dan merah adalah 34,5 0C dan untuk alga biru hijau 37 0C. Suhu mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan dan pertumbuhan rumput laut. Suhu air dapat berpengaruh terhadap beberapa fungsi fisiologis rumput laut seperti fotosintesa, respirasi, metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi (Dawes 1981 diacu dalam Sirajuddin 2008).

• Menurut Rorrer et al. (2004) diacu dalam Sirajuddin (2008), bahwa alga coklat (L. cacharina) dapat tumbuh dengan intensitas cahaya (dp < 1 mm), alga hijau (A. coalita) (dp < 3 mm) dan alga merah (A. subulata, O.

secundiramea) (dp = 1,6 – 8 mm). Selanjutnya rumput laut jenis A. coalita

intensitas cahaya (10–80 mm) dapat tumbuh 15% / hari.

• Dasar perairan yang paling baik untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii

adalah yang stabil terdiri dari potongan karang mati (pecahan karang) dan pasir kasar serta bebas dari lumpur. Mempunyai gerakan air (arus) yang cukup 20–40 cm/detik (Sukardi et al. 2004 diacu dalam Amarullah 2007). Hal ini dapat diindikasikan adanya sea grass yang merupakan petunjuk adanya gerakan air yang baik.

• Tingkat kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budi daya rumput laut. Hal ini dimaksudkan agar cahaya penetrasi matahari dapat masuk ke dalam air. Intensitas sinar yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan tingkat transpirasi tidak kurang dari 5 meter cukup baik bagi pertumbuhan rumput laut (Puslitbangkan 1991 diacu dalam Sirajuddin 2008).

• Untuk menghindari kerusakan fisik sarana budi daya dan rumput laut dari pengaruh angin topan dan pergerakan air seperti ombak yang kuat, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari hempasan ombak sehingga di perairan teluk atau terbuka tetapi terlindung oleh karang penghalang atau pulau di depannya baik untuk lokasi budi daya rumput laut (Puslitbangkan 1991 diacu dalam Amarullah 2007).

(2) Kondisi Lingkungan Kimia

• Rumput laut tumbuh pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat air tawar yang masuk akan menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi tidak normal. Oleh karena itu budi daya rumput laut sebaiknya jauh dari mulut muara sungai. Salinitas yang dianjurkan untuk budi daya rumput laut Eucheuma cottonii adalah 28–35 ppt (Sukardi et al. 2004 diacu dalam Amarullah 2007).

• Mengandung cukup unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, berupa makro nutrien yang dibutuhkan dalam jumlah yang banyak seperti C, H, N, P, Mg, dan Ca, sedangkan mikro nutrien yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit seperti Fe, Mn, Cu, Si, Zn, Na, Mo, dan Cl. Zat hara anorganik yang diperlukan untuk pertumbuhan rumput laut adalah nitrogen dalam bentuk nitrat (NO3) dan fosfor dalam bentuk orthofosfat (PO4).

kandungan nitrat dalam kondisi berkecukupan biasanya berada pada kisaran antara 0,01–0,7 mg/l, untuk orthofosfat pada perairan alami berkisar antara 0,005–0,02 mg/l. Dengan demikian dapat dikatakan perairan tersebut mempunyai tingkat kesuburan yang baik dan dapat digunakan untuk kegiatan budi daya laut.

(3) Kondisi Lingkungan Biologi

• Secara taksonomi, rumput laut dikelompokkan ke dalam Divisio Thallophyta. Berdasarkan kandungan pigmennya, rumput laut dikelompokan menjadi empat kelas (Othmer 1968; Anonim 1977 diacu dalam Anggadiredja 2008), yaitu sebagai berikut :

1. Rhodophyceae (ganggang merah) 2. Phaeophyceae (ganggang cokelat) 3. Clorophyceae (ganggang hijau) 4. Cyanophyceae (ganggang biru–hijau)

• Beberapa jenis rumput laut Indonesia yang bernilai ekonomis dan sejak dulu sudah diperdagangkan yaitu Eucheuma sp, Hypnea sp, Gracilaria sp, dan Gelidium sp. dari kelas Rhodophyceae serta Sargassumsp dari kelas

Phaeophycea.

• Menurut Anggadiredja (2008), Eucheuma sp dan Hypnea sp menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut keraginan (carrageenan), Glacilaria sp dan Gelidium sp menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut agar. Sementara, Sargassum sp

menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut alginate. Rumput laut yang menghasilkan keraginan disebut pula agarophyte

(agrofit), dan penghasil alginate disebut alginophyte (alginofit).

• Sebaiknya untuk perairan budi daya Eucheuma dipilih perairan yang secara alami ditumbuhi oleh komunitas dari berbagai makro algae seperti

Ulva sp, Caulerpa sp, Padina sp, Hypnea sp, dan lain-lain, dimana hal ini merupakan salah satu indikator bahwa perairan tersebut cocok untuk budi daya Eucheuma. Kemudian sebaiknya bebas dari hewan air lainnya yang bersifat herbivora terutama ikan baronang atau lingkis (Sigarus sp), penyu laut (Chelonia midas) dan bulu babi yang dapat memakan tanaman budi daya (Puslitbangkan 1991 diacu dalam Amarullah 2007).

• Faktor biologi utama yang menjadi pembatas produktivitas rumput laut yaitu faktor persaingan dan pemangsa dari hewan herbivora. Selain itu, dapat pula dihambat oleh faktor morbiditas dan mortalitas rumput laut itu sendiri. Morbiditas dapat disebabkan oleh penyakit akibat dari infeksi mikroorganisme, tekanan lingkungan perairan (fisika dan kimia perairan) yang buruk, serta tumbuhnya tanaman penempel (parasit). Sementara, mortalitas dapat disebabkan oleh pemangsaan hewan-hewan herbivora.

Perkembangbiakan rumput laut dapat terjadi melalui dua cara, yaitu secara vegetatif dengan thallus dan secara generatif dengan thallus diploid

yang menghasilkan spora. Perbanyakan secara vegetatif dikembangkan dengan cara stek, yaitu potongan thallus yang kemudian tumbuh menjadi tanaman baru. Sementara, perbanyakan secara generatif dikembangkan melalui spora, baik alamiah maupun melalui budi daya. Pertemuan gamet

membentuk zygote yang selanjutnya berkembang menjadi sporofit. Individu baru inilah yang mengeluarkan spora dan berkembang melalui pembelahan dalam sporogenesis menjadi gametofit (Anggadiredja 2008).

Daerah sebaran beberapa jenis rumput laut di Indonesia sangat luas, baik yang tumbuh secara alami maupun yang dibudidayakan. Wilayah sebaran rumput laut yang tumbuh alami (wild stock) terdapat dihampir seluruh perairan dangkal laut Indonesia yang mempunyai rataan terumbu karang.

Selain tumbuh secara alami, rumput laut di Indonesia umumnya dibudidayakan. Lokasi budi daya Eucheuma tersebar di perairan pantai di beberapa pulau di Kepulauan Riau, Bangka-Belitung, Lampung Selatan, Pulau Panjang (Banten), Pulau Seribu, Karimun Jawa (Jawa Tengah), Selatan Madura, Nusa Dua, Nusa Lemongan dan Nusa Penida (Bali), Lombok Barat, Lombok Tengah (Teluk Ekas), Sumbawa, Larantuka, Teluk Maumere, Sumba, Alor, Kupang, Pulau Rote, Sulawesi Utara, Gorontalo, Bualemo, Bone Bolango, Samaringa (Sulawesi Tengah), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Jeneponto, Takalar, Selayar, Sinjai, dan Pangkep (Sulawesi Selatan), Seram, Ambon, Kei, Aru, Tanimbar, Buru (Maluku), Biak, serta Sorong (Papua). Sementara budi daya Gracilaria dalam tambak tersebar luas di daerah-daerah Serang (Banten), Pantai Utara Jawa (Bekasi, Karawang, Subang, Cirebon, Indramayu, Pemalang, Brebes, dan Tegal), sebagian Pantai Jawa Timur (Lamongan dan Sidoardjo), hampir disemua perairan tambak Sulawesi Selatan, Lombok Barat, serta Sumbawa.

Rumput laut telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan makanan dan obat. Sebagai bahan makanan, rumput laut dikonsumsi dalam bentuk lalapan (dimakan mentah), dibuat acar dengan bumbu cuka, dimasak sebagai sayur, baik dengan air santan maupun tidak, dibuat urap dengan bumbu kelapa parut, atau ditumis. Di samping itu, rumput laut juga bisa diolah menjadi manisan (dicampur dengan gula dan santan kelapa), acar atau asinan (pickledseaweed), salad, dan dibuat sop (Anggadiredja 2008).