• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gugus Pulau Kaledupa

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Perikanan Tangkap

Perikanan tangkap menurut Direktorat Jenderal Perikanan adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Definisi tersebut secara jelas menunjukan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang dimaksud adalah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan baik secara finansial, maupun untuk memperoleh nilai tambah lainnya, seperti penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan terhadap protein hewani, devisa serta jenis pendapatan negara lainnya (Monintja 1994).

Menurut Fauzi (2000b), pada mulanya pengelolaan sumberdaya ini banyak didasarkan pada faktor-faktor biologi semata dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainable Yield (tangkapan maksimum lestari) atau disingkat MSY. Inti pendekatan ini bahwa setiap spesies memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Kelemahan MSY

tidak mempertimbangkan aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya alam.

Sumberdaya perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu sumberdaya alam yang bersifat dapat diperbaharui (renewable), pengelolaan sumberdaya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Mengingat sifat dari sumberdaya perikanan yang dikenal dengan open access yang memberikan anggapan bahwa setiap orang atau individu merasa memiliki sumberdaya tersebut secara bersama (common property). Menurut Kula (1992), terdapat banyak kasus yang terjadi pada sumberdaya milik bersama dimana terjadi deplesi stok, lebih disebabkan karena masing-masing individu beranggapan bahwa “ekstraklah secepat dan sebanyak kamu bisa, jika kamu tidak bisa maka orang lain akan melakukannya”, sehingga konsekuensinya akan mengalami depletion secara

cepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Anwar (2002), bahwa keadaan sumberdaya yang bersifat “open access resource” akan terjadi pengurasan sumberdaya yang pada akhirnya akan terjadi kerusakan sumberdaya. Hal ini terjadi karena semua individu baik nelayan maupun pengusaha perikanan laut akan merasa mempunyai hak untuk mengeksploitasi sumberdaya laut dan memperlakukannya sesuka hati dalam rangka masing-masing memaksimumkan bagian (share) keuntungan, tetapi tidak seorangpun mau memelihara kelestariannya. Oleh karena itu, sifat “open access resource” tersebut dapat dikatakan tidak ada yang punya atau sama saja dengan tidak ada hak yang jelas atas sumberdaya yang bersangkutan (res commune is res nullius).

Dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang bersifat milik bersama (common property), keseimbangan jangka panjang dalam usaha perikanan tidak dapat dipertahankan karena adanya peluang untuk meningkatkan keuntungan (excess profit) bagi usaha penangkapan ikan sehingga terjadi ekstensifikasi usaha secara besar-besaran dibarengi masuknya pengusaha baru yang tergiur dengan nilai rent yang cukup besar tersebut. Padahal, pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut harus memperhatikan aspek sustainability agar dapat memberikan manfaat yang sama dimasa yang akan datang, yang tidak hanya terfokus pada masalah ekonomi tetapi juga masalah lain seperti teknis, sosial, dan budaya (Dahuri et al. 2001).

Pada saat ini, armada perikanan tangkap di Indonesia didominasi oleh armada tradisional, mencakup: perahu tanpa motor (50,1%), motor tempel (26,2%) dan kapal motor kurang dari lima Gross Ton (GT) sebanyak 16,4%, jadi totalnya 92,7%. Jumlah armada tersebut tidak otomatis menggambarkan jumlah nelayan, karena setiap kategori armada terdiri dari jumlah nelayan yang berbeda. Diperkirakan jumlah nelayan di bawah lima GT sebanyak 1,3 juta jiwa atau 66,8% (Satria 2009a).

Secara geografis, masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut. Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-kategori sosial yang membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor kebudayaan ini menjadi pembeda

masyarakat nelayan dari kelompok sosial lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi sumberdaya perikanan. Mereka menjadi komponen utama kontruksi masyarakat maritim Indonesia (Kusnadi 2009).

Sedangkan menurut Imron (2003) nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya.

Selanjutnya Kusnadi (2009), menyatakan bahwa seperti juga masyarakat yang lain, masyarakat nelayan menghadapi sejumlah masalah politik, sosial, dan ekonomi yang kompleks. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: (a) kemiskinan, kesenjangan sosial, dan tekanan-tekanan ekonomi yang datang setiap saat, (b) keterbatasan akses modal, teknologi, dan pasar, sehingga mempengaruhi dinamika usaha, (c) kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi yang ada, (d) kualitas sumberdaya manusia yang rendah sebagai akibat keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik, (e) degradasi sumberdaya lingkungan, baik di kawasan pesisir, laut, maupun pulau-pulau kecil, dan (f) belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan nasional.

Kusumastanto (1997) diacu dalam Budiartha (1999), menyatakan bahwa masyarakat nelayan memiliki karakteristik sosial ekonomi yang berbeda dengan kelompok masyarakat industri atau beberapa kelompok masyarakat pesisir lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh keterkaitan yang sangat erat terhadap karakteristik ekonominnya (pola mata pencaharian), ketersedian sarana prasarana maupun latar belakang budaya. Selain itu kehidupan masyarakat pesisir (nelayan) sangat tergantung pada kondisi lingkungan dan sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan. Hal ini dapat mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya.

Nelayan sangat tergantung terhadap musim, pada musim penangkapan nelayan sangat sibuk melaut dan sebaliknya pada musim paceklik banyak yang menganggur dan yang sering terjadi adalah ketika mereka pulang melaut, mereka dapat membeli barang-barang mahal dan ketika paceklik, kehidupan mereka sangat buruk. Dengan kondisi yang

demikian, maka keterpurukan masyarakat pesisir (nelayan) dalam jurang kemiskinan tidak dapat dihindari. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu adanya usaha pemanfaatan sumberdaya alam kearah yang lebih optimal, swadaya serta produktivitas masyarakat, guna menciptakan kehidupan sosial ekonomi yang berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan dan taraf hidup (Nurfiarini 2003).

Sesungguhnya, nelayan bukanlah suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa kelompok. Dilihat dari segi pemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan, dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap orang lain. Sebaliknya, nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain (Subri 2007).

Produktivitas nelayan pada umumnya masih rendah diakibatkan oleh rendahnya keterampilan dan pengetahuan serta penggunaan alat penangkapan maupun perahu yang sederhana, sehingga aktivitas dan efisiensi alat tangkap maupun perahu belum optimal. Keadaan ini berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima nelayan relatif rendah, keadaan ekonomi dan kesejahteraan nelayan pada umumnya masih tertinggal bila dibandingkan dengan masyarakat petani atau masyarakat lainnya (Barus et al. 1991).

Kompleksitas masalah yang dihadapi oleh nelayan diperparah dengan persoalan mengenai belum diakuinya hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Di era Orde Baru, terjadi sentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan. Praktis hak ulayat melemah seiring dengan lahirnya UU Pemerintahan Desa pada tahun 1979 yang menyeragamkan struktur desa. Padahal sebelum itu desa-desa di Indonesia sangatlah beragam strukturnya dan mengakomodasi kepentingan adat. Juga UU Perikanan tahun 1985 tidak menyebutkan soal eksistensi Hak Perikanan Tradisional (HPT). Padahal bagi nelayan, HPT merupakan hak dasar mereka, dan mestinya dalam pembangunan perikanan bisa dimasukkan sebagai syarat perlu (necessary condition). Jadi, pengakuan HPT merupakan salah satu dimensi pemberdayaan nelayan, yang selama ini sering dikonotasikan hanya dengan bantuan modal usaha. Dimensi baru pemberdayaan ini perlu memperoleh kekuatan hukum (Satria 2009a).

Di laut nelayan terpinggir karena tidak memiliki HPT dan terus terdesak oleh arus modernisasi perikanan dan kelautan, sementara di darat juga tidak bisa melepaskan diri dari ikatan dengan para toke (rentenir). Karena itulah, pemberdayaan masyarakat pesisir menjadi sangat penting artinya sebagai titik awal pembangunan desa pesisir dan dunia perikanan. Pemberdayaan dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi empowerment yang berasal dari kata to empower yang berarti memberi kekuatan (power). Karena itu, umumnya pemberdayaan dilakukan kepada sekelompok orang yang dianggap belum memiliki kekuatan yang diperlukan untuk kemajuan mereka. Dimensi pemberdayaan masyarakat pesisir bisa mengacu pada konsep keberlanjutan Charles (2001) diacu dalam Satria (2009a) yang terdiri dari: (a) keberlanjutan ekologis, (b) keberlanjutan sosial ekonomi, (c) keberlanjutan komunitas dan (d) keberlanjutan institusi.

Perikanan merupakan salah satu aktivitas ekonomi manusia yang sangat kompleks. Tantangan untuk memelihara sumberdaya yang ”sehat” menjadi isu yang cukup kompleks dalam pembangunan perikanan. Meskipun sumberdaya perikanan dikategorikan sebagai sumberdaya yang dapat pulih, pertanyaan yang sering muncul adalah seberapa besar ikan dapat dipanen tanpa harus menimbulkan dampak negatif untuk masa mendatang. Inilah pertanyaan keberlanjutan yang sering muncul dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (Fauzi 2005).

Terminologi perikanan berkelanjutan diambil dari terminologi pembangunan berkelanjutan yang sejak tahun 1987 masuk dalam agenda pertemuan internasional dalam forum World Commission on Environment

(WCED). Dalam laporan yang dikenal sebagai pembangunan yang menuntut pemenuhan kebutuhan generasi saat ini tanpa mengesampingkan atau merusak kemampuan generasi dimasa mendatang untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri. Esensi pembangunan ini adalah keseimbangan hubungan antara aktivitas manusia dengan kemampuan atau daya dukung lingkungan saat ini tanpa merusak prospek bagi generasi mendatang untuk menikmati kualitas hidup yang sekurang-kurangnya sama dengan yang dinikmati oleh generasi sekarang (Widodo et al. 2006).

Selanjutnya menurut Fauzi (2005), keberlanjutan merupakan kata kunci dalam pembangunan perikanan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyarakat perikanan itu sendiri. Walaupun konsep

keberlanjutan dalam perikanan itu sudah mulai dapat dipahami, sampai sekarang masih menghadapi kesulitan dalam menganalisis (mengevaluasi) keberlanjutan pembangunan perikanan itu sendiri, khususnya ketika dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan informasi (data) dari keseluruhan komponen (secara holistik), baik aspek ekologi, sosial, ekonomi, maupun etik.

Pola pembangunan berkelanjutan tidak dipahami sebagai kembali ke pola tradisional atau ke era sebelum industrialisasi, tetapi pola ini tetap berbasis pada keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dengan dasar bahwa pertumbuhan dan berbagai aktivitas ekonomi memiliki lingkungan yang kemampuan daya dukungnya terbatas. Dengan dasar seperti ini pembangunan berkelanjutan akan memiliki implikasi ganda yaitu: (a) pentingnya pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan yang sehat untuk kesejahteraan dan (b) secara bersamaan juga harus melindungi kualitas lingkungan (Widodo et al. 2006).

Pada pertemuan Rio de Janeiro yang dikenal sebagai Rio Summit di tahun 1992 dihasilkan suatu deklarasi yang dikenal sebagai Agenda 21. Dalam pertemuan ini mulai diperkenalkan konsep Code of Conduct (kode etik) bagi pembangunan perikanan berkelanjutan. Di dalam pertemuan tersebut diintroduksi prinsip-prinsip dan standar internasional tentang perilaku yang bertanggung jawab dalam pengembangan praktek perikanan (responsible fisheries).

Respon terhadap Agenda 21 baru nampak setahun kemudian, yaitu dengan adanya kesepakatan internasional tentang konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan melalui pengaturan kapal ikan di laut lepas (Compliance Agreement). Kesepakatan ini tentu sejalan dengan kesepakatan PBB tentang Hukum Laut bahwa setiap negara harus mengontrol kapal ikan mereka di laut lepas.

Fauzi (2005), menyatakan bahwa paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi dari paradigma konservasi (biologi) ke paradigma rasionalisasi (ekonomi), kemudian ke paradigma sosial (komunitas). Namun, menurut Charles (1994) ketiga paradigma tersebut masih tetap relevan dalam kaitan dengan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Menurut Charles (1994), pandangan pembangunan perikanan yang berkelanjutan haruslah mengakomodasikan ketiga aspek tersebut di

atas. Oleh karena itu, konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan sendiri mengandung aspek:

Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok (biomas) sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi perhatian utama

Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi, hal ini merupakan perhatian kerangka keberlanjutan ini

Community sustainability, mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan

Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini, keberlanjutan dari sisi kelembagaan yang menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat ketiga pembangunan berkelanjutan di atas.

Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan di Indonesia dari sudut pandang keberlanjutan, dihadapkan pada kondisi yang bersifat mendua atau berada dipersimpangan jalan (Dahuri et al. 2008). Disatu pihak, ada beberapa kawasan yang telah dimanfaatkan (dikembangkan) dengan intensif. Akibatnya, indikasi telah terlampauinya daya dukung atau kapasitas berkelanjutan (potensi lestari) dari ekosistem pesisir dan lautan, seperti pencemaran, tangkap lebih (over fishing), degradasi fisik habitat pesisir, dan abrasi pantai, telah muncul di kawasan-kawasan pesisir yang padat penduduknya dan tingkat pembangunannya, seperti yang terjadi di wilayah pantai utara Pulau Jawa (Subri 2007). Namun disisi lain ada daerah-daerah yang masih kurang tingkat pemanfaatannya, sehingga masih dapat ditingkatkan lagi ke pemanfaatan yang lebih optimal dimasa mendatang.

Ada tiga dimensi penting dalam konsep perikanan berkelanjutan, yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial, dan dimensi ekonomi. Keberlanjutan ketiga dimensi tersebut merupakan tipe ideal. Artinya, suatu tipe yang hanya berfungsi sebagai acuan padahal secara emperis sulit ditemukan. Artinya, secara empiris ada proses tarik ulur antara ketiga kepentingan tersebut, dan ekonomi juga ikut menonjol sehingga fungsi kebijakan (policy) diperlukan untuk

mengatur proses tarik ulur tersebut guna mencari kondisi yang seimbang. Akhirnya, bentuk kebijakan itu beragam, dan tergantung pada hirarki perikanan yang menjadi dasar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Hirarki perikanan tersebut adalah: coastal fisheries (perikanan pesisir), off shore fisheries (perikanan laut lepas), atau distan fisheries (perikanan laut internasional). Tiga hirarki perikanan tersebut merupakan simplifikasi dari kondisi riil yang sebenarnya jauh lebih kompleks. Tetapi, setidaknya simplifikasi itu bisa membantu memahami dimana letak dan efektifitas dari suatu sumber proses politik dalam pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan (Satria 2009b).